Anda di halaman 1dari 172

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sebagai

patokan ideologi dan kiprah tindakannya dalam mengatur dan

mengarahkan segala tingkah laku masyarakat supaya tidak terlepas dari

segala peraturan yang bersumber dari hukum. Negara Republik Indonesia

sebagai negara hukum sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945

pasal 1 ayat 3 menghendaki agar hukum itu senantiasa harus ditegakkan,

dihormati, dan ditaati oleh siapa pun tanpa ada pengecualian. Dalam hal

ini bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, kesejahteraan

dalam kelangsungan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Pada

pendekatan sosiologi hukum, keberadaan hukum tidak otonom dan

berdiri sendiri tetapi selalu melakukan kontak dengan disiplin ilmu yang

lain guna untuk mengatasi problematik yang ada dalam siklus kehidupan

sosial.

Menurut pendapat Schuyt, menyarankan agar ilmu hukum

melepaskan diri dari cara menganalisis persoalan berdasar metode

hukum yang sempit dan selalu mencari pertolongan kepada ilmu-ilmu

lain.1

1
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm, 7.

1
Kehidupan masyarakat yang sangat kompleks yang tidak hanya

diisi oleh soal-soal hukum tetapi juga diliputi oleh permasalahan sosial,

politik, budaya maupun agama memaksa hukum untuk lebih fleksibel dan

menyesuaikan arah gerakannya dengan disiplin ilmu yang lain tersebut.

Hukum sebagai alat yang memiliki fungsi untuk meningkatkan tata tertib

dalam lalu lintas kehidupan sosial juga menjaga perdamaian dalam

masyarakat. Tetapi pada aspek realitasnya justru masih banyak

masyarakat yang masih tetap melakukan suatu tindakan melanggar

hukum, yang salah satunya ialah tindakan Pidana kekerasan remaja.

Dalam upaya untuk mengatasi tindak kejahatan tersebut negara

telah mengatur mengenai lembaga yang memiliki kewenangan untuk

mengatasi tindakan Pidana tersebut salah satunya adalah Kepolisian

Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada UUD 1945 pasal 30 ayat 4

dan juga undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang menegaskan bahwa Kepolisian bertugas untuk

melindungi, mengayomi, melayani dan menegakkan hukum.

Menurut Yoyok Ucuk Suyono tujuan dibentuknya lembaga

kepolisian adalah untuk menciptakan kondisi aman, tentram dan tertib

dalam masyarakat. Di dalam menyelenggarakan tugas dan wewenang

tersebut dicapai melalui tugas preventif dan tugas represif.2 Tetapi dalam

menjalankan tugas dan fungsinya nampaknya kepolisian masih belum

2
Yoyok Ucuk Suyono, Hukum Kepolisian Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2014, hlm, 5.

2
maksimal lebih khususnya adalah pemaksimalan fungsi preventif dan

represif. Hal tersebut terlihat dari keadaan yang masih belum aman

secara menyeluruh. Hal ini dapat dilihat ditengah-tengah masyarakat

masih ada fenomena tindakan Pidana yang dilakukan oleh kekerasan

remaja yang meresahkan masyarakat dengan tindakan yang anarkis.

Fenomena tindak pidana kekerasan oleh remaja ini telah menjadi

kejahatan yang menjadi problematika yang sangat serius yang sepatutnya

diperhitungkan oleh para aparat kepolisian. Tindakan Pidana Kekerasan

yang dilakukan remaja ini sangat meresahkan masyarakat indonesia, tak

terkecuali bahkan di Kabupaten Bima pun tak luput dari permasalahan

tersebut. Dalam Undang-undang NRI tahun 1945 pasal 28 ayat (2) yang

berbunyi: “ setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,

serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Dengan mencermati bunyi pasal 28 UUD 1945 ayat 2 tersebut

dikaitkan dengan penegakan hukum oleh berdasarkan tugas kepolisian

maka upaya memaksimalkan peran kepolisian dalam menumpas

kejahatan yang salah satunya adalah tindakan Pidana yang dilakukan

oleh kekerasan remaja merupakan sebuah langkah untuk memberikan

perlindungan dan keamanan dalam masyarakat agar tata kehidupan

sosial tetap berjalan terarah dan teratur.

3
Tindak pidana kekerasan remaja bukan lagi hanya sekedar

mengganggu ketertiban umum tetapi telah berkembang ke poros tindak

pidana berupa pengrusakan, penganiayaan bahkan yang lebih

mengerikan lagi adalah membusur secara babi buta masyarakat di jalan

umum atau di samping jalan. Hal tersebut juga terjadi di Kabupaten Bima.

Tindak pidana kekerasan remaja yang paling mencolok adalah geng motor

kehadiran kelompok tersebut justru menimbulkan kepanikan dan

ketakutan dalam lintas tata tertib kehidupan sosial. Banyak masyarakat

yang berada di kabupaten Bima tersebut memiliki kekhawatiran untuk

berkendara di malam hari karena selalu di takuti dengan ulah keganasan

tindakan anarkis yang dilakukan oleh para kekerasan remaja.

Dalam hal ini tentunya perlu kiranya mendapatkan perhatian serius,

lebih khususnya dari aparat kepolisian Resort Bima yang memiliki tugas

untuk menumpas kejahatan. Upaya penanggulangan tersebut baik itu

dilakukan dengan memaksimalkan tindakan preventif dan juga

meningkatkan penggunaan tindakan represif dalam upaya untuk

meminimalisir tundak kejahatan yang dilakukan oleh kekerasan remaja

tersebut. Namun upaya preventif tidak efektif untuk dilaksanakan jika kita

tidak mengetahui apa sebenarnya yang menjadi tindak pidana tersebut

terjadi dan apa alasan dari seseorang yang melakukan tindak pidana dan

upaya represif sebagai upaya hukum luar biasa tidak akan maksimal

hasilnya jika tidak memahami secara baik dan utuh mengenai faktor dan

4
gejala sosial serta psikologis yang melatarbelakangi tindakan Pidana

kekerasan remaja tersebut.

Untuk itulah kemudian diperlukan tinjauan terhadap tindak pidana

yang dilakukan oleh kekerasan remaja, agar kemudian dapat ditemukan

solusi efektif untuk menanggulangi dan memberantas atau paling tidak

untuk meminimalisir tindakan negatif yang dilakukan oleh kekerasan

remaja guna terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan

ditengah-tengah masyarakat. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,

penulis tertarik untuk mengkaji dan melihat lebih tajam permasalahan

tersebut dengan judul : "Efektivitas Peranan Kepolisian Dalam

Menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Remaja Di Kabupaten Bima".

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan salah satu bagian penting di dalam

sebuah penelitian, sebab dengan adanya rumusan masalah akan dapat

mempermudahkan penulis untuk melakukan pembahasan terarah dengan

tujuan yang diterapkan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini,

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penerapan hukum oleh kepolisian dalam

menganggulangi tindak pidana kekerasan remaja di Kabupaten

Bima ?

5
2. Faktor – faktor apa yang mempengaruhi Penegakan hukum oleh

kepolisian dalam menganggulangi tindak pidana kekerasan remaja

di Kabupaten Bima ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Fungsi dan peran Kepolisian dalam

penanggulangan tindak pidana kekerasan remaja di Kabupaten

Bima.

2. Untuk mengetahui apa yang menjadi hambatan dan Solusi

Kepolisian dalam upaya penanggulangan tindakan Pidana

kekerasan remaja di Kabupaten Bima.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat penelitian Secara Teoritis

A. Hasil penelitian dapat memberikan teori dalam

perkembangan ilmu Hukum khususnya hukum pidana dan

sosiologi hukum.

B. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian yang lain

yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti.

2. Manfaat penelitian Teknis Praktis

A. Dengan dibuatnya penulisan ini dapat memberikan masukan

kepada aparat penegak hukum yang berkaitan dengan

ketertiban dan penanggulangan tindakan Pidana kekerasan

remaja.

6
B. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan penghimpun data

sebagai bahan penyusun penulisan Hukum dalam rangka

memenuhi persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa

Pascasarjana untuk meraih gelar S2 ilmu Hukum di Fakultas

Hukum UMI Makassar.

E. Orisinalitas Penelitian

Originalitas penelitian memberikan perbedaan dan juga persamaan

bidang kajian yang telah diteliti antara peneliti dengan peneliti

sebelumnya. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pengulangan

kajian terhadap hal-hal yang sama dengan penelitian sebelumnya.

Sehingga akan diketahui apa-apa saja yang membedakan dan juga

apa-apa saja persamaan-persamaan anatara penelitian yang dilakukan

oleh peneliti dengan penelitian-penelitian sebelumnya, adapun yang

penulis paparkan adalah sebagai berikut :

1. Tesis yang disusun oleh Riyen Muliana (010102472017) dengan

judul Efektivitas Pelaksanaan Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (Studi Di

Kejaksaan Negeri Makassar), dengan Program Studi Magister Ilmu

Hukum, Program Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia

Makassar pada Tahun 2019. Fokus penelitian ini yaitu untuk

mengetahui bagaimana proses pelaksanaan penuntutan terhadap

tindak pidana anak yang berhadapan dengan hukum serta faktor

yang mempengaruhi pelaksanaan penuntutan terhadap tindak

7
pidana anak yang berhadapan dengan hukum. Adapun perbedaan

dari Penelitian ini dengan yang diteliti oleh penulis terletak pada

perumusan titik konsentrasi penelitian dan pembahasannya. Tesis

yang disusun oleh Riyen Muliana mengkonsentrasikan penelitian

dan pembahasannya pada efektivitas penuntutan terhadap anak

yang melakukan tindak pidana yang berhadapan dengan hukum

pada tingkat kejaksaan. Sementara tesis yang dirumuskan oleh

penulis lebih terkonsentrasi pada penelitian dan pembahasan yang

berkaitan dengan efektivitas penegakan hukum yang dilakukan

oleh aparat kepolisian dalam upaya untuk menanggulangi tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja serta sebuah upaya

untuk menelusuri faktor yang menjadi penghambat terhadap proses

penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana

kekerasan.

2. Tesis yang disusun oleh Zaufi Amri (013902322010) dengan judul

Peranan Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Di

Kabupaten Gorontalo, Dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Muslim Indonesia Makassar pada tahun 2021. Fokus

Penelitian ini yaitu terkonsentrasi pada upaya penelusuran

terhadap sejauh mana peranan Polri dalam menjalankan tugas

untuk menangani tindak pidana Narkotika, serta Langkah yang

seperti apa yang digunakan oleh Polri dalam mengungkap masalah

terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana Narkotika.

8
Adapun letak perbedaannya yang diteliti oleh penulis yaitu bahwa

yang diteliti dan yang dibahas oleh Zaufi Amri terkonsentrasi pada

Peranan kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika

serta mengungkapkan hal yang menjadi penyebab terjadinya tindak

pidana Narkotika sementara yang di kupas dan diteliti oleh penulis

berkonsentrasi efektivitas peranan Kepolisian dalam

menanggulangi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh

remaja serta meneliti faktor yang menyebabkan terjadinya tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja disertai juga dengan

penelitian untuk mengupas hal yang menjadi hambatan Kepolisian

untuk menegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori Tindak Pidana

Berdasarkan referensi-referensi di dalam literatur hukum pidana

sehubungan dengan penetapan secara definitif mengenai tindak pidana,

banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama

dengan tindak pidana. Adapun istilah-istilah lain dari tindak pidana

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan melawan hukum

2. Pelanggaran pidana

3. Perbuatan yang boleh dihukum

4. Perbuatan yang dapat dihukum.3

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang

dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila

dilakukan ataupun diabaikan maka orang yang melakukan atau

mengabaikan diancam dengan hukuman.4

Adapun menurut Moeljatno, dia mendefinisikan konsepsi mengenai

pengertian tindak pidana yaitu suatu peristiwa pidana itu adalah suatu

3
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983,
hal 32.
4
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-delik Khusus, Politeia, Bogor,
1991, hal, 11
perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan

undang-undang apa peraturan perundang-undangan lainnya terhadap

perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.5 Sementara Simons

mendefinisikan tindak pidana adalah perbuatan melawan hukum yang

berkorelasi langsung dengan kesalahan seseorang yang mampu

bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh semut ialah kesalahan

yang meliputi dolus dan copulate.6

Sementara Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah

peraturan hukum mengenai pidana. Kata pidana berarti hal yang

dipidanakan yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada

seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang

tidak sehari-hari dilimpahkan.7

Sementara Wilg Lemaire, Hukum pidana itu terdiri dari

norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan

yang oleh pembentuk undang-undang telah dikaitkan dengan suatu sanksi

berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan

demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu

sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana

hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat

suatu keharusan untuk melakukan sesuatu dan dalam keadaan

bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana

5
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, Hal 62.
6
Ibid, hal, 63.
7
Sukardi, Pengetahuan Umum Hukum Pidana, Top Indonesia, Kalimantan, 2015, hal, 2

11
yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.8 Pada Sisi yang

Lain Pompe berupaya untuk memberikan batasan secara definitif

mengenai tindak pidana. Gimana dia mendefinisikan bahwa hukum pidana

itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain

bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari

peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum atau abstrak dari

keadaan-keadaan yang bersifat konkret.9

Sehubungan dengan pengertian terhadap tindak pidana tersebut

setidaknya ada cara yang konvensional yang mengatur mengenai

permasalahan pokok yang berkorelasi langsung dengan hukum pidana

yang kemudian objek kefokusannya membicarakan tiga hal yaitu :

1. Perbuatan yang dilarang

Di mana dalam pasal-pasal ada dikemukakan masalah yang

berkaitan dengan perbuatan pidana yang dilarang dan juga

mengenai permasalahan pemidanaan seperti yang termuat dalam

title XXI Buku II KUH Pidana

2. Yang melakukan perbuatan yang dilarang

Tentang orang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang

yang dalam hal ini adalah tindak pidana yaitu:

Setiap pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu undang-undang yang

sedang berlaku.

8
Ibid, hal, 2
9
Ibid, hal, 3

12
3. Pidana yang diancamkan

Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu

hukuman yang dapat diajukan kepada setiap pelaku yang

melanggar undang-undang, baik hukumannya berupa hukuman

pokok maupun sebagai hukuman tambahan.10

Oleh sebab itu berangkat dari definisi teori tindak pidana dari

beberapa pakar-pakar yang telah dikemukakan sebelumnya dapat

disimpulkan secara sederhana, bahwa tindak pidana merupakan suatu

pengertian dasar dalam hukum pidana. Dengan kata lain tindak pidana

adalah suatu pengertian yang ditentukan secara yuridis. Mengenai isi dari

pengertian terhadap tindak pidana terdapat kesamaan pendapat di antara

para sarjana hukum. Di dalam ajaran hukum kausalitas yaitu hubungan

sebab akibat disampaikan bahwa pada dasarnya setiap orang harus

bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, namun ada

hubungan kausa atau hubungan sebab dan akibat antara perbuatan

dengan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana.

2. Teori Alasan Dan Tujuan Pemidanaan

A. Alasan pemidanaan dapat digolongkan ke dalam tiga kategori

pokok, ya itu termasuk golongan teori pembalasan, golongan teori

tujuan dan terakhir ditambah dengan golongan teori gabungan.

● Teori Pembalasan ( Teori Absolut ) Alasan Pemidanaan

10
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal 44.

13
Teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah

melakukan suatu tindak pidana. Pelaku tindak pidana mutlak

harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak

dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana bahan

pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau,

maksudnya Masa terjadinya tindak pidana, masa datang yang

bermaksud memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan.

Adapun teori pembalasan dibagi ke dalam lima bagian yaitu:

a. Balasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika

Teori ini dikemukakan oleh Immanuel kant yang mengatakan

bahwa pemidanaan merupakan tuntutan mutlak dari

kesusilaan atau etika terhadap seorang penjahat. Menurut

Kant walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat

terakhir harus menjalankan pidananya (Fiat Justitia Ruat

Caelum).

b. Pembalasan bersambu

Teori ini dikemukakan oleh hegel yang mengatakan bahwa

hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan. Sedangkan

kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan.

Kejahatan harus dilenyapkan dengan memberikan

ketidakadilan pidana kepada penjahat.

c. Pembalasan demi keindahan atau kepuasaan

14
Teori ini dikemukakan oleh Herbert Marcuse yang

menyampaikan bahwa tuntutan mutlak dari perasaan

ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan

untuk melakukan pemidanaan kepada penjahat supaya

ketidakpuasan masyarakat terimbang atau rasa keindahan

masyarakat terpulihkan kembali.

d. Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan

Ini dikemukakan oleh Stahl, Thomas Van Aquino. Mereka

berpendapat bahwa kejahatan merupakan pelanggaran

terhadap peri keadilan Tuhan dan harus ditiadakan.

Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada

penjahat demi terpeliharanya peri keadilan Tuhan.

e. Pembalasan sebagai kehendak manusia

Teori ini disampaikan oleh para mazhab hukum alam di

mana mereka memandang negara sebagai hasil dari

kehendak manusia yang mendasarkan pemidanaan juga

sebagai perwujudan terhadap kehendak manusia. Menurut

ajaran ini siapa saja yang melakukan kejahatan dia pun akan

menerima sesuatu yang jahat pula.

● Teori Relatif sebagai Tujuan Pemidanaan

Teori ini membenarkan adanya aktivitas pemidanaan yang sangat

tergantung daripada tujuan pemidanaan yaitu adanya

perlindungan masyarakat atau upaya pencegahan terjadinya

15
kejahatan dipandang dari tujuan pemidanaan ini dibagi menjadi

empat bagian

a. Pencegahan terjadinya suatu kejahatan

Dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat

dalam rangka untuk menakut-nakuti para kandidat atau

calon-calon penjahat.

b. Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat.

Kepada penjahatan diberikan pendidikan berupa pidana

agar kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakatnya.

c. Menyingkirkan penjahat dari lingkungan masyarakat.

Upaya untuk melakukan penyingkiran penjahat dari

lingkungan masyarakat adalah dengan cara menjatuhkan

hukum pidana yang lebih berat bila perlu jatuhkan dengan

hukum pidana mati.

d. Menjamin ketertiban umum.

Tujuan pemidanaan yang lainnya adalah untuk menjamin

ketertiban umum dengan cara mengadakan norma-norma

yang menjamin ketertiban hukum kepada pelanggar norma

negara menjatuhkan pidana.

● Teori Gabungan

Di dalam teori gabungan ini adalah sebuah upaya teori yang

mencoba untuk mengintegrasikan kedua teori yang sebelumnya

yaitu teori absolut dan juga teori relatif. Dengan kata lain lahirnya

16
teori gabungan ini tidak lepas dari pengaruh dua teori yang

sebelumnya. Artinya teori gabungan ini dimunculkan karena baik itu

teori absolut sebagai alasan pemidanaan maupun teori relatif

sebagai tujuan pemidanaan masing-masing memiliki kelemahan

tersendiri sehingga berangkat dari adanya kekurangan-kekurangan

tersebut lahirlah teori gabungan yang berupaya untuk mengisi

kekosongan ataupun melengkapi kekurangan terhadap dua teori

tersebut.

Adapun kelemahan yang dimiliki oleh teori absolut sebagai alasan

pemidanaan yaitu sebagai berikut:

a. Di dalam teori absolut sebagai alasan pemidanaan begitu

sukar untuk menentukan berat ataupun ringannya pidana

atau dengan kata lain ukuran pembalasannya tidaklah jelas.

b. Diragukan adanya hak negara dalam upaya untuk

menjatuhkan pidana sebagai pembalasan.

Hukuman pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi

masyarakat.

Adapun kelemahan dari teori relatif sebagai tujuan dari pemidanaan

yaitu sebagai berikut:

a. Di dalam teori relatif sebagai tujuan pemidanaan di mana pidana

hanya ditujukan dalam upaya untuk mencegah kejahatan sehingga

dijatuhkan pidana yang berat.

17
b. Jika ternyata kejahatannya ringan maka penjatuhan pidana yang

berat sudah dapat dipastikan tidak memenuhi persyaratan terhadap

rasa keadilan.

c. Bukan hanya masyarakat yang harus diberikan kekuasaan tetapi

juga kepada penjahat itu sendiri.

Oleh karena itu berangkat beberapa kelemahan yang dimiliki oleh

teori absolut sebagai alasan pemidanaan maupun teori relatif

sebagai tujuan pemidanaan teori gabungan, berupaya untuk

memadukan kedua teori tersebut dengan penjatuhan pidana harus

memberikan rasa kekuasaan bagi Hakim, penjahat dan masyarakat

juga harus seimbang pidana yang dijatuhkan kepada penjahat

tersebut sesuai dengan perbuatan pidana yang mereka lakukan.11

3. Teori Efektifitas Hukum

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung

pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang

diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya. Penegakan hukum

hakikatnya merupakan upaya menyelaraskan nilai-nilai hukum dengan

merefleksikan di dalam bersikap dan bertindak di dalam pergaulan

demi terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan

dengan menerapkan sanksi-sanksi. Inti dari penegakan hukum itu

terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan dari nilai yang


11
Fitri Wahyuni, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, Nusantara Persada Utama, Tangerang
2017, hal 13-15

18
menjabarkan di dalam kaidah-kaidah untuk menciptakan, memelihara dan

memeperhatikan kedamainan dalam pergaulan hidup.12 Jadi Efektivitas

selalu terkait antara hasil yang diharapkan dan hasil yang

sesungguhnya.13

Suatu hukum akan memiliki nilai yang dapat bekerja dengan baik

apabila dia memiliki kemampuan dalam upaya untuk menerapkan secara

efektif pada lingkaran kehidupan bermasyarakat. Efektivitas hukum

merupakan hal yang dianggap sangat penting sebagai sarana yang

memungkinkan terwujudnya cita-cita hukum ataupun dapat dicapainya

tujuan hukum seperti keadilan, kepastian maupun kemanfaatan.

Beberapa para ahli hukum berupaya untuk memberikan definisi

mengenai hal yang berkaitan dengan efektivitas hukum.

Achmad Ali berpendapat bahwa, ketika ingin mengetahui sejauh

mana efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus dapat mengukur

sejauh mana aturan hukum tersebut ditaati atau tidak ditaati.14 Lebih

lanjut. Achmad Ali mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang

banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah

profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari

12
Adelia Apriyanti, La Ode Husen & Nurul Qomar, ‘’Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Kekarantinaan Kesehatan Pada Saat Terjadinya Kedaruratan Kesehatan Di Kota
Makassar’’ Di Akses Dari http://www.pascaumi.ac.id/index.php/jlg/article/view/1409/1603, Pada
Tanggal 7 Mei 2023 Pukul 20.34.
13
Febby Yuzela Tilalepta, Syahrudin Nawi & Kamri Ahmad, ‘’Efektivitas Penyidikan Terhadap
Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran Di Kota Makassar, Studi Kasus Di Polrestabes Makassar’’
Di Akses Dari http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/1341/1531 Pada Tanggal 8
Mei 2023 Pukul 23.12.
14
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol 1, Kencana Jakarta, 2010 hal
375.

19
para penegak hukum, baik di dalam menjalankan tugas yang dibebankan

terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan

tersebut.15

Menurut Soerjono Soekanto bahwa untuk menentukan mengenai

efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 faktor yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri atau undang-undang

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun yang menerapkan hukum

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.16

Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana

dan juga prasarana bagi para aparat pelaksana di dalam upaya untuk

melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah

prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai

efektivitas hukum. Sehubungan dengan sarana dan prasarana yang

dikatakan dengan istilah fasilitas ini. Khususnya untuk sarana atau fasilitas

tersebut sebaiknya dianut dalam pikiran sebagai berikut :

a. Yang tidak ada diadakan yang baru dibetulkan.

15
Ibid.
16
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008 hal, 8

20
b. Yang rusak atau salah diperbaiki juga dibetulkan.

c. Yang kurang ditambah.

d. Yang macet di lancarkan.

e. Yang mundur atau merosot dimajukan atau ditingkatkan.

Soerjono Soekanto memperkirakan patokan efektivitas

elemen-elemen tertentu dari prasarana, di mana prasarana tersebut harus

secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk

kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya.17

Adapun elemen-elemen tersebut adalah :

a. Peraturan yang telah ada Apakah telah terpelihara dengan baik.

b. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan

memperhitungkan angka waktu pengadaannya.

c. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.

d. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.

e. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.

f. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan

lagi fungsinya.18

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu sebagaimana

yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto di atas maka upaya dalam

rangka menegakkan supremasi hukum tidak akan mungkin dapat berjalan

dengan lancar. Karena itu sarana atau fasilitas tersebut antara lain harus

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan juga terampil,

17
Ibid hal 83.
18
Ibid .

21
berorganisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup

dan juga lain sebagainya. Oleh karena itu dukungan sarana dan

prasarana sebagai upaya untuk menciptakan efektivitas hukum adalah

sebuah hal yang sangat niscaya dan wajib untuk dipenuhi agar hukum

tersebut dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sarana dan

prasarana yang kemudian memadai inilah yang akan dapat memudahkan

penyelenggara negara lebih khususnya adalah aparat penegak hukum

bisa menyesuaikan peranan yang dimilikinya dengan kenyataan yang

aktual berdasarkan pada tantangan sarana yang memfasilitasi

kegiatannya.

Kemudian ada beberapa elemen dalam upaya untuk mengukur

efektivitas yang juga sangat tergantung dari kondisi sosial masyarakat

setempat yaitu:

a. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun

peraturan yang baik.

b. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun

peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.

c. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik,

petugas atau aparat di bawah serta fasilitas yang mencukupinya.19

Elemen di atas telah memberikan kepada kita pemahaman bahwa

disiplin dan kepatuhan masyarakat itu tergantung dari motivasi secara

internal yang muncul. Dengan kata lain faktor eksternal tidak memiliki

19
Ibid hal, 84

22
pengaruh yang sangat kuat terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang

tidak patuh terhadap hukum tetapi ukuran kepatuhan atau tidak patuhnya

individu sangat tergantung pada kondisi internal individu itu sendiri. Oleh

karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan disiplin ini adalah

melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal ini derajat

kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang

efektivitas atau tidaknya hukum itu diberlakukan. Sedangkan kepatuhan

masyarakat tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab baik yang

ditimbulkan oleh kondisi internal maupun kondisi eksternal. Masyarakat

Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan

hukum dan bahkan melakukan identifikasi dengan petugas dalam hal ini

penegak hukum sebagai pribadi. Salah satu akibatnya adalah bahwa baik

buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak

hukum itu sendiri.20

Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang

bersifat positif maupun yang sifatnya negatif dorongan positif dapat

muncul karena adanya rangsangan yang bersifat positif yang

menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif

pula. Sedangkan dorongan yang sifatnya negatif dapat muncul karena

adanya rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan

sebagainya. Sementara untuk dorongan yang sifatnya eksternal karena

ada semacam tekanan dari luar yang berupaya untuk mengharuskan atau

20
Ibid hal 85

23
bersifat memaksa agar warga masyarakat dapat tunduk kepada ketentuan

peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku.21

Oleh karena itu dari teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh

beberapa ahli tersebut dapatlah ditemukan dua poin utama yaitu proses

penegakan hukum yang dapat berjalan dengan efektif sangat tergantung

pada sarana dan prasarana yang dimiliki oleh aparat penegak hukum dan

juga sangat tergantung pada kondisi kesadaran sosial maupun kesadaran

individu yang berasal dari pengaruh internal maupun yang berasal dari

pengaruh eksternal.

4. Teori Legal Sistem

Membicarakan tentang pemikiran sistem hukum kita tidak akan lupa

dengan salah seorang ahli hukum dari Amerika Serikat yang bernama

Friedman. Dia mengupas secara tajam dan tegas tentang konsep

pemikiran sistem hukum dengan melakukan pembagian terhadap tiga

bagian dari sistem hukum yang saling bergantung dan saling berpengaruh

antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu struktur hukum, substansi

hukum dan kultural hukum.

Adapun pokok-pokok pikiran Lawrence Meir Friedman dalam

bukunya The Legal System A Social Science Perspective (Sistem Hukum

Dalam Perspektif Ilmu Sosial) adalah sebagai berikut.

1. Pertama-tama Friedman memberikan definisi tentang hukum yaitu

seperangkat aturan atau norma-norma yang tertulis atau tidak

21
Ibid.

24
tertulis tentang suatu kebenaran dan kesalahan, perilaku, tugas,

tanggung jawab serta hak.

2. Dengan pengertian hukum sebagaimana disebutkan di atas,

Friedman berpendapat bahwa hukum dianggap sebagai sesuatu

yang independen atau sebagai sesuatu yang terlepas dari tata

kehidupan sosial.

3. Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga

komponen, yaitu struktur (legal structure), substansi (legal

substance), dan Budaya (legal culture).

4. Struktur hukum (legal structure) merupakan kelembagaan yang

diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi

dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen

ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu

memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan

hukum secara teratur.

5. Substansi (legal substance) adalah output dari sistem hukum, yang

berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan

baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

6. Budaya (legal culture) yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap

yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Friedman

disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi

sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum

dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.

25
7. Friedman membagi budaya hukum tersebut menjadi : (a) Internal

legal culture yaitu budaya hukum para hakim dan pengacara atau

penegak hukum pada umumnya; (b) External legal culture yaitu

budaya hukum masyarakat luas.

8. Struktur dan substansi merupakan komponen inti dari sebuah

sistem hukum, tetapi baru sebatas desain atau cetak biru dan

bukan mesin kerja. Struktur dan substansi menjadi masalah karena

keduanya statis; keduanya ibaratnya gambar dari sistem hukum.

Potret tersebut tidak memiliki gerak dan kebenaran dan seperti

ruang pengadilan yang dipercantik, membeku, kaku, sakit

berkepanjangan.

9. Menurut Friedman, unsur yang hilang yang memberikan kehidupan

dalam sistem hukum adalah ‘budaya hukum’. Budaya hukum

mengacu pada sikap, nilai, dan opini dalam masyarakat dengan

penekanan pada hukum, sistem hukum serta beberapa bagian

hukum.

10. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum- kebiasaan,

opini, cara bekerja dan berpikir- yang mengikat masyarakat untuk

mendekat atau menjauh dari hukum dengan cara khusus.Dalam

kerangka pikir yang demikian, Friedman memandang bahwa dari

ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan komponen

yang paling penting.

26
11. Budaya hukum dipandang sangat menentukan kapan, mengapa

dan di mana orang menggunakan hukum, lembaga hukum atau

proses hukum atau kapan mereka menggunakan lembaga lain atau

tanpa melakukan upaya hukum. Dengan kata lain, faktor budaya

merupakan ramuan penting untuk mengubah struktur statis dan

koleksi norma statis menjadi badan hukum yang hidup.

Menambahkan budya hukum ke dalam gambar ibarat memutar jam

atau menyalakan mesin. Budaya hukum membuat segalanya

bergerak.

12. Menurut Friedman, arti pentinya ‘budaya hukum’ adalah bahwa

konsep ini merupakan variabel penting dalam proses menghasilkan

hukum statis dan perubahan hukum.

13. Friedman selanjutnya menjelaskan sikap dan nilai dalam budaya

hukum. Sikap menurut Friedman merupakan ‘budaya hukum

situasi’. Konsep ini mengacu pada sikap dan nilai masyarakat

umum. Konsep kedua adalah ‘budaya hukum internal’. Konsep ini

mengacu pada sikap dan nilai profesional yang bekerja dalam

sistem hukum, seperti pengacara, hakim, penegak hukum dan

lain-lain. Friedman juga menyampaikan bahwa budaya hukum

situasi tidaklah homogen. Bagian masyarakat yang berbeda

memiliki nilai dan sikap berbeda terhadap hukum.

14. Budaya hukum merupakan elemen sentral dari suatu reformasi

hukum yang berhasil. Menurut Friedman, hal ini benar karena

27
budaya hukum-lah yang melemahkan perubahan-perubahan dalam

lembaga hukum dan hukum yang sebenarnya; dengan demikian,

budaya hukum adalah ‘sumber hukum norma-norma yang

dimilikinya menciptakan norma hukum.

15. Budaya hukum dapat berubah setiap saat sebagai akibat dari

semakin berkembangnya kesadaran hukum. Perubahan ini

tertanam dalam kenyataan bahwa nilai-nilai atau sikap tertentu

terhadap hukum menjadi tidak sesuai lagi bagi masyarakat. Hal ini

terjadi ketika suatu masyarakat berkembang kesadarannya

berkaitan dengan hak individu dan demokrasi dan meninggalkan

gagasan lama seperti status dan sistem patriarchal. Hal ini

dipelopori oleh kelas kecil elit hukum yang menerapkan budaya

hukum internal. Sebaliknya, ketika budaya hukum berubah,

masyarakat akan lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan

dalam lembaga hukum dan hukum itu sendiri. Dalam situasi seperti

ini, hukum asing dapat dengan mudah diadaptasi dan

diimplementasikan.

16. Friedman menyetujui konsep bahwa perubahan-perubahan dalam

kesadaran hukum dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal

seperti peristiwa-peristiwa ekonomi, politik dan sosial.

17. Budaya hukum ‘adalah suatu variabel yang saling terkait. Kekuatan

sosial membuat hukum, tetapi mereka tidak membuat nya

langsung. Di satu sisi kesadaran hukum merubah budaya hukum,

28
budaya hukum merubah sistem hukum, dan sistem hukum

mempengaruhi sistem sosio-ekonomi dan politik dalam cakupan

yang lebih luas. Dan di sisi lainnya, tekanan sosio-ekonomi dan

politik sangat mempengaruhi kesadaran hukum.22

Dalam lingkup hukum, untuk memahami sistem yang bekerja, maka

pendapat dari Lawrence M. Friedman dapat dijadikan batasan, yaitu

sistem hukum dapat dibagi ke dalam tiga komponen atau fungsi, yaitu

komponen struktural, komponen substansi dan komponen budaya hukum.

Ketiga komponen tersebut dalam suatu sistem hukum saling berhubungan

dan saling tergantung. Pada komponen struktural akan dijelaskan tentang

bagian-bagian sistem hukum yang berfungsi dalam suatu mekanisme

kelembagaan, yaitu lembaga-lembaga pembuat undang-undang,

pengadilan dan lembaga-lembaga lain yang memiliki wewenang sebagai

penegak dan penerap hukum. Hubungan antara lembaga tersebut

terdapat pada UUD 1945 dan amandemennya. Komponen substansi

berisikan hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata ini

dapat berwujud in concerto (kaidah hukum individual) dan in abstracto

(kaidah hukum umum). Disebut kaidah hukum individual karena

kaidah-kaidah tersebut berlakunya hanya ditujukan pada pihak-pihak atau

individu-individu tertentu saja.23 Komponen ketiga yaitu komponen budaya

22
Teddy Lesmana, Pokok-pokok Pikiran Lawrence Meir Friedman, Diakses Dari
https://nusaputra.ac.id/article/pokok-pokok-pikiran-lawrence-meir-friedman-sistem-hukum-dala
m-perspektif-ilmu-sosial/#:~:text=Friedman%20menyatakan%20bahwa%20sistem%20hukum,dan
%20Budaya%20(legal%20cultur) , Pada Tanggal 5 Juni 2023, Pukul 14 : 25.
23
Harsanto Nursadi, Sistem Hukum Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta, Cetakan Pertama,
2008, hal 6.

29
hukum. Sikap-sikap publik atau para warga masyarakat beserta nilai–nilai

yang dipegangnya sangat berpengaruh terhadap pendayagunaan

pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa. Sikap-sikap dan

nilai-nilai yang dipegang oleh warga masyarakat tersebut disebut budaya

hukum, sehingga budaya hukum diartikan sebagai keseluruhan nilai-nilai

sosial yang berhubungan dengan hukum serta sikap-sikap yang

mempengaruhi hukum.24

Mencermati penjelasan diatas dapatlah untuk diterangkan lebih lanjut

bahwa legal System atau sistem hukum dari Friedman merupakan suatu

alat untuk mengukur tingkat efektivitas penegakan hukum yang dilihat dari

hasil pelaksanaan secara utuh terhadap konsep struktural hukumnya yaitu

aspek kelembagaan yang dibangun berdasarkan prinsip sinergitas dari

lembaga aparat penegak hukum itu sendiri. Selanjutnya aspek Substansi

hukum yaitu aspek ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum

yang berlaku yang dijadikan sebagai alat yang dipergunakan melakukan

suatu upaya penegakan hukum. Dan yang terakhir adalah berkaitan

dengan kultural hukumnya atau biasa disebut sebagai budaya hukum

yaitu yang menyangkut dari aspek budaya dan perilaku hukum dari

aparat penegak hukum itu sendiri serta reaksi sosial dari masyarakat

terhadap perilaku hukum yang diperlihatkan oleh aparat penegak hukum

itu sendiri.

24
Ibid, 8.

30
Agar kita dapat menjelaskan adanya suatu sistem hukum, Fuller dalam

( Harsanto, 2008 ) berpendapat bahwa ukuran tersebut dapat diletakkan

dalam tujuh asas yang dinamakan principles of legality, yang isinya:

1. Sistem hukum harus mengandung aturan-aturan artinya bahwa ia

tidak boleh hanya sekedar keputusan-keputusan ad hoc saja.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, agar dapat dipakai

sebagai pedoman tingkah laku, juga bisa digunakan sebagai

pedoman yang ditujukan untuk masa yang akan datang.

4. Peraturan-peraturan tersebut harus disusun dalam rumusan yang

mudah dimengerti dan dipahami bersama.

5. Suatu sistem tidak boleh bertentangan antara yang satu dengan

yang lain.

6. Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa

yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan yang sudah

ditetapkan.25

Ketujuh asas sistem hukum diatas lebih mengacu kepada pola

konstruksi dari substansi hukum yang memuat tentang perlunya adanya

kepastian hukum sebagai dasar pijakan pelaksanaan struktural oleh

lembaga penegak hukum sehingga mampu menghasilkan budaya hukum

yang berkeadilan. Budaya hukum yang berkeadilan akan sangat

25
Ibid, 10

31
dipengaruhi oleh moralitas hukum dari para aparat penegak hukum yang

memiliki garis koordinasi secara sistematis dan bisa sinergitas dalam

upaya untuk menegakkan hukum yang menghasilkan nilai efektivitas

hukum yang beradab.

B. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Anda Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terdapat rumusan

mengenai defenisi dari berbagai hal yang berkaitan dengan polisi,

termasuk pengertian kepolisian. Hanya saja definisi tentang kepolisian

tidak dirumuskan secara lengkap karena hanya menyangkut soal fungsi

dan lembaga polisi sesuai yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia yang dimaksud

kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan

lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.26 Definisi

dari kepolisian telah tertuang dalam ketentuan pasal Pasal 5 ayat (1) UU

No. 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa: “Kepolisian Negara Republik

Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta

26
H. Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian [Profesionalisme dan Reformasi Polri],
penerbit Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hlm.53.

32
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.

Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata

polisi adalah suatu badan yang bertugas memelihara keamanan,

ketentraman, dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar

hukum), merupakan suatu anggota badan pemerintah (pegawai negara

yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban).27

Istilah “polisi” pada semulanya berasal dari perkataan Yunani

“Politeia”, yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Seperti

diketahui di abad sebelum masehi negara Yunani terdiri dari kota-kota

yang dinamakan “Polis”. Jadi pada jaman itu arti “Polisi” demikian luasnya

bahkan selain meliputi seluruh pemerintahan negara kota, termasuk juga

di dalamya urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap

dewa-dewanya. Dikarenakan pada jaman itu masih kuatnya rasa kesatuan

dalam masyarakat, sehingga urusan keagamaan termasuk dalam urusan

pemerintahan. Selain itu di Jerman dikenal kata “Polizey” yang

mengandung arti luas yaitu meliputi keseluruhan pemerintahan negara.

Istilah “Polizey” di Jerman masih ditemukan sampai dengan akhir abad

petengahan yang dipergunakan dalam “Reichspolizei ordnugen” sejak

tahun 1530 di negara-negara bagian Jerman. Pengertian istilah polisi di

berbagai negara mempunyai tafsiran atau pengertiannya masing-masing

seperti di Belanda dalam rangka Catur Praja dari VAN VOLLENHOVEN

27
W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, 1986.

33
maka istilah “Politie” dapat kita temukan sebagai bagian dari

pemerintahan. Diketahui VAN VOLLENHOVEN membagi pemerintahan

dalam 4 (empat) bagian, yaitu:

1. Bestuur

2. Politie

3. Rechtspraak

4. Regeling

Dari sini dapat kita lihat bahwa menurut ajaran Catur Praja maka

polisi tidak lagi termasuk dalam bestuur, tetapi sudah merupakan

pemerintahan yang tersendiri. Di Dalam pengertian polisi termasuk

organ-organ pemerintahan yang berwenang dan berkewajiban untuk

mengusahakan dengan jalan pengawasan dan bila perlu dengan paksaan

bahwa yang diperintah berbuat atau tidak berbuat menurut kewajibannya

masing-masing yang terdiri dari :

1. Melihat cara menolak bahwa yang diperintah itu melaksanakan

kewajiban umumnya

2. Mencari secara aktif perbuatan-perbuatan yang tidak

melaksanakan kewajiban umum tadi

3. Memaksa yang diperintahkan itu untuk melaksanakan kewajiban

umumnya dengan melalui pengadilan

4. Memaksa yang diperintahkan itu untuk melaksanakan kewajiban

umum itu tanpa perantara pengadilan

34
Memberi pertanggung jawaban dari apa yang tercantum dalam

pekerjaan tersebut.28

Van vollenhoven memasukkan “polisi” (“politei”) kedalam salah satu

unsur pemerintahan dalam arti luas, yakni badan pelaksana

(executive-bestuur), badan perundang-undangan, badan peradilan dan

badan kepolisian. Badan pemerintahan termasuk di dalamnya kepolisian

bertugas membuat dan mempertahankan hukum, dengan kata lain

menjaga ketertiban dan ketentraman (orde en rust) dan

menyelenggarakan kepentingan umum.29 Di Indonesia istilah “polisi”

dikemukakan oleh salah satu pakar ilmu hukum yang bernama

Dr.Sadjijono, menurut Sadjijono istilah “polisi” adalah sebagai organ atau

lembaga pemerintah yang ada dalam negara, sedangkan istilah

“Kepolisian” adalah sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ,

yakni suatu lembaga pemerintahan yang terorganisasi dan terstruktur

dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan

wewenang serta tanggungjawab lembaga atas kuasa undang-undang

untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayom

dan pelayan masyarakat.30 Pengertian kepolisian menurut ketentuan pasal

5 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia

28
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.
14-16.
29
Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2005, hlm, 39.
30
Sadjijono, Hukum Kepolisian, Perspektif Kedudukan Dan Hubungan Dalam Hukum Administrasi,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2006, hlm. 6.

35
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam

rangka tereliharanya keamanan dalam negeri.

Dari uraian-uraian tentang istilah “polisi” dan “kepolisian” di atas

maka dapat dimaknai sebagai berikut: istilah polisi adalah sebagai organ

atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara. Sedangkan istilah

Kepolisian sebagai organ dan fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga

pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam ketatanegaraan yang

oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang dan tanggung jawab

untuk menyelenggarakan kepolisian. Sebagai fungsi menunjuk pada tugas

dan wewenang yang diberikan undang-undang, yakni fungsi preventif dan

fungsi represif. Fungsi preventif melalui pemberian perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan fungsi represif

dalam rangka penegakan hukum. Dan apabila dikaitkan dengan tugas

maka intinya menunjuk pada tugas yang secara universal untuk menjamin

ditaatinya Norma-Norma yang berlaku di masyarakat.

Upaya penegakan hukum biasanya menggunakan dua metode

yaitu metode Preventif dilakukan dengan carai dan metode Represif.

Nurul Azmi Al Farabi, Hambali Thalib & Azwad Rachmat Hambali,

Preventif adalah sebuah tindakan yang diambil untuk mengurangi atau

menghilangkan kejadian yang tidak diinginkan terulang di masa yang akan

datang. Represif adalah suatu tindakan aktif yang dilakukan oleh pihak

36
berwajib pada saat penyimpangan terjadi agar penyimpangan yang

sedang terjadi dapat dihentikan.31

Polisi merupakan salah satu elemen terpenting dari proses

dimulainya penegakan hukum, dengan kata lain gerbang utama untuk

masuk dalam dunia penegakan hukum adalah diawali dari pintu

kepolisian. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi adalah

suatu tindakan seharusnya menjamin adanya kepastian hukum terhadap

terselenggaranya hukum dengan baik.

Indha Auliya Rahayu, Sufirman Rahman & Nurul Qamar,

Penegakan hukum merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum secara nyata serta

menjamin dan memastikan bahwa aturan hukum sudah berjalan sesuai

semestinya dan seharusnya sehingga aturan hukum yang ada dapat

terealisasikan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.32

Oleh karena anasir dari upaya penegakan hukum adalah menjamin

hak-hak masyarakat tetap terjaga dan juga sebagai alat untuk menjaga

tata tertib kehidupan sosial.

31
Nurul Azmi Al Farabi, Hambali Thalib & Azwad Rachmat Hambali, Aspek Kriminologis
Terhadap Kejahatan Pencurian Listrik Di Wilayah Kota Makassar, Diakses Dari
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/532/582, Volume 2, Nomor 6, Juni
2021, hal 1712
32
Indha Auliya Rahayu, Sufirman Rahman & Nurul Qamar, Eksistensi Restorative Justice
Dalam Perkembangan Sistem Hukum Pidana Indonesia: Studi di Kepolisian Resort Kota
Besar Makassar, Di Akses Dari
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/822/878 Volume 3, Nomor 4,April
2022, hal.608

37
Menurut Rasmi Adhelia, Ma’ruf Hafidz & Kamri Ahmad,

Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang POLRI akan meningkatkan

pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan

fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik

Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia.33

Polisi memiliki tanggung yang sangat serius dalam upaya untuk

menjaga stabilitas kehidupan sosial hal tersebut agar dapat dilaksanakan

dengan baik maka diperlukan kejelasan terhadap fungsi dan wewenang

dan kepolisian guna untuk menjaga kepastian hukum dan kepastian

tindakan dari aparat kepolisian.

1. Tugas Dan Wewenang Kepolisian

1. Tugas Kepolisian

Dalam sistem peradilan pidana, Polisi merupakan pintu

gerbang untuk dapat atau tidaknya seseorang masuk dalam peradilan

pidana.Dari sinilah segala sesuatunya dimulai. Posisi awal ini

menempatkan Polisi pada posisi yang tidak menguntungkan.

Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti

33
Menurut Rasmi Adhelia, Ma’ruf Hafidz & Kamri Ahmad, Tanggungjawab Kepolisian
Dalam Penanganan, Keamanan, Dan Ketertiban Masyarakat Di Kota Makassar, Diakses
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/322/358 Dari Volume 2, Nomor 1,
Januari 2021, hal 233.

38
yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun

sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang

sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta

siapa tersangkanya.34

AdapunTugas kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban

masyarakat, hal ini meliputi:

a. Melaksanakan pengaturan penjagaan.

b. Pengawalan, patroli terhadap kegiatan masyarakat dan

pemerintah sesuai kebutuhan.

c. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin

keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan.

d. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan

warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan

perUndang-undangan.35

1. Tugas polisi sebagai penegak hukum, hal ini meliputi:

a. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

b. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum,

34
Rezky Sulyanwa, Baharuddin Badaru & Ahmad Fadil, ‘’Efektivitas Penggunaan Sidi Jadi
(Fingerprint) Sebagai Alat Bukti Dalam Mengungkap Tindak Pidana’’ Di Akses Dari
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/104/115 Pada Tanggal 8 Mei 2023 Pukul
01: 27
35
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Pasal 14, Ayat 1, huruf a s/d c

39
c. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis

terhadap kepolisian khusus, penyidik, pegawai negri sipil

dan bentuk-bentuk keamanan swakarsa.

d. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua

tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan

peraturan perUndang-undangan lainnya.

e. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran

kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian

untuk kepentingan tugas kepolisian.36

2. Tugas polisi sebagai pengayom dan pelayan masyarakat, hal ini

meliputi:

a. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, dan

lingkungan hidup masyarakat dari gangguan ketertiban atau

bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan

dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

b. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara

sebelum ditanggani oleh instansi atau pihak yang

berwenang

c. Memeberikan pelayanan msyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.

36
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Pasal 14, Ayat 1 huruf d a s/d c

40
2. Wewenang Kepolisian

Kepolisian merupakan organ yang paling depan dalam penegakan

hukum, dikarenakan polisi adalah mencari benang merah atas sebuah

tindak kejahatan melalui penyidikan dan penyelidikan, agar dapat

menjalankan tugas dan pungsi polisi maka kepolisian diberikan

wewenang yang telah dituliskan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun

2002 Tenatang Kepolisian. Secara garis besar polisi dalam penegakan

hukum mempunyai wewenag sebagai berikut:

a. Melakukan penyidikan dan penyelidikan.

b. Melakukan Penangkapan.

c. Melakukan PenahanananPenggeledahan.

d. Melakukan penggeledahan.

e. Melakukan Pengejaran.

f. Melakukan Penyitaan.

g. Melakukan Larangan.37

Polisi merupakan lembaga independen yang berkedudukan

langsung dibawah presiden. Struktur Polri dibentuk berdasarkan

kebutuhan untuk merealisasikan fungsi utama kepolisian. Fungsi utama

kepolisian mencakup dua hal mendasar yakni, fungsi menegakkan

hukum dan fungsi menjaga atau memulihkan keamanan dan

ketertiban. Fungsi menegakkan hukum mencakup tugas mendeteksi,

menyelidiki, dan menyidiki. Tugas tersebut dalam bahasa kepolisian,

37
Yunan Hilmy, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justice Dalam
Sistem Hukum Nasional. Jurnal Rechts Viding Vol II No. 2, Agustus 2013. Hlm. 70-72

41
berhubungan dengan intelijen dan reserse. Oleh karena itu,

dibutuhkan badan yang dapat mengemban tugas intelijen dan badan

reserse. Badan intelijen selanjutnya dinamakan badan intelijen

keamanan dan badan reserse berkembang menjadi badan

reserse dan kriminal.Sementara itu fungsi menjaga atau memulihkan

keamanan dan ketertiban mencakup tugas pembinaan keamanan di

darat, laut dan udara serta tugas khusus untuk meredam gangguan

keamanan dalam skala luas.38

Dalam upaya menegakkan hukum ada dua proses yang paling

penting yang proses menyelidiki dan proses penyidikan. Proses

menyelidiki adalah suatu usaha untuk mencari dan mengumpulkan alat

bukti.

Menurut Fitri Matika, Hambali Thalib & Abdul Qahar, Penyidikan

merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai

dengan cara dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan

barang bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak

pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku

tindak pidananya.39

38
Rasmi Adelia, Ma'aruf Hafidz & Kamri Ahmad, ‘’Tanggung Jawab Kepolisian Dalam
Penanganan, Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Di Kota Makassar’’ Di Akses Dari
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/322/358 Pada Tanggal 8 Mei 2023 Pukul
02.10.
39
Fitri Matika, Hambali Thalib & Abdul Qahar, Efektifitas Penyidikan Terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana Perang Kelompok, Diakses Dari
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/636/695 Volume 2, Nomor 9, September
2021, hal 2383.

42
Adapun untuk menjalankan tugas-tugas polisi baik sebagai

penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayom dan pelayan msyarakat, polisi diberikan

wewenang untuk menjalankan tugas-tugasnya tersebut, kewewenang

polisi dalam hal ini sebagai berikut:

1. Menerima laporan dan aduan

2. Membantu penyelesaian perselisian warga masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum

3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit-penyakit

masyarakat

4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

5. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administrasi kepolisian

6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan

kepolisian dalam rangka pencegahan

7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

8. Mengambil sidik jari dan indentitas lainnya serta memotret

seseorang

9. Mencari keterangan dan barang bukti

10. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional

11. Mengeluarkan surat izin atau surat keterangan yang diperlukan

dalam rangka pelayanan masyarakat.

43
12. Memberikan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan

pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.

Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu secara

khusus untuk menjalankan tugas dalam bidang proses pidana atau

proses penegakan hukum. 40

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, keberadaan

Kepolisian di Indonesia membawa 4 peran strategis yakni penegak

hukum, pelindung, pengayom dan pembimbing masyarakat terutama

dalam hal kepatuhan dan ketaatan hukum yang berlaku. Berdasarkan

ketentuan tersebut. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 13 UU

No.2 Tahun 2002 tugas kepolisian meliputi:

1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

2. menegakkan hukum.

3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.41

Adapun Fungsi kepolisian menurut Yoyok Ucuk Suyono meliputi

tugas dan wewenang yang melekat pada lembaga kepolisian. Dengan

demikian hakikat fungsi kepolisian dapat dipahami bahwa:

1. Fungsi kepolisian ada karena kebutuhan dan tuntutan masyarakat

akan rasa aman dan tertib dalam lingkungan hidupnya.

40
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Pasal 14, Ayat 1, huruf c s/d h

41
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Pasal 14, Ayat 1, huruf a s/d c

44
2. Masyarakat membutuhkan adanya suatu lembaga yang mampu

dan profesional untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban

baginya.

3. Lembaga kepolisian dibentuk oleh negara yang bertanggung jawab

atas keamanan dan ketertiban masyarakatnya dengan dibebani

tugas dan wewenang serta tanggung jawab terhadap keamanan

dan ketertiban masyarakat.

4. Fungsi kepolisian melekat pada lembaga kepolisian atas kuasa

undang-undang untuk memelihara atau menjaga keamanan dan

ketertiban yang dibutuhkan masyarakat.42

Lebih lanjut Yoyok Ucuk menyampaikan bahwa fungsi utama

kepolisian adalah untuk menghentikan sesuatu yang seharusnya tidak

boleh terjadi dan mendorong seseorang agar berbuat lebih baik sekarang.

Akan tetapi fungsi kepolisian secara umum dan mendasar, adalah bagian

dari administrasi pemerintahan tetapi bukan administrasi pemerintahan

umum, tetapi yang khusus fungsinya hanya untuk menegakkan hukum,

memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan

mencegah terjadinya kejahatan dan memerangi kejahatan, dalam arti:

1. Menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan

keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku.

2. Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan

masyarakat, warga masyarakat dan negara.

42
Yoyok Ucuk Suyono, Hukum Kepolisian Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2014, hlm, 8

45
3. Mengayomi dan melindungi masyarakat, warga masyarakat dan

negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu dan

merugikan.

4. Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat. 43

Kehadiran lembaga kepolisian dalam masyarakat, nampak bahwa

lembaga kepolisian dari waktu ke waktu sangat diperlukan oleh

masyarakat. Oleh karena lembaga ini keberadaannya dianggap sangat

penting, maka kekuasaan yang diberikan kepadanya ternyata dapat

dimanipulasi oleh pemerintah yang berkuasa untuk berbagai tujuan politik

guna melestarikan kekuasaan mereka. Itulah sebabnya dalam sejarah

perkembangan demokrasi, fungsi kepolisian semakin memperoleh

penajaman, dan wacana untuk itu tetap berkembang dari waktu ke waktu.

Dengan Tugas Fungsi dan wewenang yang dimilikinya Polisi Hadir untuk

menegakkan dan menertibkan terhadap warga negara yang tidak taat dan

menentang aturan. Dengan demikian pada hakekatnya Polisi ada karena

adanya warga negara yang tidak taat, bahkan menentang terhadap

aturan-aturan yang telah disepakati oleh warga negara dan dianggap

sebagai hukum. Sehingga organ polisi lahir karena adanya fungsi polisi

yang harus menindak dan mengingatkan bagi warga negara yang tidak

taat dan menentang aturan yang telah disepakati tersebut. Baru kemudian

dibentuk organ atau lembaga polisi yang dibebani tugas untuk

menegakkan aturan dimaksud. fungsi Polisi semakin nyata terutama di

43
Ibid., Hlm, 5-6

46
bidang penegakan hukum (represif) dan bidang pencegahan atau

pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat (preventif). Bahkan

dalam fungsi-fungsi yang lain yang belum berjalan pun menjadi tugas

polisi. Untuk mengefektifkan fungsi polisi saat itu dengan mencermati teori

Trias Politica tentang pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif dan

yudisial) yang diajarkan oleh Montesquieu dan kemudian dikembangkan

oleh Van Vollenhoven dengan teorinya yang terkenal “Catur Praja”,

lembaga polisi telah dikeluarkan dari kekuasaan eksekutif dan sebagai

kekuasaan tersendiri,yakni “politie”, yang memiliki fungsi pemeliharaan

ketertiban, ketentraman, dan keamanan seseorang serta harta

bendanya.44 Kepolisian menjadi kebutuhan negara sebagai alat negara

untuk menghadapi masyarakat, di sinilah terjadi pergeseran fungsi

kepolisian dari keinginan masyarakat menjadi suatu keinginan negara,

sehingga terkonsep kepolisian berada pada pihak negara.

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam

kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,

sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang

mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau

tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung

44
Ibid., Hlm, 37.

47
suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk

dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum

pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari

peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga

tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan

dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai

sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.45

Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam

perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum

sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan pidana Indonesia. Hampir seluruh peraturan

perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti

dalam undang-undang tindak pidana korupsi Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono

Prodjodikoro dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tertentu di

Indonesia.

2. eristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya

Mr.R.Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana .

Prof.A.Zainal Abidin dalam bukunya Hukum Pidana.

45
FItri Wahyuni, Dasar-dasar Hukum Pidana, Di Indonesia, PT Nusantara Persada Utama,
Tangerang, 2017, hal, 35.

48
3. Delik yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud

dengan Tindak Pidana. Istilah ini ditemukan dalam literatur yang

dikarang oleh E.Utrecht walaupun juga menggunakan istilah

peristiwa pidana. begitu juga dengan Andi Hamzah menggunakan

istilah delik.

4. Pelanggaran pidana, dapat ditemukan dalam buku Pokok-Pokok

Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr.MH Tirtaamidjaja.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni

dalam bukunya Ringkasan Tentang Hukum Pidana.

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk

undang-undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang

Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3).

7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Moeljatno dalam bukunya

Asas-Asas Hukum Pidana.46

Para ahli hukum memberikan definisi yang berbeda terhadap delik

ataupun tindak pidana dalam upaya merumuskan konsep dari pengertian

terhadap tindak pidana :

1. Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana

memberikan definisi mengenai delik, yakni Delik adalah “suatu

perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang (pidana).47


46
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002,
hlm, 67.
47
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 72, hlm 88.

49
2. Pompe mengartikan tindak pidana Suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun

dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana

penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum.48

3. Simons merumuskan tindak pidana adalah suatu tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya

dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

tindakan yang dapat dihukum.49

4. R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana alasannya

Sianturi memberikan perumusan sebagai berikut: Tindak pidana

adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan

tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan

pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum,serta dengan

kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab).50

5. Jonkers, merumuskan bahwa Tindak pidana sebagai peristiwa

pidana yang di artikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan

hukum yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan

yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.51

48
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 hlm.
34.
49
Ibid., hlm, 35.
50
Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1972,
hlm.297.
51
Adami Chazawi, Op, cit, hlm, 59.

50
Berdasarkan dari hasil pendefinisian para ahli diatas maka dapatlah

kita rumuskan secara sederhana tentang item yang terkandung dalam

pengertian hukum pidana. Titik poros yang menjadi dasar muatan yang

terkandung dalam pengertian hukum pidana yaitu :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan

tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.52

Terkait perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dengan

disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang

siapa melanggar larangan tersebut, untuk singkatnya kita namakan

perbuatan pidana atau delik. Tegasnya: mereka merugikan masyarakat,

dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya

tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil.53

Untuk menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai

perbuatan pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas


52
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, cet. IX, Jakarta: Rineka Cipta, 2015, hlm. 1.

53
Ibid.,

51
(pinciple of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap

perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh aturan

undang-undang (Pasal 1 ayat (1) KUHP).54

Jika ketiga bagian di atas diklasifikasikan secara sistematis, maka

akan terbagi kedalam dua bagian utama. Pertama, mengenai perbuatan

pidana (criminal act) dan mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal

liability atau criminal responsibility), disebut juga dengan hukum pidana

materiil. Kedua, mengenai bagaimana cara atau prosedurnya untuk

menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangka melakukan

perbuatan pidana dan atasnya dapat dipidana atau tidak dapat dipidana,

dinamakan hukum pidana formal.

Dengan mengikuti alur pikiran Mueljatno “Bahwa perbuatan pidana

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa

perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum

dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa

larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian

yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya

ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan

dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara

kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang

54
Ibid., hlm, 5.

52
erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak

dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak

dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan

olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka

dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang

menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang

tertentu, dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan

kejadian itu”55

b. Tindak Pidana Kekerasan

Ketentuan-ketentuan yang mengatur penegakan hukum

terhadap tindak pidana ini juga sepertinya belum memberikan efek jera,

sehingga kasus kejahatan ini selalu ada bahkan terus bertambah setiap

tahunnya.56

Kekerasan pada dasarnya merupakan perbuatan yang berdampak

untuk merugikan diri sendiri maupun orang lain, maka dari itu kekerasan

bisa dikatakan suatu kejahatan karena resiko yang ditimbulkan dari

tindakan tersebut tidak berakhir positif. Kekerasan bukan merupakan hal

yang baru terjadi di masyarakat, di dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa: “Barang siapa yang

55
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 59-60.
56
Kusyono Juskar, Syahruddin Nawi & Nur Fadhilah Mappasellen, ‘’Efektivitas Penyidikan
Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Yang Di Lakukan Oleh Anak Di Kabupaten
Gowa’’ Di Akses Dari http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/640/698 Pada
Tanggal 8 Mei 2023 Pukul 02.35.

53
di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau

barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan”.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang tidak pernah

terlepas dari lingkungan pergaulan sosialnya, sebab relasi sosial yang

terbangun dalam lingkungannya akan membentuk karakter dan

kepribadiannya termasuk pengaruh untuk melakukan tindak pidana

kekerasan.

Menurut Muh. Asrul Haq Sultan, Hambali Thalib & La Ode Husen,

Baik buruknya tingkah laku seseorang sangat dipengaruh oleh lingkungan

dimana orang tersebut berada, pada pergaulan yang diikuti dengan

peniruan suatu lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap

kepribadian dan tingkah laku seseorang. lingkungan yang dimaksud

adalah lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat itu sendiri.

Pergaulan dengan teman-teman dan tetangga lingkungan tempat tinggal

merupakan salah satu penyebab terjadinya anak melakukan tindakan

pidana.57

Berdasarkan pasal ini sudah jelas bahwa tindakan kekerasan

merupakan suatu tindak pidana kejahatan berupa kekerasan yang dapat

dihukum dan diadili sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebelum jauh kita

membahas mengenai apa itu tindak pidana kekerasan, alangkah baiknya

kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tindak pidana.

57
Muh. Asrul Haq Sultan, Hambali Thalib & La Ode Husen, Analisis Kriminologis Terhadap Tindak
Pidana Yang Dilakukan Anak Di Kota Makassar, Diakses Dari
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/282/313, Volume 1, Nomor 7, Desember
2020, hal.1019

54
Istilah yang biasa digunakan didalam hukum pidana yaitu “tindak pidana”.

Istilah ini muncul dan tumbuh dari kalangan kementrian kehakiman yang

sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih

pendek dari “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk pada hal yang

abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan kata “tindak” lebih

pendek dari “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk pada hal yang

abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret,

sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak

adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani

seseorang.58

Berdasarkan pada penetapan definitif yang dikemukakan di atas,

maka tindak pidana ialah sesuatu aksi ataupun tingkah laku dari seorang

atas kehendak sendiri ataupun juga orang lain yang dicoba olehnya serta

kelakuan tersebut ialah suatu perbuatan yang yang dilarang sehingga

memunculkan sesuatu pertanggungjawaban pidana oleh pelaku tindak

pidana tersebut dari perbuatan itu sendiri. Setelah kita mengetahui apa

yang diartikan dari penafsiran atau pengertian tindak pidana hingga kita

akan berlanjut memahami apa yang diartikan dengan kekerasan. Lebih

dahulu kita sepakati bahwa kekerasan ialah sesuatu perbuatan jahat yang

bisa menyebabkan kerugian terhadap diri sendiri ataupun orang lain,

sehingga kekerasan bisa kita golongkan sebagai pelaku tindak kejahatan.

Tindak pidana kekerasan merupakan istilah yang sama dengan kejahatan

58
Ibid., hlm, 62.

55
kedua hal tersebut hanya berbeda pada luas dan sempit terhadap

konteksnya. Tindak Pidana kejahatan cakupannya lebih luas tidak hanya

terbatas pada kekerasan secara fisik tetapi juga melampaui Kekerasan

secara fisik.

Menurut Anjari Warih, Kejahatan memiliki dua makna, yaitu:

1. Kejahatan dalam arti sempit (Yuridis Sosiologis) adalah segala

perbuatan yang merugikan masyarakat merupakan kejahatan

dalam arti yuridis sosiologis. Sanksi yang diterapkan biasanya

berupa kesepakatan di masyarakat (kaedah kesusilaan atau adat),

2. Kejahatan dalam arti luas (Yuridis Normatif) adalah

perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat secara abstrak

diatur dalam hukum positif (kaedah hukum). Kaedah hukum (positif)

mengandung sanksi yang lebih tegas, dan penegakannya

diserahkan kepada Negara. Misalnya diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP), dan undang-undang lainnya yang memuat sanksi

rigid.59

Kejahatan dengan kekerasan merupakan tindakan pidana yang

sudah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yasmin

Anwar Adang mengemukakan bahwa Membahas tentang tindakan

kejahatan berupa kekerasan merpakan hal yang sulit, karena kejahatan

kekerasan intinya merupakan tindakan anarkis yang bisa dilakukan oleh

59
Anjari, Warih. Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence). Jurnal WIDYA Yustisia,
Volume 1, No. 1, 2014. hlm 45.

56
siapapun, misalnya tindakan berkelahi, menikam, memukul, menampar,

menghantam, dan yang lainnya merupakan segala bentuk kejahatan

kekerasan yang sering terjadi. Kejahatan kekerasan juga merupakan

tindakan yang biasa namun tindakan yang sama pada suatu situasi yang

berbeda akan disebut penyimpangan.60

Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa tindak pidana

kekerasan merupakan merupakan suatu tindakan atau tingkah laku dari

seseorang dengan maksud sengaja ataupun diperintah untuk melukai fisik

seseorang yang mengakibatkan seseorang tersebut tidak mampu untuk

memberikan perlawanan terhadap tindakan kekerasan tersebut, maka

pantas untuk diberikan perlindungan dari tindakan-tindakan yang

mengancam dirinya.

D. Tindak Pidana Kekerasan Remaja

a. Pengertian Remaja

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor

25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak dalam pasal 1 angka 7

bahwa Remaja adalah kelompok usia 10 tahun sampai berusia 18 tahun.

Sementara Menurut Undang-undang nomor 4 tahun 1979 mengenai

kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21

tahun dan belum menikah.

Pada sisi yang lain ada beberapa para ahli yang mencoba untuk

menentukan secara definitif mengenai konsepsi dari Remaja.

60
Anwar Adang, Yesmil. Kriminologi. PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm 56-57

57
1. Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Remaja adalah

mereka yang mengalami masa transisi (peralihan) dari masa

kanak-kanak menuju masa dewasa, yaitu antara usia 12-13 tahun

hingga usia 20-an, perubahan yang terjadi termasuk drastis pada

semua aspek perkembangannya yaitu meliputi perkembangan fisik,

kognitif, kepribadian, dan sosial.61

2. Menurut Piaget (dalam Hurlock) mengatakan secara psikologis

remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan

masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah

ikatan orang-orang yang lebih tua melainkan dalam tingkatan yang

sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak.62

Remaja disebut juga "pubertas" yang nama berasal dari bahasa

latin yang berarti "usia menjadi orang" suatu periode dimana anak

dipersiapkan untuk menjadi individu yang dapat melaksanakan tugas

biologis berupa melanjutkan keturunannya atau berkembang biak.63 Untuk

menghindari timbulnya salah faham, kiranya perlu dijelaskan mengenai

istilah pubertas dan umur anak pada masa ini. Masa pubertas atau

puberteit berjalan dari umur 16 tahun sampai dengan 18 tahun. Pada

umur 15 tahun anak dikatakan berada dalam masa prapubertas atau

prapuberteit, sedangkan masa antara 12 tahun dan 15 tahun dinamakan

61
Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa Psikologi remaja, Jakarta, Gunung Mulia, 2007,
hlm, 165.

62
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, Jakarta, Erlangga, 2001 hlm, 206

63
Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Op., Cit, hlm, 27.

58
periode pueral. Pada umur 19 tahun anak berada dalam masa pubertas

adolesensi.64

Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja

adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, seiring

dengan perubahan fisik, biologis dan psikis untuk menuju pada

kematangan, jasmani, berfikir, seksual dan kematangan emosional.

Perkembangan manusia sejak lahir sampai meninggal dapat

dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Manusia dapat dikategorikan

berdasarkan usia, yakni bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa.

Perkembangan manusia dapat juga dilihat dari kemampuan motorik,

perkembangan berpikir, dan aspek-aspek lainnya. Masa perkembangan

manusia yang paling menonjol dan cukup krusial adalah masa remaja. Di

masa remaja, manusia beralih dari masa anak-anak menuju dewasa.

Beragam perubahan tubuh pun mulai terlihat. Tidak hanya perubahan

fisik, cara berpikir pun ikut berubah. Mereka akan mulai mencoba-coba

sesuatu yang terlihat menarik. Dan kerap kali tidak memikirkan

konsekuensi yang akan diterima dari perbuatan yang dilakukan. Misalnya

mencoba rokok, obat-obatan terlarang, sampai Melakukan tindak pidana

kekerasan.

64
John W. Santrock penerjemah, Verawaty Pakpahan, Masa perkembangan anak Buku 2, Jakarta,
Salemba Humanika, 2011, hlm, 132

59
b. Tindak Pidana Kekerasan Remaja

Peraturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan

yang dilakukan oleh pelajar di dalam KUHP antara lain Pasal 170, 351,

dan 406 KUHP.

Pasal 170

1. Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan

kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara

selama-lamanya lima tahun enam bulan.

2. Yang Bersalah diancam:

a. Dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia

dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang

dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.

b. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika

kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh.

c. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika

kekerasan itu menyebabkan matinya orang.

Pasal 351

1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua

tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah.

2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

60
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling

lama tujuh tahun.

4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 406

1. Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak

membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat

dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali

atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara

selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.

2. Hukuman serupa itu dikenakan juga kepada orang yang dengan

sengaja dan dengan melawan hak membunuh, merusakkan,

membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi atau menghilangkan

binatang, yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang

lain.

Dalam undang-undang no. 23 tahun 2012 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga yakni Pasal 5, 6, 7, dan Pasal 8.

Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga

terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

a. kekerasan fisik.

b. Kekerasan psikis.

61
c. Kekerasan seksual atau

d. penelantaran rumah tangga.

Pasal 6

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah

perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Pasal 7

Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah

perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,

hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau

penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pasal 8

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c

meliputi :

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang

yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu.

E. Tinjauan Umum Penegakan Hukum Pidana

a. Pengertian Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk

tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai

pedoman prilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam

62
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya,

penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat

pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua

subyek.

Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

tentang keadilan-keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial

menjadi kenyataan.65 Penegakan hukum pidana adalah suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide tentang keadilan dalam hukum pidana dalam

kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan hukum

dalam kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan

hukum dalam setiap hubungan hukum.66

Menurut Andi Hamzah, istilah penegakan hukum sering disalah

artikan seakanakan hanya bergerak di bidang hukum pidana atau di

bidang represif. Istilah penegakan hukum disini meliputi baik yang represif

maupun yang preventif. Jadi kurang lebih maknanya sama dengan istilah

Belanda rechtshanhaving. Berbeda dengan istilah law enforcement, yang

sekarang diberi makna represif, sedangkan yang preventif berupa

pemberian informasi, persuasive, dan petunjuk disebut law compliance,

yang berarti pemenuhan dan penataan hukum. Oleh karena itu lebih tepat

jika dipakai istilah penanganan hukum atau pengendalian hukum.67

65
Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum. Bandung, Sinar Baru, 1987, hlm.15
66
Peter Mahmud, Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana Prenada.2012
hlm.15
67
Andi Hamzah, Asas-asas Penting dalam Hukum Acara Pidana. Surabaya :
FH Universitas, 2005, hlm. 2

63
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional, maka inti

dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap

dan sikap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.68

Penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang

dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit

maupun arti materiil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap

perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan

maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan

kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya

norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.69 Untuk menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa

tahap yang dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja

direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang merupakan

suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk bersumber dari

nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Tahap-tahap tersebut adalah :

1. Tahap Formulasi

Adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan

pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih nilai

68
Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta : Rajawali. 1983, hlm. 24.
69
Abidin, Farid zainal. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Sinar grafika, 2007
hlm.35

64
nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang

akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan

perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat

keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan

legislatif.

2. Tahap Aplikasi

Adalah tahap penegakan hukum pidana (tahap penegakan hukum

pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai

ke pengadilan atau pemeriksaan dihadapan persidangan. Dengan

demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta

menerapkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh

pembuat undang-undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat

penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan

dan daya guna. Tahap ini disebut tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Adalah tahap penegakan hukum (pelaksanaan hukum) secara

konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana pada tahap ini aparat

penegak hukum pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan

perundang-undangan yang telah dibuat oleh badan pembentuk

undang-undang melalui penerapan pidana yang ditetapkan oleh

pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan

yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Aparat-aparat

pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman pada

65
peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh

pembuat undang-undang dan nilai guna dan keadilan.70

b. Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Remaja


Adapun tugas kepolisian dalam menangani Tindak pidana

kekerasan yang dilakukan oleh Remaja di bagi menjadi dua yaitu secara

preventif dan represif.

a. Upaya Secara Preventif

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk

mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali, hal ini

dapat diwujudkan dengan melakukan penyuluhan hukum.71 Kegiatan

penyuluhan hukum tidak hanya untuk meningkatkan kesadaran hukum

masyarakat saja, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat

mencegah melakukan tindakan-tindakan menyimpang.72 Artinya orang

akan berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana atau mengulangi lagi

perbuatannya, upaya penanggulangan secara preventif merupakan suatu

usaha untuk menghindari perbuatan atau mencegah timbulnya

perbuatan-perbuatan sebelum rencana untuk melakukan perbuatan itu

bisah dilakukan atau setidaknya dapat memperkecil jumlah setiap

harinya.73

b. Upaya Represif

70
Andi Hamzah. Masalah Penegakan Hukum Pidana. Jakarta. 1994, hlm 21
71
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, 1992, hlm. 66.
72
Sabar Slamet, Hukum Pidana, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, 1998, hlm. 106
73
Nuroton Mumtahanah, “Upaya Menanggulangi Kenakalan Remaja Secara Preventif, Represif,
Kuratif dan Rehabilitasi”, Jurnal Al Hikmah, Vol. 5, No. 2, 2015, hlm. 279.

66
Upaya represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh

aparatur penegak hukum dengan upaya penanggulangan kejahatan

secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan atau

tindak pidana, artinya jika ada perbuatan yang tergolong sebagai

perbuatan pidana harus diproses agar ketentuan-ketentuan yang terdapat

di dalam hukum pidana itu dapat diterapkan.74 Hal yang termasuk dalam

upaya represif adalah penyidikan, penuntutan sampai pelaksanaan

pidana. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk

menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta

memperbaikinya kembali agar sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya

merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan

masyarakat.75 Upaya ini bisa diwujudkan dengan jalan memberi

peringatan atau hukuman kepada setiap pelanggaran yang dilakukan

setiap anak. Bentuk hukuman tersebut dapat bersifat psikologis yaitu

mendidik dan menolong agar mereka menyadari akan perbuatannya dan

tidak akan mengulangi kesalahannya.76

74
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,hlm. 3.
75
Romli Atmasasmita, Op. Cit. Hlm, 86
76
Nurotun Mumtahanah, Loc. Cit., hlm. 280.

67
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konseptual

Tindak pidana Kekerasan Fisik yang dilakukan oleh Remaja

semakin marak terjadi yang mana baik korban maupun pelaku banyak

melibatkan masyarakat pada umumnya, hal ini tentu sangat perlu untuk

diperhatikan dengan baik oleh petugas yang berwenang, dimana tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh para remaja ini memunculkan

kekhawatiran akan terguncangnya stabilitas kehidupan sosial. Para

remaja ini pun merupakan generasi penerus bangsa, tentunya harus

dijaga dan dibimbing agar dapat menciptakan kesejahteraan dan

keamanan dalam tertib hidup bermasyarakat.

Polisi merupakan agen penegak hukum yang tugas dan fungsinya

masih harus diorientasikan sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Pengorientasian dengan masyarakat ini ditujukan karena dalam

masyarakat polisi sendiri memiliki peran strategis, antara lain sebagai

pelindung masyarakat, penegak hukum, pencegah pelanggaran hukum,

dan Pembina keamanan dan ketertiban masyarakat. Sehingga

pengorientasian tersebut dibilang sangat penting guna penyesuaian

diantara keduanya.

Peran Kepolisian tentu saja sangat penting untuk melindungi

generasi penerus bangsa, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 13

68
Undang-Undang Kepolisian, tugas pokok Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

b. Menegakkan hukum dan.

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

kepada masyarakat.

Penanggulangan tindak pidana pencabulan harus dapat

mensosialisasikan peraturan tentang tindak pidana tersebut sebagaimana

dalam KUHP sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 170, 351 dan

406, tentang tindak pidana kekerasan.

Penyelidik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 4 merupakan pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang karena

kewenangannya diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan dan

telah diatur oleh undang-undang. Pejabat polisi yang melakukan

penyelidikan pada biasanya berpenampilan tidak seperti layaknya polisi

pada umumnya. Polisi yang menjadi penyelidik biasanya berpenampilan

seolah-olah layaknya preman. Hal ini dilakukan untuk penyamaran agar

tidak adanya kecurigaan dari tersangka yang sedang diselidiki.

Penyidik sendiri dalam hal ini menurut Pasal 1 angka 1 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan pejabat polisi Negara

Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil lainnya yang

diberikan kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan

69
penyidikan. Penyidik dalam hal merupakan pejabat polisi maupun pegawai

lain dalam melakukan penyidikan disesuaikan dengan perkara yang akan

diselidiki tersebut.

Penyidik pembantu yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 3 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan pejabat polisi Negara

40 Indonesia yang karena kewenangan tertentunya dapat melakukan

tugas penyidikan layaknya penyidik yang telah diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyidik pembantu dalam

melakukan penyidikan hanya sekedar membantu penyidik, tidak

berwenang sepenuhnya dalam penyidikan kecuali terdapat suatuu hal

yang menjadikan penyidik pembantu menyidik sepenuhnya terhadap

tersangka.

Proses peradilan pidana yang dilakukan oleh penyelidik adalah

proses penyelidikan. Yang mana menurut Pasal 1 angka 5 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penyelidikan merupakan suatu

serangkaian tindakan penyelidik dalam mencari dan menemukan suatu

peristiwa atau kejadian yang diduga peristiwa atau kejadian tersebut

merupakan suatu tindak pidana sehingga dapat ditentukan dapat

dilakukan penyidikan oleh penyidik atau tidak.

Polisi dalam tugasnya sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan

masyarakat juga berhak mendengarkan laporan masyarakat. Laporan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan suatu

70
pemberitahuan yang disampaikan secara langsung tanpa adanya

perantara. Sebagai contoh apabila seseorang menjadi korban busur lari

kemudian korban tersebut dengan sendiri menghadap ke polisi, maka

disebut dengan laporan.

Polisi juga berhak mendengarkan adanya suatu pengaduan dari

masyarakat. Berbeda dengan laporan, pengaduan merupakan

pemberitahuan yang di dalamnya disertai dengan adanya permintaan oleh

pihak yang berkepentingan. Polisi sebagai aparat yang berhak mendengar

laporan dan aduan dalam masyarakat dapat dikatakan juga merupakan

penegak dan pembela Hak Asasi Manusia. Hal ini dikarenakan pada

dasarnya adanya laporan maupun aduan dari masyarakat pastinya adalah

mencari keadilan di dunia melalui sistem hukum yang berlaku. Dari hal

mencari keadilan itulah yang dapat menjuluki polisi sebagai penegak dan

pembela Hak Asasi Manusia, dalam hal ini adalah korban atau pihak yang

merasa dirugikan. Karena itu efektivitas peranan Kepolisian sesuai

dengan tugas dan wewenangnya untuk menanggulangi tindak pidana

Kekerasan Remaja merupakan hal yang sangat penting untuk menata dan

menstabilkan kembali tatanan dunia sosial.

B. Hipotesis
Dalam penelitian ini penulis mengambil hipotesis sebagai berikut:

“Peranan kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana

kekerasan remaja di Kabupaten Bima tidak efektif karena kurangnya

71
koordinasi, sumber daya, dan penegakan hukum. Ada pengaruh yang

sangat kuat terhadap efektivitas peranan kepolisian dengan semakin

meluasnya tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh Remaja di

kabupaten Bima". Kerangka berpikir : Efektivitas Peranan Kepolisian

dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh

remaja”.

72
Diagram Kerangka Konseptual

73
BAB IV

METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan komponen penting yang berkaitan dengan

metode penelitian, yaitu jenis penelitian, desain penelitian, variabel

penelitian, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data.

A. Tipe Penelitian

Penelitian mengenai tinjauan sosiologi terhadap tindakan hukum

penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana ini menggunakan

pendekatan sosiologis yuridis disertai dengan analisis hukum terhadap

data yang telah diperoleh. Selanjutnya penelitian ini dituliskan dalam

bentuk deskriptif. Tipe penelitian ini adalah tipe empiris.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bima yaitu tepatnya pada

Polres Kabupaten Bima. Adapun alasan penulis memilih tempat tersebut

oleh karena Polres Kabupaten Bima sebagai salah satu Kabupaten

terbesar di kawasan Indonesia bagian Barat yang memungkinkan penulis

untuk mendapatkan data mengenai obyek penelitian yang dilakukan oleh

penulis.

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka pelaksanaan penelitian, penulis mengadakan

pengumpulan data dengan menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

74
1. Penelitian Kepustakaan

Pada penelitian ini Penulis menelaah data-data sekunder berupa

buku-buku literatur, dokumen-dokumen dan peraturan

perundang-undangan yang ada kaitannya dan mendukung

penelitiini.

2. Penelitian Wawancara

Untuk mendapatkan data yang lebih konkret, Penulis melakukan

wawancara secara langsung kepada responden yang terkait

dengan penelitian ini.

D. Jenis Dan Sumber Data

1. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

lapangan penelitian berupa wawancara kepada responden, dalam

hal ini pihak terkait yaitu aparat penegak hukum ( Polisi, dan

Masyarakat )

2. Data Sekunder yaitu data yang sebelumnya telah ada atau

diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti berupa buku-buku,

dokumen, arsip serta peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan penelitian ini.

E. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh baik secara primer maupun secara sekunder

yang diperoleh dari pengamatan dan wawancara dianalisis secara

kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan metode deduktif

75
maupun induktif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan,

menguraikan dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang

erat kaitannya sesuai dengan penelitian ini.

F. Metode Penentuan Sampel

Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah yang ditarik secara umum yang

terdiri dari perpaduan antara obyek dan subyek yang mana kedua

hal tersebut mempunyai kriteria dan karakteristik khusus yang akan

di tetapkan oleh peneliti untuk dijadikan sebagai sandaran dalam

upaya untuk di telaah dan di analisis kemudian ditarik konklusi atau

kesimpulannya. Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi oleh

Peneliti adalah 50 orang masyarakat yang berada di kabupaten

Bima yang mengalami dan menyaksikan secara langsung

mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di

lingkungan sosialnya tersebut. Adapun yang dimaksud dengan

sampel ialah bahagian dari konteks jumlah yang kemudian dimiliki

oleh populasi tersebut. Barometer ataupun pengukuran sampel

merupakan suatu langkah dalam upaya untuk menentukan terkait

dengan besar atau kecilnya sampel yang dijadikan sebagai bahan

rujukan dalam melaksanakan suatu penelitian. Dalam upaya untuk

mengukur dan menentukan mengenal besarnya sampel tersebut

bisa diimplementasikan berdasarkan pada kategori statistik

ataupun juga dapat di laksanakan berdasarkan estimasi penelitian.

76
Dalam penelitian ini yang menjadi sampelnya adalah Polres

Kabupaten Bima sebab merekalah yang bertugas dan bertanggung

jawab untuk menangani dan menanggulangi tindak pidana

kekerasan yang dilakukan oleh remaja.

77
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data jenis dan Jumlah Kasus Tindak Pidana Kekerasan Yang

Dilakukan Remaja Di Kabupaten Bima

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan penulis di Kantor

Polres Kabupaten Bima, diperoleh informasi bahwa cukup banyak jumlah

kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima. Untuk

lebih jelasnya, penulis memaparkan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 1. Jenis Tindak Pidana Yang Dilakukan Remaja di Kabupaten Bima

Dari Tahun 2022 s/d 2023

TAHUN
JUMLAH
NO. JENIS TINDAK PIDANA 2022 2023

1 Pencurian Sepeda Motor 5 4 9

2 Pencurian Biasa 2 2 4

3 Penganiayaan 2 3 5

4 Kekerasan dengan Senjata 5 7 12


Tajam (Badik/Busur/Anak
Panah

5 Pencurian dengan 2 1 3
Kekerasan
16 17 33
JUMLAH

Sumber : Data Kantor Polres Kabupaten Bima, tahun 2023

Dari tabel 1 diatas, dapat dilihat bahwa jumlah kasus tindak pidana

yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima pada tahun 2022 adalah

16 kasus, sedangkan pada tahun 2023 adalah 17 kasus. Jadi, terjadi

peningkatan jumlah kasus sebesar 1 kasus atau 6,25% dari tahun 2022 ke

tahun 2023. Jenis tindak pidana yang paling banyak dilakukan oleh remaja

di Kabupaten Bima pada tahun 2022 dan 2023 adalah kekerasan dengan

senjata tajam (badik/busur/anak panah), yaitu sebanyak 12 kasus atau

36,36% dari total kasus. Jenis tindak pidana yang paling sedikit dilakukan

oleh remaja di Kabupaten Bima pada tahun 2022 dan 2023 adalah

pencurian biasa, yaitu sebanyak 4 kasus atau 12,12% dari total kasus.

Jenis tindak pidana yang mengalami peningkatan jumlah kasus dari tahun

2022 ke tahun 2023 adalah penganiayaan dan kekerasan dengan senjata

tajam (badik/busur/anak panah), yaitu masing-masing naik sebesar 50%

dan 40%. Jenis tindak pidana yang mengalami penurunan jumlah kasus

dari tahun 2022 ke tahun 2023 adalah pencurian sepeda motor dan

pencurian dengan kekerasan, yaitu masing-masing turun sebesar 20%

dan 50%.

79
Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan salah satu aparat

Penegak Hukum yaitu Pihak Kepolisian Kabupaten Bima, Kasat Reskrim

Masdidin, dia menyatakan:

"Kami dari Polres Kota Bima telah melakukan upaya-upaya untuk


menangani tindak pidana yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten
Bima, khususnya tindak pidana kekerasan. Kami telah melakukan
penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, pemanggilan, dan diversi
terhadap para pelaku dan korban. Sebenarnya kasus mengenai
tindak pidana kekerasan yang dilakukan anak remaja ini, jumlahnya
bisa lebih dari data yang ada. Tetapi, banyak pelakunya yang
bebas, tidak cukup bukti, dan kurangnya saksi".77
Berdasarkan hasil penelitian di kantor Polres Kabupaten Bima,

dapat diketahui bahwa tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh

remaja yang paling banyak pelakunya berumur kisaran antara 13 tahun

sampai dengan 17 tahun.

Untuk lebih jelasnya, Penulis menggambarkan mengenai umur pelaku

tersebut dalam bentuk tabel sebagai berikut :

1. Data Umur Pelaku

Tabel2. Data Umur Pelaku Kekerasan Yang Dilakukan Remaja Di


Kabupaten Bima Tahun 2022 s/d 2023.

UMUR PELAKU 2022 2023 JUMLAH

13-17 3 5 8

14-16 5 6 11

77
Hasil wawancara dengan Akp Masdidin, Bagian Staf Reskrim Polres Bima, Wawancara, Bima,
27 Agustus 2023.

80
15-17 8 6 14

JUMLAH 16 17 33

Sumber : Data Kantor Polres Kabupaten Bima, tahun 2023

Berdasarkan teori tindak pidana kekerasan remaja adalah suatu

perbuatan yang menimbulkan kerugian fisik, psikologis, atau materiil

kepada diri sendiri atau orang lain, yang melanggar norma-norma hukum

yang berlaku, dan yang dilakukan dengan unsur kesalahan, baik sengaja

maupun tidak sengaja.

Dari data di atas, kita dapat melihat bahwa jumlah pelaku tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima pada

tahun 2022 adalah 16 orang, sedangkan pada tahun 2023 adalah 17

orang. Jadi, terjadi peningkatan jumlah pelaku sebesar 1 orang atau

6,25% dari tahun 2022 ke tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa tindak

pidana kekerasan remaja masih menjadi masalah yang serius dan perlu

mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait.

Umur pelaku tindak pidana kekerasan yang paling banyak adalah

antara 15-17 tahun, yaitu sebanyak 14 orang atau 42,42% dari total

pelaku. Umur pelaku tindak pidana kekerasan yang paling sedikit adalah

antara 13-14 tahun, yaitu sebanyak 8 orang atau 24,24% dari total pelaku.

Umur pelaku tindak pidana kekerasan yang mengalami peningkatan

jumlah dari tahun 2022 ke tahun 2023 adalah antara 13-17 tahun dan

antara, yaitu masing-masing naik sebesar 66,67% dan 20%. Umur pelaku

81
tindak pidana kekerasan yang mengalami penurunan jumlah dari tahun

2022 ke tahun 2023 adalah antara 15-17 tahun, yaitu turun sebesar 25%.

Hal ini menunjukkan bahwa tindak pidana kekerasan remaja tidak hanya

terbatas pada usia tertentu, tetapi dapat terjadi pada remaja dengan

rentang usia yang luas. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada faktor-faktor

lain yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana kekerasan remaja,

selain usia, seperti latar belakang keluarga, lingkungan sosial, pendidikan,

media, dan lain-lain.

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan salah satu aparat

Penegak Hukum yaitu Pihak Kepolisian Kabupaten Bima Pak

Abdurrahman, Selaku sebagai Wakapolres Kabupaten Bima beliau

menyatakan :

"bahwa Kami dari Polres Kota Bima telah menganalisis data umur
pelaku tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di
Kabupaten Bima pada tahun 2022 dan 2023. Kami menemukan
bahwa sebagian besar pelaku masih berstatus anak, yaitu berumur
di bawah 18 tahun. Kami menilai bahwa hal ini merupakan
tantangan bagi kami dalam penegakan hukum, karena anak
memiliki perlindungan khusus sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kami
harus mempertimbangkan aspek-aspek seperti hak asasi anak,
kepentingan terbaik bagi anak, diversi, restorative justice, dan
rehabilitasi dalam menangani perkara-perkara yang melibatkan
anak. Kami telah menjadikan ini sebagai bahan pertimbangan dan
acuan bagi kami dalam mengambil keputusan dan tindakan hukum
yang tepat dan proporsional bagi para pelaku tindak pidana
kekerasan yang masih berstatus anak".78

78
Hasil Wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023.

82
Dalam Teori tujuan pemidanaan menjelaskan tentang alasan,

fungsi, dan sasaran dari pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak

pidana. Teori ini dapat membantu kita untuk mengevaluasi dan mengkritisi

efektivitas dan keadilan dari sanksi pidana yang diberlakukan dalam

kasus-kasus tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja.

Salah satu teori tujuan pemidanaannya yaitu teori gabungan. Teori

gabungan, mengatakan bahwa pidana dijatuhkan untuk menggabungkan

unsur pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Pidana harus

memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu

sendiri di samping kepada masyarakat. Teori ini bersifat korektif dan

edukatif terhadap tindak pidana.

Dalam konteks penanganan perkara-perkara yang melibatkan anak

sebagai pelaku tindak pidana kekerasan, teori tujuan pemidanaan yang

paling relevan dan sesuai adalah teori gabungan. Hal ini karena teori ini

dapat mempertimbangkan aspek-aspek seperti hak asasi anak,

kepentingan terbaik bagi anak, diversi, restorative justice, dan rehabilitasi

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

Tingginya fenomena tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh

remaja di Kabupaten Bima sangat erat kaitannya dengan latar belakang

pendidikan pada pelaku itu sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat

digambarkan pada tabel dibawah ini :

83
2. Data Tingkat Pendidikan Pelaku

Tabel 3. Data Tingkat Pendidikan Pelaku tindak pidana Kekerasan Yang


Dilakukan Remaja Di Kabupaten Bima Tahun 2022 s/d 2023

TAHUN JUMLAH

NO. JENIS PENDIDIKAN 2022 2023

1 PENGANGGURAN 9 9 18

2 SD - - -

3 SMP 4 4 8

4 SMA 3 4 7

5 JUMLAH 16 17 33

Sumber : Data Kantor Polres Kabupaten Bima tahun 2023

Dalam teori Legal Sistem dari Friedman adalah menjelaskan

tentang bagaimana hukum diterapkan dan dijalankan dalam masyarakat.

Teori ini dapat membantu kita untuk memahami dan mengkritisi dinamika

dan interaksi antara struktur, substansi, dan budaya hukum dalam

kasus-kasus tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja.

Menurut teori Legal sistem bahwa sistem hukum itu terbagi menjadi

tiga yaitu:

a. Struktur hukum, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang

menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam

84
tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat

dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

b. Substansi hukum, yaitu produk yang dihasilkan oleh sistem hukum,

seperti aturan-aturan, norma-norma, dan perilaku nyata manusia

yang berada dalam sistem hukum.

c. Budaya hukum, yaitu sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan

dengan hukum dan sistem hukum, baik dari pihak yang

menerapkan, mengikuti, atau mengabaikan hukum. Budaya hukum

juga mencakup pandangan-pandangan, harapan-harapan, dan

kritik-kritik yang ditujukan kepada hukum dan sistem hukum, baik

dari pihak yang puas, tidak puas, atau apatis terhadap hukum.

Dari data di atas, kita dapat melihat bahwa jumlah pelaku tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima pada

tahun 2022 adalah 16 orang, sedangkan pada tahun 2023 adalah 17

orang. Jadi, terjadi peningkatan jumlah pelaku sebesar 1 orang atau

6,25% dari tahun 2022 ke tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa tindak

pidana kekerasan remaja masih menjadi masalah yang serius dan perlu

mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait.

Tingkat pendidikan pelaku tindak pidana kekerasan yang paling

banyak adalah pengangguran, yaitu sebanyak 18 orang atau 54,55% dari

total pelaku. Tingkat pendidikan pelaku tindak pidana kekerasan yang

paling sedikit adalah SD, yaitu tidak ada satupun pelaku yang

berpendidikan SD. Tingkat pendidikan pelaku tindak pidana kekerasan

85
yang tidak mengalami perubahan jumlah dari tahun 2022 ke tahun 2023

adalah pengangguran dan SMP, yaitu masing-masing tetap sebanyak 9

orang dan 4 orang. Tingkat pendidikan pelaku tindak pidana kekerasan

yang mengalami peningkatan jumlah dari tahun 2022 ke tahun 2023

adalah SMA, yaitu naik sebesar 1 orang atau 33,33%. Hal ini

menunjukkan bahwa tindak pidana kekerasan remaja tidak hanya terjadi

pada remaja yang tidak bersekolah atau berhenti sekolah, tetapi juga

pada remaja yang masih bersekolah. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada

faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana kekerasan

remaja, selain tingkat pendidikan, seperti latar belakang keluarga,

lingkungan sosial, media, dan lain-lain.

Dengan mengaitkannya pada teori Legal sistem pada bagian

budaya hukum dapat kita rumuskan bahwa, budaya hukum yang tidak

kondusif di kalangan aparat penegak hukum dapat mempengaruhi

penanganan kasus tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja

di Kabupaten Bima, di mana kasus korupsi atau pelanggaran etika di

kalangan aparat penegak hukum dapat merusak kepercayaan masyarakat

pada kepolisian. Hal ini dapat berdampak pada penegakan hukum

terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja, karena

masyarakat mungkin kehilangan kepercayaan pada kepatuhan hukum dan

keadilan. Ketidakpercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum juga

bisa menghasilkan ketidakpuasan terhadap sistem hukum yang

menyebabkan kurangnya kerjasama dengan otoritas, membiarkan tindak

86
pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja berlanjut tanpa

pengawasan atau penegakan hukum yang memadai.

Dari tabel data diatas terlihat sangat jelas bahwa yang paling

banyak melakukan tindak pidana kekerasan adalah remaja. Lebih lanjut

Pak Abdurrahman selalu sebagai Wakapolres Kabupaten Bima beliau

menjelaskan bahwa :

"Kami menilai bahwa hal ini merupakan indikator adanya masalah


sosial dan ekonomi yang dialami oleh remaja di daerah kami. Kami
menganggap bahwa remaja yang pengangguran adalah remaja
yang tidak memiliki harapan, motivasi, dan keterampilan untuk
mengembangkan diri dan berkontribusi bagi masyarakat. Kami juga
menganggap bahwa remaja yang pengangguran adalah remaja
yang mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif, seperti
narkoba, pergaulan bebas, dan kekerasan. Kami berharap dengan
adanya data ini, dapat menjadi bahan evaluasi dan introspeksi bagi
kami dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada
remaja di Kabupaten Bima. Kami juga berharap dengan adanya
data ini, dapat menjadi bahan motivasi dan inspirasi bagi remaja di
Kabupaten Bima untuk lebih berusaha dan berprestasi dalam
bidang pendidikan, pekerjaan, atau kewirausahaan".79
Sementara dalam analisis hukumnya Pak Abdurrahman

menyatakan bahwa :

"Kami dari Polres Kabupaten Bima telah menganalisis data tingkat


pendidikan pelaku tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh
remaja di Kabupaten Bima pada tahun 2022 dan 2023. Kami
menemukan bahwa sebagian besar pelaku adalah pengangguran,
yaitu sebanyak 19 orang atau 57,58% dari total pelaku. Kami
menilai bahwa hal ini merupakan tantangan bagi kami dalam
penegakan hukum, karena pengangguran memiliki dampak negatif
terhadap mental dan moral pelaku. Kami harus mempertimbangkan
aspek-aspek seperti faktor pendorong, faktor penghambat, faktor
penguat, dan faktor pemulih dalam menangani perkara-perkara

79
Hasil Wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023.

87
yang melibatkan pengangguran. Kami juga harus berkoordinasi
dengan pihak-pihak lain yang terkait, seperti pemerintah, dinas
tenaga kerja, dinas sosial, lembaga swadaya masyarakat, orang
tua, guru, dan masyarakat. Kami berharap dengan adanya analisis
ini, dapat menjadi bahan pertimbangan dan acuan bagi kami dalam
mengambil keputusan dan tindakan hukum yang tepat dan
proporsional bagi para pelaku tindak pidana kekerasan yang
merupakan pengangguran".80
Remaja di daerah kabupaten bima melakukan berbagai jenis tindak

kekerasan yang mungkin merupakan indikasi adanya masalah psikologis.

Oleh karena itu, dalam penanganan kasus-kasus tersebut, perlu

dipertimbangkan aspek-aspek seperti motivasi, emosi, kepribadian,

gangguan mental, dan faktor sosial. Selain itu, penting untuk

berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti psikolog, psikiater,

konselor, dinas sosial, lembaga perlindungan anak, dan LSM.

Senada dengan hal tersebut Akbp Haryanto, sebagai Kapolres

Kabupaten Bima mengemukakan bahwa :

"Kami menemukan bahwa terdapat berbagai macam jenis tindak


pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja, seperti pencurian
sepeda motor, pencurian biasa, penganiayaan, kekerasan dengan
senjata tajam, dan pencurian dengan kekerasan. Kami menilai
bahwa hal ini merupakan indikator adanya masalah psikologis yang
dialami oleh remaja di daerah kami. Kami harus
mempertimbangkan aspek-aspek seperti motivasi, emosi,
kepribadian, gangguan mental, dan faktor sosial dalam menangani
perkara-perkara yang melibatkan remaja. Kami juga harus
berkoordinasi dengan pihak-pihak lain yang terkait, seperti
psikolog, psikiater, konselor, dinas sosial, lembaga perlindungan
anak, dan LSM".81

80
Hasil wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023.
81
Hasil wawancara dengan Pak Hariyanto Kapolres Kabupaten Bima, Wawancara, Bima, 27
Agustus 2023.

88
B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak pidana Kekerasan
Remaja Di Kabupaten Bima
Dalam menguraikan latar belakang penyebab terjadinya tindak

kekerasan yang dilakukan geng motor oleh anak remaja, maka perlu

dilakukan penelitian yang dapat memberikan keterangan tentang

sebab-sebab atau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang

melakukan tindak kekerasan yang dilakukan remaja di Wilayah Kabupaten

Bima dari tahun 2022 sampai dengan tahun 2023.

Menurut Kapolres pak Abdurrahman bahwa terdapat berbagai

faktor-faktor yang menjadi latar belakang terhadap alasan dibalik tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja tersebut. Adapun

faktor-faktornya sebagai berikut:82

1. Faktor keluarga

2. Faktor teman sebaya

3. Faktor media

4. Faktor kesehatan mental

5. Faktor pengaruh obat-obatan terlarang

6. Faktor lingkungan sosial

Berdasarkan ketujuh faktor diatas penulis akan menguraikan

secara lebih sistematis pada penjelasannya secara detail terhadap

82
Hasil wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023.

89
faktor-faktor yang menjadi latar belakang terhadap tindak pidana

kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima berdasarkan

wawancara dengan Pak Abdurrahman WaKapolres Kabupaten Bima.

1. Faktor keluarga

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Pihak Kepolisian

Kabupaten Bima, Pak Abdurrahman menyatakan bahwa:

"Gaya pengasuhan dan disiplin yang berlebihan atau tidak


konsisten dalam keluarga dapat berdampak negatif pada perilaku
anak remaja. Ketidaksesuaian antara harapan dan harapan yang
realistis, bersama dengan kurangnya pemahaman tentang
konsekuensi dari tindakan agresif dan perilaku kekerasan, dapat
menyebabkan anak remaja berisiko melakukan tindak pidana
kekerasan".83
Menurut Hutabarat (Dalam Novita Sari, Meri Neherta, dan Lili

Fajria), bahwa pendidikan orang tua memegang peranan yang sangat

penting, semakin rendah tingkat pendidikan orang tua, maka semakin

tinggi tindak kekerasan dalam keluarga.84

Sejalan dengan hal tersebut menurut Mohamad Fadhilah Zein,

Keluarga menjadi ujung tombak perlindungan anak. Selain kebutuhan

dalam aspek fisik, juga dibutuhkan bimbingan, pendidikan dan kasih

sayang orang tua yang akan mempengaruhi perkembangan mental dan

83
Hasil Wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023
84
Novita Sari, Meri Neherta, dan Lili Fajria, Faktor Penyebab Orang Tua Melakukan Kekerasan Pada
Anaknya, Indramayu, CV Adanu ABimata, 2023, hal 5

90
sosial seorang anak.85. Dari pendapat diatas mudah dipahami bahwa

tindak pidana Kekerasan yang dilakukan oleh remaja salah satu

ditentukan oleh pengaruh dari lingkungan keluarganya, semakin baik

didikan keluarga kepada anak tersebut maka semakin baik pula

pertumbuhan kepribadian anak tersebut. Artinya remaja yang melakukan

tindak pidana Kekerasan bisa jadi dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan

yang diberikan dalam lingkungan keluarga.

Menurut Nyoman Subagia, keluarga merupakan sistem tatanan

sosial pertama bagi anak dalam membangun hubungan dengan orang

lain. Sistem dalam sebuah keluarga dipimpin oleh orang tua sebagai pusat

penggerak kemana arah yang akan dituju. Melalui orang tua anak

beradaptasi dengan lingkungan dan mengenal dunia sekitarnya serta pola

pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan karena

orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.

Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan

kepribadian anak setelah menjadi dewasa. Pengasuhan anak tidak akan

sama bentuknya di setiap keluarga.86 Karena itu pola pengasuhan yang

tidak baik dari lingkungan keluarga iniilah yang menjadi salah satu faktor

remaja di Kabupaten Bima melakukan tindak pidana kekerasan. Sehingga

cocok dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad Susanto, bahwa Keluarga

85
Mohamad Fadhilah Zein, Anak dan Keluarga dalam Teknologi Informasi, Perpustakaan Nasional,
Jakarta, 2019, hal iv
86
Nyoman Subagia, Pola Asuh Orang Tua: Faktor, Implikasi terhadap Perkembangan Karakter
Anak, Bali, Nila Cakra, 2021, hal 5

91
menyiapkan sarana pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak

sejak dini. Dengan kata lain kepribadian anak tergantung pada pemikiran

dan perlakuan kedua orangtua dan lingkungannya.87

2. Faktor Teman Sebaya

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Pihak Kapolres

Kabupaten Bima Menurut Pak Abdurrahman Selaku sebagai Wakapolres,

beliau menyatakan bahwa:

"Faktor teman sebaya dapat menjadi pemicu atau penghambat bagi


remaja untuk terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Ia
mengatakan bahwa remaja yang bergaul dengan teman-teman
yang positif dan tidak terpengaruh oleh narkoba akan lebih mudah
menjauhi bahaya narkoba. Namun, remaja yang bergaul dengan
teman-teman yang negatif dan terlibat dalam narkoba akan lebih
mudah terjerumus ke dalam lingkaran setan narkoba.88
Menurut Indah Puji Dkk, Pengaruh pergaulan sangat besar bagi

psikologis remaja, tanpa secara langsung remaja akan meniru perilaku

teman yang setiap hari ditemuinya.89 Dari pendapat tersebut dapat

dipahami bahwa Jika remaja bergaul dengan teman-teman yang positif

dan tidak terpengaruh oleh narkoba, mereka akan memiliki peluang lebih

besar untuk menjauhi bahaya narkoba.

87
Ahmad Susanto, Bimbingan & Konseling di Taman Kanak-kanak.Jakarta, Prenada Media Group,
2015, hal 141
88
Hasil wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima, Wawancara,
Bima, 27 Agustus 2023.
89
Inda Puji Lestari, Surahman Amin, Ismail Suardi Wekke, Model Pencegahan Kenakalan Remaja
Dengan Pendidikan Agama Islam, Indramayu, Adab, 2021, hal 68

92
Menurut Surbakti, Pergaulan para remaja juga sering kali

berpotensi menimbulkan permusuhan. Para remaja yang tidak berhati-hati

dalam pergaulan, acapkali menjadi lahan empuk bagi oknum-oknum tidak

bertanggung jawab. Mereka memanfaatkan para remaja menjadi pemakai

sekaligus pengedar narkoba demi keuntungan mereka. Pergaulan remaja

juga berpotensi menimbulkan keresahan sosial karena tidak sedikit para

remaja yang terlibat pergaulan negatif mabuk-mabukan. Tindakan ini

selain mengganggu ketertiban sosial juga sangat merugikan kesehatan

mereka sendiri.90 Lingkungan yang tidak mendukung dapat

mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang melanggar hukum

sebaliknya Lingkungan yang mendukung, teman-teman sebaya yang

positif, dan hubungan sosial yang sehat dapat memberikan dorongan bagi

remaja untuk tidak terlibat dalam penggunaan narkoba. Menurut Djoko

Subroto, bahwa lingkungan pergaulan seorang remaja sangat

mempengaruhi pola pikir dan tingkah lakunya. Jika seorang remaja

berada dalam lingkungan pergaulan yang baik maka remaja tersebut akan

menjadi pribadi yang baik, bahkan berprestasi. Sebaliknya, Jika seorang

remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang buruk maka remaja

tersebut akan menjadi pribadi yang buruk.91 Lingkungan sosial teman

sebaya merupakan salah satu faktor penentu terhadap perilaku konsumsi

90
F.b Surbakti, Kenalilah Anak Remaja Anda, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2009, hal 309
91
Joko Subroto, Kunci Sukses Pergaulan Remaja, Jakarta, Bumi Aksara, 2021, hal 2.

93
alkohol pada remaja. Jangkauan lingkungan teman sebaya tidak terbatas

pada sahabat, tetapi juga teman sekelas.92

Menurut Endang Mei Yunalia & Arif Nurma Etika, jika remaja

bergaul dengan teman-teman yang negatif dan terlibat dalam narkoba,

mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjerumus ke dalam

lingkaran setan narkoba.93 Remaja menggunakan narkoba adalah tekanan

sosial dari teman sebaya. Para remaja mencoba narkoba agar 'diterima

oleh teman-temannya. Penolakan terhadap tekanan ini dapat

mengakibatkan anggota yang menolak dikucilkan atau didepak dari

kelompok.94

Menurut Singgih, Yulia Singgih Gunarsa, Masalah pergaulan bisa

menjadi masalah yang cukup pelik, baik mengenai percintaan, kesulitan

penyesuaian diri dan keterlibatan terhadap pengaruh kelompok pergaulan

yang bisa bersifat negatif.95 Sebagai sosok yang labil dan dalam proses

pencarian jati diri, seorang remaja juga terbiasa mencari pengakuan dari

komunitasnya dan ingin eksis. Satu hal yang menjadi sorotan utama dari

sosok remaja adalah pola pergaulan yang demikian rusak.96 Oleh karena

92
Pamela Hendra Heng,Perilaku Delinkuensi: Pergaulan Anak dan Remaja Ditinjau dari Pola Asuh
Orang Tua, Andi, 2020, hal 68
93
Endang Mei Yunalia, Arif Nurma Etika, Remaja Dan Konformitas Teman Sebaya, Malang,
Ahlimedia Book, 2020, hal 78
94
Joko Subroto, Op. Cit hal, 68
95
Gunarsa, Singgih D, dan Gunarsa, Yulia Singgih D, Psikologi praktis: anak, remaja dan
keluarga. Indonesia, Gunung Mulia, 1991, hal 133.
96
Muhammad Z A, Ku Pilih Taat, Bogor, Guepedia, 2019, hal 10

94
itu Tekanan dari teman sebaya yang menggunakan narkoba dapat

membuat remaja penasaran, ingin mencoba, atau merasa perlu untuk

menyesuaikan diri agar diterima dalam kelompok tersebut. Hal inilah yang

memicu terjadinya tindak pidana Kekerasan yang dilakukan oleh remaja di

Kabupaten Bima.

3. Faktor Media

Faktor media adalah faktor lain yang juga menjadi alasan remaja di

Kabupaten Bima melakukan tindak pidana kekerasan. Menurut

WaKapolres Bima pak Abdurrahman, beliau menyatakan bahwa:

"Faktor media dapat mempengaruhi sikap dan perilaku remaja


melalui proses imitasi atau peniruan. Ia mengatakan bahwa remaja
yang sering menonton tayangan media yang mengandung
kekerasan, seperti film aksi, berita kriminal, atau game online, akan
cenderung meniru adegan-adegan kekerasan tersebut dalam
kehidupan nyata".97
Sejalan dengan hal tersebut Menurut Siti Makhmudah, bahwa

faktor media juga dapat memicu emosi negatif pada remaja, seperti

marah, benci, atau dendam, yang dapat menyebabkan mereka melakukan

kekerasan.98 senada dengan hal tersebut menurut Azimah Soebagijo,,

Pengaruh media pada remaja, tidak hanya iklan. Kekerasan Dan

pornografi juga kerap hadir di media massa, khususnya televisi. Hampir

dalam setiap program televisi, baik itu iklan, sinetron, film, hingga berita

97
Hasil Wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023.
98
Siti Makhmudah, Medsos Dan Dampaknya Pada perilaku Keagamaan Remaja, Bogor, GuePedia,
2019, hal 83

95
memuat kedua hal tersebut. Dari televisi juga kita mengetahui semakin

banyak remaja yang terpengaruh kedua hal itu. Yaitu, remaja yang

melakukan kejahatan fisik maupun seksual terhadap teman sebaya

maupun di bawah umur.99

Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa Remaja yang sering

terpapar tayangan media yang mengandung kekerasan, seperti film aksi,

berita kriminal, atau game online, memiliki kecenderungan untuk meniru

adegan-adegan kekerasan itu dalam kehidupan nyata.

Sejalan dengan hal tersebut menurut Pupu Saeful Rahmat, Mereka

dapat terinspirasi untuk melakukan kekerasan fisik, terutama ketika

mereka sudah terbiasa melihatnya dalam media. Selain itu, faktor media

juga bisa memicu emosi negatif pada remaja, seperti marah, benci, atau

dendam.100 Dengan demikian Remaja yang terpengaruh oleh tayangan

media yang mengandung kekerasan seringkali memiliki dorongan untuk

mengekspresikan emosi negatif tersebut dalam bentuk perilaku

kekerasan. Mereka mungkin menjadi lebih cenderung untuk melakukan

tindak pidana kekerasan sebagai bentuk penyaluran emosi yang tidak

sehat. Dan yang terpenting mereka belum memiliki kesadaran hukum

yang memadai sehingga akibatnya mereka cenderung melakukan tindak

pidana kekerasan. Menurut Abdul Kadir Kesadaran hukum merupakan

99
Azimah Soebagijo. Pornografi: dilarang tapi dicari, Depok, Gema Insani, 2008, hal 130
100
Pupu Sacful Rahmat, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta, PT Bumi Aksara,2018, hal 15

96
kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum

yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.101

4. Faktor Kesehatan Mental

Berdasarkan pada hasil wawancara Penulis dengan pihak dari

kepolisian Kabupaten Bima, Menurut pendapat pak Abdurrahman, beliau

menyatakan bahwa:

"banyak remaja di Kabupaten Bima yang mengalami masalah


kesehatan mental, seperti stres, depresi, trauma, atau gangguan
jiwa lainnya. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini antara lain
adalah kemiskinan, pengangguran, kekerasan dalam keluarga,
penyalahgunaan narkoba, dan kurangnya pendidikan. Kesehatan
mental yang buruk ini membuat mereka mudah terprovokasi,
emosional, agresif, dan tidak mampu mengendalikan diri.
Akibatnya, mereka sering terlibat dalam tindak pidana kekerasan,
baik sebagai pelaku maupun korban. Tindak pidana kekerasan ini
meliputi perkelahian antar kelompok, penganiayaan, pembunuhan,
pemerkosaan, dan lain-lain".102
Menurut Utami Nur Hafsari Putri, Nur'aini, Armita Sari, Shofia

Mawaddah, Bahwa Kesehatan mental anak dan remaja dapat

mempengaruhi masa depan dirinya sendiri sebagai individu, dan

berdampak pada keluarga hingga masyarakat.103 Kesehatan mental yang

buruk ini menyebabkan remaja rentan terprovokasi, agresif, dan terlibat

dalam tindak pidana kekerasan.

101
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal.
19
102
Hasil wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023.
103
Utami Nur Hafsari Putri, Nur'aini, Armita Sari, Shofia Mawaddah, Modul Kesehatan Mental,
Sumater, CV. Azka Pustaka, 2022, hal, 63

97
Menurut marty, Mawarpury dkk, kemiskinan dan pengangguran sebagai

faktor risiko yang mempengaruhi kesehatan mental remaja, juga

kekerasan dalam keluarga sebagai faktor risiko yang mempengaruhi

kesehatan mental remaja.104 Pada sisi yang lain kelemahan dari kontrol

sosial yang diberikan oleh orang tua kepada anak itu pun sangat

mempengaruhi proses dari perkembangan kepribadian dari remaja

tersebut. Menurut Astri Suliatyani, Lemahnya kontrol sosial merupakan

salah satu penyebab tingginya tingkat perilaku menyimpang di kalangan

remaja, terutama kontrol sosial dalam keluarga sangat berpengaruh

terhadap perilaku anak. Keluarga sebagai dasar kepribadian dan

pembentuk perilaku anak.105

5. Faktor pengaruh obat-obatan terlarang

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Pihak Kepolisian

Kabupaten Bima, Menurut pak Abdurrahman, beliau menyatakan bahwa:

"Banyak remaja di Kabupaten Bima yang terjerumus dalam


penyalahgunaan obat-obatan terlarang, seperti sabu, ganja,
bahkan lem fox, dan lain-lain. Faktor-faktor yang menyebabkan hal
ini antara lain adalah kurangnya kesadaran, pengaruh lingkungan,
tekanan hidup, dan mudahnya akses mendapatkan obat-obatan
tersebut. Obat-obatan terlarang ini berdampak negatif pada
kesehatan fisik dan mental remaja, seperti merusak organ tubuh,

104
Marty Mawarpury, Herdiyan Maulana, Maya Khairani, Endang Fourianalistyawati,Seri
Kesehatan Mental Indonesia: Kesehatan Mental di Indonesia Saat Pandemi, Press, Syiah Kuala
University 2022, hal 25.
105
Astri Sulistiani Risnaedi, Konsep Penanggulangan Perilaku Menyimpang Siswa, Jawa Barat,
Penerbit Adab CV. Adanu Abhimata, 2021, hal 7

98
menurunkan daya ingat, mengganggu keseimbangan hormon, dan
menyebabkan halusinasi".106
Menurut Reza Indragiri, penyalahgunaan narkoba mempengaruhi

seluruh dimensi kehidupan kehidupan individu dan masyarakat.107 Dari

pendapat tersebut dapat di pahami bahwa Akibat penyalahgunaan

obat-obatan terlarang tersebut, mereka menjadi tidak rasional, impulsif,

paranoid, dan kehilangan rasa empati. Mereka sering terlibat dalam tindak

pidana kekerasan, baik sebagai pelaku maupun korban. Tindak pidana

kekerasan ini meliputi pencurian, perampokan, pembacokan, dan lain-lain

Menurut pandangan Sujono dan Bony Daniel, Dampak negatif

penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang pada perilaku sosial

pengguna, seperti menurunnya prestasi akademik atau kerja,

meningkatnya tindak pidana kekerasan, merusak hubungan keluarga dan

masyarakat, serta menyebabkan stigma sosial.108 Dari pendapat tersebut

dapat dipahami bahwa banyak remaja di Kabupaten Bima terjerumus

dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang, seperti sabu, ganja, dan

lem fox. Faktor-faktor seperti kurangnya kesadaran, pengaruh lingkungan,

dan tekanan hidup menjadi penyebabnya. Penyalahgunaan obat-obatan

ini berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental remaja.

106
Hasil wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023.
107
Amriel, Reza Indragiri. Psikologi Kaum Muda Pengguna Narkoba. Jakarta, Salemba
Humanika, 2008, hal 8.
108
A.R. Sujono dan Bony Daniel, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal 39

99
Menurut Putu Darma Mahardipa, dkk, Penggunaan narkoba akan

menyebabkan kehilangan keseimbangan ion yang ada di dalam tubuh

seorang, selain itu juga mengakibatkan badan menjadi kehilangan cairan.

Apabila hal ini terjadi terus menerus pada tubuh seseorang yang

mengkonsumsi narkoba maka akan menyebabkan tubuh menjadi kaku,

watak seseorang akan lebih agresif dan rasa sesak yang dirasakan pada

bagian dada. Jika hal ini terus terjadi akibat yang dialami dari dehidrasi ini

dapat menyebabkan kerusakan pada sistem kerja otak.109 Akibatnya, para

remaja di Kabupaten Bima tersebut menjadi rentan untuk terlibat dalam

tindak pidana kekerasan.

6. Faktor lingkungan sosial

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Pihak Kepolisian

Kabupaten Bima, Menurut keterangan pak Abdurrahman, dia menyatakan

bahwa:

"Faktor lingkungan sosial juga ikut menjadi faktor yang memicu


terjadinya tindak pidana kekerasan tersebut. Lingkungan sosial
yang kurang mendukung, seperti keluarga yang tidak harmonis,
teman sebaya yang berperilaku menyimpang, media sosial yang
memberikan informasi negatif, dapat mempengaruhi sikap dan
mental remaja. Remaja yang tidak mendapatkan bimbingan dan
pengawasan yang baik dari orang tua dan lingkungan sekitarnya,
cenderung mudah terprovokasi dan melakukan tindakan anarkis
yang meresahkan masyarakat".110

109
Putu Darma Mahardipa, dkk, Bunga Rampai Isu-Isu Krusial tentang Narkotika, Alkohol,
Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, Boyolali, Lakeisha, 2022. hal 10
110
Hasil wawancara dengan Pak Abdurrahman, WaKapolres Kompol Kabupaten Bima,
Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023.

100
Menurut Nana Mulyana dkk, bahwa Faktor Lingkungan, baik itu

Lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi di mana remaja tumbuh dapat

mempengaruhi perkembangan mereka. Pengaruh keluarga, teman

sebaya, dan masyarakat akan membentuk identitas dan nilai-nilai

remaja.111 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan

sosial yang kurang mendukung, seperti keluarga yang tidak harmonis,

teman sebaya yang berperilaku menyimpang, media sosial yang

memberikan informasi negatif,memiliki dampak signifikan terhadap

terjadinya tindak pidana kekerasan oleh remaja.

Menurut Fitrawan Umar, bahwa Iklim lingkungan yang tidak sehat

tersebut, cenderung memberikan dampak yang kurang baik bagi

perkembangan remaja dan sangat mungkin mereka akan mengalami

kehidupan yang tidak nyaman, stress atau depresi bahkan melakukan

tindak kekerasan pada orang lain. Dalam kondisi seperti inilah, banyak

remaja yang meresponnya dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar

dan bahkan amoral, seperti kriminalitas, meminum minuman keras,

penyalahgunaan obat terlarang. tawuran dan pergaulan bebas.112 Dari

pendapat tersebut dapat dipahami bahwa, iklim lingkungan yang tidak

sehat dapat mempengaruhi perilaku remaja dan membuat mereka rentan

terhadap kekerasan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bima. Remaja yang

111
Nana Mulyana dkk,Pencegahan Konflik Sosial Dan Penanggulangan Kenakalan Remaja,
Tasikmalaya, edu Publisher, 2023, hal 5
112
Fitrawan Umar, Strategi Konselor Dalam Upaya Menanggulangi Kenakalan Remaja,
Tasikmalaya, edu Publisher, 2021, hal 36.

101
mengalami stress atau depresi dapat berperilaku agresif dan melakukan

tindak kekerasan terhadap orang lain, seperti tawuran dan perkelahian.

Selain itu, penyalahgunaan obat terlarang dan pergaulan bebas dapat

membuat mereka lebih impulsif dan tidak berpikir jernih, sehingga

memperbesar risiko terlibat dalam tindak kriminal dan kekerasan.

Menurut Kun Maryati & Juju Suryawati, Bentuk kenakalan remaja,

antara lain pemerasan, perampokan, pencurian, penggunaan narkoba,

bahkan pembunuhan. Dari beberapa penelitian, diperoleh kenyataan

bahwa remaja yang terlibat dalam kenakalan seperti disebutkan di atas

tidak hanya datang dari golongan bawah saja. tetapi banyak juga datang

dari golongan mampu. Jadi, kemiskinan bukan satu-satunya penyebab

seorang anak terjerumus dalam tindakan menyimpang. Faktor lain yang

juga mendukung timbulnya masalah ini, misalnya adanya perkumpulan

pemuda atau gank, serta pengaruh dari film atau bacaan porno. Tingkat

umur para pelaku kejahatan remaja ini pun beragam, mulai dari yang

masih duduk di bangku sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.113 Dari

pendapat tersebut jika dikorelasikan dengan tindak kekerasan yang

dilakukan remaja diKabupaten Bima maka dapat dikatakan bahwa Tindak

pidana kekerasan yang dilakukan remaja di Kabupaten Bima dapat

dikaitkan dengan bentuk kenakalan remaja yang disebutkan sebelumnya,

seperti pemerasan, perampokan, dan pembunuhan. Kemiskinan yang

menjadi salah satu faktor risiko juga dapat menjadi pemicu terjadinya

113
Kun Maryati, Juju Suryawati, Sosiologi, Jilid 3, Semarang, Esis, 2021, hal 23

102
tindak kekerasan remaja, karena kebutuhan ekonomi yang sulit terpenuhi

dapat membuat remaja mencari cara lain untuk memperoleh kebutuhan

tersebut. Pengaruh dari perkumpulan pemuda atau gank juga dapat

berkontribusi dalam tindak pidana kekerasan remaja di Kabupaten Bima.

Rasa solidaritas dan dorongan dari kelompok sebaya yang

melakukan kejahatan dapat mempengaruhi remaja untuk terlibat dalam

aksi kekerasan. Pengaruh dari film atau bacaan porno juga dapat menjadi

faktor pemicu tindak pidana kekerasan remaja. Konsumsi konten yang

mengandung kekerasan atau pornografi dapat mempengaruhi mental dan

perilaku remaja, sehingga mereka cenderung melakukan

tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Tingkat umur para pelaku

kejahatan remaja ini pun bervariasi, mulai dari yang masih duduk di

bangku sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan

bahwa tindak kekerasan remaja tidak terbatas pada kelompok usia

tertentu, melainkan dapat terjadi di berbagai tingkatan pendidikan.

Oleh karena itu faktor lingkungan sosial memiliki peran penting

dalam memicu terjadinya tindak pidana kekerasan. Lingkungan sosial

yang kurang mendukung, seperti keluarga yang tidak harmonis, teman

sebaya yang berperilaku menyimpang, dan media sosial yang

memberikan informasi negatif, dapat berpengaruh pada sikap dan mental

remaja. Keluarga yang tidak harmonis dapat menyebabkan remaja

merasa tidak mendapatkan dukungan emosional dan komunikasi yang

sehat. Hal ini dapat meningkatkan risiko mereka terjerumus dalam

103
tindakan kekerasan sebagai bentuk ekspresi perlarian atau frustrasi.

Teman sebaya yang berperilaku menyimpang juga dapat mempengaruhi

remaja dalam mengadopsi perilaku serupa atau terlibat dalam lingkungan

yang berpotensi konflik.

Pengaruh negatif dari teman sebaya ini bisa membuat remaja

terlibat dalam kegiatan kekerasan. Selain itu, media sosial juga berperan

dalam membentuk sikap dan perilaku remaja. Konten yang negatif dan

tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang baik dapat mempengaruhi

persepsi dan tindakan remaja. Informasi negatif yang disebarkan melalui

media sosial dapat memicu remaja untuk melakukan tindakan kekerasan.

Ketika remaja tidak mendapatkan bimbingan dan pengawasan yang baik

dari orang tua dan lingkungan sekitarnya, mereka cenderung mudah

terprovokasi dan melakukan tindakan anarkis yang meresahkan

masyarakat. Kurangnya pengawasan dan bimbingan dapat membuat

remaja tidak memiliki batasan yang jelas dan merasa bebas untuk

melakukan kekerasan.

C. Upaya Dan Faktor-faktor Yang Menghambat Proses Penegakan

Hukum Oleh Aparat Kepolisian Dalam Menanggulangi Tindak Pidana

Kekerasan Remaja Di Kabupaten Bima

Aparat penegak hukum merupakan salah satu pilar dari

keberhasilan penegakan hukum, artinya apabila aparat penegak hukum

tidak profesional, maka penegakan hukum akan serampangan. Aturan

104
hukum yang baik tanpa aparat penegak hukum yang baik dan profesional

tentu berdampak pada penegakan hukumnya, berlaku pula sebaliknya

aparat penegak hukum yang sudah baik dengan aturan hukum yang tidak

baik berdampak tidak baik juga pada penegakan hukumnya.114

Polisi adalah bagian dari aparat pemerintah yang amat besar

peranannya dalam menciptakan suasana aman di masyarakat. Selain

melayani masyarakat, polisi juga bertugas menegakkan hukum dan

menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Bila timbul konflik di

masyarakat, polisi dapat menjadi penengah di antara pihak-pihak yang

bertikai.115

Kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum diantara

sekian banyak aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan

melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan untuk semua perkara

pidana.

1. Upaya aparat kepolisian dalam mengatasi tindak pidana

kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima.

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau

menanggulangi kejahatan (politik kriminal), sudah barang tentu tidak

114
Ayu Eza Tiara, Arif Maulana, Muhammad Retza Billiansya, Kepolisian Dalam Bayang-Bayang
Penyiksaan (Catatan Kasus Penyiksaan Sepanjang Tahun 2013 s.d. 2016), Jakarta, LBH, 2021, hal
117
115
Rizal Panggabean,Manajemen Konflik Untuk Polis, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hal 10.i

105
hanya menggunakan sarana penal (hukum pidana), namun juga dengan

menggunakan sarana-sarana non penal. Usaha-usaha non penal ini

misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka

mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan

jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya,

peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan

patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat

keamanan lainnya dan sebagainya. usaha-usaha non penal ini dapat

meliputi bidang yang sangat luas di seluruh sektor kebijakan sosial.116

Bagi anak-anak nakal (Remaja) tersebut bisa dijatuhkan hukuman

atau sanksi berupa tindakan atau pidana apabila terbukti melanggar

peraturan perundang-undangan hukum pidana, seperti yang diamanatkan

Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak. Dalam Pasal 69, undang-undang ini menegaskan bahwa terhadap

anak yang berkonflik dengan hukum dapat dijatuhi pidana dan tindakan.

Dalam hal ini. ada di antara pidana dan tindakan tersebut yang

memungkinkan anak yang berkonflik dengan hukum, yang setelah dijatuhi

pidana disebut dengan anak pidana, untuk ditempatkan di Lembaga

Pembinaan Khusus Anak, yaitu pidana penjara, kurungan, dan tindakan

menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja.117

116
Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Laksbang Grafika,2013, hal 159.
117
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Anak di Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika, 2022, hal 80

106
Berdasarkan pada teori tujuan pemidanaan yaitu teori gabungan,

menurut teori ini, pidana dijatuhkan dengan mempertimbangkan unsur

pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini

menitikberatkan kedua unsur tersebut secara seimbang. Dari perspektif

ini, hukuman atau sanksi yang dijatuhkan kepada anak yang berkonflik

dengan hukum adalah sebagai bentuk keadilan dari negara atau

masyarakat terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh anak tersebut,

sekaligus sebagai bentuk pencegahan dari kejahatan yang mungkin

dilakukan oleh anak tersebut di masa depan.

Khusus penanganan perkara tindak pidana, anak dilarang ditahan

sepanjang ada jaminan orang tua atau wali atau pendamping atau

lembaga anak, tidak melarikan diri, tidak menghalangi dan menghilangkan

atau merusak barang bukti, dan berjanji tidak melakukan tindak pidana

lagi. Bukan berarti anak tidak boleh dilakukan penahanan. Penahanan

anak bisa dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:118

1. Anak sudah berusia minimal 14 (empat belas) tahun atau lebih.

2. Anak telah disangka berbuat pidana diancam pidana minimal

penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

3. Surat penahanan menyatakan tegas anak ditahan.

4. Selama ditahan hak anak baik kebutuhan jasmani, rohani dan

sosial wajib tetap dipenuhi.

118
Lefti Michael dkk, Perlindungan Anak Dan Hukum Pidana Anak, Global Eksekutif Teknologi,
2023. hal 144

107
5. Anak ditahan bisa ditempatkan di Lembaga Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Dari perspektif teori tujuan pemidanaan dengan menggunakan teori

gabungan teori tersebut menekankan bahwa penahanan anak yang

berkonflik dengan hukum adalah sebagai bentuk keadilan dari negara

atau masyarakat terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh anak

tersebut, sekaligus sebagai bentuk pencegahan dari kejahatan yang

mungkin dilakukan oleh anak tersebut di masa depan. Penahanan anak ini

menyesuaikan dengan tingkat kesalahan dan kepentingan anak, serta

memberikan kesempatan kepada anak untuk memperbaiki diri dan

berkontribusi bagi masyarakat. Oleh karena itu, penahanan anak ini harus

memenuhi syarat-syarat yang proporsional, seperti usia, ancaman pidana,

surat penahanan, jaminan, dan tempat penahanan.

Tindak pidana kekerasan yang dilakukan remaja di Kabupaten

Bima termasuk dalam kategori tindak pidana anak, karena pelakunya

berusia di bawah 18 tahun. Tindak pidana kekerasan yang dilakukan

remaja di Kabupaten Bima dapat dilakukan penahanan, jika memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan, yaitu: anak sudah berusia minimal 14 tahun

atau lebih, anak telah disangka berbuat pidana diancam pidana minimal

penjara 7 tahun atau lebih, surat penahanan menyatakan tegas anak

ditahan, selama ditahan hak anak baik kebutuhan jasmani, rohani dan

sosial wajib tetap dipenuhi, dan anak ditahan bisa ditempatkan di

Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

108
Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Pihak Kepolisian

Kabupaten Bima Pak Masdidin, beliau menyatakan bahwa:

Upaya kita dalam menanggulangi tindak pidana Kekerasan yang


dilakukan oleh remaja itu sifatnya sangat kasuistis, mengingat
remaja ini juga masuk dalam kategori anak, dan artinya pola
penanganannya pun sangat tergantung pada jenis kasus serta
motif dan umur dari anak yang berkonflik dengan hukum tersebut.
Misalnya remaja yang melakukan pencurian sepeda motor rata-rata
umurnya 15-17 tahun tentunya ini akan kita proses secara hukum.
sebab berdasarkan Pasal 69 Ayat 2 UU SPPA, anak yang
berkonflik dengan hukum tetapi belum genap berusia 14 tahun
hanya dapat dikenai tindakan dan tidak dapat dilakukan penahanan
atau pidana badan. Kemudian anak yang telah berumur diatas 14
Tahun dapat kita proses secara hukum sesuai dengan UU SPPA
yang berlaku.119
Dari pendapat diatas dapat dirumuskan bahwa anak remaja di

Kabupaten Bima yang melakukan tindak pidana pencurian motor harus

menjalani sistem peradilan pidana anak, yang berbeda dari sistem

peradilan pidana dewasa, dan berlandaskan pada hukum pidana materiil

anak, hukum pidana formal anak, dan hukum pelaksanaan sanksi hukum

pidana anak.

Sementara Anak yang berhadapan dengan hukum" yang dimaksud oleh

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menurut

Pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2012, terdiri atas:120

1. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum

119
Akp Masdidin, Bagian Staf Reskrim Polres Bima, Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023
120
Wiyono, R.. Sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Indonesia, Sinar Grafika, 2016, hal 14

109
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana (Pasal 1 angka 3).

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut

anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4).

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut

anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau

dialaminya sendiri (Pasal 1 angka 5).

Dari keterangan pasal di atas dapat dirumuskan bahwa .Anak

remaja di Kabupaten Bima yang melakukan tindak pidana pencurian

motor dapat dijerat oleh hukum karena umur mereka sudah di atas 12

tahun, yang merupakan batas minimal untuk menjadi anak yang berkonflik

dengan hukum (Pasal 1 angka 3).

Setyo Wahyudi, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan

sistem peradilan pidana anak adalah sistem penegakan hukum peradilan

pidana anak yang terdiri atas subsistem penyidikan anak, subsistem

penuntutan anak, subsistem pemeriksaan hakim anak, dan subsistem

pelaksanaan sanksi hukum pidana anak yang berlandaskan hukum

pidana materiil anak dan hukum pidana formal anak dan hukum

110
pelaksanaan sanksi hukum pidana anak.121 Tujuan penyelenggaraan

sistem peradilan anak tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan

sanksi pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih

difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut

sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku

tindak pidana. Mencermati pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

tujuan dari sistem peradilan pidana anak adalah untuk mewujudkan

kesejahteraan anak pelaku tindak pidana, bukan hanya untuk

menjatuhkan sanksi pidana. Oleh karena itu, sanksi pidana yang diberikan

kepada anak remaja di Kabupaten Bima yang melakukan tindak pidana

pencurian motor harus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak dan

mengutamakan pendidikan dan pembinaan.

Mengenai upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam

menanggulangi tindak pidana kekerasan pemanahan yang dilakukan oleh

remaja selaku sebagai anak di bawah umur secara terbuka di tempat

umum perkampungan maupun di tempat-tempat keramaian dilakukan

dengan tiga metode yaitu sebagai berikut:

a. Upaya Pre-emptif

Menurut M Kemal, Pre-emtif adalah kebijakan yang melihat akar

masalah utama penyebab terjadinya kejahatan melalui pendekatan sosial,

121
Setyo Wahyudi, Implementasi Ide Diversi, Genta Publishing Yogyakarta, 2011, Cetakan ke-l,
hlm. 16

111
pendekatan situasional dan pendekatan kemasyarakatan untuk

menghilangkan unsur Potensi Gangguan (Faktor Korelatif Kriminogen).122

Metode pre-emptif adalah salah satu pendekatan dalam

pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh kepolisian. Metode ini

bertujuan untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal sejak dini dengan

upaya-upaya psikis atau moril. Pendekatan ini berfokus pada edukasi dan

pengajakan kepada masyarakat agar mematuhi dan menghormati

norma-norma yang berlaku. Dalam metode pre-emptif, kepolisian

melakukan kegiatan seperti sosialisasi, penyuluhan, dan kampanye untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat tentang konsekuensi dari

pelanggaran hukum. Mereka juga mengajak masyarakat untuk aktif

berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan

mereka.

Dalam konteks tindak pidana kekerasan yang dilakukan remaja di

Kabupaten Bima, metode pre-emptif dapat digunakan untuk mencegah

terjadinya tindakan kriminal tersebut. Keberhasilan metode ini tergantung

pada upaya aktif kepolisian dalam melakukan edukasi dan pengajakan

kepada remaja serta masyarakat secara umum untuk menjauhi kekerasan

dan mematuhi norma-norma yang berlaku. Dalam rangka menanggulangi

tindak pidana kekerasan yang terjadi di Kabupaten Bima, Polres Bima

menganggap metode pre-emptif sebagai pendekatan yang tepat dan

122
M. Kemal.Darmawan, Strategi Kepolisian Dalam Pencegahan Kejahatan, Sinar Grafika, Jakarta,
2012, hlm 46

112
efektif. Metode ini merupakan strategi yang diterapkan sejak dini untuk

mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan remaja di masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Pihak Kepolisian

Kabupaten Bima Menurut Pak Hariyanto selaku sebagai kepala Polres

Kabupaten Bima beliau mengatakan bahwa :

"Kami menyadari bahwa tindak pidana kekerasan remaja


merupakan permasalahan serius yang membutuhkan solusi yang
komprehensif. Oleh karena itu, Polres Bima berkomitmen untuk
melaksanakan metode pre-emptif dengan maksimal dan
berkesinambungan.Melalui metode pre-emptif, Polres Bima akan
meningkatkan upaya sosialisasi, penyuluhan, dan kampanye
kepada remaja dan masyarakat Kabupaten Bima. Kami akan
memberikan pemahaman tentang konsekuensi dari tindak pidana
kekerasan, mengajak remaja agar menjauhi kekerasan, serta
menghormati serta mematuhi norma-norma sosial yang berlaku.
Kami juga akan melakukan pemantauan terhadap remaja yang
berpotensi melakukan tindak pidana kekerasan, serta memberikan
bimbingan dan pendampingan yang diperlukan. Kami meyakini
bahwa dengan pendekatan pre-emptif yang aktif dan melibatkan
seluruh stakeholder, tindak pidana kekerasan remaja dapat
diminimalisir secara signifikan. Dalam melaksanakan metode ini,
Polres Bima akan terus melakukan evaluasi dan penyesuaian
sesuai dengan perkembangan situasi dan kebutuhan masyarakat
Kabupaten Bima".123
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kejahatan merupakan

masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh suatu masyarakat tertentu

atau negara tertentu, tetapi merupakan masalah yang dihadapi oleh

seluruh masyarakat di dunia.124 Demikian juga dengan tindak pidana

Kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima. Tindak pidana

123
Hasil wawancara dengan Pak Hariyanto Kapolres Kabupaten Bima, Wawancara, Bima, 27
Agustus 2023.
124
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang: CV Ananta, 1994, hlm. 11

113
kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima dapat dianggap

sebagai salah satu bentuk kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.

Adapun metode Pre-emptif yang sejatinya patut untuk dilakukan

oleh aparat kepolisian kabupaten Bima dalam mengatasi tindak pidana

kekerasan yang dilakukan oleh remaja tersebut antara lain :

1. Keterbukaan dan transparansi

Kepolisian perlu menjaga komunikasi yang terbuka dan transparan

dengan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan,

pertemuan, atau dialog yang melibatkan warga. Dalam kegiatan ini,

kepolisian dapat memberikan informasi yang lebih mendalam mengenai

tindak pidana kekerasan dan langkah-langkah pencegahannya. Selain itu,

kepolisian juga perlu menerima masukan dan tanggapan dari masyarakat

terkait kebijakan dan program yang ada.

Namun fakta yang penulis temukan di lapangan bahwa aparat

kepolisian yang dalam hal ini komunikasi secara terbuka dan transparan

dengan masyarakat, dalam upaya Pre-emptif ini aparat kepolisian

kabupaten Bima terlihat sangat cacat untuk mengatasi secara Pre-emptif

terhadap tindak pidana Kekerasan yang dilakukan oleh Remaja yang

berada di kabupaten Bima.

Adapun hasil wawancara penulis dengan salah satu tokoh

masyarakat Bapak Abu Bakar, yang ada di Desa Cenggu, Kecamatan

Belo Kabupaten Bima menyatakan bahwa:

114
“Kami merasa kecewa dengan kinerja kepolisian yang tidak sesuai
dengan apa yang dijanjikan. Kepolisian seharusnya menjaga
komunikasi yang terbuka dan transparan dengan masyarakat,
namun kenyataannya tidak demikian. Kami jarang mendapat
informasi yang jelas mengenai tindak pidana kekerasan dan
langkah-langkah pencegahannya".125
Menurut teori efektivitas hukum, hukum harus dapat merealisasikan

tujuannya untuk mengatur atau membentuk perilaku anggota masyarakat.

Namun, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas

hukum, seperti struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur hukum

meliputi unsur-unsur seperti jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi,

cara naik banding, dan organisasi badan legislatif. Substansi hukum

meliputi aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada dalam

sistem hukum. Budaya hukum meliputi sikap-sikat dan nilai-nilai yang ada

hubungan dengan hukum dan sistem hukum.

Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Abu Bakar, dapat

dilihat bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpuasan

masyarakat terhadap kinerja kepolisian. Pertama, struktur hukum yang

kurang memadai, yaitu tidak adanya sistem pengendalian sosial yang

bersifat memaksa, seperti kepolisian, pengadilan, dan sebagainya, yang

dapat menegakkan hukum secara efektif. Kedua, substansi hukum yang

tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, yaitu tidak adanya komunikasi

yang terbuka dan transparan dengan masyarakat mengenai tindak pidana

kekerasan dan langkah-langkah pencegahannya. Ketiga, budaya hukum

125
Hasil wawancara dengan Abubakar selaku tokoh masyarakat di Desa Cenggu, Kecamatan Belo
Kabupaten Bima, Tanggal 29 Agustus, 2023

115
yang tidak mendukung, yaitu tidak adanya kesadaran dan kepatuhan

masyarakat terhadap hukum, serta tidak adanya kepercayaan dan

keterlibatan masyarakat dalam proses penegakan hukum.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu tokoh Pak

Hermansyah, masyarakat yang ada di Desa Kalampa, Kecamatan Woha,

Kabupaten Bima menyatakan bahwa:

"Kami tidak merasa dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan,


pertemuan, atau dialog yang diadakan oleh kepolisian. Kami
merasa diabaikan dan tidak dihargai sebagai warga negara.
Akibatnya, kami merasa tidak aman dan tidak nyaman di
lingkungan kami sendiri".126
Menurut teori efektivitas hukum, salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi efektivitas hukum adalah budaya hukum, yaitu sikap dan

nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum. Budaya

hukum yang baik harus mencerminkan rasa hormat, kepercayaan, dan

keterlibatan masyarakat dalam proses penegakan hukum. Namun, dari

hasil wawancara penulis dengan Pak Hermansyah, dapat dilihat bahwa

budaya hukum yang ada di Desa Kalampa, Kecamatan Woha, Kabupaten

Bima sangat rendah. Masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan

penyuluhan, pertemuan, atau dialog yang diadakan oleh kepolisian.

Masyarakat merasa diabaikan dan tidak dihargai sebagai warga negara.

Akibatnya, masyarakat merasa tidak aman dan tidak nyaman di

lingkungan mereka sendiri.

126
Hasil wawancara dengan Hermansyah, selaku tokoh masyarakat di Desa Kalampa, Kecamatan
Woha, Kabupaten Bima, Tanggal 28 Agustus, 2023

116
Hal ini menunjukkan bahwa ada ketidaksesuaian antara harapan

dan kenyataan yang dialami oleh masyarakat terkait dengan kinerja

kepolisian. Kepolisian seharusnya menjadi mitra dan pelayan masyarakat,

bukan sebagai penguasa atau penindas masyarakat. Kepolisian

seharusnya menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat, serta

memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai hukum dan hak asasi

manusia. Kepolisian seharusnya menghargai dan mengakui peran serta

masyarakat dalam mencegah dan menangani tindak pidana kekerasan.

Dengan demikian, masyarakat akan merasa dihormati dan dipercaya,

serta bersedia bekerja sama dengan kepolisian dalam penegakan hukum.

2. Kolaborasi dan partisipasi aparat penegak hukum kepada

masyarakat

Keberhasilan dalam pencegahan kekerasan remaja juga

membutuhkan kolaborasi antara kepolisian dan masyarakat. Kepolisian

perlu melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengawasan, patroli

lingkungan, dan penanganan dini potensi kekerasan. Melalui program ini,

masyarakat akan merasa memiliki peran yang penting dalam menjaga

lingkungan mereka. Dalam hal ini, kepolisian dapat memberikan pelatihan

dan arahan kepada masyarakat mengenai tanda-tanda kekerasan remaja

dan cara melaporkannya.

Namun fakta yang penulis temukan di lapangan kolaborasi dan

kepolisian dengan masyarakat sangat lemah, hal ini bukan karena

117
masyarakat yang tidak mau melakukan kolaborasi tetapi dari aparat

kepolisian kabupaten Bima sendiri yang sangat kurang sekali untuk

melakukan tindakan tersebut sebagai upaya untuk mengatasi tindak

pidana Kekerasan yang dilakukan oleh remaja di kabupaten Bima.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu tokoh

masyarakat Bapak Suhardin, yang ada di Desa Tente, Kecamatan Woha

Kabupaten Bima yang merasa tidak puas dengan tindakan dari aparat

kepolisian kabupaten Bima dia menyatakan bahwa:

“Kami merasa tidak puas dengan tindakan kepolisian yang sangat


kurang melakukan kolaborasi dengan masyarakat untuk mengatasi
tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten
Bima. Kami merasa bahwa kepolisian tidak peduli dengan nasib
dan keselamatan kami sebagai masyarakat. Kami merasa bahwa
kepolisian tidak memberikan perhatian dan dukungan yang cukup
kepada kami dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan
remaja".127
Berdasarkan pada teori Legal sistem yang dapat digunakan

sebagai alat untuk mengukur efektivitas peranan Kepolisian kabupaten

bima dalam mengatasi tindak pidana Kekerasan Remaja di kabupaten

bima. Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Suhardin, dapat dilihat

bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpuasan

masyarakat terhadap tindakan kepolisian.

Pertama, struktur hukum yang kurang efektif, yaitu tidak adanya

kolaborasi yang baik antara kepolisian dan masyarakat dalam mengatasi

127
Hasil wawancara dengan Suhardin selaku tokoh masyarakat di Desa Tente, Kecamatan Woha,
Kabupaten Bima, Tanggal 29 Agustus, 2023

118
tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Kepolisian

seharusnya berperan sebagai fasilitator, mediator, dan koordinator dalam

menyelesaikan masalah sosial yang melibatkan remaja. Kedua, substansi

hukum yang kurang memadai, yaitu tidak adanya aturan, norma, dan

perilaku yang mengatur dan mengikat remaja dalam berinteraksi dengan

masyarakat. Remaja seharusnya mendapat bimbingan, pendidikan, dan

pengawasan dari orang tua, sekolah, dan masyarakat dalam membentuk

karakter dan moral yang baik. Ketiga, budaya hukum yang kurang

mendukung, yaitu tidak adanya rasa peduli, tanggung jawab, dan

solidaritas antara masyarakat dan kepolisian dalam hal pencegahan dan

penanganan kekerasan remaja. Masyarakat seharusnya berpartisipasi

dan berkontribusi dalam memberikan informasi, saran, dan dukungan

kepada kepolisian dalam menangani kasus-kasus kekerasan remaja.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu tokoh

masyarakat Bapak Junaidi, yang ada di Desa Talabiu, Kecamatan Woha

Kabupaten Bima yang merasa tidak puas dengan tindakan dari aparat

kepolisian kabupaten Bima dia menyatakan bahwa:

"Kami merasa bahwa seolah aparat kepolisian tidak lagi peduli


dengan nasib dan keselamatan kami sebagai masyarakat di tengah
maraknya tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja
yang berada di kabupaten bima terlebih lagi desa Talabiu yang
mana jenis kekerasan yang paling sering terjadi disini adalah
pemanahan yang terjadi di malam hari yang dilakukan oleh anak
dibawah umur, kepolisian seolah tutup mata dan telinga terhadap
ketakutan yang kami alami sebagai masyarakat".128

128
Hasil wawancara dengan Junaidi selaku tokoh masyarakat di Desa Talabiu, Kecamatan Woha,
Kabupaten Bima, Tanggal 29 Agustus, 2023

119
Jika dilihat dari kacamata teori Efektivitas hukum berdasarkan pada

hasil wawancara penulis dengan Bapak Junaidi, dapat dilihat bahwa ada

beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat terhadap

tindakan kepolisian. Pertama, struktur hukum yang tidak efisien, yaitu

tidak adanya penyebaran dan penempatan personel kepolisian yang

cukup dan merata di seluruh wilayah Kabupaten Bima, khususnya di Desa

Talabiu. Kepolisian seharusnya memiliki sumber daya manusia yang

memadai dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak

hukum. Kedua, substansi hukum yang tidak efektif, yaitu tidak adanya

aturan, norma, dan perilaku yang mengatur dan mengikat remaja yang

melakukan tindak pidana kekerasan, khususnya pemanahan.

Remaja seharusnya mendapat sanksi yang tegas dan proporsional

sesuai dengan tingkat kesalahan dan dampak yang ditimbulkan. Ketiga,

budaya hukum yang tidak kondusif, yaitu tidak adanya rasa peduli,

tanggung jawab, dan kewaspadaan dari masyarakat dan kepolisian dalam

hal pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan remaja.

3. Pembentukan posko keamanan

Pembentukan posko keamanan oleh masyarakat dengan dukungan

kepolisian dapat menjadi sarana untuk mengawasi keamanan lingkungan

sehari-hari. Posko keamanan ini dapat dilengkapi dengan sistem

pelaporan adanya kejadian atau kejanggalan yang mencurigakan.

120
Keberadaan posko ini juga dapat meningkatkan keberanian masyarakat

dalam melaporkan tindak kekerasan remaja yang mereka lihat atau alami.

Adapun hasil wawancara penulis dengan salah satu tokoh

masyarakat Bapak Iskandar yang ada di Desa Darussalam, Kecamatan

Bolo, Kabupaten Bima menyatakan bahwa:

"kita disini sebagai Masyarakat merasa kecewa dan tidak puas


dengan kinerja polres kabupaten bima yang tidak responsif dan
tidak proaktif dalam menangani masalah kekerasan remaja di
kabupaten bima. Mereka menilai bahwa polres kabupaten bima
tidak peduli dengan keselamatan dan kenyamanan masyarakat
yang sering menjadi korban dari tindak kekerasan remaja".129
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Iskandar,

dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan

ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja polres kabupaten bima. Jika

dilihat dari teori Legal sistem, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan

budaya hukum, Dari ketiga unsur tersebut, dapat dilihat bahwa polres

kabupaten bima tidak menunjukkan efektivitas hukum yang baik dalam

menangani masalah kekerasan remaja di kabupaten bima. Pertama,

struktur hukum yang tidak responsif dan tidak proaktif, yaitu tidak adanya

tindakan cepat dan tepat dari polres kabupaten bima dalam menanggapi

dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan remaja yang terjadi di

kabupaten bima.

129
Hasil wawancara dengan Iskandar selaku tokoh masyarakat di Desa Darussalam, Kecamatan
Bolo, Kabupaten Bima, Tanggal 30 Agustus, 2023

121
Polres kabupaten bima seharusnya memiliki sumber daya manusia

yang memadai dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai

penegak hukum. Kedua, substansi hukum yang tidak memadai, yaitu tidak

adanya aturan, norma, dan perilaku yang mengatur dan mengikat remaja

yang melakukan tindak kekerasan, serta memberikan sanksi yang tegas

dan proporsional sesuai dengan tingkat kesalahan dan dampak yang

ditimbulkan. Remaja seharusnya mendapat bimbingan, pendidikan, dan

pengawasan dari orang tua, sekolah, dan masyarakat dalam membentuk

karakter dan moral yang baik. Ketiga, budaya hukum yang tidak kondusif,

yaitu tidak adanya rasa peduli, tanggung jawab, dan solidaritas antara

masyarakat dan polres kabupaten bima dalam hal pencegahan dan

penanganan kekerasan remaja.

b. Upaya preventif

Metode Preventif merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan

untuk mencegah timbulnya kejahatan dengan tindakan pengendalian dan

pengawasan, atau menciptakan suasana yang kondusif guna mengurangi

dan selanjutnya menekan agar kejahatan itu tidak berkembang ditengah

masyarakat.

Berdasarkan wawancara dengan Pak Haryanto selaku sebagai

Kepala Kapolres Kabupaten Bima, menyatakan upaya preventif yang

dilakukan Polres Bima yaitu:130

130
Hasil wawancara dengan Pak Hariyanto Kapolres Kabupaten Bima, Wawancara, Bima, 27
Agustus 2023

122
1. Penyuluhan-penyuluhan hukum oleh tim kepolisian kepada
masyarakat baik formal maupun nonformal. Bekerja sama dengan
Pemerintah Daerah, instansi-instansi, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan Masyarakat.
2. Menempatkan anggota kepolisian untuk berpatroli ke daerah yang
dianggap rawan terjadinya tindak pidana kekerasan yang lebih
khususnya lagi pelaknya di dilakukan oleh anak dibawah umur.
3. Mengadakan Patroli keliling untuk mencegah/ mempersempit
kekerasan pemanahan serta melakukan patroli keamanan secara
rutin setiap daerah-daerah yang dianggap rawan terjadinya tindak
kejahatan kekerasan pemanahan.
Menurut analisis penulis, Penyuluhan hukum oleh tim kepolisian

kepada masyarakat baik formal maupun nonformal dilakukan dengan

bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, instansi-instansi, LSM, dan

masyarakat, Seharusnya dilakukan dengan langkah-langkah sebagai

berikut untuk mengatasi tindak pidana Kekerasan yang dilakukan oleh

remaja di kabupaten bima :

1. Identifikasi Daerah Yang Rawan

Tim kepolisian akan melakukan analisis terhadap daerah yang

dianggap rawan terjadinya tindak pidana kekerasan, khususnya masalah

tindak pidana kekerasan khususnya masalah pemanahan yang dilakukan

oleh anak di bawah umur. Daerah-daerah ini akan menjadi fokus utama

dari kegiatan penyuluhan dan patroli. Namun kenyataannya tidak seperti

itu.

Berdasarkan hasil Wawancara penulis dengan salah satu tokoh

masyarakat yang berasal dari Desa Tambe, Kecamatan Bolo, Kabupaten

Bima, Bapak Afifudin, Dia menyatakan keluhannya terkait dengan

123
maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja( anak dibawah

Umur) yang lebih khususnya lagi adalah soal pemanahan:

"Sejujurnya, kami merasa bahwa kepolisian belum melaksanakan


patroli dengan cukup intensif di daerah-daerah yang rawan seperti
ini. Saya sangat mendukung upaya mereka dalam melakukan
analisis dan penyuluhan, tapi kami juga butuh kehadiran fisik
kepolisian yang lebih terlihat untuk memberikan rasa aman kepada
masyarakat."131
Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Afifuddin diatas jika

dilihat dari teori Legal Sistem dari friedman, bahwa kepolisian belum

menunjukkan efektivitas hukum yang baik dalam menangani masalah

kekerasan remaja di Desa Tambe, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima.

Pertama, struktur hukum yang kurang intensif, yaitu tidak adanya patroli

yang cukup sering dan merata di daerah-daerah yang rawan kekerasan

remaja, khususnya pemanahan.

Kepolisian seharusnya memiliki sumber daya manusia yang

memadai dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak

hukum. Kedua, substansi hukum yang kurang memadai, yaitu tidak

adanya aturan, norma, dan perilaku yang mengatur dan mengikat remaja

yang melakukan tindak kekerasan, khususnya pemanahan.

Remaja seharusnya mendapat sanksi yang tegas dan proporsional

sesuai dengan tingkat kesalahan dan dampak yang ditimbulkan. Ketiga,

budaya hukum yang kurang kondusif, yaitu tidak adanya rasa peduli,

tanggung jawab, dan solidaritas antara masyarakat dan kepolisian dalam


131
Hasil wawancara dengan Afifudin selaku tokoh masyarakat di Desa Tambe, Kecamatan Bolo,
Kabupaten Bima, Tanggal 30 Agustus, 2023

124
hal pencegahan dan penanganan kekerasan remaja. Masyarakat

seharusnya berperan aktif dalam melaporkan, mengawasi, dan membina

remaja yang bermasalah. Kepolisian seharusnya berperan sebagai mitra

dan pelayan masyarakat, bukan sebagai penguasa atau penindas

masyarakat.

Sejalan dengan hal tersebut berdasarkan hasil wawancara Penulis

dengan salah satu tokoh masyarakat dari Desa Bontokape Pak

Sulaiman, Kecamatan Bolo Kabupaten Bima beliau menyatakan bahwa :

"Memang benar belakangan ini kami di Kabupaten Bima, lebih


khususnya lagi yang berada di desa Bontokape, cukup resah
dengan maraknya tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh
remaja. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi keselamatan dan
keamanan masyarakat setempat".132
Untuk menjelaskan pernyataan Bapak Sulaiman, saya akan

menggunakan teori tujuan pemidanaan Teori ini mengkaji dan

menganalisis tentang keberhasilan, kegagalan, dan faktor-faktor yang

mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum pidana.

Menurut teori tujuan pemidanaan ini, ada tiga golongan utama teori

untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:

1. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien). Teori ini

mengatakan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

telah melakukan kejahatan atau tindak pidana.

132
Hasil wawancara dengan Sulaiman selaku tokoh masyarakat di Desa Bontokape, Kecamatan
Bolo, Kabupaten Bima, Tanggal 30 Agustus, 2023

125
2. Teori relatif atau tujuan (doel theorien). Teori ini mencari dasar

hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan

akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan.

3. Teori gabungan. Teori ini sama-sama menitikberatkan unsur

pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.

Dari ketiga teori tersebut, dapat dilihat bahwa maraknya tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Desa Bontokape,

Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima menunjukkan bahwa efektivitas hukum

pidana belum tercapai. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

seperti:

1. Kurangnya penegakan hukum pidana yang tegas dan konsisten

terhadap remaja yang melakukan tindak pidana kekerasan. Hal ini

dapat mengurangi efek jera dan menimbulkan rasa tidak takut

terhadap hukum.

2. Kurangnya pendidikan dan bimbingan moral yang diberikan kepada

remaja oleh orang tua, sekolah, dan masyarakat. Hal ini dapat

mengurangi kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum, serta

menimbulkan rasa tidak peduli terhadap hak dan kewajiban

sebagai warga negara.

3. Kurangnya kerjasama dan koordinasi antara aparat penegak

hukum, pemerintah, dan masyarakat dalam mencegah dan

menangani tindak pidana kekerasan remaja. Hal ini dapat

126
mengurangi efektivitas dan efisiensi dalam penanganan

kasus-kasus kekerasan remaja.

Berdasarkan hasil Wawancara penulis dengan salah satu tokoh

masyarakat yang berasal dari Desa Tambe, Kecamatan Bolo, Kabupaten

Bima, Bapak Afifudin, Dia menyatakan keluhannya terkait dengan

maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja( anak dibawah

Umur) yang lebih khususnya lagi adalah soal pemanahan, beliau

menyatakan bahwa:

"Sejujurnya, kami merasa bahwa kepolisian belum melaksanakan


patroli dengan cukup intensif di daerah-daerah yang rawan seperti
ini. Saya sangat mendukung upaya mereka dalam melakukan
analisis dan penyuluhan, tapi kami juga butuh kehadiran fisik
kepolisian yang lebih terlihat untuk memberikan rasa aman kepada
masyarakat."133
Dalam teori Efektivitas hukum adalah dikatakan bahwa efektivitas

hukum akan tercapai manakala hukum dapat mencapai tujuan-tujuan

yang diinginkan dalam masyarakat, seperti menjaga ketertiban, mencegah

pelanggaran, memberikan perlindungan, dan menjamin keadilan.

Efektivitas hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti struktur,

substansi, dan budaya hukum.

Dari ketiga faktor tersebut, dapat dilihat bahwa kepolisian belum

menunjukkan efektivitas hukum yang baik dalam menangani masalah

kekerasan remaja di Desa Tambe, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. Hal

ini dapat dilihat dari beberapa hal, seperti:


133
Hasil wawancara dengan Afifudin selaku tokoh masyarakat di Desa Tambe, Kecamatan Bolo,
Kabupaten Bima, Tanggal 30 Agustus, 2023

127
1. Kurangnya patroli yang cukup intensif di daerah-daerah yang rawan

kekerasan remaja, khususnya pemanahan. Hal ini menunjukkan

bahwa struktur hukum yang kurang efisien dan responsif dalam

menanggapi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan remaja.

Kepolisian seharusnya memiliki sumber daya manusia yang

memadai dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai

penegak hukum.

2. Kurangnya aturan, norma, dan perilaku yang mengatur dan

mengikat remaja yang melakukan tindak kekerasan, khususnya

pemanahan. Hal ini menunjukkan bahwa substansi hukum yang

kurang memadai dan efektif dalam mengatur dan mengikat perilaku

anggota masyarakat, serta memberikan sanksi yang tegas dan

proporsional kepada pelaku pelanggaran. Remaja seharusnya

mendapat bimbingan, pendidikan, dan pengawasan dari orang tua,

sekolah, dan masyarakat dalam membentuk karakter dan moral

yang baik.

3. Kurangnya rasa peduli, tanggung jawab, dan solidaritas antara

masyarakat dan kepolisian dalam hal pencegahan dan penanganan

kekerasan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa budaya hukum yang

kurang kondusif dan mendukung dalam proses penegakan hukum.

Masyarakat seharusnya berperan aktif dalam melaporkan,

mengawasi, dan membina remaja yang bermasalah. Kepolisian

128
seharusnya berperan sebagai mitra dan pelayan masyarakat,

bukan sebagai penguasa atau penindas masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa dilapangan para aparat kepolisian

Polres Bima tidak benar-benar serius dalam melakukan upaya preventif

untuk menyikapi kasus tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh

remaja di kabupaten Bima. Sejalan dengan hal tersebut salah satu tokoh.

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan salah satu tokoh

masyarakat Bapak Sulaiman, yang berada di desa Sondosia Kecamatan

Bolo Kabupaten Bima, Dia menyatakan:

"Saya berharap kepolisian dapat meningkatkan patroli di


daerah-daerah yang rawan ini. Tanggapannya harus lebih cepat
dan tegas terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh remaja.
Selain itu, mereka juga bisa lebih gencar lagi dalam memberikan
penyuluhan kepada remaja agar mereka sadar akan konsekuensi
dari tindak pidana kekerasan".134
Dari tanggapan Para tokoh masyarakat diatas dapat disimpulkan

bahwa masyarakat yang lebih khusus yang rawan dengan tindak Pidana

Kekerasan yang dilakukan oleh remaja di kabupaten bima, mengharapkan

kepolisian meningkatkan frekuensi patroli di daerah-daerah yang rawan.

Dengan melakukan patroli yang lebih intensif, kepolisian dapat mencegah

dan mengurangi terjadinya tindak pidana kekerasan oleh remaja.

Masyarakat menginginkan kepolisian dapat memberikan tanggapan

yang lebih cepat dan tegas terhadap kasus-kasus tindak pidana yang

134
Hasil wawancara dengan Sulaiman selaku tokoh masyarakat di Desa Sondosia, Kecamatan
Bolo, Kabupaten Bima, Tanggal 30 Agustus, 2023

129
dilakukan oleh remaja. Hal ini akan membantu menciptakan rasa keadilan

bagi masyarakat dan memberikan efek jera bagi para pelaku tindak

pidana. Masyarakat berharap kepolisian dapat lebih gencar lagi dalam

memberikan penyuluhan kepada remaja mengenai konsekuensi dari

tindak pidana kekerasan. Penyuluhan ini diharapkan dapat meningkatkan

kesadaran remaja akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak

pidana kekerasan, sehingga mereka dapat memilih jalan yang lebih positif.

2. Penyuluhan Hukum

Tim kepolisian akan menyampaikan materi-materi hukum kepada

masyarakat baik dalam bentuk formal maupun nonformal. Penyuluhan

formal dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, atau diskusi publik

yang melibatkan para ahli hukum. Penyuluhan non formal dapat dilakukan

melalui pembagian materi hukum dalam bentuk brosur, poster, atau

kampanye sosial melalui media sosial. Namun dalam proses

kenyataannya aparat kepolisian kabupaten Bima tidak melakukan hal

tersebut sama sekali hal inilah yang ikut menyumbang terhadap maraknya

tindak pidana Kekerasan yang dilakukan oleh remaja di kabupaten bima.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu Tokoh

Masyarakat Bapak Bustarin, yang berada di desa Sanolo Kecamatan Bolo

Kabupaten Bima, sangat kecewa dengan para aparat kepolisian Dia

menyatakan :

130
"Saya selaku sebagai tokoh masyarakat di desa Sanolo, merasa
kecewa dan prihatin terhadap sikap Polisi Resor (Polres) Bima
yang tidak melaksanakan penyuluhan hukum kepada masyarakat.
Masyarakat menganggap bahwa penyuluhan hukum dari pihak
kepolisian sangat penting dalam membentuk kesadaran hukum dan
pencegahan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh para
anak dibawah umur ini".135
Jika dilihat dari sudut pandang teori Legal sistem yang digunakan

sebagai alat untuk mengukur efektivitas hukum peranan kepolisian dalam

mengatasi masalah tersebut maka dapat dikatakan, bahwa baik itu faktor

subtansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum. Dari ketiga faktor

tersebut, dapat dilihat bahwa Polres Bima belum menunjukkan efektivitas

hukum yang baik dalam menangani masalah tindak pidana kekerasan

yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Hal ini dapat dilihat dari

beberapa hal, seperti:

1. Kurangnya penyuluhan hukum yang dilakukan oleh Polres Bima

kepada masyarakat. Penyuluhan hukum adalah salah satu bentuk

komunikasi hukum yang bertujuan untuk memberikan informasi,

edukasi, dan sosialisasi mengenai hukum dan hak asasi manusia

kepada masyarakat.

2. Kurangnya kerjasama dan koordinasi antara Polres Bima,

pemerintah, dan masyarakat dalam mencegah dan menangani

tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah umur.

Kerjasama dan koordinasi yang baik dapat meningkatkan

135
Hasil wawancara dengan Bustarin selaku tokoh masyarakat di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo,
Kabupaten Bima, Tanggal 31 Agustus, 2023

131
efektivitas dan efisiensi dalam penanganan kasus-kasus kekerasan

anak.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu Tokoh

Masyarakat Bapak Ruslan, yang berada di desa Sakuru Kecamatan

Monta Kabupaten Bima, mereka melihat ada upaya pengabaian yang

dilakukan oleh aparat kepolisian dalam mengurus mengenai masalah

tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja di kabupaten bima Dia

menyatakan :

"Kami merasa bahwa pengabaian pihak kepolisian terhadap


penyuluhan hukum menjadi faktor yang berperan dalam
peningkatan tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja di
Kabupaten Bima. Penyuluhan hukum formal maupun nonformal
dianggap sangat efektif dalam memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai hukum dan konsekuensi dari tindakan
kekerasan tersebut".136
Dari beberapa tanggapan masyarakat terhadap tindak pidana

kekerasan yang dilakukan oleh remaja dan lemahnya tindakan dari aparat

penegak hukum yang dalam hal ini Polres Kabupaten Bima, dapat

disimpulkan bahwa masyarakat berharap pada Polres Bima agar dapat

mengadakan program penyuluhan hukum yang rutin dan terarah kepada

seluruh lapisan masyarakat, termasuk para remaja.

Program ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam

mengenai hukum dan akibat dari tindakan kekerasan, sehingga

masyarakat dapat lebih memahami pentingnya menghindari tindak


136
Hasil wawancara dengan Ruslan selaku tokoh masyarakat di Desa Sakuru, Kecamatan Monta,
Kabupaten Bima, Tanggal 31 Agustus, 2023

132
kekerasan dan menghormati hak-hak sesama. selain itu Polres Bima

dapat melibatkan berbagai pihak dalam penyuluhan hukum, seperti tokoh

masyarakat, pemuda, lembaga pendidikan, dan tokoh agama. Kolaborasi

ini akan memperkuat pengaruh dan efektivitas program penyuluhan

hukum, serta memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai

konsekuensi tindak kekerasan bagi individu dan masyarakat secara

keseluruhan.

Dengan adanya penyuluhan hukum yang terus menerus dan

terarah, kami berharap bahwa kesadaran hukum masyarakat di

Kabupaten Bima akan meningkat, sehingga potensi terjadinya tindak

kekerasan oleh remaja dapat diminimalisir. Dengan begitu, terciptalah

lingkungan yang aman dan damai bagi semua warga Kabupaten Bima.

3. Patroli Keliling dan Patroli Keamanan Rutin

Tim kepolisian akan melakukan patroli keliling di daerah-daerah

yang dianggap rawan terjadinya kekerasan pemanahan. Patroli ini

bertujuan untuk mencegah dan mempersempit kejadian pemanahan serta

memberikan rasa aman kepada masyarakat yang tinggal di daerah

tersebut. Selain patroli keliling, tim kepolisian juga akan melakukan patroli

keamanan secara rutin di setiap daerah yang dianggap rawan terjadinya

tindak kejahatan kekerasan pemanahan. Patroli ini bertujuan untuk

meningkatkan kehadiran polisi di daerah tersebut dan memberikan

perlindungan kepada masyarakat.

133
Namun pada kenyataannya yang terjadi di kabupaten bima bahwa

para aparat kepolisian lebih khususnya Polres Bima tidak melakukan

patroli Keliling secara total serta masih sangat lemah patroli keamanan

yang dapat diberikan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat yang

Lebih khususnya lagi adalah masyarakat yang menjadi tempat maraknya

tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kabupaten Bima.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu Tokoh

Masyarakat Bapak Amiruddin, yang berada di desa Tolouwi Kecamatan

Monta Kabupaten Bima,

"Kami sebagai masyarakat merasa kecewa karena polisi Polres


Bima tidak melaksanakan patroli keliling maupun patroli rutin.
Padahal kami merasa bahwa kehadiran polisi sangat penting dalam
mencegah dan menanggulangi tindak pidana kekerasan, terutama
yang dilakukan oleh remaja. Peningkatan tindak kekerasan ini
dapat membuat masyarakat merasa tidak aman dan khawatir".137
Mengurai pendapat salah satu tokoh masyarakat diatas maka

dapat dipahami bahwa masyarakat berharap supaya aparat kepolisian

dapat. Masyarakat dapat mengharapkan tanggapan dan langkah konkret

dari polisi Polres Bima terkait keberadaan mereka di daerah yang

dianggap rawan tindak kekerasan. Masyarakat mungkin ingin melihat

peningkatan kehadiran polisi dan upaya yang lebih aktif dalam mencegah

dan menindak tindak pidana kekerasan. Mereka juga mungkin meminta

137
Hasil wawancara dengan Amiruddin selaku tokoh masyarakat di Desa Tolouwi, Kecamatan
Monta, Kabupaten Bima, Tanggal 31 Agustus, 2023

134
penjelasan mengapa patroli keliling dan rutin tidak dilakukan secara

konsisten.

Mencari solusi alternatif, Sehingga Masyarakat dapat merasa

bahwa polisi Polres Bima tidak bisa memberikan perlindungan yang

memadai, sehingga mereka mungkin akan mencari solusi alternatif untuk

mengatasi masalah ini. Mereka bisa membentuk kelompok keamanan

warga atau mengatur sistem pengawasan mandiri untuk melindungi diri

dan lingkungan mereka sendiri.

c. Upaya represif

Tindakan represif kepolisian sebagai jalan terakhir dalam proses

Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Harkamtibmas)

juga memiliki peran penting dalam penanggulangan permasalahan

pengadilan jalanan. Penegakan terhadap hukum yang sudah berlaku

harus secara tegas dan nyata dilaksanakan. Hal ini akan membentuk opini

kepuasan masyarakat akan aparat penegak hukum, sehingga tidak perlu

harus ada tindakan masyarakat seperti pengadilan jalanan. Kecepatan

kepolisian dalam menangkap pelaku tindak pidana dan kecepatan dalam

proses penyidikannya sangat dituntut oleh masyarakat.138

Metode Represif merupakan upaya atau tindakan yang dilakukan

secara langsung untuk memberantas kejahatan dengan memberikan

tindakan agar pelaku jera dan tidak mengulangi kejahatannya kembali.


138
Taruna Akpol Semarang, Polisi & Tantangan HAM di Indonesia: Pilihan Gagasan Taruna Akpol,
Yogyakarta,Pusham Uii,2017, hal 16

135
Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Pihak Kepolisian

Kabupaten Bima Pak Kapolres Haryanto, selaku sebagai kepala Polres

Kabupaten Bima beliau upaya penyusunan tindakan Represif yang dapat

kami lakukan untuk mengatasi tindak pidana kekerasan yang dilakukan

oleh remaja di kabupaten Bima yakni :139

1. Menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan mengenai


tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat, sehingga pihak
kepolisian dapat segera melaksanakan tugasnya dalam
menangkap pelaku kekerasan yang dilakukan oleh anak di bawah
umur.
2. Melakukan langkah-langkah penyelidikan dan penyidikan yang
komprehensif terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak,
terutama dalam kasus kekerasan pemanahan dan tindak pidana
kekerasan yang lainnya yang dilakukan oleh remaja di kabupaten
bima, guna memungkinkan proses hukum yang lebih lanjut. Hal ini
bertujuan untuk menciptakan efek jera terhadap para pelaku dan
memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat setempat.
3. Melakukan penangkapan terhadap pelaku kekerasan pemanahan
dan melaksanakan proses pemeriksaan serta penahanan oleh
kepolisian sektor (Polsek) setempat sebelum dilakukan proses lebih
lanjut di tingkat kepolisian resort (Polres). Tindakan ini penting
untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan anak yang melakukan
kekerasan pemanahan segera ditahan dan diproses sesuai dengan
hukum yang berlaku. Selama proses penahanan di Polsek, pihak
kepolisian akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap
kasus tersebut, mengumpulkan bukti-bukti yang cukup. Tujuan dari
tindakan ini adalah untuk menghukum pelaku kekerasan,
memberikan efek jera kepada pelaku, serta menjaga keamanan
dan ketertiban dalam masyarakat setempat.
Upaya represif yang disebutkan oleh Pak Kapolres Akbp Hariyanto

sebagai salah satu cara untuk mengatasi tindak pidana kekerasan yang

dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima, tampaknya tidak sepenuhnya

139
Hasil wawancara dengan Pak Hariyanto Kapolres Kabupaten Bima, Wawancara, Bima, 27
Agustus 2023.

136
dilaksanakan oleh aparat kepolisian setempat. Hal ini dapat dilihat dari

beberapa fakta yang ditemukan di lapangan, antara lain:

1. Dari beberapa kasus kekerasan yang dilakukan yang terjadi di

Kabupaten Bima, sebagian besar pelaku adalah anak di bawah

umur yang masih berstatus pelajar. Terlebih lagi kasus tentang

pemanahan. Namun, hasil temuan penulis di lapangan polisi tidak

melakukan koordinasi dengan pihak sekolah atau dinas pendidikan

setempat untuk memberikan bimbingan atau pembinaan kepada

para pelaku. Bahkan tidak melakukan koordinasi dengan

masyarakat setempat. Hal tersebut dapat penulis buktikan dari hasil

wawancara penulis dengan para tokoh masyarakat sebelumnya

pernah penulis ungkapan. Padahal, upaya pencegahan ini penting

untuk mengatasi terjadinya kekerasan serupa di masa depan dan

membantu proses rehabilitasi para pelaku. Bahkan hal tersebut

juga terkait dengan tindak Pidana Kekerasan yang dilakukan oleh

remaja yang dalam hal ini kekerasan berupa pemanahan yang

dilakukan oleh anak dibawah umur tidak dilakukan oleh aparat

kepolisian resort Bima. Bahkan beritanya pun telah beredar di

jejaring dunia Maya terkait dengan tindak kekerasan yang

dilakukan oleh remaja yang lebih khususnya lagi masalah

pemanahan oleh anak di bawah umur.

Menurut berita ini, polisi juga tidak melakukan upaya preventif

untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan pemanahan di

137
Kabupaten Bima. Misalnya, dengan melakukan patroli rutin di

daerah rawan kekerasan, mengedukasi masyarakat tentang

bahaya dan dampak negatif dari kekerasan pemanahan, atau

melakukan razia terhadap peredaran senjata tajam atau panah di

masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat merasa tidak

aman dan khawatir menjadi korban kekerasan pemanahan.140

2. Dari beberapa kasus kekerasan yang dilakukan yang terjadi di

Kabupaten Bima, sebagian besar pelaku adalah anak di bawah

umur yang masih berstatus pelajar. Terlebih lagi kasus tentang

pemanahan. Namun, hasil temuan penulis di lapangan polisi tidak

melakukan koordinasi dengan pihak sekolah atau dinas pendidikan

setempat untuk memberikan bimbingan atau pembinaan kepada

para pelaku. Bahkan tidak melakukan koordinasi dengan

masyarakat setempat. Hal tersebut dapat penulis buktikan dari hasil

wawancara penulis dengan para tokoh masyarakat sebelumnya

pernah penulis ungkapan. Padahal, upaya pencegahan ini penting

untuk mengatasi terjadinya kekerasan serupa di masa depan dan

membantu proses rehabilitasi para pelaku. Bahkan hal tersebut

juga terkait dengan tindak Pidana Kekerasan yang dilakukan oleh

remaja di kabupaten bima.

140
://regional.kompas.com/read/2023/03/09/155014578/panah-pelajar-smp-8-remaja-di-bima-di
tangkap-polisi Diakses pada tanggal 14 September 2023, Pukul 14 : 50

138
Selanjutnya, menurut berita ini, polisi juga tidak memberikan

perlindungan hukum yang memadai kepada para korban kekerasan

pemanahan. Misalnya, dengan memberikan bantuan medis,

psikologis, atau materiil kepada para korban, atau membantu

proses pengadilan bagi para korban yang ingin menuntut ganti rugi

atau hukuman kepada para pelaku. Hal ini dapat menyebabkan

para korban merasa tidak mendapatkan keadilan dan penghargaan

atas hak-hak mereka sebagai warga negara.141

Dari bantahan penulis terhadap upaya konkret dari apa yang

dilakukan oleh Polres Kabupaten Bima dapat penulis simpulkan bahwa

Upaya represif yang disebutkan oleh Pak Kapolres Akbp Hariyanto untuk

mengatasi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di

Kabupaten Bima, tidak sepenuhnya efektif dan sesuai dengan hukum

yang berlaku. Aparat kepolisian setempat tidak melakukan koordinasi

dengan pihak sekolah atau dinas pendidikan, tidak melakukan upaya

preventif untuk mengantisipasi kekerasan pemanahan, dan tidak

memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada para korban.

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Pihak Kepolisian

Kabupaten Bima Pak Masdidin beliau menyatakan terkait dengan upaya

141
https://m.tribunnews.com/regional/2022/06/07/dua-remaja-di-bima-ditangkap-lantaran-teror-
warga-dengan-aksi-pemanahan-2-orang-jadi-korban Di Akses pada tanggal 14 September 2023,
Pukul 15 : 20

139
penanganan tindak Pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja yaitu

:142

1. Dalam rangka menghadang terjadinya kekerasan pemanahan yang


dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, di ajukanlah pembuatan
program penyuluhan bagi masyarakat. Tujuan dari program ini
adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat
mengenai dampak negatif dari kekerasan yang dilakukan oleh
remaja terlebih lagi masalah kekerasan dengan menggunakan
senjata tajam seperti menggunakan busur sebagai alat
pemanahan. Salah satu dampak buruk dari kekerasan pemanahan
adalah terbentuknya kebiasaan yang sulit dihentikan.
2. Kepolisian Kabupaten Bima menempatkan personel untuk
melaksanakan patroli malam di Kabupaten Bima. Patroli ini
biasanya dilakukan oleh Tim Puma dan Resmob dengan tujuan
untuk mengidentifikasi tempat-tempat yang diduga menjadi tempat
berkumpulnya pelaku kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah
umur terlebih lagi masalah pemanahan yang marak terjadi.
3. Kepolisian Resort Bima juga berkoordinasi dengan pihak
kelurahan, RT/RW untuk melakukan sosialisasi kepada
masyarakat. Dalam sosialisasi ini, kepolisian ingin mengedepankan
konsep mengayomi dan melayani masyarakat dengan turut serta
dalam kehidupan sosial masyarakat. Pejabat sekitar juga turut
berperan dalam koordinasi ini untuk sosialisasi mengenai dampak
kekerasan pemanahan serta menjaga kondusifitas lingkungan.
4. Kepolisian Resort Bima berupaya memberikan pemahaman kepada
masyarakat agar tidak terlibat dalam tindak pidana pemanahan.
Untuk itu, kepolisian bekerja sama dengan pejabat setempat,
termasuk Ketua RT/RW, dalam membentuk sebuah forum. Forum
ini bertujuan untuk menyampaikan informasi mengenai
dampak-dampak negatif yang akan terjadi jika warga masyarakat
terlibat dalam tindak pidana kekerasan pemanahan.
5. Operasi Penyakit Masyarakat (PEKAT) dilakukan oleh Kepolisian
Resort Bima secara rutin setiap tahun. Operasi ini berlangsung
selama sekitar 14 hari dan biasanya dilaksanakan menjelang bulan
Ramadhan. Tujuannya adalah untuk melakukan penertiban dan
pencegahan terhadap berbagai jenis pelanggaran sosial dan tindak
pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam operasi ini, kepolisian
bekerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti instansi
pemerintah, kelurahan, dan masyarakat setempat, untuk
menciptakan lingkungan yang aman, tertib, dan nyaman bagi
masyarakat.

142
Hasil wawancara dengan Pak Masdidin, Kabupaten Bima, Wawancara, Bima, 27 Agustus 2023

140
Meskipun Pak Masdidin mengklaim bahwa Polres Bima telah

melakukan berbagai upaya lain untuk menangani kasus kekerasan pidana

yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima, namun upaya-upaya

tersebut tampaknya tidak efektif dan tidak konsiste, terdapat beberapa

poin yang dapat dibantah terhadap pendapat dari pihak kepolisian

kabupaten Bima tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Program penyuluhan bagi masyarakat yang dikatakan oleh Pak

Masdidin, ternyata tidak dilaksanakan secara rutin dan merata.

Program penyuluhan hanya dilakukan sekali dalam setahun dan

hanya di beberapa desa tertentu. Selain itu, program penyuluhan

juga tidak melibatkan para pelaku, korban, atau keluarga mereka,

sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan dalam

mengubah perilaku atau sikap mereka terhadap kekerasan

pemanahan. Hal ini telah penulis sebutkan dari hasil wawancara

penulis dengan para tokoh masyarakat sebelumnya yang terkait

langsung menjadi obyek dari tindak pidana Kekerasan yang

dilakukan oleh remaja di kabupaten bima terlebih lagi kasus yang

berkaitan dengan tindak kekerasan yang berupa pemanahan yang

dilakukan oleh anak di bawah umur.

2. Patroli malam yang dilakukan oleh Tim Puma dan Resmob,

ternyata tidak mampu mengidentifikasi atau menangkap para

pelaku kekerasan pemanahan. Patroli malam hanya berfokus pada

penertiban lalu lintas dan pengawasan tempat hiburan malam.

141
Sementara itu, para pelaku kekerasan terlebih lagi tindak pidana

pemanahan yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang dalam

hal ini remaja, biasanya beroperasi di tempat-tempat ataupun

desa-desa yang sepi Hal ini telah penulis sebutkan juga sebelum

terkait dengan tidak adanya posko yang dibuat oleh aparat

kepolisian kabupaten Bima untuk menanggulangi tindak kekerasan

yang dilakukan oleh remaja tersebut, Hal ini menyebabkan patroli

malam tidak efektif dalam mencegah atau menghentikan kekerasan

pemanahan.

3. Sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan oleh Polres Bima

bersama pihak kelurahan, RT/RW, ternyata tidak mendapat respon

positif dari masyarakat. Menurut pengakuan dari masyarakat

berdasarkan hasil wawancara penulis yang telah penulis sebutkan

sebelumnya bahwa sosialisasi tersebut juga tidak menjangkau

seluruh lapisan masyarakat, terutama para remaja yang menjadi

pelaku atau sasaran kekerasan pemanahan. Hal ini menyebabkan

sosialisasi tersebut tidak efektif dalam meningkatkan kesadaran

atau partisipasi masyarakat dalam menangani masalah kekerasan

pemanahan.

4. Forum yang dibentuk oleh Polres Bima bersama pejabat setempat

untuk menyampaikan informasi mengenai dampak-dampak negatif

dari kekerasan pemanahan, ternyata tidak berjalan dengan baik.

Berdasarkan hasil wawancara penulis sebelum dengan beberapa

142
tokoh masyarakat dapat disimpulkan bahwa forum tersebut hanya

dihadiri oleh sebagian kecil warga masyarakat dan tidak ada

perwakilan dari para pelaku, korban, atau keluarga mereka.

5. Operasi Penyakit Masyarakat (PEKAT) yang dilakukan oleh Polres

Bima secara rutin setiap tahun, ternyata tidak menyasar pada

tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di kabupaten

bima terlebih lagi masalah maraknya kasus pemanahan yang

dilakukan oleh anak dibawah umur. Dari hasil wawancara penulis

dengan para tokoh masyarakat sebelumnya dapat penulis

simpulkan bahwatindak pidana kekerasan berupa pemanahan yang

dilakukan oleh para remaja tidak termasuk dalam sasaran operasi

PEKAT. Hal ini menyebabkan operasi PEKAT tidak efektif dalam

memberantas kekerasan dan kasus pemanahan pada khususnya.

6. Oleh karena itu jika kita melihat dan mengurai tentang efektivitas

terkait dengan peranan aparat kepolisian yang lebih khususnya

adalah Kapolres kabupaten bima dalam upaya untuk

menanggulangi terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan

oleh remaja di kabupaten bima yang lebih khususnya lagi kasus

yang berkaitan dengan maraknya tindak kekerasan berupa

pemanahan yang dilakukan oleh para remaja dapat dikatakan

sangatlah tidak efektif. sebab untuk mengukur sejauh mana

efektivitas dari upaya aparat penegak hukum yang dalam hal ini

Kepolisian kabupaten bima diukur dengan menggunakan

143
indikator-indikator seperti jumlah kasus tindak pidana kekerasan

yang terjadi, tingkat penyelesaian kasus, tingkat kepuasan

masyarakat terhadap pelayanan kepolisian, tingkat kesadaran

hukum masyarakat, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan tingkat

partisipasi masyarakat dalam menjaga kamtibmas. Dengan

demikian dapat ditsrik pemahaman yang sederhana bahwa Polres

Bima belum berhasil dalam menangani kasus kekerasan pidana

yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima. Tingkat kesadaran

hukum masyarakat masih sangat lemah, tingkat keamanan

masyarakat pun masih sangat jauh serta tingkat partisipasi

masyarakat pun masih sangat jauh. Dengan demikian upaya

represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam

menanggulangi tindak pidana Kekerasan yang dilakukan oleh

remaja di kabupaten bima berjalan dengan cara yang sangat tidak

efektif.

2. Faktor-faktor Yang Menghambat Proses Penegakan Hukum

Oleh Aparat Kepolisian Dalam Menanggulangi Tindak Pidana

Kekerasan Remaja Di Kabupaten Bima

Di setiap upaya yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian mengalami

kendala-kendala yang bisa saja muncul dari beberapa kalangan mulai dari

anggota polisi, pelaku kekerasan, keluarga, dan juga masyarakat di

sekitar. Hal ini memaksa pihak kepolisian harus bekerja ekstra dalam

144
setiap aspek untuk mengatasi masalah remaja yang melakukan tindak

kekerasan.

Berdasarkan pada hasil analisis penulis bahwa faktor-faktor yang

dapat menjadi penghambat terhadap proses penegakan hukum oleh pihak

kedalam upaya untuk mengatasi tindak pidana kekerasan yang dilakukan

oleh remaja yaitu:

A. Faktor Internal

1. Keterbatasan Sumber Daya: Keterbatasan personel, anggaran, dan

peralatan dapat menghambat kemampuan polisi untuk menangani tindak

pidana kekerasan remaja di kabupaten bima

a. Keterbatasan Personel: Jumlah personel polisi yang terbatas dapat

mengakibatkan penyebaran sumber daya yang tidak proporsional,

sehingga daerah yang memiliki tingkat kriminalitas remaja yang

tinggi mungkin kurang mendapat perhatian. Selain itu, personel

yang kurang juga dapat mempengaruhi kecepatan respon terhadap

laporan kekerasan remaja, hal inilah yang menjadi semakin

meningkatnya tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh

remaja.

b. Keterbatasan Anggaran: Kurangnya anggaran dapat membatasi

kemampuan polisi dalam melaksanakan kegiatan operasional,

seperti patroli, penyelidikan, pengembangan kapasitas, dan

pembelian peralatan pendukung. Sebab dalam menjalankan

145
tugasnya termasuk untuk mengatasi masalah yang berkaitan

dengan tindak pidana yang dilakukan oleh remaja maka diperlukan

anggaran yang memadai, sehingga karena kekurangan angggaran

tersebut dapat menjadi kendala yang sangat kuat juga dalam

mengatasi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di

kabupaten bima.

c. Keterbatasan Peralatan: Kurangnya peralatan yang memadai,

seperti kendaraan patroli, peralatan komunikasi, CCTV, atau

peralatan forensik, dapat menghambat kemampuan polisi dalam

mengumpulkan bukti yang diperlukan untuk menuntaskan kasus

kekerasan remaja. Zaman sudah semakin canggih sehingga bentuk

penanganan terhadap tindak kejahatan termasuk tindak pidana

kekerasan yang dilakukan oleh remaja pun juga harusnya

dicanggihkan juga seperti menggunakan peralatan CCTV sehingga

aparat kepolisian kabupaten Bima dapat memantau situasi dan

kondisi yang berada di lapangan dan memudahkan mereka untuk

mengumpulkan alat bukti yang dapat mengatasi secara baik

mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di

kabupaten bima.

2. Kurangnya Keterampilan dan Pendidikan: Kurangnya pelatihan khusus

dalam menangani tindak pidana yang melibatkan remaja dapat menjadi

hambatan bagi polisi dalam mengatasi masalah ini. Kurangnya pelatihan

khusus dalam hal ini dapat menjadi hambatan nyata bagi polisi. Beberapa

146
hambatan yang mungkin timbul akibat kurangnya pelatihan khusus ini

antara lain:

a. Kurangnya pemahaman tentang psikologi remaja: Polisi yang tidak

memiliki pelatihan khusus mungkin kurang memahami faktor-faktor

psikologis yang mempengaruhi perilaku remaja, sehingga dapat

menghambat kemampuan mereka dalam mengidentifikasi faktor

risiko dan melakukan pendekatan yang tepat dalam menangani

remaja pelaku kekerasan.

b. Kurangnya keterampilan komunikasi dengan remaja: Polisi yang

tidak terlatih secara khusus dalam berkomunikasi dengan remaja

mungkin kesulitan dalam membangun hubungan yang baik,

memperoleh informasi yang relevan, dan mengembangkan

kepercayaan dengan remaja yang terlibat dalam tindak pidana.

c. Kurangnya pengetahuan tentang hukum dan kebijakan terkait

remaja: Pelatihan khusus dibutuhkan agar polisi memahami hukum

dan kebijakan yang terkait dengan remaja, termasuk prosedur

hukum yang berlaku untuk remaja pelaku kekerasan.

3. Lemahnya Etika dan Profesionalisme: Adanya kasus-kasus korupsi

atau pelanggaran etika di kalangan aparat penegak hukum dapat merusak

kepercayaan masyarakat pada polisi, yang pada akhirnya mempengaruhi

penanganan kasus tindak pidana remaja.

147
a. Etika adalah kumpulan nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur

perilaku manusia dalam berbagai situasi dan kondisi.

b. Profesionalisme adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan

kompetensi, tanggung jawab, integritas, dan dedikasi terhadap

suatu pekerjaan.

c. Etika dan profesionalisme sangat penting bagi aparat penegak

hukum, khususnya polisi, yang bertugas menjaga ketertiban,

keamanan, dan keadilan di masyarakat.

Adanya kasus-kasus korupsi atau pelanggaran etika di kalangan

aparat penegak hukum dapat merusak kepercayaan masyarakat pada

polisi. Kasus-kasus seperti penyalahgunaan wewenang, pemerasan,

suap, atau kolusi dapat menimbulkan citra negatif dan stigma terhadap

polisi sebagai lembaga yang tidak jujur, tidak kompeten, dan tidak

bertanggung jawab. Akibatnya, masyarakat dapat kehilangan rasa hormat,

percaya, dan taat terhadap polisi sebagai penegak hukum.

Hal ini tentu saja berdampak buruk terhadap penanganan kasus

tindak pidana remaja. Masyarakat dapat merasa tidak aman dan tidak

nyaman untuk melaporkan atau bekerja sama dengan polisi dalam

menyelesaikan kasus tindak pidana remaja. Remaja yang menjadi pelaku

atau korban tindak pidana juga dapat merasa tidak adil dan tidak dihargai

oleh polisi. Polisi dapat kehilangan kredibilitas dan otoritas dalam

menegakkan hukum dan memberikan perlindungan kepada remaja. Polisi

148
juga dapat gagal dalam memberikan edukasi dan bimbingan kepada

remaja agar tidak terjerumus dalam tindak pidana.

B. Faktor Eksternal

1. Kurangnya Dukungan Masyarakat

Kurangnya dukungan atau keterlibatan masyarakat dalam

memberikan informasi atau kolaborasi dengan polisi dalam menyelesaikan

masalah tindak pidana remaja.

Dukungan atau keterlibatan masyarakat adalah salah satu faktor

penting dalam menangani masalah tindak pidana remaja. Masyarakat

dapat berperan sebagai sumber informasi, mitra kerja sama, atau agen

perubahan dalam mencegah, menindak, dan memulihkan tindak pidana

remaja. Masyarakat dapat membantu polisi dalam mengidentifikasi,

melaporkan, atau menyelesaikan kasus tindak pidana remaja dengan cara

yang efektif dan efisien. Masyarakat juga dapat memberikan bantuan,

dukungan, atau perlindungan kepada remaja yang menjadi pelaku atau

korban tindak pidana.

Namun, kurangnya dukungan atau keterlibatan masyarakat dalam

menangani masalah tindak pidana remaja dapat menjadi kendala atau

tantangan bagi polisi. Kurangnya dukungan atau keterlibatan masyarakat

dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

a. Kurangnya kesadaran atau pengetahuan masyarakat tentang

masalah tindak pidana remaja, baik penyebab, dampak,

149
maupun solusinya. Masyarakat mungkin tidak menyadari atau

mengerti bahwa tindak pidana remaja adalah masalah sosial

yang serius dan membutuhkan perhatian dan penanganan yang

khusus.

b. Kurangnya kepercayaan atau rasa hormat masyarakat terhadap

polisi sebagai penegak hukum. Masyarakat mungkin merasa

tidak aman, tidak nyaman, atau tidak puas dengan pelayanan

atau kinerja polisi dalam menangani masalah tindak pidana

remaja.

c. Kurangnya komunikasi atau koordinasi antara polisi dan

masyarakat dalam menangani masalah tindak pidana remaja.

Masyarakat mungkin tidak mendapatkan informasi yang cukup,

jelas, atau akurat tentang proses atau prosedur penanganan

kasus tindak pidana remaja oleh polisi.

Hal ini tentu saja berdampak negatif terhadap penanganan

kasus tindak pidana remaja. Kurangnya dukungan atau keterlibatan

masyarakat dapat menghambat atau mengganggu proses

penanganan kasus tindak pidana remaja oleh polisi. Polisi dapat

kesulitan dalam mendapatkan informasi, bukti, atau saksi yang

relevan atau valid dalam menyelesaikan kasus tindak pidana

remaja. Polisi juga dapat kehilangan dukungan, kerja sama, atau

bantuan dari masyarakat dalam mencegah, menindak, atau

memulihkan tindak pidana remaja. Polisi juga dapat gagal dalam

150
menciptakan kondisi yang kondusif, harmonis, atau damai di

masyarakat terkait dengan masalah tindak pidana remaja.

2. Konflik Kepentingan

Adanya konflik kepentingan antara lembaga penegak hukum,

LSM, atau pihak swasta yang dapat menghambat proses penegakan

hukum.

Konflik kepentingan adalah situasi di mana kepentingan pribadi,

profesional, atau organisasi dari suatu pihak bertentangan atau

berpotensi bertentangan dengan kepentingan pihak lain atau dengan

kepentingan umum. Konflik kepentingan dapat menimbulkan bias,

manipulasi, atau penyalahgunaan wewenang dalam pengambilan

keputusan atau pelaksanaan tugas.

Salah satu bidang yang rentan terhadap konflik kepentingan

adalah penegakan hukum, yaitu proses yang dilakukan oleh lembaga

penegak hukum, seperti polisi, kejaksaan, pengadilan, atau komisi anti

korupsi, untuk menerapkan hukum dan mengadili pelanggaran hukum.

Penegakan hukum harus dilakukan dengan prinsip-prinsip seperti

supremasi hukum, keadilan, kesetaraan, kemandirian, dan

akuntabilitas.

Namun, adanya konflik kepentingan antara lembaga penegak

hukum, LSM, atau pihak swasta dapat menghambat proses

penegakan hukum. Konflik kepentingan antara lembaga penegak

151
hukum, LSM, atau pihak swasta dapat disebabkan oleh berbagai

faktor, antara lain:

a. Adanya kepentingan politik, ekonomi, sosial, atau budaya yang

berbeda atau bertentangan antara lembaga penegak hukum,

LSM, atau pihak swasta terkait dengan suatu kasus hukum.

Misalnya, lembaga penegak hukum dapat dipengaruhi oleh

kepentingan politik penguasa, LSM dapat dipengaruhi oleh

kepentingan donor atau agenda tertentu, atau pihak swasta

dapat dipengaruhi oleh kepentingan bisnis atau keuntungan.

b. Adanya hubungan atau keterkaitan pribadi, profesional, atau

organisasi yang tidak sehat atau tidak etis antara lembaga

penegak hukum, LSM, atau pihak swasta terkait dengan suatu

kasus hukum. Misalnya, lembaga penegak hukum dapat

memiliki hubungan keluarga, pertemanan, atau kekerabatan

dengan LSM atau pihak swasta, LSM dapat memiliki hubungan

kerja sama, kemitraan, atau afiliasi dengan lembaga penegak

hukum atau pihak swasta, atau pihak swasta dapat memiliki

hubungan kontrak, investasi, atau konsultasi dengan lembaga

penegak hukum atau LSM.

c. Adanya peluang atau insentif yang menarik atau menggiurkan

yang ditawarkan oleh lembaga penegak hukum, LSM, atau

pihak swasta terkait dengan suatu kasus hukum. Misalnya,

lembaga penegak hukum dapat menawarkan jabatan, karier,

152
atau penghargaan kepada LSM atau pihak swasta, LSM dapat

menawarkan dana, dukungan, atau publisitas kepada lembaga

penegak hukum atau pihak swasta, atau pihak swasta dapat

menawarkan uang, barang, atau jasa kepada lembaga penegak

hukum atau LSM.

Hal ini tentu saja berdampak negatif terhadap proses

penegakan hukum. Konflik kepentingan antara lembaga penegak

hukum, LSM, atau pihak swasta dapat mengakibatkan:

3. Faktor Sosial dan Budaya

Nilai-nilai budaya yang terkadang memaklumi tindakan

kekerasan remaja atau membuat masyarakat enggan melaporkan

kasus-kasus tersebut. Faktor sosial dan budaya adalah faktor yang

berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, atau tradisi yang

ada di masyarakat. Faktor sosial dan budaya dapat mempengaruhi

perilaku remaja, termasuk perilaku kekerasan.

Nilai-nilai budaya yang terkadang memaklumi tindakan

kekerasan remaja atau membuat masyarakat enggan melaporkan

kasus-kasus tersebut adalah nilai-nilai budaya yang menganggap

bahwa tindakan kekerasan remaja adalah hal yang wajar, biasa, atau

dapat dimengerti dalam konteks tertentu. Nilai-nilai budaya ini dapat

berasal dari berbagai sumber, seperti agama, adat, etnis, atau

keluarga. Nilai-nilai budaya ini dapat mempengaruhi sikap, pandangan,

153
atau perilaku masyarakat terhadap tindakan kekerasan remaja, baik

sebagai pelaku, korban, atau saksi.

Beberapa contoh nilai-nilai budaya yang terkadang memaklumi

tindakan kekerasan remaja atau membuat masyarakat enggan

melaporkan kasus-kasus tersebut adalah:

a. Nilai-nilai budaya yang menghargai keberanian, kekuatan, atau

kejantanan, yang dapat membuat remaja laki-laki merasa perlu

menunjukkan atau membuktikan diri dengan cara-cara yang

kekerasan, seperti berkelahi, mengintimidasi, atau menantang

lawan.

b. Nilai-nilai budaya yang menghormati otoritas, hierarki, atau

senioritas, yang dapat membuat remaja perempuan merasa

tidak berdaya, tidak berhak, atau tidak berani melawan atau

melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya, terutama jika

pelakunya adalah orang yang lebih tua, lebih berpengaruh, atau

lebih berkuasa.

c. Nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi kesetiaan, solidaritas,

atau kolektivitas, yang dapat membuat remaja terlibat dalam

kelompok, geng, atau komunitas yang memiliki nilai-nilai,

norma-norma, atau aturan-aturan yang berbeda atau

bertentangan dengan hukum atau masyarakat umum.

154
Untuk mengatasi masalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak

di bawah umur, perlu adanya pendekatan holistik yang melibatkan

berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga,

masyarakat dan penegak hukum. Upaya pencegahan, pendidikan,

penegakan hukum yang adil, serta rehabilitasi bagi remaja pelaku

kejahatan perlu dilakukan secara terintegrasi. Kolaborasi lintas sektoral

dan partisipasi aktif masyarakat sangat penting dalam menangani

masalah ini.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Reskrim Masdidin,

bahwa dalam melaksanakan upaya penanggulangan tindak pidana

kekerasan yang dilakukan oleh pelajar terdapat beberapa kendala,

yaitu:143

1. Masalah dalam penyelidikan dan penyidikan:


a. Tersangka dan korban yang masih pelajar dan di bawah
umur menyulitkan pihak kepolisian untuk mendapatkan
keterangan dari mereka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
kesiapan dan mental mereka untuk berurusan dengan
hukum, sehingga mereka cenderung merasa takut dan malu.
Kondisi ini menghambat proses penyidikan yang dilakukan
oleh pihak kepolisian.
b. Adanya keterangan dan kesaksian palsu.keterangan saksi
merupakan kunci dalam suatu perkara, beberapa pihak
melakukan tindakan curang dan melawan hukum dengan
menyediakan saksi-saksi palsu yang dibayar untuk
memberikan keterangan palsu. Tindakan ini sangat
merugikan, terutama dalam perkara tindak pidana kekerasan
yang dilakukan oleh remaja..
c. Kurangnya barang bukti. Banyak pihak yang menghindari
penyelesaian perkara oleh Pihak Kepolisian, baik pihak

143
Hasil wawancara dengan Pak Masdidin, Bagian Staf Reskrim Polres Bima, Wawancara, Bima,
27 Agustus 2023.

155
tersangka, korban, maupun masyarakat. Mereka tidak mau
terlibat dalam permasalahan hukum.

2. Masalah dalam melaksanakan diversi:


a. Pihak Kepolisian mengalami kendala dalam melakukan
diversi karena pihak tersangka dan korban sulit
dipertemukan. Hal ini disebabkan oleh adanya pihak yang
tidak mau bertanggung jawab atas tindak pidana kekerasan
yang dilakukan oleh remaja
b. Salah satu kendala dalam diversi adalah ketidakpercayaan
pihak korban kepada pihak pelaku. Pihak korban khawatir
pihak pelaku tidak menjalankan kewajiban yang sudah
disepakati dalam diversi. Akibatnya, diversi yang seharusnya
cepat dan damai menjadi lama dan bermasalah. Hal ini
sering terjadi karena pihak pelaku awalnya setuju, tetapi
kemudian lupa atau mengabaikan perjanjian diversi.

Lebih lanjut dikatakan oleh pak Masdidin, bahwa Polres Bima

sebagai lembaga penegak hukum terdepan yang melindungi dan

mengayomi masyarakat mengalami beberapa hambatan dalam

mengungkap tindak pidana kekerasan yang dilakukan remaja di

Kabupaten Bima. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:144

a. Ketidakterbukaan Masyarakat dalam memberikan informasi ketika


terjadi tindak pidana kekerasan pemanahan di lingkungan
masyarakat, mereka seakan tidak peduli dengan kegiatan tersebut.
Hal ini berpengaruh terhadap kurangnya laporan yang masuk di
kepolisian terkait tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh
anak dibawah umur.
b. Ada anggapan masyarakat bahwa ketika mereka melaporkan
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh remaja, mereka akan
dipanggil dan diminta keterangan oleh polisi. Hal ini membuat
mereka dianggap sebagai kolaborator polisi dan mengakibatkan
mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka selama
berhari-hari, karena panggilan dari polisi biasanya tidak hanya
terjadi sekali atau dua kali.

144
Hasil wawancara dengan Pak Masdidin, Bagian Staf Reskrim Polres Bima, Wawancara,
Bima, 27 Agustus 2023.

156
c. Adanya perlindungan oleh pihak-pihak tertentu Tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh remaja merupakan salah satu masalah sosial
yang harus diperangi dengan sungguh-sungguh. Polisi sebagai
entitas utama dalam menjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi dan
memberantas kekerasan ini.
d. Keberhasilan dalam memberantas kekerasan ini akan terbuang
sia-sia apabila ada dukungan dari pihak-pihak tertentu yang
memanfaatkan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Dukungan
terhadap pelaku kekerasan bukanlah hal yang baru dalam
masyarakat. Tindakan para pendukung ini tidak dapat diterima dan
harus segera ditindak untuk menjaga tegaknya hukum dan
menciptakan rasa aman dan harmoni dalam masyarakat. Para
pendukung kejahatan ini dapat dianggap sebagai pelaku kejahatan
itu sendiri dan bukan hanya sekadar pembantu dalam kejahatan.
e. Kesulitan dalam mengumpulkan barang bukti, khususnya untuk
menjerat pelaku kejahatan, menjadi tantangan serius dalam
penanganan kekerasan yang dilakukan oleh remaja, terutama pada
kasus kekerasan yang terjadi di malam hari. Terlebih lagi, dalam
kasus kekerasan pemanahan, sulit untuk mengenali ciri-ciri pelaku
kekerasan. Hal ini meningkatkan kesulitan dalam mengidentifikasi
dan menangkap pelaku kejahatan.
f. Hukuman yang ringan atau vonis yang tidak memadai bagi pelaku
kekerasan yang mana berstatus anak di bawah umur telah
menyebabkan mereka kurang merasa jera atau takut untuk
melakukan perbuatan tersebut kembali. Hal ini berpotensi
menyebabkan mereka cenderung mengulangi perbuatan kekerasan
tersebut.

Dengan adanya kendala-kendala tersebut diatas, maka dengan

meningkatkan profesionalisme kerja anggota Polisi khususnya anggota

unit Sat Reskrim Polres Bima dan para aparat penegak hukum lainnya

diharapkan dapat mengurangi kendala-kendala yang ada serta dengan

segala keterbatasannya anggota Polisi sebagai pengayom dan pelindung

masyarakat dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan baik dan yang

paling terpenting adalah peran dari masyarakat itu sendiri didalam

membantu para aparat penegak hukum untuk mengungkap semua tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak dibawah umur.

157
158
BAB VI

PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Tindak pidana kekerasan remaja di Kabupaten Bima memiliki

karakteristik tertentu. Faktor yang mempengaruhi tindak pidana

kekerasan remaja yaitu Faktor keluarga, Faktor Teman Sebaya,

Faktor Media, Faktor Kesehatan Mental, Faktor pengaruh

obat-obatan terlarang, dan Faktor lingkungan sosial. Upaya

kepolisian dalam menanggulangi tindak kekerasan remaja di

Kabupaten Bima meliputi metode pre-emptif, preventif, dan represif.

Metode pre-emptif meliputi keterbukaan dan transparansi,

kolaborasi dengan masyarakat, dan pembentukan posko

keamanan. Metode preventif meliputi identifikasi daerah rawan,

penyuluhan hukum, patroli keliling, dan patroli keamanan rutin.

Metode represif meliputi menerima dan menindaklanjuti laporan

kejahatan, penyelidikan dan penyidikan komprehensif terhadap

tindak kekerasan remaja, penangkapan dan penahanan pelaku

kekerasan. Namun semua upaya yang dilakukan oleh aparat

kepolisian mulai dari upaya Pre-emptif, preventif sampai dengan

upaya represif tidaklah berjalan efektif sehingga Efektivitas

penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian Kabupaten

Bima dianggap cacat, hal tersebut dapat dilihat dari makin

159
meningkat dan terus merajalelanya tindak pidana kekerasan yang

dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima .

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat upaya penegakan hukum

oleh pihak kepolisian Kabupaten Bima antara yaitu, Faktor Internal,

seperti Keterbatasan Sumber Daya, Kurangnya Keterampilan dan

Pendidikan, Lemahnya Etika dan Profesionalisme. Sementara

untuk faktor eksternalnya seperti, Kurangnya Dukungan

Masyarakat, Adanya konflik kepentingan antara lembaga penegak

hukum, LSM, atau pihak swasta yang dapat menghambat proses

penegakan hukum, Faktor Sosial dan Budaya. Faktor-faktor yang

menjadi Kendala baik yang bersifat internal maupun eksternal itu

pula yang turut serta mendukung sehingga semakin marak

terjadinya tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di

Kabupaten Bima .

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut adalah beberapa saran

yang dapat diberikan untuk menanggulangi tindak pidana kekerasan

remaja di Kabupaten Bima:

1. Pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan program

preventif dan intervensi untuk mengatasi tindak pidana kekerasan

remaja, termasuk meningkatkan pola asuh keluarga, pembinaan

160
teman sebaya, pendidikan media yang sehat, pelayanan kesehatan

mental remaja, dan pencegahan penyalahgunaan obat-obatan

terlarang. Sekolah dan masyarakat juga perlu memberikan

pendidikan kepada remaja tentang penyelesaian konflik secara

damai, menghormati hak-hak orang lain, dan menghindari

kekerasan melalui program sosialisasi, pelatihan keterampilan

sosial, dan pembentukan lingkungan yang aman bagi remaja. Dari

segi Pre-emptif Aparat Kepolisian harus meningkatkan dan

memaksimalkan upaya Keterbukaan dan transparansi, Kolaborasi

dan partisipasi aparat penegak hukum kepada masyarakat,

Pembentukan posko keamanan, guna untuk memimimalisirkan

tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten

Bima. Dari segi Metode Preventif, aparat kepolisian perlu

memaksimalkan dan meningkatkan tersebut upaya Identifikasi

Daerah Yang Rawan, secara intensif, Penyuluhan Hukum secara

berkelanjutan, Patroli Keliling dan Patroli Keamanan Rutin. Untuk

metode Represif yang dilakukan oleh kepolisian tersebut seperti,

Menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan mengenai

tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat harus ditingkatkan dan

dimaksimalkan lagi, Melakukan langkah-langkah penyelidikan dan

penyidikan yang komprehensif terhadap tindak kekerasan yang

dilakukan oleh anak harus dilakukan dengan cara yang maksimal,

Melakukan penangkapan terhadap pelaku kekerasan pemanahan

161
dan melaksanakan proses pemeriksaan serta penahanan harus

dilakukan dengan cara yang maksimal. Dengan upaya

memaksimalkan metode preventif tersebut maka dapat diharapkan

akan dapat mengurangi tindak pidana Kekerasan yang dilakukan

oleh remaja di Kabupaten Bima .

2. Perlu adanya peningkatan dan pemaksimalan terhadap Sumber

Daya aparat kepolisian, meningkatkan Keterampilan dan

Pendidikan, dan memaksimalkan serta meningkatkan Etika dan

Profesionalisme dalam penegakan hukum. Aparat kepolisian perlu

Membangun sinergis dengan Masyarakat, aparat kepolisian perlu

mengharmoniskan hubungan , LSM, atau pihak lain sehingga dapat

memudahkan peningkatan dan penegakan hukum terhadap kasus

tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Kabupaten Bima .

162
Daftar pustaka
A. BUKU

Ahmad Susanto, 2015, Bimbingan & Konseling di Taman Kanak-kanak,

Prenada Media Group, Jakarta.

Azimah Soebagijo, 2008, Pornografi: dilarang tapi dicari, Gema Insani,

Depok.

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Astri Sulistiani Risnaedi, 2021, Konsep Penanggulangan Perilaku

Menyimpang Siswa, Penerbit Adab CV. Adanu Abhimata, Jawa

Barat.

Amriel, Reza Indragiri, 2008, Psikologi Kaum Muda Pengguna Narkoba,

Salemba Humanika, Jakarta.

A.R. Sujono dan Bony Daniel, 2013, Viktimologi Perlindungan Hukum

Terhadap Korban Kejahatan, Sinar Grafika, Jakarta.

Novita Sari, Meri Neherta, dan Lili Fajria, 2023, Faktor Penyebab Orang

Tua Melakukan Kekerasan Pada Anaknya, CV Adanu Abimata,

Indramayu.

Ayu Eza Tiara, Arif Maulana, Muhammad Retza Billiansya, 2021,

Kepolisian Dalam Bayang-Bayang Penyiksaan (Catatan Kasus

Penyiksaan Sepanjang Tahun 2013 s.d. 2016), LBH, Jakarta.

163
Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, 2018, Sistem Peradilan

Pidana Anak, Media Pressindo, Jakarta.

Abintoro Prakoso, 2013, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang

Grafika, Yogyakarta.

Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Andi Hamzah, 1994, Masalah Penegakan Hukum Pidana, PT. Eresco,

Jakarta.

Sabar Slamet, 1998, Hukum Pidana, Universitas Negeri Sebelas Maret,

Surakarta.

Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Penegakan Hukum,
Rajawali, Jakarta.

Abidin, Farid zainal, 2007, Asas-Asas Hukum Pidana, Sinar grafika,


Jakarta.

Bambang Waluyo, 2016, Desain Fungsi Kejaksaan Pada Restorative

Justice, Rajawali Pers, Depok.

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan

Kejahatan dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang.

Mohamad Fadhilah Zein, 2019, Anak dan Keluarga dalam Teknologi

Informasi, Perpustakaan Nasional, Jakarta.

164
Nyoman Subagia, 2021, Pola Asuh Orang Tua: Faktor, Implikasi

terhadap Perkembangan Karakter Anak, Nila Cakra, Bali.

Inda Puji Lestari, Surahman Amin, Ismail Suardi Wekke, 2021, Model

Pencegahan Kenakalan Remaja Dengan Pendidikan Agama Islam,

Adab, Indramayu.

F.b Surbakti, 2009, Kenalilah Anak Remaja Anda, Elex Media

Komputindo, Jakarta.

Joko Subroto, 2021, Kunci Sukses Pergaulan Remaja, Bumi Aksara,

Jakarta.

Pamela Hendra Heng, 2020, Perilaku Delinkuensi: Pergaulan Anak dan

Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua, Andi, Surabaya

Endang Mei Yunalia, 2020, Arif Nurma Etika, Remaja Dan Konformitas

Teman Sebaya, Ahlimedia Book, Malang.

Gunarsa, Singgih D, dan Gunarsa, Yulia Singgih D, 1991, Psikologi

praktis: anak, remaja dan keluarga, Gunung Mulia, Indonesia.

Muhammad Z A, 2019, Ku Pilih Taat, Guepedia, Bogor.

Siti Makhmudah, 2019, Medsos Dan Dampaknya Pada perilaku

Keagamaan Remaja, GuePedia, Bogor.

Pupu Sacful Rahmat, 2018, Perkembangan Peserta Didik, PT Bumi

Aksara, Jakarta.

165
Utami Nur Hafsari Putri, Nur’aini, Armita Sari, Shofia Mawaddah, 2022,

Modul Kesehatan Mental, CV. Azka Pustaka, Sumater.

Marty Mawarpury, Herdiyan Maulana, Maya Khairani, Endang

Fourianalistyawati, 2022, Seri Kesehatan Mental Indonesia:

Kesehatan Mental di Indonesia Saat Pandemi, Press, Syiah Kuala

University

Putu Darma Mahardipa, dkk, 2022, Bunga Rampai Isu-Isu Krusial

tentang Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya,

Lakeisha, Boyolali.

Nana Mulyana dkk, 2023, Pencegahan Konflik Sosial Dan

Penanggulangan Kenakalan Remaja, edu Publisher, Tasikmalaya.

Fitrawan Umar, 2021, Strategi Konselor Dalam Upaya Menanggulangi

Kenakalan Remaja, edu Publisher, Tasikmalaya.

Kun Maryati, Juju Suryawati, 2021, Sosiologi, Jilid 3, Esis, Semarang.

Makhrus Munajat, 2022, Hukum Pidana Anak di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta.

Lefti Michael dkk, 2023, Perlindungan Anak Dan Hukum Pidana Anak,

Global Eksekutif Teknologi, Tasikmalaya

Wiyono, R. 2016, Sistem peradilan pidana anak di Indonesia, Sinar

Grafika, Indonesia.

166
Setyo Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi, Genta Publishing,

Yogyakarta.

Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, Kosim, 2006, IPS Terpadu (Sosiologi,

Geografi, Ekonomi, Sejarah), PT Grafindo Media Pratama,

Surabaya.

M. Kemal.Darmawan, 2012, Strategi Kepolisian Dalam Pencegahan

Kejahatan, Sinar Grafika, Jakarta

Sutrisno, 2016, Sosiologi Kepolisian: Relasi Kuasa Polisi dengan

Organisasi Masyarakat Sipil Pasca Orde Baru, Yayasan Pustaka

Obor, Jakarta.

Taruna Akpol Semarang, 2017, Polisi & Tantangan HAM di Indonesia:

Pilihan Gagasan Taruna Akpol, Pusham Uii, Yogyakarta.

Rizal Panggabean, 2016, Manajemen Konflik Untuk Polisi, Sinar


Grafika, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 1987, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru,


Bandung.

Peter Mahmud, Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana


Prenada, Jakarta.

John W. Santrock penerjemah, Verawaty Pakpahan, 2011, Masa


perkembangan anak Buku 2, Salemba Humanika, Jakarta.

167
Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, 2007, Psikologi
remaja, Gunung Mulia, Jakarta.

Elizabeth B. Hurlock, 2001, Psikologi Perkembangan, Suatu


Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta.

Anjari, Warih, 2014, Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan


(Violence). Jurnal WIDYA Yustisia, Volume 1, No. 1

Anwar Adang, Yesmil, 2010, Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung.

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Moeljatno, 2015, Asas-asas Hukum Pidana, cet. IX, Rineka Cipta,


Jakarta.

Sianturi, S.R, 1972, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan


Penerapannya, Alumni, Jakarta.

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

FItri Wahyuni, 2017, Dasar-dasar Hukum Pidana, Di Indonesia, PT


Nusantara Persada Utama, Tangerang.

Yoyok Ucuk Suyono, 2014, Hukum Kepolisian Kedudukan Polri Dalam


Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945, Laksbang Grafika, Yogyakarta.

Sadjijono, 2005, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good


Governance, Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

Sadjijono, 2006, Hukum Kepolisian, Perspektif Kedudukan Dan


Hubungan Dalam Hukum Administrasi, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta.

Momo Kelana, 1994, Hukum Kepolisian, PT Gramedia Widiasarana


Indonesia, Jakarta.

W.J.S Purwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai


Pustaka Jakarta.

168
H. Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan
Reformasi Polri), penerbit Laksbang Mediatama, Surabaya.

B. JURNAL

Adelia Apriyanti, La Ode Husen & Nurul Qomar, ‘’Efektivitas Penegakan

Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekarantinaan

Kesehatan Pada Saat Terjadinya Kedaruratan Kesehatan Di

Kota Makassar’’ Di Akses Dari

http://www.pascaumi.ac.id/index.php/jlg/article/view/1409/1603,

Pada Tanggal 7 Mei 2023 Pukul 20.34

Febby Yuzela Tilalepta, Syahrudin Nawi & Kamri Ahmad, ‘’Efektivitas

Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran Di

Kota Makassar, Studi Kasus Di Polrestabes Makassar’’ Di

Akses Dari

http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/1341/1531

Pada Tanggal 8 Mei 2023 Pukul 23.12.

Rezky Sulyanwa, Baharuddin Badaru & Ahmad Fadil, ‘’Efektivitas

Penggunaan Sidi Jadi (Fingerprint) Sebagai Alat Bukti Dalam

Mengungkap Tindak Pidana’’ Di Akses Dari

http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/104/115 Pada

Tanggal 8 Mei 2023 Pukul 01: 27

Rasmi Adelia, Ma'aruf Hafidz & Kamri Ahmad, ‘’Tanggung Jawab

Kepolisian Dalam Penanganan, Keamanan dan Ketertiban

Masyarakat Di Kota Makassar’’ Di Akses Dari

169
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/322/358 Pada

Tanggal 8 Mei 2023 Pukul 02.10.

Kusyono Juskar, Syahruddin Nawi & Nur Fadhilah Mappasellen,

‘’Efektivitas Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Pencurian

Dengan Kekerasan Yang Di Lakukan Oleh Anak Di Kabupaten

Gowa’’ Di Akses Dari

http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/640/698 Pada

Tanggal 8 Mei 2023 Pukul 02.35.

Yunan Hilmy, 2013, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui

Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Hukum

Nasional, Jurnal Rechts Viding Vol II No. 2, Agustus

Nuroton Mumtahanah, 2015, “Upaya Menanggulangi Kenakalan

Remaja Secara Preventif, Represif, Kuratif dan Rehabilitasi”,

Jurnal Al Hikmah, Vol. 5, No. 2

Nurul Azmi Al Farabi, Hambali Thalib & Azwad Rachmat Hambali, Aspek

Kriminologis Terhadap Kejahatan Pencurian Listrik Di Wilayah Kota

Makassar, Diakses Dari

http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/532/582,

Volume 2, Nomor 6, Juni 2021, hal 1712

Rasmi Adhelia, Ma’ruf Hafidz & Kamri Ahmad, Tanggungjawab Kepolisian

Dalam Penanganan, Keamanan, Dan Ketertiban Masyarakat Di

Kota Makassar, Diakses

170
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/322/358 Dari

Volume 2, Nomor 1, Januari 2021, hal 233.

Fitri Matika, Hambali Thalib & Abdul Qahar, Efektifitas Penyidikan

Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Perang Kelompok, Diakses

Dari http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/636/695

Volume 2, Nomor 9, September 2021, hal 2383.

Muh. Asrul Haq Sultan, Hambali Thalib & La Ode Husen, Analisis

Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Di Kota

Makassar, Diakses Dari

http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/282/313,

Volume 1, Nomor 7, Desember 2020, hal.1019

Teddy Lesmana, Pokok-pokok Pikiran Lawrence Meir Friedman, Diakses

Dari

https://nusaputra.ac.id/article/pokok-pokok-pikiran-lawrence-meir-fri

edman-sistem-hukum-dalam-perspektif-ilmu-sosial/#:~:text=Friedm

an%20menyatakan%20bahwa%20sistem%20hukum,dan%20Buda

ya%20(legal%20cultur) , Pada Tanggal 5 Juni 2023, Pukul 14 : 25

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bima Diakses tanggal 6

September, 2023 pukul 11: 16

https://Bimakab.bps.go.id/statictable/2014/03/04/2/letak-geografis-kabupat

en-Bima.html Diakses tanggal 6 September, 2023 pukul 11: 40

171
https://regional.kompas.com/read/2023/03/09/155014578/panah-pelajar-s

mp-8-remaja-di-bima-ditangkap-polisi Diakses pada tanggal 14

September 2023, Pukul 14 : 50

https://regional.kompas.com/read/2022/11/08/113641878/pria-odgj-di-bima

-jadi-korban-pemanahan-4-remaja-ditangkap Di Akses pada tanggal

14 September 2023, Pukul 15 : 10

https://m.tribunnews.com/regional/2022/06/07/dua-remaja-di-bima-ditangk

ap-lantaran-teror-warga-dengan-aksi-pemanahan-2-orang-jadi-korb

an Di Akses pada tanggal 14 September 2023, Pukul 15 : 20.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Pasal 14, Ayat

1, huruf a s/d c

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas undang-undang

nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana

anak

172

Anda mungkin juga menyukai