PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum, di mana setiap perbuatan dan tingkah
laku manusia dibatasi oleh adanya aturan yang mengikat pada diri manusia yang tinggal
di Indonesia. Mau atau tidak mau semua masyarakat Indonesia harus patuh terhadap
peraturan yang telah dibuat dan disepakati di Indonesia. Hukum tersebut berlaku bagi
semua warga Indonesia, tampa terkecuali seorang pun, baik itu orang biasa atau pun
pejabat. Meskipun sudah begitu bagusnya hukum di Indonesia diciptakan, namun hal
itu tidak menyurutkan para masyarakat untuk melakukan tindak pidana.
Menurut Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dijelaskan
bahwa, yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan
dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepolisian memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan keamanan dan
kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, kepolisian merupakan lembaga yang
mengayomi masyarakat dalam segala kondisi sosial. Peran kepolisian dapat dikatakan
sebagai aspek kedudukan yang berhubungan dengan kedudukanya sebagai pelindung
masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dikatakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Polisi merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum pidana, sehingga
tidaklah berlebihan jika polisi dikatakan sebagai hukum pidana yang hidup 1,
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegaknya
hukum, adanya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
1
Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial Di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2002), hlm. 25.
1
2
Polisi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, bukan hanya harus tunduk
pada hukum yang berlaku sebagai aspek luar, tetapi mereka dibekali pula dengan etika
kepolisian sebagai aspek dalam kepolisian. Etika kepolisian adalah norma tentang
perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang
baik bagi penegakan hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat3
Polisi yang tidak beretika dan tak berintegritas dalam tugas telah menjadi
parasit-parasit keadilan yang menciptakan Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai
lingkaran setan mafia peradilan. Masyarakat menjadi enggan berhubungan dengan
polisi/lembaga kepolisian karena keduanya telah menjadi mesin teror dan horor.
Penggunaan kekerasan oleh polisi dalam penegakan hukum pidana ternyata
masih mengemuka. Indriyanto Seno Adji, mengemukakan bahwa perilaku sedemikian
2
Satjipto Rahardjo, Mengkaji Kembali Peran Dan Fungi Polri Dalam Era Reformasi (Jakarta:
Makalah Seminar Nasional, 2003), hal.27.
3
Kunarto, Etika Kepolisian (Jakarta: Cipta Manunggal, 1997), hlm. 97.
3
4
Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,1998), hlm. 4
5
Pasal 66 Ayat (4) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Menejemen Penyidikan
Tindak Pidana
6
Adam Prireza, “Pengakuan Pengamen Cipulir Salah Tangkap; Diestrum Dan Diinjak,”
http://metro.tempo.co/amp/1230342/pengakuan-pengamen-cipulir-salah-tangkap-disetrum-dan-diinjak,
diakses 18 Juni 2020.
7
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta:Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI,1994), hlm. 25.
4
Hak-hak seorang tersangka atau terdakwa sebenarnya sudah cukup diatur dan
mendapat perlindungan oleh KUHAP. Pasal 54 KUHAP menyebutkan, bahwa: guna
kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari
seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang.
B. Identifikasi Masalah
Adapun pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, di identifikasikan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perlindungan hak-hak tersangka dalam proses peradilan pidana?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada tersangka yang
menjadi korban kekerasan dalam proses penyidikan di Polres Simalungun
dihubungkan dengan Putusan No.1/Pid.Pra/2019/PN Simalungun?
5
C. Tujuan Penelitian
Setelah pokok permasalahan dikemukakan di atas, maka tujuan diadakannya
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perlindungan hak-hak tersangka dalam proses peradilan pidana
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada tersangka
yang menjadi korban kekerasan dalam proses penyidikan di Polres Simalungun
dihubungkan dengan Putusan No.1/Pid.Pra/2019/PN Simalungun.
D. Kegunaan Penelitian
Penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik dari segi teoretis maupun
dari segi praktis sebagai berikut:
1. Kegunaan teoretis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk perkembangan
kemajuan ilmu hukum pidana, pada khususnya menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan mengenai penegakan hukum terhadap kekerasan yang dilakukan oleh
penyidik terhadap tersangka.
2. Kegunaan praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan, masukan, dan
informasi bagi rekan rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan
pemerintah dalam melakukan penegakan hukum pidana terhadap kekerasan yang
dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka.
6
E. Kerangka Pemikiran
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ditetapkan Pasal 1 Ayat (3)
Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka dari itu hukum harus
ditegakkan. Hukum yang harus ditegakkan adalah hukum yang berlandaskan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 serta segala hukum yang benar-benar sesuai dengan nilai
kesadaran yang hidup di masyarakat.
Sebagai negara yang berlandaskan hukum, maka seluruh tatanan hidup dalam
bernegara harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
memberi hukuman bagi yang bersalah. Selain memberi hukuman bagi mereka yang
bersalah, negara juga harus berkewajiban untuk membina mereka yang telah melanggar
atau melakukan tindak kejahatan. A.V. Dicey yang dikutip oleh Jimly Asshidiqqie
memberikan ciri-ciri penjelasan negara hukum yaitu:
1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun
pejabat
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-
keputusan pengadilan. 8
8
A.V.Diecey dalam Jimly Asshidiqqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia,
https://www.academia.edu/92949840/GAGASAN_NEGARA_HUKUM_INDONSIA, diakses 18 juni
2020
9
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 15
7
negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa
yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan)
kepada yang melanggar larangan tersebut.
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya
bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang
dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-
masalah dalam penegakan hukum, terutama dalam sistem peradilan pidana mulai dari
proses penyidikan, penuntutan, mengadili, sampai pada tahap putusan.
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif) yang berhubungan dengan perbuatan yang melanggar hukum pidana.
Lamintang mengatakan bahwa tindak pidana adalah, Suatu tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
suatu tindakan yang dapat dihukum.10
Pelaku tindak pidana dalam hal ini telah disebutkan siapa yang dianggap
sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana dalam Pasal 55 Ayat (1) dan Ayat (2)
KUHP, yaitu:
“Ayat (1) angka 1, Mereka yang melakukan, menyuruh dan yang turut serta
melakukan perbuatan. Angka 2, Mereka yang memberi atau menjanjikan
sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja mengajurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sejalan
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.”
Penyidikan oleh kepolisian tercantum dalam Pasal (1) angka 2 KUHAP yang
menyatakan :
“Penyidikan adalah serangkain tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya”
10
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1994), hal.
172.
8
11
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 118.
12
Ibid.,
9
supaya hakim memeriksa dan ke.mudian memutuskan perkara pidana itu terhadap
terdakwa.
Pada proses pengumpulan bukti-bukti, penyidik diberikan wewenang untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu (upaya paksa) guna penyelesaian tugas
penyidikan. Kewenangan melakukan tindakan tersebut tentu saja harus bersifat
kasuistis, sebab tidak semua peristiwa atau tindak pidana mempunyai latar belakang
atau motivasi yang sama. Tindakan penyidikan dan upaya-upaya yang bersifat
memaksa (dwang middelen) seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat tidak digunakan dalam menghadapi setiap
kasus, guna memenuhi pembuktian yang dipandang cukup untuk kepentingan penuntut
dan proses persidangan atas perkara tersebut.
Dalam proses penyidikan kasus ini penyidik melakukan, penyiksaan, bahkan
sampai pemukulan terhadap tersangka untuk mendapatkan informasi terhadap kasus
yang sedang ditangani, sedangkan di dalam KUHAP sudah dikatakan dengan jelas
pada Pasal 66 KUHAP yang mengatakan “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian”. Dalam proses penyidikan juga tersangka juga harus
memperoleh bantuan hukum seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.
Dan cara seperti itu bisa membatasi hak dari tersangka untuk meminta bantuan
hukum, padahal apa yang diatur dalam undang-undang tidaklah sebagai hak dalam arti
apa yang seharusnya diperoleh, hak yang termuat sebagai huruf-huruf mati tersebut
tidak diatur secara jelas, sebagian besar memerlukan peraturan pelaksanaan, sehingga
dapat diintervensi secara berbeda oleh penegak hukum dalam pelaksanaannya.
Dalam kasus ini penyidikan tidak berjalan sesuai dengan sistem peradilan
pidana, penyidik hanya mengandalkan penyiksaan terhadap tersangka untuk
mendapatkan pengakuan agar dapat segera menyelesaikan perkara tersebut. Bagi
penyidik di Kepolisian agar memahami Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
10
mengatur mengenai hak dari tersangka dan tentang penyidikan agar tidak terjadi
kekerasan dalam proses penyidikan tersebut.
Pada tahapan ini seseorang ditetapkan sebagai tersangka hanya berdasarkan bukti
permulaan yang didapat dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian.
Berdasarkan bukti permulaan ini kemudian seseorang patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana. Keputusan penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka
merupakan tindak lanjut dari sebuah proses hukum penyelidikan yang dilakukan oleh
kepolisian. Proses penyidikan tindak pidana dilakukan untuk :
a. Mencari keterangan-keterangan dan bukti guna menentukan suatu peristiwa
yang di laporkan atau diadukan, apakah merupakan tindak pidana atau bukan.
b. Melengkapi keterangan dan bukti-bukti yang telah di proses agar menjadi jelas
sebelum dilakukan penindakan selanjutnya.
c. Persiapan pelaksanaan penindakan dan atau pemeriksaan.
keadaan tertentu dan mendesak, polisi dibolehkan menembak mati seseorang atas
pertimbangannya (diskresi) sendiri, ungkapnya.
Kendati begitu, Irjen Pol (Purn) Ronny Lihawa menjelaskan bahwa instrumen
kekerasan hanya bisa digunakan dalam proses penangkapan. Itu pun jika ada
perlawanan dari yang bersangkutan atau yang didusga pelaku tindak pidana. Sementara
untuk proses penyidikan, polisi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
penyiksaan agar mendapatkan keterangan atau pengakuan dari tersangkanya. 13
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia, di dalam Pasal 13 Ayat (1) menyatakan:
1. Dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang:
a. melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual
untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.
b. menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan
kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang.
c. memberitakan rahasia seseorang yang berperkara.
d. memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan
laporan hasil penyelidikan.
e. merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau
memutarbalikkan kebenaran.
f. melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak
yang berperkara.
Hal ini selaras juga dengan Perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 66
Ayat (4) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana yang berbunyi:
“Penyidik/Penyidik pembantu dilarang menggunakan kekerasan, tekanan
atau ancaman dalam bentuk apapun, dan harus berperilaku sebagai pihak
yang akan menggali fakta-fakta dalam penegakan hukum.”
13
Hukum online, “Aksi Kekerasan Polisi dalam Penyidikan Tak Dapat Dibenarkan,”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17335/aksi-kekerasan-polisi-dalam-penyidikan-tak-
dapat-dibenarkan?page=2, diakses 4 Agustus 2020.
13
Pada dasarnya melihat pada ketentuan-ketentuan di atas, polisi tidak boleh melakukan
tindakan kekerasan jika masih bisa dilakukan dengan cara-cara yang lain.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28i ayat (1) di mana salah satu pointnya
mengatakan hak untuk tidak disiksa. Kita sering menemukan berita tentang adanya
tindakan “meyimpang” dari penyidik dalam proses penyidikan, seperti tindakan
penyiksaan yang bertujuan untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Tindakan
penyiksaan ini tidak jarang mengakibatkan dampak buruk pada tersangka, salah
satunya mengakibatkan tersangka mengalami luka-luka dan lebam, bahkan ada yang
sampai berujung kematian. Tindakan yang dilakukan penyidik guna memperoleh
pengakuan dari tersangka dengan cara menyiksa dianggap seperti sudah “membudaya”
demi efesiensi dan untuk medapatkan apresiasi dari masyakarat maupun dari atasan
yang dianggap relatif cepat dalam mengungkapkan suatu kasus pidana.
Berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk14
1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan
3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan
4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara
8. Mengadakan penghentian penyidikan
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
14
Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
14
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang bersifat sangat mendasar yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa, dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara oleh negara,
15
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.15
Kewajiban menghormati hak asasi manusia tercermin dalam asas asas hak asasi
manusia dan pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang
tubuhnya, terutama yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam
hukum dan pemerintahan, selain asas-asas HAM dan UUD 1945 yang memberikan
perlindungan terhadap HAM, terdapat juga dalam KUHAP yang memberikan
perlindungan terhadap HAM khususnya terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa
dalam pelaksanaan pemeriksaan perkara pidana.
Dalam upaya mencari kebenaran materill, maka sesuai dengan “Asas Praduga
Tak Bersalah”, tersangka atau terdakwa mempunyai hak yang harus dilindungi oleh
Undang-Undang yang terdapat pada KUHAP yaitu:
1. Hak mendapat pemeriksaan dengan segera
2. Hak pembelaan
3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas
4. Hak untuk mendapatkan juru bahasa
5. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum
6. Hak memilih sendiri penasehat hukum
7. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma
8. Hak untuk menghubungi penasehat hukum
9. Hak kunjungan oleh dokter pribadi
10. Hak untuk mendapatkan kunjungan keluarga dan sanak keluarga
11. Hak berkirim dan menerima surat
12. Hak diadili pada sidang terbuka untuk umum
13. Hak mengajukan saksi
14. Hak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian
15. Hak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi
15
A.Widiada Gunakaya S.A, Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Andi, 2017), hlm. 55.
16
16
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
(Bandung: Alumni, 2006), hlm. 49.
17
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
18
Dalam era globalisasi ini, kepastian, keadilan, dan efisiensi menjadi sangat
penting. Tiga hal itu hanya bisa dijamin dengan hukum yang baik. Masalah
penegakan hukum, baik secara “inabstracto” maupun secara “inconcreto”
merupakan masalah aktual yang akhir-akhir ini mendapat soroton tajam dari
masyarakat.20
Di dalam hukum acara pidana juga sebagai dasar terselenggaranya peradilan
pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, dipandang perlu perangkat
perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum pidana
sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing aparatur penegak hukum
kearah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan harkat martabat manusia,
ketertiban, dan kepastian hukum. 21
Penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Kadir Husein, adalah suatu
sistem pengendalian kejahatan yang dilakukan oleh lembaga Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan atau lebih dikenal dengan
istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP).
18
AL. Wisnubroto dan G. Widiatama, Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Bandung:Citra
Aditya Bakti, 2005), hlm. 1.
19
Mardjono Reksodiputro dalam I Ketut Adi Purnama, Transparansi Penyidik Polri Dalam
Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2018), hlm. 21
20
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum dan Kebijakkan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 18.
21
AL. Wisnubroto dan G. Widiatama, loc.cit.
19
22
Barda Nawawi Arif dalam Kunarto, Perilaku Organisasi Polisi (Jakarta: Cipta Manunggal,
1997), hlm, 112.
23
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 118.
20
sangat besar, karena penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses
peradilan selanjutnya. 24
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Seokanto, efektif atau tidaknya
penegakan hukum itu sendiri terpengaruh dari faktor-faktor yang berorientasi dalam
hukum itu. Adapun faktor yang dimaksud oleh beliau adalah sebagai berikut:
1. “Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)
2. Faktor penegak hukum (pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum)
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hokum
4. Faktor masyarakat (lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan)
5. Faktor kebudayaan (sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.”25
24
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009),
hlm. 79
25
Soerjono Soekamto dalam Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang (Bandung: Citra
Aditya Abadi, 2008), hlm.38.
26
I Ketut Adi Purnama, Transparansi Penyidik Polri... op.cit., hlm. 13.
21
prosedurnya (hukum acaranya) sudah harus ditetapkan asas-asas hukum yang dapat
mengikat semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan peradilan pidana,
sehingga dalam penegakan hukum akan benar-benar terarah dan tercapai tujuan yang
dikehendaki. 27 Adapun asas yang paling utama dari negara hukum adalah asas legalitas,
asas ini merupakan asas fundamental dalam setiap negara hukum. Setiap perbuatan
yang disangkakan atau didakwakan kepada tersangka atau terdakwa harus berdasarkan
hukum positif. 28
Walaupun di atas dikatakan demikian, namun perlu disadari, bahwa baik dalam
perumusan ataupun pelaksanaan kebijakan hukum pidana, norma hukum pidana ini
sesungguhnya tidak dapat ditegakkan secara total. Dimaksudkan dengan penegakan
hukum pidana secara total (total law enforcement) pada hakikatnya adalah:
“Suatu konsep penegakan hukum pidana yang diarahkan untuk melindungi
berbagai nilai berupa kepentingan hukum yang ada di dalam norma hukum
pidana yang berkaitan, baik kepentingan hukum negara, masayarakat maupun
kepentingan hukum warga masyarakat sebagai individu” 29
Jadi, penegakan hukum pidana secara total merupakan ruang lingkup penegakan
hukum pidana materil, dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana antara lain
mencakup aturan aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan
pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu hukum pidana materil itu sendiri juga
memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai
syarat penuntutan pada delik-delik aduan.30
27
Widiada Gunakaya, Politik Hukum Pidana (Criminal Law Policy) (Bandung: STHB, 2008),
hlm, 69
28
I qbid.
29
Ibid
30
Ibid., hlm 73.
22
F. Metode Penelitian
Metode penelitian mengungkapkan secara ringkas rancangan penelitian.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu bentuk kegiatan
ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan jalan
menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
suatu faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecah atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 31
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode, yaitu:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan Penegakan
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksaan hukum positif
mengenai penegakan hukum terhadap kekerasan dalam proses penyidikan yang
menyangkut permasalahan di atas dalam hal ini Putusan No.1/PID.PRA/2019/PN
SIMALUNGUN
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif sebagaimana
pendapat Soerjono Soekanto, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan
cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 32
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, misalnya seperti: Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun
2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, undang-undang No.8
Tahun 1981, dan Putusan No.1/PID.PRA/2019/PN Simalungun.
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Pers, 1981), hlm.43.
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm.13-14.
23
3. Metode Pendekatan.
Untuk mengkaji setiap permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, maka
pendekatan yang digunakan ialah :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan
menelaah semua yang ditangani. 33 Pendekatan peundang-undangan yang
digunakan (statute approach) sesuai dengan jenis penelitian ini yaitu yuridis
normatif yang menjelaskan bagaimana seharusnya suatu undang-undang saling
berkaitan baik secara vertikal maupun secara horizontal.
33
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Peranada Media Group, 2011),
hlm.35.
24
34
Soerjono Soekanto, Pengantar…op.cit., hlm.52.