Anda di halaman 1dari 78

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum, polisi senantiasa menghormati hukum dan hak asasi manusia. Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral. Secara universal, tugas Polisi pada hakikatnya ada dua, yaitu menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban umum. Tugas yang pertama mengandung pengertian Represif atau tugas terbatas yang kewenangannya dibatasi oleh kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), tugas kedua mengandung pengertian Preventif atau tugas mengayomi adalah tugas yang luas, tanpa batas, boleh melakukan apa saja asal keamanan terpelihara dan tidak melanggar hukum itu sendiri.1 Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi
1

Kunarto. 1997. Perilaku Organisasi Polri. Jakarta. Cipta Manunggal. hal: 111

setiap anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean governance dan good governance.2 Ada dua unsur yang mempengaruhi tugas Polisi, yaitu unsur bahaya dan unsur kewenangan, termasuk kewenangan untuk melakukan tindak kekerasan atau diskresi. Unsur bahaya membuat polisi selalu curiga, sedang unsur kewenangan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan wewenang. Dalam psikologi, konflik peran ini bisa menimbulkan perilaku agresif.3 Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi kepolisian terdiri dari: a. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. b. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya. c. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2 3

Ibid. hal: 97 Sarwono. S.W. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. hal: 313

Keberhasilan

penyelenggaraan

fungsi

kepolisian

dengan

tanpa

meninggalkan etika profesi sangat dipengaruhi oleh kinerja polisi yang direfleksikan dalam sikap dan perilaku pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya. Dalam Pasal 13 UU Kepolisian ditegaskan tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Profesionalisme polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring perkembangan dan kemajuan jaman. Apabila polisi tidak profesional maka proses penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terancam sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dalam menjalankan tugas. Tugas polisi disamping sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah ujung tombak dalam integrated criminal justice system. Di tangan polisi-lah terlebih dahulu mampu mengurai gelapnya kasus kejahatan. Polisi dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat dan menemukan pelakunya. Polisi harus melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu kejahatan dan menemukan pelakunya.4 Berbagai macam jenis kejahatan yang telah ditangani pihak kepolisian dalam memberantas kejahatan jalanan demi untuk meningkatkan suasana yang aman dan tertib sebagaimana yang menjadi tanggung jawab pihak kepolisian. Maraknya tindak kejahatan Polri harus tetap menjaga kamtibmas yang belakangan ini banyak terjadi terutama terhadap aksi demonstrasi yang mengarah anarkhis. Begitu urgennya keberadaan polisi bagi masyarakat, maka dapat diibaratkan seperti kolam dengan ikannya. Masyarakat dengan polisi tidak dapat dipisahkan.5 Konflik antara polisi dengan masyarakat juga sering terjadi karena ketidakprofesionalan dalam menjalankan tugas misalnya melakukan penyidikan

M. Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian) . Jakarta: Pradnya Paramita. hal: 24. 5 Anthon F Susanto. 2004. Wajah Peradilan Kita. Bandung: Refika Aditama. hal: 93

tanpa surat dan dasar hukum yang kuat, melakukan penangkapan dan penahanan tanpa prosedur, melakukan kekerasan kepada tersangka dan sebagainya.6 Penegakan hukum di dalam sistem peradilan pidana bertujuan untuk menanggulagi setiap kejahatan. Hal ini dimaksudkan agar setiap tindakantindakan yang melanggar aturan hukum dan peraturan perundang-undangan serta membuat kehidupan masyarakat menjadi aman, tenteram dan terkendali dan masih dalam batas-batas toleransi masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Mardjono Reksodipoetro bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.7 Dalam batas-batas yang wajar kekerasan terhadap demonstran yang anarkhis dapat dibenarkan, namun tetap harus dilakukan secara selektif dan terkendali. Tindakan keras dari kepolisian harus tetap berdasarkan aturan-aturan hukum yang berlaku dan menghormati HAM. Pada demonstran yang bertindak brutal dan anarkhis harus diperiksa sesuai dengan hukum yang berlaku. Akan tetapi terkadang dalam menghadapi situasi di lapangan, Polisi dihadapkan pada suatu keputusan diamana ia harus memilih suatu tindakan yang terkadang di luar batas kewenangannya dan di luar komando pimpinannya. Setiap kesatuan Polisi pada level apapun harus bertindak apabila melihat ada pelanggaran hukum nasional. Bahkan tidak jarang Polisi daerah harus mengabaikan hukum adat setempat untuk menegakan hukum nasional. Dengan kata lain Kepolisian nasional yang sentralistik bergerak dengan satu gaya, dengan kesamaan sense of perpose antara pimpinan Kepolisian nasional dengan para pimpinan Kepolisian daerah dan para petugas yang ada di bawahnya. Berkenaan dengan status itu dalam konteks masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, juga dalam kondisi geografi kepulauan yang sangat luas, sistem sentralisasi cenderung kontradiktif dengan tujuannya (Kepolisian dalam masyarakat demokratis). Oleh karena itu otoritas pemerintah lokal harus dipadukan dengan

6 7

Ibid. hal: 112 Anthon F Susanto. Ibid, hal: 75

sistem desentralisasi, dengan maksud untuk mendekatkan penyelenggaraan manajemen Kepolisian kepada masyarakat yang dilayani8. Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dan sebagainya. Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap

tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaankebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka. Manfaat diskresi dalam penanganan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat antara lain adalah sebagai salah satu cara pembangunan moral petugas kepolisian dan meningkatkan cakrawala intelektual petugas dalam menyiapkan dirinya untuk mengatur orang lain dengan rasa keadilan bukannya dengan kesewenang - wenangan. Selain pantas untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting bagi pelaksanaan tugas polisi karena: (1) Undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan, (2) Hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut. (3) Pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian. James Q Wilson mengemukakan ada empat tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu: (1) police-invoked law enforcement, petugas
8

George E Berkley. 1969. The Democratic Policeman. Boston Beacon Press, hal: 21

cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi enforcement, oleh kebijaksanaan sangat pimpinannya; (2) citizen-invoked dilaksanakan, law

diskresi

kecil

kemungkinan

karena

inisiatornya adalah masyarakat;(3) police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan (4) citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.9 Dalam kenyataannya hukum memang tidak bisa secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun seperti yang tercantum dalam bunyi perundang-undangan. Pandangan yang sempit didalam hukum pidana bukan saja tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana, tetapi akan membawa akibat kehidupan masyarakat menjadi berat, susah dan tidak menyenangkan. Hal ini dikarenakan segala gerak aktivitas masyarakat diatur atau dikenakan sanksi oleh peraturan. Jalan keluar untuk mengatasi kekuatan-kekuatan itu oleh hukum adalah diserahkan kepada petugas penegak hukum itu sendiri untuk menguji setiap perkara yang masuk didalam proses, untuk selanjutnya diadakan penyaringan-penyaringan yang dalam hal ini disebut dengan diskresi. Sesuai dengan judul yang dipilih, maka dalam tulisan ini diskresi yang dibahas adalah diskresi yang berkaitan dengan pekerjaan polisi yang berhubungan dengan tugas-tugas penegakan hukum pidana, yaitu dalam rangka sistem peradilan pidana dimana tugas polisi sebagai penyidik. Oleh karena itu untuk membedakan dengan diskresi yang dilakukan oleh komponen fungsi yang lain dalam tulisan ini yang menjadi tujuan adalah diskresi oleh kepolisian. Tiap-tiap komponen dalam sistem peradilan pidana mempunyai wewenang untuk melakukan penyaringan atau diskresi tersebut. Diskresi diberikan baik karena berdasar peraturan perundang-undangan maupun atas dasar aspek sosiologisnya.10 Penyaringan perkara mulai pada tingkat penyidikan11 berupa tindakantindakan kepolisian yang dalam praktek disebut diskresi kepolisian. Pada tingkat
Sarwono. S.W. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. hal: 216 Ibid. hal: 75 11 Lihat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 tahun 2010 tentang manajemen penyidikan
10 9

penuntutan, adanya wewenang jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang biasa disebut dengan asas oportunitas. Sedangkan pada tingkat peradilan berupa keputusan hakim untuk bebas, hukuman bersyarat, ataupun lepas dan hukuman denda. Pada tingkat pemasyarakatan berupa pengurangan hukuman atau remisi. Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk kedalam proses peradilan pidana tersebut merupakan perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis sistem peradilan pidana, baik karena tujuan dan asas maupun karena semakin beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung atau tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada masyarakat dewasa ini. Tentunya diskresi oleh polisi itu sendiri terdapat hal-hal yang mendorong ataupun menghambat didalam penerapannya di lapangan. Polisi mempunyai peran yang sangat besar didalam penegakan hukum pidana. Polisi sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu subsistem yang bertugas dalam bidang penyidik dan penyelidik tindak pidana. Kedudukan Polri sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undangundang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 bahwa: Pasal 1 butir (1) Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 2 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dari bunyi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002 pada Pasal 18 ayat (1) bahwa Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, maka akan menjadi masalah apabila

dengan adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi. Dengan luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh polisi, mempunyai potensi kekuasaan itu disalahgunakan untuk keuntungan diri sendiri, kelompok maupun organisasi lain. Padahal penggunaan kekuasaan diskresi yang diberikan oleh pembuat undang-undang sebenarnya apabila jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan suatu masalah malah menjadi kurang efisien, kurang ada manfaatnya maupun macet. Ditinjau dari sudut hukumpun setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Penyelidikan dan penyidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 11. Dalam kenyataan yang ada, sering dijumpai penggunaan kekerasan dalam penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka. Penggunaan kekerasan dalam penyidikan pada masa sekarang ini telah menjadi sorotan sebagian masyarakat, khususnya pemerhati hukum. Polri atau dalam hal ini penyidik dianggap menggunakan kesewenang-wenangan dalam melakukan tugasnya. Akibat kekerasan yang digunakan oleh penyidik dalam mengorek keterangan dari

tersangka menyebabkan terlanggarnya hak-hak tersangka sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan. Di Lumajang, berawal dari kasus penganiayaan yang Polisi menetapkan H sebagai tersangka. Saat akan ditangkap, H berhasil melarikan diri. Hingga akhirnya beberapa bulan berselang, tersangka belum tertangkap. Oleh karena itu, Polsek Tekung menetapkan tersangka H masuk Daftar Pencarian Orang (DPO)12. AKP Butar, kantreskrim polsek Tekung sedang melakukan penyelidikan perkara tindak pidana lainnya. Dalam perjalanannya, AKP Butar bersama tim mampir ke sebuah warung makan untuk beristirahat. Ternyata, pada saat bersamaan, tersangka H berada di warung itu. Melihat kedatangan sejumlah polisi masuk ke warung, tersangka H melarikan diri meninggalkan sepeda motornya. Polisi pun segera melakukan pengejaran namun tersangka berhasil melarikan diri. Sepeda motor tersangka yang ditinggalkannya diamankan polisi untuk diamankan dari pencurian. Namun tindakan yang diambil polisi tersebut justru memicu pengaduan keluarga tersangka pada Provost dan melaporkan AKP Butar denga tuduhan menyita/mengambil barang orang lain tanpa surat penyitaan13. Menerima pengaduan tersebut, Provost melakukan penyidikan terhadap AKP Butar hingga akhirnya, Provost menetapkan tindakan yang diambil AKP Butar sebagai Deskresi Kepolisian. Berdasarkan hal tersebut maka apabila berbicara soal diskresi kepolisian dalam sistem peradilan pidana, maka akan ditemukan suatu hubungan antara hukum, diskresi, kepolisian, penyidikan dan sistem peradilan pidana. Maka pokok permasalahan yang akan dikaji pada hakekatnya adalah bekerjanya hukum dan diskresi kepolisian itu. Dengan lebih mengarahkan pada kenyataan-kenyataan (empiris) yang terjadi dilapangan sebagai bahan analisis. Tekanan dalam penelitian ini adalah pada hal-hal yang dialami oleh anggota POLRI dalam proses penyitaan dalam rangka mengungkapkan terjadinya tindak pidana dalam penulisan yang berjudul Pelaksanaan Diskresi Penyidik POLRI dalam Menangani Penyitaan
12 13

Wawancara dengan Kanitreskrim Polsek Tekung, AKP Butar tanggal 12 Oktober 2011 Id.

10

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka agar permasalahan dapat dibahas secara operasional dan sesuai dengan sasaran penelitian yang diharapkan maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan diskresi penyidik dalam melakukan penyitaan? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban diskresi penyidik dalam

pelaksanaan diskresi penyitaan? C. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis mempunyai tujuan untuk memberi arahan yang tepat dalam proses penelitian yang dilakukan agar penelitian tersebut berjalan sesuai dengan apa yang hendak dicapai, oleh karenanya ini dimaksudkan untuk tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan diskresi dalam melakukan penyitaan; 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban diskresi penyidik dalam

pelaksanaan diskresi penyitaan. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah: a. Manfaat Teoritis Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan tentang tugas dan kewenangan anggota Polri pada masyarakat dan Kepolisian pada khususnya. b. Manfaat Praktis Manfaat penulisan dari penelitian ini adalah memberikan masukan bagi aparat keamanan khususnya Kepolisian dalam rangka proses

penangkapan, penahanan dan penyidikan dalam mengungkap tindak pidana serta hambatan yang dialami dalam melakukan penyidikan sehubungan dengan terjadinya tindak kejahatan.

E. Landasan Teori Hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das solen, dengan menyertakan beberapa

11

peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.14 Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.15 Selain itu, definisi hukum yang tidak menentukan hukum sebagai perintah yang memaksa harus ditolak, karena: (1) hanya dengan memasukkan elemen sanksilah hukum dapat dibedakan secara jelas dengan tatanan sosial lainnya; (2) paksaan adalah faktor yang sangat penting sebagai pengetahuan hubungan sosial dan menjadi karakter utama dari hukum; dan (3) adanya sanksi adalah karakter utama dari hukum modern dalam hubungannya antara hukum dan negara.16 Friedman mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut: 1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan. 2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya. 3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam. 4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum. 5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum
Hans Kelsen. 1992. Pure Theory. Introduction To The Problems Of Legal Theory; A Translationof the First Edition of the Reine Rechtslehre orPure Theory of Law . Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford: Clarendon Press. hal : 69-72. 15 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaat. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press Cetakan Pertama. hal: 13. 16 Ibid. hal: 29
14

12

dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.17 Konsep hukum seringkali secara luas digunakan dengan mengalami bias politik dan bias ideologis. Pendapat yang menyatakan bahwa hukum dalam rezim Bolshevism, sosialisme nasional, atau fasisme yang menindas kebebasan adalah bukan hukum, menunjukkan bagaimana bias politik dapat mempengaruhi definisi hukum. Akhirnya konsep hukum dibuat terkait dengan cita keadilan, yaitu demokrasi dan liberalisme. Padahal dari optik ilmu yang bebas dari penilaian moral dan politik, demokrasi dan liberalisme hanyalah dua prinsip yang mungkin ada dalam suatu organisasi sosial, seperti halnya juga otokrasi dan sosialisme yang juga mungkin ada pada masyarakat yang lain.18 Kelahiran KUHAP merupakan era baru dalam dunia peradilan pidana di Indonesia. Selain sebagai produk hukum nasional yang menggantikan hukum ciptaan kolonial Belanda, KUHAP juga memberikan spesialisasi dalam perihal pelaksanaan dan pembagian tugas antara Kepolisian dan PPNS sebagai Penyidik, Jaksa sebagai Penuntut Umum, serta Hakim yang mengambil keputusan di Sidang Pengadilan dalam pelaksanaan penegakan hukum yang mencakup koordinasi fungsional dan institusional, serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan tugas tersebut. Dengan diundangkannya Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan Undang Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka semakin tegas diatur tentang

peranan POLRI sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebelum menampilkan tugas-tugas pemerintah dalam negara hukum modern, terlebih dahulu dikemukakan beberapa pendapat para sarjana berkenaan dengan pembagian tugas-tugas negara dan pemerintahan. Pendapat para sarjana mengenai pembagian tugas-tugas negara ini diilhami oleh kenyataan historis bahwa pemusatan kekuasaan negara pada satu tangan atau satu lembaga telah

Ali Safaat dalam alisafaat.wordpress.com/2009/02/06/perkembangan -teori-hukum-tatanegara-dan-penerapannya-di-indonesia/ diakses pada hari Sabtu. 20/08/11. Pukul 22.05. 18 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaat. Op Cit. hal: 15

17

13

membawa bencana bagi kehidupan demokrasi dan kemasyarakatan. Oleh karena itu kekuasaan negara perlu dipencarkan atau dipisahkan. Pentingnya pemencaran dan pemisahan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan teori pemisahan kekuasaan atau teori pemencaran kekuasaan (spreading van machten of machtensscheiding). Adalah John Locke yang dianggap pertama kali mengintrodusir ajaran pemisahan kekuasaan negara, dengan membaginya menjadi kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), ekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri). Ajaran pemisahan kekuasaan ini menjadi kian popular segera setelah seorang ahli berkebangsaan Prancis Montesquieu menerbitkan buku LEsprit des Lois (The spirit of the law), yang di dalamnya terdapat ajaran pemisahan kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggar undang-undang). Meskipun dalam perkembangannya dalam pemisahan kekuasaan ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan (machtsverdeling atau distribution of power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaga, dan ajaran check and balance yang menekankan pentingnya hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar lembaga negara, akan tetapi esensi bahwa kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih tetap relevan hingga kini.19 Terdapat perbedaan antara pemerintah dengan pemerintahan.

Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksana tugas pemerintahan, sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan

pemerintahan. Pemerintah sebagai alat kelengkapan negara dapat diberi pengertian yang luas (in the broad sense) atau dalam arti sempit (in the norrow sense). Pemerintah dalam arti luas mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan atas

19

HR. Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press Indonesia. hal: 12

14

nama negara. Dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif.20 Pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencakup semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif.21 Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea empat yang berbunyi: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. POLRI harus menjadi satu kekuatan mandiri tanpa intervensi dari manapun yang garis hirarkinya langsung kepada negara sesuai konsep manajemen tata negara modern. Konsep ini sudah diperkenalkan oleh pakar tata negara Belanda Van Volenhoven dengan teorinya yang terkenal Catur Praja. Negara akan kuat jika 4 pilarnya kuat, 4 pilar itu adalah Eksekutif (Pelaksana UU), Legislatif (Pembuat UU), Yudikatif (Penegak UU), dan Kepolisian (Pemaksa UU).22

Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni. hal: 158-159 21 SF. Marbun dan Moh. Mahfud. 2001. Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. hal: 8 22 Anton Tabah. 1998. Reformasi Kepolisian. Klaten: CV. Sahabat. hal: 5

20

15

Dalam menjalankan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, POLRI memiliki tanggung jawab terhadap suatu kondisi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Keamanan adalah keadaan bebas dari kerusakan atau kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan memberikan rasa bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian dan rasa kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan yang bebas dari pelanggaran norma-norma hukum.23 Ketertiban adalah suasana bebas yang terarah, tertuju kepada suasana yang didambakan oleh masyarakat, yang menjadi tujuan hukum. Ketertiban ini adalah cerminan adanya patokan, pedoman dan petunjuk bagi individu di dalam pergaulan hidupnya24. Hidup tertib secara individu sebagai landasan terwujudnya tertib masyarakat. Tertib masyarakat yang di dalamnya terkandung kedamaian dan keadilan.25 Visi POLRI adalah POLRI yang mampu menjadi pelindung pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.

Berdasarkan uraian visi sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya uraian tentang jabaran misi POLRI kedepan adalah sebagai berikut: 1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis. 2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (Law abiding Citizenship). 3. Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
Soebroto Brotodirejo dalam R. Abdissalam. Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri. Dinas Hukum Polri. Jakarta. hal: 22. 24 Soedjono Dirdjosisworo. 1994. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal: 132 25 Abdurrahman. 1986. Tebaran Pikiran Studi Hukum dan Masyarakat . Jakarta: Media Sarana Press. hal: 76
23

16

4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam bingkai tegritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. a. Mengelola sumber daya manusia POLRI secara profesional dalam mencapai tujuan POLRI yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat 5. Meningkatkan upaya konsolidasi kedalam (internal POLRI) sebagai upaya menyamakan visi dan misi POLRI ke depan. 6. Memelihara soliditas institusi POLRI dari berbagai pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi. 7. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat yang berbhineka tunggal ika.26 Melayani dan melindungi merupakan kata kunci yang menjadi ciri Polisi sipil. Melayani dan melindungi seharusnya bukan merupakan tugas, tetapi kewajiban setiap individu Polisi, bahkan pada setiap tempat dan di sepanjang waktu. Pengabaiannya harus merupakan pelanggaran kode etik yang dapat dijatuhi sanksi yang lebih berat daripada sekedar tindakan disiplin. Dengan prinsip ini, pendekatan kasus dalam penanganan permasalahan Kepolisian sejauh mungkin harus diganti dengan pendekatan kemanusian (human approach). Artinya dalam setiap langkah tindakan, Polisi harus memberikan respek manusiawi terhadap kliennya tanpa mengenyampingkan kepentingan penegakan hukum terutama terhadap kejahatan menonjol yang meresahkan masyarakat, sesuai motto universal Kepolisian: fight crime, love humanity and help definquen.27

Puskom Info Bidang Humas Polda Metro Jaya. Visi dan Misi Kepolisian Republik Indonesia. Dalam. www.polri.go.id: Visi dan Misi Kepolisian Republik Indonesia. Diakses pada hari Selasa, 06/09/2011. Pukul 15.02 27 Bambang Widodo Umar. Kebijakan Negara di Bidang Kepolisian . Dalam idsps.org/kebijakan-negara-di-bidang-kepolisian. Diakses pada Selasa. 06/09/2011. Pukul 14.53

26

17

Dalam menyelenggarakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut dicapai melalui tugas preventif dan represif. Tugas di bidang preventif dilaksanakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman dan tidak terganggu segala aktifitasnya. Faktor-faktor yang dihadapi pada tatanan preventif secara teoritis dan teknis Kepolisian, mencegah adanya Faktor Korelasi Kriminologi (FKK) tidak berkembang menjadi Police Hazard (PH) dan muncul sebagai Ancaman Faktual (AF). Dengan demikian dapat di formulasikan apabila niat dan kesempatan bertemu maka akan terjadi kriminalitas atau kejahatan, oleh karena itu langkah preventif adalah usaha mencegah bertemunya niat dan kesempatan berbuat jahat, sehingga tidak terjadi kejahatan atau kriminalitas. Pengertian dari Faktor Korelasi Kriminologi (FKK) tersebut adanya situasi dan kondisi yang padat dengan faktor-faktor yang dapat menstimulir terjadinya Police Hazard dan Ancaman Faktual (AF). Police Hazard adalah situasi dan kondisi sangat potensial untuk menjadi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, sedangkan Ancaman Faktual adalah ancaman yang nyata dan terwujud dalam bentuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti kejahatan atau pelanggaran hukum.28 Tindakan preventif biasanya dilakukan melalui cara penyuluhan, pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli Polisi dan lain-lain sebagai teknis dasar Kepolisian. Sementara di bidang represif adalah mengadakan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalam undang-undang. Tugas represif ini sebagai tugas Kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakan hukum. Tugas dan wewenang Kepolisian tersebut merupakan tugas dan wewenang Kepolisian secara umum, artinya segala kegiatan pekerjaan yang dilaksanakan oleh Polisi yang meliputi kegiatan pencegahan (preventif) dan penegakan hukum (represif). Perumusan tugas dan wewenang dimaksud didasarkan pada tipe Kepolisian yang tiap-tiap negara berbeda-beda, ada tipe Kepolisian yang ditarik dari kondisi sosial yang menempatkan Polisi sebagai

28

Kunarto. 1997. Op Cit. hal: 384

18

tugas yang bersama-sama dengan rakyat, dan Polisi hanya menjadi status qou dan menjalankan hukum saja.29 Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat (2) yang menyatakan Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Dengan adanya ketentuan perundang-undangan di atas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud di atas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana di atur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat (1). Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya.

29

Satjipto Rahardjo. 1983. Masalah Penegakan Hukum. Bandung: Sinar Baru. hal: 35.

19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tugas dan Wewenang Kepolisian Kewenangan menilai keadaan anggota POLRI yang akan melakukan penindakan terhadap seorang penjahat harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya itu demi untuk kepentingan umum (landasan hukum Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Sebelum penggunaan senjata api (dalam kerusuhan massa misalnya) lebih dahulu harus dilakukan dengan memberi peringatan teriakan dan anjuran oleh petugas POLRI melalui cara: (1) Suara anggota POLRI tersebut cukup untuk menghentikan aksi si penjahat. (2) Suara tersebut harus jelas dan dapat dimengerti. (3) Kalimatnya harus singkat dan tegas. (4) Peringatan dengan suara tersebut harus dengan sikap yang sungguh-sungguh. Setelah tindakan dengan seruan teriakan peringatan tersebut dilakukan maka dapat dilakukan tembakan peringatan ke atas tiga kali. Apabila masih belum dapat diatasi situasinya, diberikan tembakan terarah di bawah pinggang dengan peluru karet untuk melumpuhkan. Jika

membahayakan jiwa masyarakat/petugas ditembakkan senjata api dengan peluru tajam untuk melumpuhkan dengan sasaran pinggang ke bawah. Urutan-urutan tindakan tersebut di atas diberlakukan POLRI apabila menghadapi pelaku kerusuhan yang membahayakan keselamatan jiwa petugas/masyarakat, merusak tempat ibadah/fasilitas umum/kantor pemerintahan dan markas TNI/melakukan penjarahan massal. Penggunaan kekerasan dengan senjata api dilaksanakan tidak boleh sembarangan tetapi dengan sasaran yang jelas. Dengan kriteria tepat waktu, tepat situasi, tepat sasaran dan tepat prosedur. Secara internasional ada ketentuan yang mengatur tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat penegak hukum, ketentuan tersebut antara lain: (a) Kode etik untuk para pejabat penegak hukum yang telah disahkan oleh resolusi Majelis Umum PBB tanggal 17 Desember 1979, dalam Pasal (3) ditegaskan bahwa: Para pejabat penegak hukum dapat menggunakan kekerasan hanya apabila sangat perlu dan sebatas dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas mereka. Pengertian Pasal ini mengandung empat hal, yaitu: (1) Bahwa para

20

pejabat penegak hukum dapat diberi wewenang untuk menggunakan kekerasan apabila perlu menurut keadilan untuk mencegah kejahatan, atau dalam melaksanakan penangkapan sah terhadap pelaku kejahatan yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan. (2) Sesuai atas keseimbangan antara penggunaan kekerasan dengan tujuan yang hendak dicapai. (3) Pelaku kejahatan memberi perlawanan dengan senjata api atau membahayakan jiwa orang lain. (4) Tindakan-tindakan lain yang kurang ekstrim tidak efektif lagi; (b) Kongres VII PBB tanggal 27 Agustus sampai dengan 2 September 1990 di Havana Cuba telah mensahkan prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak hukum. Penggunaan senjata api diatur dalam Pasal 9 yang intinya adalah bahwa penggunaan senjata api dapat dilakukan dalam hal: (1) Untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah yang segera terjadi. (2) Untuk mencegah dilakukannya suatu tindakan kejahatan yang sangat serius. (3) Untuk mencegah pelaku kejahatan melarikan diri. (4) Dan apabila cara yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Dalam prinsip dasar tersebut juga diatur tentang bagaimana sikap penegak hukum dalam menjaga ketertiban perhimpunan yang tidak sah namun non-kekerasan (aksi damai) maupun menghadapi perhimpunan keras (brutal). Menghadapi aksi damai, kekerasan dibatasi sekecil mungkin. Untuk menghadapi massa brutal, senjata api dapat digunakan bila cara/sarana yang kurang berbahaya tidak dapat digunakan dan penggunaan senjata api hanya dapat digunakan dalam kondisi seperti di Pasal 9 Konvensi Havana 1999. Tugas dan wewenang kepolisian terdapat Dalam Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 Pasal 13 Sampai 19: Pasal 13: Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14: Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, KepolisianNegara Republik Indonesia bertugas:

21

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 15: (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; a. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

22

b. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; c. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; d. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administrative kepolisian; e. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; f. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; g. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; h. mencari keterangan dan barang bukti; i. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; j. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; k. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; l. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan lainnya berwenang : a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

23

j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Pasal 16: (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; a. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; b. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; f. mengadakan penghentian penyidikan; g. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; h. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; i. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

24

(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia. 2.1.1 Polisi Sebagai Penyelidik dan Penyidik Setiap dalam melakukan tugasnya polisi (dalam hal ini adalah penyidik) harus selalu bertindak berdasarkan peratuan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak boleh melakukan sesuatu hanya dengan sewenang-wenang saja dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum didalam pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan tiada suatu p erbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri.30 Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Polisi sebagai penyelidik memiliki wewenang yaitu: 1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab. Atas perintah penyidik Polisi dapat melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 123
30

25

4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. Sebagai penyidik Polisi dalam menjalankan kewajibannya memiliki wewenang: a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2.1.2 Proses penangkapan yang dilakukan Polisi Untuk kepentingan penyelidikan penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penangkapan dilakukan apabila pelaku yang diduga keras melakukan tindak sebelumnya ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. Pelaksanaan tugas penangkapan. Dilakukan oleh petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alas an penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Apabila tersangka didapat tangan oleh polisi melakukan tindak pidana maka proses penangkapan dapat dilakukan tanpa memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan dengan ketentuan bahwa penangkap harus membawa tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.

26

2.1.3

Proses Penahanan Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas

perintah penyidik berwenang maka polisi boleh melakukan penahan terhadap tersangka untuk kepentingan penyidikan dan karena di khawatirkan tersangka melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi kembali tindak pidana yang serupa proses penahan yang dilakukan oleh penyidik hanya berlaku paling lama 20 hari (Pasal 24 Ayat 1 UU NO.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), namun apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, maka diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang paling lama 40 hari(Pasal 24 Ayat 2 UU NO.8 Tahun 1981tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Untuk dapat melepas orang yang diperintah dari tangung jawab atas perbuatannya ada 2 syarat. Pertama: yang subjektif, yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Tentu saja kesimpulan kearah ini harus berdasar atas fakta-fakta yang masuk akal sebab, meskipun terdakwa mengatakan dia mengira bahwa perintah adalah sah, tetapi kalau hal itu dengan wajar tidak dapat disimpulkan dari fakta-fakta yang ada maka di situ unsur dengan itikad baik tidak ada. Kedua: kalau dari fakta-fakta yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah, atau berwenang maka apa yang diperintahkan itu secara objektif, yaitu dalam kenyataannya, harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.31 Setelah Polisi melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan penahanan maka polisi membua BAP (Berita Acara Pidana) yang diserahkan kepada pihak kejaksaan, sehingga untuk selanjutnya penyidikan dilakukan oleh Pihak Kejaksaan.

2.2

HAM dalam Hukum Positif Indonesia Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 dalam

penjelasannya menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Bila kita mencermati keseluruhan gagasan, pemikiran jiwa dan semangat teks Undang31

Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 163.

27

Undang Dasar 1945, mulai pembukaan, batang tubuh sampai penjelasannya serta perkembangan pemahaman kita terhadap hal-hal yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pengertian negara hukum yang kita miliki ternyata mengandung makna yang luas dan mendalam, yang memuat prinsipprinsip tertib hukum, serta kesadaran untuk menjunjung tinggi hukum. Prinsipprinsip tersebut bilamana diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka akan mencakup tidak saja segi legalitas tindakan negara/pemerintah, dengan adanya peradilan bebas tetapi juga mencakup penghargaan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.32 Oleh karena itu setiap penegakan hukum haruslah diartikan tidak saja untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan tetapi juga termasuk di dalamnya tujuan kepastian hukum dan termasuk juga di dalamnya tujuan perlindungan HAM. Ada beberapa Pasal dalam UUD 1945 yang berhubungan dengan HAM dan bisa disarikan setidaknya menjadi 15 prinsip HAM di mana beberapa prinsip yang terpenting dari 15 prinsip HAM tersebut antara lain yaitu: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Preambule: Hak untuk menentukan nasib sendiri, Pasal 26: Hak akan warga negara, Pasal 27: Hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum, Pasal 27: Hak untuk bekerja, Pasal 27: Hak untuk hidup layak, Pasal 29: Hak beragama, Pasal 30: Hak untuk membela negara, Pasal 31: Hak akan pendidikan, Pasal 33: Hak akan kesejahteraan sosial,

(10) Pasal 34: Hak akan jaminan sosial, (11) Pasal 24 dan 25: Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan, (12) Pasal 32: Hak mempertahankan tradisi budaya, (13) Pasal 31: Hak mempertahankan bahasa daerah. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Dalam Undang-Undang tentang Hak asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 dalam PasalPasalnya mengatur tentang:
Alamsyah, Nur. 2000. Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang Berat. LBH Medan. hal 112
32

28

(1) Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 mengatur tentang Hak untuk mengembangkan diri, (2) Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 mengatur tentang Hak untuk memperoleh keadilan, (3) Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 mengatur tentang Hak atas kebebasan pribadi, (4) Pasal 28 sampai dengan Pasal 35 mengatur tentang Hak atas rasa aman, (5) Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 mengatur tentang Hak atas kesejahteraan, (6) Pasal 43 sampai dengan Pasal 44 mengatur tentang Hak untuk turut serta dalam pemerintahan, (6) Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 mengatur tentang Hak-hak wanita, (7) Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 mengatur tentang Hak anak. Di samping itu diatur juga tentang masalah pengadilan hak asasi manusia untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia dan serta terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka dari itu dibentuklah pengadilan hak asasi manusia di lingkungan peradilan umum (Pasal 104). Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Dalam Undang-Undang tersebut diatur ketentuan-ketentuan antara lain tentang jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat yaitu kejahatan genocida dan kejahatan terhadap manusia (Pasal 7 sampai Pasal 9). Hukum Acara dari Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur mulai dari Pasal 10 sampai Pasal 33, yang mengatur tentang cara penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut pada Tahun 2002 populer di Indonesia antara lain karena disidangkannya kasus Pelanggaran HAM berat di Timor-timur pada bulan Maret 2002, di Pengadilan Jakarta Pusat. Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002; Adanya 15 prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945 jelas merupakan Prime Factie Evidence dari komitmen negara ini terhadap HAM, namun bisa juga dilihat sebagai possession paradox dalam artian memiliki HAM tetapi tidak menikmati HAM karena lemahnya rasa hormat terhadap HAM. HAM diatur dalam Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4, Kepolisian Negara

29

Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Pasal 14 Ayat (1) menyatakan: Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I: Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberi bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Pasal 16 Ayat (2): Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf I adalah tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf E yaitu: Menghormati Hak Asasi Manusia. Pasal 19 Ayat (1): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hak dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. KUHAP; KUHAP bukanlah produk yang sempurna, tetapi secara umum bisa disebut bahwa KUHAP telah memberikan dasar-dasar hukum prosedural yang komprehensif bagi perlindungan HAM seperti perlindungan terhadap tersangka antara lain untuk diperlakukan tidak bersalah, hak akan bantuan hukum, hak untuk tidak ditahan semena-mena, hak untuk tidak disiksa dan dianiaya, hak akan pra peradilan dan sebagainya. 2.2.1 Penegakan Hukum dan Pelanggaran HAM Pelanggaran HAM oleh oknum POLRI; Pelanggaran HAM dalam Rangka Perlindungan HAM; dalam melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi pelanggaran HAM yang seharusnya ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan berdasarkan ketentuan hukum maka hilanglah sifat melanggar HAM misalnya tugas POLRI dalam menangkap, menahan, memborgol dan sebagainya. Semuanya itu dilaksanakan berdasarkan kewenangannya sebagai penegak hukum. Tindakan kekerasan yang melanggar HAM; Dalam hal-hal tertentu tindakan kekerasan dibenarkan oleh Konvensi HAM yaitu Pasal 29 Deklarasi Umum HAM, tindakan kekerasan tersebut bermaksud untuk menjamin hak orang

30

lain, moral, ketertiban dan keselamatan umum yang harus ditegakkan oleh Undang-Undang. Tetapi harus kita akui juga bahwa kenyataan dalam praktek penegakan hukum tidak sesuai dengan Pasal 29 di atas. Misalnya tindakan kekerasan penegak hukum dalam rangka mendapatkan informasi, atau kadang-kadang karena emosional petugas yang sangat bersemangat menegakkan HAM masyarakat lalu melupakan hak asasi tersangka. Tindakan kekerasan lain yang juga sering kita dengar dan lihat adalah tindakan kekerasan terhadap pelaku kejahatan atau petugas, dengan kata lain tersangka tidak lagi membahayakan kepentingan umum, karena sudah tertangkap, tetapi karena masih ada tindak kekerasan main hakim sendiri yang melanggar HAM maka tindakan tersebut tidak kita tolerir/ salah. Pelanggaran HAM oleh masyarakat; Pelanggaran HAM oleh anggota masyarakat terhadap masyarakat lainnya; Tindak kekerasan yang melanggar HAM bukan hanya monopoli aparat, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya, seperti penganiayaan, pembunuhan, penghinaan, perkosaan, dan jenis-jenis kejahatan lain yang mengganggu hak-hak asasi manusia di bidang hak hidup, hak milik dan hak penghormatan. 33 Hak-hak tersebut menimbulkan pemikiran bagi kita, bahwa pengertian dan pemahaman tentang HAM harus dipahami secara baik oleh setiap anggota masyarakat agar masyarakat tersebut mengerti akan hak-haknya dan juga respon terhadap hak asasi orang lain. Pelanggaran masyarakat terhadap hukum; Pelanggaran masyarakat terhadap hukum antara lain adalah: (1) Perusakan sarana hukum. Dari berbagai sarana dan prasana hukum yang paling menonjol adalah perusakan markas kesatuan POLRI, tidak sedikit kerusakan yang diderita sejumlah markas komando POLRI diberbagai wilayah. (2) Serangan terhadap aparat penegak hukum. Selain merusak sarana POLRI, juga ada tindak kekerasan oleh masyarakat yang ditujukan kepada personel POLRI yang mengakibatkan korban nyawa anggota POLRI34.

33

Marbun, BN. 2000. Penegakan Hukum dan Hak Asasi di Indonesia . Bina Cipta. Jakarta.

Hal 39 Senoadji, Indriyanto. 1998. Penyidikan dan HAM dalam Prospektif KUHAP Bidang Penyidikan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hal 82
34

31

2.2.2

Peran Anggota POLRI dalam Upaya Perlindungan HAM dan Penegakan Hukum Peranan POLRI dalam perlindungan HAM; Peran POLRI sebagai

penegak hukum dituntut untuk mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bentuk tindak pidana, termasuk upaya pembuktian secara ilmiah dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi guna melindungi hak asasi manusia. Aktualisasi dari peran sebagai penegak hukum ini adalah: 1. Menguasai dan mahir dalam hukum acara pidana maupun perdata sehingga mampu menghadapi setiap permasalahan hukum dengan tepat dan dapat mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM pada tingkat pra peradilan. 2. Menguasai teknik dan taktik penyelidikan serta penyidikan sehingga mampu membuat terang dan terungkapnya setiap tindak pidana yang terjadi. 3. Mempunyai semangat dan tekad yang kuat untuk menjadiCrime Hunter dengan motto Walaupun langit esok akan runtuh namun hukum harus tetap ditegakkan. 4. Mampu memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu mengungkapkan pembuktian secara ilmiah kasus kejahatan yang terjadi. 5. Mampu melakukan koordinasi dengan segenap instansi terkait dalam usahanya menegakan hukum menurut sistem peradilan pidana khususnya dan serta mengkoordinasikan dan mengawasi penyidik pegawai negeri sipil dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia. Bidang Peraturan Dan Instumen35; (1) Ratifikasi Konvensi-Konvensi Anti Kekerasan, Dalam TAP MPR Nomor: TAP/X/MPR/1998 Dalam tentang Pokok-pokok dan Reformasi Normalisasi

Pembangunan

Rangka

Penyelamatan

Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, ditegaskan bahwa kebijaksanaan reformasi pembangunan hukum antara lain adalah penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan
35

Hutauruk, M. 1982. Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Erlangga. Jakarta. hal 117

32

terlaksananya hukum

dengan sasaran terwujudnya ketertiban,

ketenangan dan ketentraman masyarakat. Salah satu agenda yang harus dijalankan adalah memantapkan penghormatan dan

penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat. Menindaklanjuti TAP MPR tersebut, pemerintah antara lain telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan ataupun hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Di samping itu pada tahun 1993 pemerintah telah membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang tugasnya antara lain mengkaji berbagai instumen PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan sarana-sarana yang memungkinkan adanya ratifikasi dikaitkan dengan tindak kekerasan yang terdapat dalam beberapa konvensi tentang standard HAM Internasional demi penegakan hukum, peraturan standard minimum, perlakuan terhadap narapidana, serta konvensi HAM internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial. (2) Penyesuaian Hukum Dengan Ratifikasi HAM, Instrumen Hukum Internasional sesungguhnya telah menyatakan bahwa persoalan HAM harus diatur dengan hukum sebagaimana yang termuat dibagian mukaddimah dari Universal Declaration of Human Rights, bahwa: Human Right Should be Protected by The Rule Of Law, dengan demikian terdapatlah suatu amanat yang berisikan bahwasanya HAM sangat mengindahkan akan asas-asas Hukum Internasional yang bersifat universal. (3) Penertiban Profesi POLRI, Upaya penertiban Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain dengan usaha: memberikan tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang sebagai pejabat penyidik dengan maksud agar masyarakat mengerti dan/atau memahami bahwa dirinya tengah berhadapan dengan petugas resmi, penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di lingkungan POLRI dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di lingkungan kerjanya, pengadaan Kotak Pos 5000 dan Kotak Pos

33

777 di Kantor Polisi untuk menampung laporan kasus pungli-korupsi dan penyalahgunaan wewenang serta hal-hal yang tidak terpuji dari anggota POLRI, pengawasan fungsional oleh Irwasum POLRI dan Irwasda yang bertugas antara lain menyelenggarakan pengawasan dan pemeriksaan di bidang pembinaan kesiapsiagaan operasional serta menyelenggarakan pengawasan dan pemeriksaan di bidang pelanggaran hukum pelanggaran disiplin pelanggaran tertib anggota POLRI, tindakan hukum disiplin oleh atasan serta pengajuan ke sidang pengadilan umum kasus HAM pada seluruh jajaran anggota POLRI,desiminasi dan sosialisasi HAM pada seluruh jajaran anggota POLRI, memasukkan mata pelajaran HAM pada setiap jajaran anggota POLRI, upaya memandirikan POLRI/memisahkan dari TNI agar tindakan-tindakan POLRI tidak berbau militer tetapi lebih mengutamakan perlindungan dan pelayanan masyarakat. Penindakan Terhadap Anggota POLRI yang Melanggar Hukum; Dalam praktek masih banyak terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan anggota POLRI terhadap masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut pimpinan POLRI tidak menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan anggotanya. Dalam hal ini pada tahun 2010 pimpinan POLRI telah menindak 161 anggotanya yang melakukan pelanggaran HAM antara lain perkelahian dengan masyarakat atau sesama TNI, penganiayaan dan penyalahgunaan senjata api, sedang pada tahun 2009 untuk kasus yang sama seperti di atas pimpinan POLRI telah menindak 212 anggota POLRI namun demikian masih banyak lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak terdeteksi oleh pimpinan POLRI oleh karena itu diharapkan peningkatan kesadaran masyarakat akan hal kesadaran tentang hak asasi manusia hingga ada kontrol timbal balik antara masyarakat dan kepolisian dalam hal pelaksanaan tugas penegakan hukum tentang HAM36. 2.2.3 Hambatan Perlindungan HAM dalam Praktek Penegakan Hukum Budaya Paternalistik; Budaya Paternalistik masih hidup dan melekat pada sebagian besar masyarakat khususnya di kalangan masyarakat pedesaaan, hal-hal
36

Hutauruk, Op Cit. hal 75

34

yang diucapkan oleh pimpinan formal maupun informal walaupun terkadang pernyataan itu tidak sesuai dengan HAM namun karena diucapkan oleh pimpinan kharismatik lalu dianggap sebagai suatu kebenaran atau walaupun dalam hati kecilnya menolak namun tidak berani mengungkapkan hak dan perasaannya, hak dan pemikirannya, sehingga menghambat pelaksanaan hak asasinya. Kesadaran Hukum Yang Rendah; Kesadaran hukum yang rendah mengakibatkan keengganan masyarakat untuk melaporkan adanya pelanggaran HAM disekitarnya terutama karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain, keengganan menjadi saksi atau tidak ingin repot karena urusan orang lain. Dalam hal tertentu keengganan (tidak mau) menjadi saksi ini menyulitkan POLRI dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga POLRI lalu cenderung untuk mengejar pengakuan tersangka yang kadang-kadang dilakukan dengan dibarengi dengan tindakan-tindakan kekerasan. Budaya Loyalitas; Sikap loyalitas ini juga hidup subur di seluruh lapisan masyarakat, di suatu sisi lain loyalitas mengandung konotasi negatif yakni kepatuhan/kesetiaan yang berlebihan terhadap perintah atau petunjuk pimpinannya baik dalam suatu organisasi resmi maupun dalam suatu organisasi non formal. Seharusnya yang kita kembangkan adalah budaya komitmen terhadap tugas, tanggung jawab terhadap HAM dan masyarakat dalam arti harus ada keberanian anggota untuk menentang perintah pimpinannya apabila perintah tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum, moral, ketertiban, keamanan dan terutama tidak sesuai dengan HAM. Kesenjangan; Adanya kesenjangan hukum di dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat ditinjau dari beberapa sisi yaitu antara lain: (1) Teori Hukum dan Praktek Hukum. Walaupun teori hukum dan hukum-hukum tertulis yang kita miliki belum sempurna namun sebenarnya dengan aturan-aturan yang ada pelanggaran HAM seharusnya sudah dapat diminimalkan tetapi dalam praktek terlihat bahwa belum tentu aturanaturan yang baik itu lalu dalam pelaksanaannya juga baik, manusia-manusia pelaksananya yang masih terlihat tidak sepenuhnya mengaplikasi secara tepat dan benar aturan-aturan tersebut. (2) Sosialisasi Hukum. Masalah hukum khususnya yang menyangkut masalah sosialisasi hukum kepada masyarakat awam belum menggembirakan atau lebih tepatnya belum gencar dilaksanakan, contohnya sosialisasi tentang masalah keluarga berencana atau sosialisasi tentang masalah

35

Hak Asasi Manusia. Sosialisasi perlu agar seluruh lapisan masyarakat mengerti dan paham akan arti dan nilai-nilai yang terkandung dalam pengertian tentang Hak Asasi Manusia agar masyarakat awam lebih pintar dan dapat menghormati Hak Asasi manusia lain. (3) Pembangunan Hukum. Pembangunan bidang-bidang hukum seperti aturan hukum, aparatur hukum, sarana prasarana hukum, budaya hukum belum pernah mencapai sasaran yang diinginkan, semua bidang-bidang hukum yang disebut tadi belum melembaga dalam masyarakat ditambah lagi kelemahan-kelemahan unsur-unsur pendukung hukum lainnya seperti psykologi masyarakat, antropologi dan sosiologi yang menyebabkan lambatnya pemajuan dan perlindungan HAM terhadap manusia pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. (4) Interaksi Dalam Pemajuan Dan Perlindungan HAM. Interaksi yang dimaksud disini adalah upaya dari dalam bagaimana supaya HAM dapat ditegakkan yaitu dengan cara membina segala kaitan yang berkenaan dengan HAM antara lain: (1) Dari segi geografis. Dari segi geografis adalah dilihat dari segi penduduk atau lebih jelas lagi dari kondisi penduduknya, di Indonesia perbandingan antara jumlah polisi dan masyarakat yang telah mempunyai intelektualitas tentang hukum dan HAM yang baik dibandingkan dengan yang belum mempunyai pengetahuan hukum dan HAM sangat kurang, sehingga jika ditinjau ke lapangan masih banyak terdapat masyarakat dan aparat yang memilih jalan pintas dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum hal ini sangat berpengaruh buruk terhadap usaha penegakan hukum tentang HAM yang tengah kita tempuh. (2) Dari dalam diri POLRI sendiri. Cara pembinaan dan pendidikan sumber daya atau calon-calon anggota POLRI. Jumlah anggaran yang tidak mencukupi dalam pelaksanaan tugas yaitu dalam usaha penegakan hukum materil, fasilitas yang kurang serta kendala lain yang tidak akan dengan mudah diatasi dalam jangka waktu yang singkat. (3) Dari segi yuridis. Tumpang tindihnya hukum acara pidana, ketidakpastian dan rekayasa hukum, konsistensi yang tidak jelas dalam pelaksanaan hukum serta kecenderungan pembuatan Undang-Undang yang kurang mengacu kepada kepentingan umum melainkan untuk kepentingan golongan atau organisasi masih terus saja berlangsung. 2.3 Pertanggungjawaban Kewenangan Diskresi Anggota POLRI Sebagai aparat penegak hukum, kepolisian sebagai pengayom dan pelindung masyarakat harus banyak melakukan tindakan-tindakan pencegahan

36

(preventif) maupun tindakan represif dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan yang akan terjadi maupun yang sudah terjadi. Dalam melakukan kedua tindakan tersebut, kepolisian selaku penegak hukum (law enforcer official), diberi kekuasaan untuk menggunakan kekuasaannya (power) berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bila perlu menggunakan kekerasan (forced) dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat tindakan kekerasan aau penyimpangan terhadap prosedur tetap yang dilakukan Polisi dalam upaya melakukan penegakan hukum dan penanggulangan kejahatan, tindakan tersebut dapat terjadi karena ulah oknum atau tindakan yang sudah melembaga sebagai suatu sistem, karena bagaimanapun oknum yang melakukan tindakan kekerasan adalah produk dari hukum itu sendiri. Namun tentunya penggunaan kekerasan tersebut tidak boleh sampai terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena jika keadaan terjadi, maka tentu saja bertentangan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), yang mengatur tentang tugas polisi, antara lain yaitu sebagai badan penyidik dan menjaga ketertiban dalam masyarakat. Banyak sekali contoh kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sehubungan dengan pelaksanaan penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan penerapan hak asasi manusia, di mana mereka kurang mampu bertindak persuasif dan profesional sehingga melegitimasi kekerasan dengan berlindung di balik undang-undang yang ada. Persuasif dalam pengertian bukan dalam mengungkap kebenaran saja, tetapi tercakup di dalamnya upaya melindungi dan mengayomi masyarakat serta sekaligus pula dalam menegakkan dan menghormati hak asasi manusia. Harus diakui bahwa dalam menjalankan tugasnya, Polri masih menghadapi kerancuan dan hambatan serta seringkali melalaikan ketentuan-ketentuan mendasar dari aturan yang mengikat dirinya. Penyebabnya adalah, pertama karena aparat kepolisian belum mempunyai cukup kemampuan, atau tepatnya tidak diberdayakan untuk kemampuan menangani semua aspek keamanan dan penegakan hukum. Kedua, aparat kepolisian belum sepenuhnya mengerti adanya perkembangan dan penambahan berbagai aturan, karena sosialisasi di lingkungan Polri atas aturan yang ada tidak pernah bersifat intensif. Ketiga, karena tekanan

37

tugas

yang sangat

besar, selalu terabaikan upaya-upaya meng-update

pengetahuan dan keterampilan, khususnya masalah hukum dan etika, sehingga polisi yang melek hukum secara luas dan mendalam serta berbuat etis dalam bertugas menjadi semakin langka. Sedangkan yang keempat, unsur pimpinan yang seharusnya memprakarsai, bertanggung jawab dan mengendalikan kecerdasan Polri, rata-rata tidak melaksanakan tugas pembinaan dengan baik. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat kepolisian secara total tidak mungkin dilakukan, hal ini dikarenakan hukum sendiri membatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan

pendahuluan. selain itu, mungkin terjadi hukum pidana substansif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan adanya aduan (klacht delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan. Permasalahan akan muncul apabila polisi yang dengan kewenangan diskresinya (power of discreation) justru malah tidak menegakkannya, memanfaatkan, mengesampingkan, menghentikan atau mengambil tindakan lain di luar ketentuan yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan resiko yang lebih besar baik terhadap masyarakat, tersangka baik terhadap dirinya sendiri. Luasnya kewenangan itu, polisi dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya sendiri, kelompok atau organisasi lain di mana pada dasarnya kewenangan diskresi yang diberikan oleh undang-undang. Sebenarnya diberikan apabila hukum yang disediakan untuk menghadapi suatu kasus malah menjadi macet, tidak efisien atau kurang ada manfaatnya. Kewenangan polisi dalam pelaksanaan tidakan keras yang dimiliki oleh Polri yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya juga akan menimbulkan permasalahan terutama bila dikaitkan dengan asas-asas rule of law dan atau hak-hak azasi manusia (human right). Menurut sistem peradilan terpadu, peranan polisi dalam sistem peradilan merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Kepolisian merupakan garda depan dalam sistem peradilan khususnya peradilan pidana. Dalam sistem peradilan terdapat dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan depan sidang.

38

Ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Pasal 1 angka (5) KUHAP memberikan pengertian terhadap penyelidikan yaitu: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Di mana tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran37. Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan,

37

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 hal 118

39

penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum38. Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Menurut R. Tresna, penyidikan merupakan pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum39. Adapun menurut Pasal 1 butir (2) KUHAP bahwa pengertian penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hal 101 39 Ibid. hal 22

38

40

BAB III METODE PENELITIAN

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud.40 Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.41 2.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan Penulis termasuk dalam jenis penelitian yuridis empiris yang bersifat deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari secara utuh.42 2.2 Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data yang dinyatakan responden secara lisan atau tulisan, dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.43 Pendekatan kualitatif ini di gunakan karena beberapa pertimbangan, antara lain: a. Metode ini mampu menyesuaikan secara lebih mudah untuk berhadapan dengan kenyataan. b. Metode ini lebih peka dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan banyak penajaman terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.44

Winarno Soerakhmat. 1982. Dasar dan Teknik Research. Bandung: Tarsito. hal: 131 Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Research. Jilid 3. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. hal: 4 42 Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. hal: 32 43 Ibid. hal: 250 44 Lexy J Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hal:26
41

40

41

2.3 Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan data awal yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.45 2.4 Sumber Data a. Data primer Data yang diperoleh secara langsung dari lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian melalui studi pustaka/dokumen dan atau wawancara. b. Data Sekunder 1. Bahan hukum primer yaitu: norma atau kaidah dasar, peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah: a) Undang Undang Dasar 1945;

b) Kitab Undang Undang Hukum Pidana; c) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana;

d) Undang Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; e) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 Tahun 2010 tentang manajemen penyidikan 2. Bahan Hukum Sekunder yaitu: hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, hasil-hasil penelitian, artikel koran dan internet serta bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan. 3. Bahan Hukum Tertier. Bahan hukum tertier, yaitu: bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia dan sebagainya. 2.5 Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Studi Pustaka, yaitu: proses pengumpulan data yang berupa datadata tertulis yang berkaitan dengan permasalahan.

45

Ibid. hal: 10

42

b. Wawancara, yaitu: proses pengumpulan data melalui tanya jawab secara langsung dengan sumber data primer. 2.6 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di wilayah Kepolisian Resort (POLRES) Lumajang 2.7 Tehnik analisis data Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.46 Penulis menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analisis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian.47 Tiga tahap tersebut adalah: a. Reduksi Data Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus-menerus sampai laporan akhir penelitian selesai. b. Penyajian Data Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, tabel dan sebagainya. c. Penarikan kesimpulan Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataanpernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan.48

46 47 48

Lexy J Moleong. Op. Cit. hal: 103 H.B sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. hal: 35 Ibid. hal: 37

43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif di Indonesia Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang melekat pada manusia secara hakiki dan kodrati sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Hak tersebut tidak dapat diingkari, pengingkaran terhadap hak tersebut berarti pengingkaran terhadap martabat manusia, oleh karena itu negara, pemerintah, organisasi maupun pengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa terkecuali, sehingga HAM menjadi titik tolak dan tujuan dalam menyelenggaraan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Penghormatan terhadap hak asasi merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Itulah sebabnya hak asasi terkait erat dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana tercantum dalam Dasar Negara Pancasila. Hak asasi manusia tentunya melingkupi hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan berorganisasi, hak atas keyakinan agamanya, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, dan hak atas hidup yang sehat. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai negara hukum, berarti segala tindakan harus berdasarkan norma hukum yang berlaku (bersumber pada hukum positif), sehingga dengan demikian dapat diperjelas bahwa segala tindakan penguasa terhadap rakyat maunpun tindakan rakyat dengan rakyat atau tindakan rakyat terhadap penguasa haruslah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Bila kita mencermati keseluruhan gagasan, pemikiran jiwa dan semangat teks UndangUndang Dasar 1945, mulai pembukaan, batang tubuh sampai penjelasannya serta

44

perkembangan pemahaman kita terhadap hal-hal yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pengertian negara hukum yang memiliki ternyata mengandung makna yang luas dan mendalam, yang memuat prinsip-prinsip tertib hukum, serta kesadaran untuk menjunjung tinggi hukum. Prinsip-prinsip tersebut bilamana diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka akan mencakup tidak saja segi legalitas tindakan negara/pemerintah, dengan adanya peradilan bebas tetapi juga mencakup penghargaan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.49 Oleh karena itu setiap penegakan hukum haruslah diartikan tidak saja untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan tetapi juga termasuk di dalamnya tujuan kepastian hukum dan termasuk juga di dalamnya tujuan perlindungan HAM. Ada beberapa Pasal dalam UUD 1945 yang berhubungan dengan HAM dan bisa disarikan setidaknya menjadi 15 prinsip HAM di mana beberapa prinsip yang terpenting dari 15 prinsip HAM tersebut antara lain yaitu: (1) Preambule: Hak untuk menentukan nasib sendiri, (2) Pasal 26: Hak akan warga negara, (3) Pasal 27: Hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum, (4) Pasal 27: Hak untuk bekerja, (5) Pasal 27: Hak untuk hidup layak, (6) Pasal 29: Hak beragama, (7) Pasal 30: Hak untuk membela negara, (8) Pasal 31: Hak akan pendidikan, (9) Pasal 33: Hak akan kesejahteraan sosial, (10) Pasal 34: Hak akan jaminan sosial, (11) Pasal 24 dan 25: Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan, (12) Pasal 32: Hak mempertahankan tradisi budaya, (13) Pasal 31: Hak mempertahankan bahasa daerah. 1. Hak Asasi dalam Perspektif Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam Undang-Undang tentang Hak asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 dalam Pasal-Pasalnya mengatur tentang: (1) Pasal 11 sampai dengan Pasal 16
49

Alamsyah, Nur, 2000, Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang Berat. LBH Medan, hlm 17

45

mengatur tentang Hak untuk mengembangkan diri, (2) Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 mengatur tentang Hak untuk memperoleh keadilan, (3) Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 mengatur tentang Hak atas kebebasan pribadi, (4) Pasal 28 sampai dengan Pasal 35 mengatur tentang Hak atas rasa aman, (5) Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 mengatur tentang Hak atas kesejahteraan, (6) Pasal 43 sampai dengan Pasal 44 mengatur tentang Hak untuk turut serta dalam pemerintahan, (7) Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 mengatur tentang Hak-hak wanita, (8) Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 mengatur tentang Hak anak. Di samping itu diatur juga tentang masalah pengadilan hak asasi manusia untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia dan serta terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka dari itu dibentuklah pengadilan hak asasi manusia di lingkungan peradilan umum (Pasal 104). 2. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang tersebut diatur ketentuan-ketentuan antara lain tentang jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat yaitu kejahatan genocida dan kejahatan terhadap manusia (Pasal 7 sampai Pasal 9). Hukum Acara dari Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur mulai dari Pasal 10 sampai Pasal 33, yang mengatur tentang cara penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut pada Tahun 2002 populer di Indonesia antara lain karena disidangkannya kasus Pelanggaran HAM berat di Timor-timur pada bulan Maret 2002, di Pengadilan Jakarta Pusat. 3. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Adanya 15 prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945 jelas merupakan Prime Factie Evidence dari komitmen negara ini terhadap HAM, namun bisa juga dilihat sebagai possession paradox artinya memiliki HAM tetapi tidak menikmati HAM karena lemahnya rasa hormat terhadap HAM. HAM diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan dan keamanan ketertiban dalam negeri yang meliputi hukum,

terpeliharanya

keamanan

masyarakat,

tegaknya

46

terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Pasal 14 Ayat (1) menyatakan: Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I: Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberi bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Pasal 16 Ayat (2): Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf I adalah tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf E yaitu: Menghormati Hak Asasi Manusia. Pasal 19 Ayat (1): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hak dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. 4. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif KUHAP KUHAP bukanlah produk yang sempurna, tetapi secara umum bisa disebut bahwa KUHAP telah memberikan dasar-dasar hukum prosedural yang komprehensif bagi perlindungan HAM seperti perlindungan terhadap tersangka antara lain untuk diperlakukan tidak bersalah, hak akan bantuan hukum, hak untuk tidak ditahan semena-mena, hak untuk tidak disiksa dan dianiaya, hak akan pra peradilan dan sebagainya.

B. Kepolisian Kata polisi dalam bahasa indonesia merupakan kata pinjaman dan jelas berasal dari kata Belanda politie. Adapun kata Belanda politie didasarkan atas serangkain kata Yunani Kuno dan Latin yang berasal dari kata Yunani-Kuno polis. Kata tersebut berarti kota atau negara kota. Atas dasar perkembangan itu maka kata polis, mendapat pengertian negara dan dalam bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur pemerintah dan lain sebagainya. Kata Yunani kuno tersebut masuk kedalam bahasa Lain sebagai poliyia dan

47

kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata police (Inggris), politie (Belanda), polisi (Indonesia). Bilamana secara tepat kata polisi mendapat arti yang kini digunakan, sulit dipastikan. Namun demikian, perkembangan sebagimana dicatat di inggris, yang dicatat penggunaan kata police sebagai kata kerja yang berarti memerintah dan mengawasi (sekitar tahun 1589). Selanjutnya sebagai kata benda diartikan pengawasan, yang kemudian meluas dan menunjukkan organisasi yang menangani pengawasan dan pengamanan (tahun 1716). Di Indonesia, istilah polisi digunakan dalam pengertian organisasi pengamanan pada abad ke-19 dalam interregum Inggris dari 1811 1817. wilayah Indonesia saat itu merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin bupati masing-masing diserahi tugas pengamanan terib hukum dan polisi bertanggungjawab pada bupati setempat itu. Dari kata polisi tersebut. Kemudian para cendikiawan Kepolisian menyimpulkan bahwa terdapat 3 pengertian, yaitu: 1) Polisi sebagai fungsi, 2) Polisi sebagai organ kenegaraan dan 3) Polisi sebagai jabatan atau petugas. Yang banyak disebut sehari-hari adalah pengertian polisi sebagai pejabat atau petugas. tiga pengertian kata polisi tersebut, kadang dicampur adukkan oleh masyarakat, yang seharusnya diartikan sesuai dengan konteks yang menyertai. Oleh karena itu timbul penilaian yang sebenarnya untuk individu (pejabat) tetapi diartikan sebagai tindakan suatu lembaga (alat negara). 1. Kepolisian Negara Republik Indonesia Secara historis, posisi kelembagaan kepolisian sebagaimana dipaparkan oleh Harsja Bahtiar dalam bukunya Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru, bahwa pada masa penjajahan Hindia Belanda Kepolisian berada di bawah Procedur General (Jaksa Agung), baik itu Besturs Politie (Polisi Pamong Praja) maupun Algeneu Politie (polisi umum). Pada masa revolusi tanggal 19 agustus 1945, Kepolisian merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri.

48

2. Visi dan Misi Kepolisian RI Berdasarkan Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, visi Polri adalah Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai aparat penegak hukum yang profesional dan proporsional yang selalu menjunjung tinggi hak azasi manusia, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demikratis dan masyarakat yang sejahtera. Sedangkan Misi Polri adalah memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyrakat (meliputi aspek security, surety, safety, and peace). Memberi bimbingan kepada masyarakat melalui upaya Pre-emtif dan Preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan hukum masyarakat. Menegakkan hukum secara bprofesional dan proposional dengan menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperliahatkan norma-norma dan nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari gambaran Visi dan Misi Polri diatas dapat kita ketahui bahwa dewasa ini orientasi pelaksanaan tugas Polri adalah memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. 3. Tugas, Wewenang dan fungsi Kepolisian RI Undang-undang No. 20 tahun 1982 Tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan Negara Republik Indonesia, pasal 30 ayat (4) merumuskan Tugas Pokok Polri sebagai berikut: 1) Selaku alat Negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum dan bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya membina ketentaman masyarakat dalam wilayah Negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat. 2) Melaksanankan tugas Kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dalam pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan.

49

3) Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan sebagaimana dihuruf adan huruf b ayat (4) pasal ini. Dalam Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: Pertama, Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, kedua, menegakkan hukum, dan ketiga, Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Masih ada pasal lain yang menjabarkan tugas pokok Polri yaitu tercantum pada penjelasan pasal 39 ayat (2) UU no. 20 Tahun 1982, yaitu: 1) Mengusahakan ketaatan diri dan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; 2) Melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan peraturan perundangundangan; 3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat dan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; 4) Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda dan lingkungan alam dari gangguan ketertiban atau bencana, termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, yang dalam pelaksanaannya wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, hukum dan peraturan perundang-undangan; 5) Menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi dengan instansi, badan atau lembaga yang bersangkutan dengan fungsi dan tugasnya dalam keadaan darurat, bersama-sama segenap komponen; 6) Kekuasaan pertahanan keamanan negara melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002,tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Kedua, Menegakkan hukum, dan Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dari uraian tugas diatas, pada hakekatnya tugas pokok Polri adalah menegakkan hukum, membina keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta pelayanan dan pengayom masyarakat.

50

Secara sektoral

tugas

pelayanan Polri

kepada masyarakat

dapat

dikelompokkan ke dalam struktur fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) Fungsi Intelpam Upaya pengamanan masyarakat terhadap segala bentuk ancaman untuk menghilangkan kerawanan-kerawanan Kamtibmas, Upaya pengamanan, pengawasan, perlindungan, dan penindakan terhadap orang asing,

Penyidikan terhadap

kasus-kasus

pelanggaran ketentuan perundang-

undangan tentang orang asing, Pengamanan dan pengawasan perizinan senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya lainnya, Penyelidikan terhadap penyimpan/penimbunan, penggunaan, pemindahan tangan senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya lainnya termasuk radio aktif yang bukan organik ABRI, Upaya pengamanan atau pengawasan kegiatan masyarakat. (b) Fungsi Serse Menerima laporan atau pengaduan, mendatangi TKP dan melakukan penindakan. (c) Fungsi Samapta Menyelenggarakan dan melaksanakan tugas-tugas penjagaan,

pengawalan, patroli dan tindakan pertama ditempat kejadian (TPTKP), Memberikan pertolongan dalam rangka SAR. (d) Fungsi Lantas Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Kendaraan bermotor, Buku Pemilik kendaraan Bermotor, Menyelenggarakan pengawalan, Menangani laka lintas, Menyelenggarakan peraturan lalu lintas. (e) Fungsi Bimmas Membimbing, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan, masyarakat guna terwujudnya daya tangkal dan daya cegah, Tumbuhnya daya perlawanan masyarakat terhadap kriminalitas serta terwujudnya ketaatan serta kesadaran hukum masyarakat, Pembinaan potensi masyarakat untuk memelihara dan menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas kepolisian serta mencegah timbul faktor kriminogen, Pembinaan keamanan swakarsa, Menyelenggarakan dan

51

memberikan bimbingan dan penyuluhan, Pembinaan dan bimbingan terhadap remaja dan anak-anak, kenakalan remaja. (f) Fungsi Pembinaan Personel Fungsi ini dimasukkan ke dalam tugas-tugas pelayanan masyarakat mengingat dalam kenyataan sehari-harinya juga melayani para

Purnawirawan, warakauri dan sebagian kelompok pemuda dalam rangka: 1) Penerimaan dan seleksi personel baru, 2) Administrasi pengakhiran dinas termasuk pembinaan administrasi purnawirawan/warakauri dan yatim piatu keluarga besar Polri. Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, kepada masing-masing anggota polisi diberi wewenang. Wewenang kepolisian diatur dalam pasal 15 Undang-Undang No. 28 Tahun 1997: a) Menerima laporan dan pengadaan; b) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; c) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; d) Mencari keterangan dan barang bukti; e) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

menganggu ketertiban umum; f) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; g) Mengawasi aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan

perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; h) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan kegiatan instansi lain, serta kegiatan

masyarakat; i) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; j) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu; k) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan; l) Mengeluarkan peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian yang mengikat warga masyarakat.

52

4.

Kinerja Polisi Dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kata kinerja berasal dari kata kerjayang artinya perbuatan melakukan

sesuatu; sesuatu yang dilakukan (diperbuat). Kinerja merupakan faktor-faktor manifest dalam perilaku. dasar dasar teori yang akan dikemukakan tentang pemahaman kinerja sebagai berikut: Menurut WJS Purwodarminto: kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Menurut Drs Paustino Cardoso G: ...kinerja adalah hasil kerja yang didapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya untuk mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legai tidak melanggar hukum dan sesuai dengan etika. Bernadin dan Russel memberikan batasan mengenai kinerja atau performance sebagai berikut:in the record of outcomes produced on a specifid job function or activity during a specifiet time periode. (pengeluaran yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu). Kinerja berasal dari kata to perform mempunyai istilah sebagai berikut: 1. melakukan, menjalankan, dan melaksanakan, 2. memenuhi atau menjalankan kewajiban dalam suatu permainan, 3. menggambarkan suatu karakter dalam suatu organisasi, 4. menggambarkan dengan sarana alat music, 5. melakasanakan atau menempurnakan tangguang jawab, 6. melakukan usaha kegiatan dalam suatu permainan, 7. melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Jadi kinerja dapat diartikan perencanaan yang dilaksanakan untuk kelompok atau individu untuk mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan sesuai dengan perencanaan. Kinerja Polri mencakup faktor-faktor manifest dalam perilaku individu dan lembaga Polri. Kinerja Polri merupakan fungsi dari pencapaian tujuan lembaga, baik berupa keberhasilan maupun kegagalan. Kinerja merupakan perilaku yang dapat diamati dan dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Pada dasarnya ada dua bentuk pengukuran kinerja kepolisian. Yang pertama adalah pengukuran

53

secara kuantitatif, dan yang kedua pengukuran secara kualitatif. Bentuk kuantitatif ukuran kinerja adalah ukuran seperti jumlah pelanggaran lalu lintas yang fatal. Sedangkan bentuk kualitatif ukuran kinerja pada dasarnya terkait dengan pendapat masyarakat tentang polisi. Kinerja Polri lebih mudah dipahami dalam pembagian sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya, yaitu kinerja di bidang hukum, kinerja di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat serta kinerja di bidang pelayan dan pengayom masyarakat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melihat kinerja Polri, yaitu: 1. Bidang Penegakan Hukum. Polisi adalah instansi yang berperan dalam penegakan hukum dan norma yang hidup dalam masyarakat (police as an enforment officer). Pada pelaksanaan demikian, polisi adalah instansi yang dapat memaksakan berlakunya hukum. Manakala hukum dilanggar, terutama oleh perilaku menyimpan yang namanya kejahatan, diperlukan peran polisi untuk memulihkan keadaan (restitutio in intreguman) pemaksa agar sipelanggar hukum menanggung akibat dari perbuatannya. Untuk mengetahui bagaimana hukum ditegakkan tidaklah harus dilihat dari institusi hukum seperti kejaksaan atau pengadilan, tetapi dilihat pada perilaku polisi yang merupakan garda terdepan dari proses penegakkan hukum.Sebagai penegak hukum, polisi adalah pribadi atau anggota yang menguasai pengetahuan hukum, bersifat jujur, bersih, berani bertindak dengan penuh tanggungjawab, sehingga hukum dapat ditegakkan. 2. Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kantibmas), polisi melakukan tugas mengantisipasi, menjaga dan mengayomi masyarakatnya dari perilaku jahat yang diperagakan para penjahit. Polisi bersamaan anggota masyarakat lainnya, menjalankan upaya preventif, yaitu mencegah terjadinya kejahatan. Polisi harus siap siaga terhadap keadaan yang mengancam keselamatan masyarakat. Agar polisi mampu menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan dan ketertiban yang muncul di tengah masyarakat, penulis berpendapat pentingnya kemesraan hubungan polisi dengan masyarakat. Polisi harus

54

mampu mendekati masyarakat melalui proses kondisioning secara bertahap dan keteladanan dari para anggota polisi, sehingga masyarakat semakin percaya kepada polisi. Dengan bekal kepercayaan tersebut, diharapkan masyarakat akan semakin lekat pada polisi. Dalam pelaksanaan tugas Bimmas. Polri bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah,organisasi kemasyarakatan sampai kepada pemimpinpeminpin informal yang berpengaruh di daerah pedesaan.Memberikan penyuluhan pada masyarakat dan bimbingan pada remaja/anakanak/pelajar/Mahasiswa/pemuda supaya taat pada hukum dan normanorma yang ada. Fungsi ini penting dalam rangka peningkatan disiplin nasional 3. Bidang Pelayanan dan pengayom Masyarakat. Dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pelayan masyarakat setiap anggota kepolisian memerlukan sikap mental yang menyadari apa yang dimaksud dengan kata pelayan. Seorang pelayan tidak berada diatas. Setidaktidaknya polisi harus menyadari bahwa kedudukannya sebagai warga negara adalah sama dengan warga masyarakat yang lain. Polisi harus memberikan apa yang diharapkan oleh yang dilayani, walaupun semuanya dilaksanakan dalam batas-batas ketentuan peraturan dan atau hukum yang berlaku. Sebagai pengayom masyarakat, polisi memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberikan pertolongan dan

perlindungan, menjadi teman siapapun yang memerlukan bantuan tanpa membedakan status sosial maupun status kekayaan, mengamati

lingkungan yang dapat menimbulkan situasi yang tidak tertib, misalnya traffic light yang tidak menyala, dan memberikan saran kepada pihak yang bertanggung jawab untuk mengaturnya. Baharudin Lopa

mengemukakan, polisi harus menjadi pelayan yang terpercaya, artinya kapanpun dan dimanapun polisi berada,ia harus siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, memiliki integritas moral yang terpuji (disiplin, jujur dan sikap-sikap terpuji lainnya),karena betapapun profesionalnya seorang polisi, jika tidak memiliki moral yang tangguh, tidak akan pernah berhasil dalam mengemban tugasnya Tugas-tugas

55

pelayanan

dan

pengayoman

oleh

polisi

kepada

masyarakat

diaktualisasikan dalam tindakan konkrit yang sebenarnya sepele,tetapi maknanya dalam bagi masyarakat yang mengerti arti sebuah nilai pengabdian. Misalnya, polisi harus bersedia menyeberangkan orang tua atau anak-anak manakala jalanan ramai. Atau polisi harus terjaga dengan kewaspadaan tinggi ditengah malam saat warga masyarakat sudah terlelap dalam tidur. 5. Diskresi Kepolisian Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Menurut Davis diskresi kepolisian is maybe defined as the capacity of police officers to select from among a number of legal and ilegal courses of action or inaction while performing their duties.50 Tindakan diskresi dapat dibedakan sebagai berikut; (1) tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan tersebut; (2) tindakan diskresi yang beradasar petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinanannya. Tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dan sebagainya. Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaankebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka.
50

Bailey e.d dalam http//www.law-insight.blogspot.com/kasus-kasus-menarik/ tanggal 27 Oktober 2011 jam 13.00 WIB

56

Manfaat diskresi dalam penanganan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat antara lain adalah sebagai salah satu cara pembangunan moral petugas kepolisian dan meningkatkan cakrawala intelektual petugas dalam menyiapkan dirinya untuk mengatur orang lain dengan rasa keadilan bukannya dengan kesewenang - wenangan. Selain pantas untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting bagi pelaksanaan tugas polisi karena: (1) Undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan, (2) Hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut. (3) Pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian. Konsep mengenai diskresi Kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undangundang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, yang berbunyi: Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dlam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) taitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai diskresi kepolisian yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (Pflichtmassiges Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undangundang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang diskresi kepolisian dalam

57

pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisisan Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada awal tahun 1985 kita hanya mengenal istilah Kode Etik Polri , Kode Etik Polri ini ditetapkan oleh KaPolri dengan Surat Keputusan KaPolri No. Pol. : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta pedoman pengamalannya, yang biasa di ucapkan/diikrarkan sesaat menjelang akhir suatu pendidikan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan KaPolri No. Pol: KEP/05/III/2001, serta Kep. KaPolri No. Pol: KEP/04/III/2001 tentang Buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Polri. Adapun landasan dari Kode Etik Profesi Polri ini adalah UU. Kepolisian No. 28/ 1997. Seiring dengan dikeluarkannya UU Kepolisian yang baru yaitu UU No. 2 tahun 2002, terdapat pula beberapa perubahan terhadap Kode Etik Profesi Polri. Pada UU.No.2/2002, yaitu pada bab V (pasal 31s/d 35) mengatur secara khusus mengenai Pembinaan Profesi (Polri). Salah satu upaya dalam rangka pembinaan Profesi Polri adalah melalui Pembinaan Etika Profesi, yaitu seperti pada pasal 32 (1) UU. No 2/2002 , yang berbunyi: Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi..

58

Selanjutnya etika profesi ini kemudian diwujudkan pada apa yang disebut dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti yang diatur pada pasal 34 dan 35 UU. No. 2/2002: Pasal 34: (1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya. (3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan KaPolri. Pasal 35: (1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan KaPolri. Ketentuan yang berkaitan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-undang No.2/2002 pasal 34 & 35 kemudian di wujudkan melalui Kep. KaPolri No.Pol.: KEP/01/VII/2003, tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kode etik ini adalah merupakan pedoman perilaku dan moral bagi anggota Polri bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai upaya pemuliaan terhadap profesi kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap anggota agar terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.Kode etik profesi Kepolisian adalah merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya bersifat Normatif Praktis sehingga dapat digunakan untuk menilai kepatuhan dan kelayakan tindakan dari segi persyaratan teknis profesi.

59

Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika Pengabdian, Kelembagaan dan Kenegaraan, yang pengertiannya adalah: a. Etika pengabdian; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika Pengabdian pada Kode Etik Profesi Kepolisian di jabarkan dalam pasal 1 s/d 7. b. Etika kelembagaan; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya. Etika Kelemagaan dijabarkan pada pasal 8 s/d 12 c. Etika kenegaraan; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Etika Kenegaraan ini dijabarkan pada pasal 13 s/d 16. Kode etik Profesi Kepolisian (KEP. KaPolri No.: KEP/01/VII/2003) yang baru ini lebih operasional dibanding dengan Kode Etik Profesi sebelumnya (Kep KaPolri No.: Kep/04/III/2001 dan Kep/05/III/2001), hal ini dikarenakan pada Kode Etik Profesi Kepolisian yang baru masing-masing bentuk etika (Pengabdian, Kelembagaan dan Kenegaraan) diatur perilaku-perilaku yang Etis dan yang tidak Etis lebih rinci, sehingga ada batasan jelas yang dibakukan, selain itu juga diatur pula bentuk sanksinya dan cara penegakannya. Didalam pasal 18 ayat (1) undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang kepolisian; Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesi dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini bertindak dengan penilaian sendiri dapat

60

disebut sebagai diskresi. Diskresi dalam polisi dimulai pada tahun 1960, pada awalnya dalam sistem peradilan pidana tidak mengenal adanya diskresi karena polisi dan jaksa harus bekerja sesuai dengan hukum bila melakukan diluar itu berarti illegal. Definisi diskresi menurut K.C.Davis, adalah membuat pilihan atau putusan dari sejumlah kemungkinan yang akan ada atau bisa terjadi. Diskresi didalam penegakan hukum memang tidak dapat dihindarkan, mengingat keterbatasan-keterbasan baik dalam kualitas perundang-undangan, sarana dan prasarana, kualitas penegak hukum maupun partisipasi masyarakat. Diskresi ini merupakan refleksi pengakuan bahwa konsep penegakan hukum secara total (total enforcement) dan penegakan hukum secara penuh (full enforcement) tidak mungkin dilaksanakan, sehingga penegakan hukum yang aktual (actual enforcement) yang terjadi. Hikmah yang terjadi adalah, bahwa diskresi inilah yang menjadi sumber pembaharuan hukum apabila direkam dan dipantau dengan baik dan sistematis. Ada tiga bagian dan tiga kebijakan policy dalam diskresi yaitu: 1. Diskresi of judgment Adalah dilawankan kepada disiplin mati/menentang aturan yang seperti robot (militer). Petugas disini harus mempunyai pengetahuan, kemampuan, dan pemahaman atas dasar pengalaman, contohnya adalah penegakan aturan oleh polisi lalu-lintas yang terkadang melanggar aturan yang ada. 2. Diskresi of choice Adalah menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan penilaian pribadi (yurispudensi baru). 3. Diskresi as liberty Diskresi ini erat kaitannya dengan tugas dan fungsi jabatan oleh karenanya menjadi hak orang yang menjabat untuk membuat putusan

(menginterprestasikan kewenangannya).dicontohkan seorang hakim yang memutus suatu perkara yang terkadang bertentangan dengan aturan yang ada tapi bukan karena interpensi, melainkan karena factor yang dianggap penting cruetial. Kebijakan policy dalam diskresi ada tiga bentuk yaitu 1. Kebijakan yang dibatasi restrectif policy, dengan kata lain harus ada aturan yang buat serta dilaksanakan dapat/boleh atau tidaknya suatu hal dilakukan.

61

2. Discouragement (membuat orang berpikir ulang/menganjurkan untuk tidak) yaitu dengan membuat aturan dengan sangsinya sehingga menciptakan pilihan untuk seseorang (seolah melarang tapi tidak secara langsung). 3. Judgmental mengaitkan diskresi adalah judgment dengan cara membuat pedoman/aturan yang ditetapkan yang apabila di langgar akan dikenakan hukuman atau sanksi. Seorang petugas kepolisian Negara Repoblik Indonesia yang bertugas ditengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap keteriban dan keamanan umum atau bila diperkirakan akan timbul bahaya bagi kepentingan umum. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin baginya untuk meminta pengarahan terlebih dahulu dari atasannya sehingga dia harus berani memutuskan sendiri tindakannya. Namun dalam pelaksanaannya perlu beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang petugas Kepolisian akan diskresi yaitu51: 1. Tindakan yang harus benar-banar dilakukan noodzakelijk, notwending atau azas keperluan. 2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian Zakelijk, sachlich). 3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang tidak dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (Zweckmassig, doelmatiq). 4. Azas keseimbangan (evenredoig) dalam mengambil tindakan, harus senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya) tindakan atau sasaran yang dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak, Selanjutnya didalam mengambil tindakan berdasarkan penilaiannya sendiri yang paling menentukan kualitas tindakan adalah kemampuan dan pengalaman

51

Kombes Pol Drs. DBM. Suharya, Diskresi Kepolisian dalam rangka Penaganan Anak Berkonflik Dengan Hukum, disampaikan dalam acara Seminar Sehari Peradilan Anak Atas Kerjasama Maber Polri-Unisef-Sntra HAM Univ. Indonesia, Jakarta 11 Desember 2003.

62

petugas kepolisian yang mengambil tindakan tersebut. Oleh karena itu, pemahaman tentang penting diskresi kepolisian dalam pasal 18 ayat 1 harus dikaitkan dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 31, 32, 33 UU No. 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan profesional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Diskresi juga tidak hanya wewenang yang ada pada kepolisian, secara umum diskresi diartikan adalah wewenang yang diberikan kepada setiap anggota birokrasi/pemerintahan yang mempunyai otoritas membuat keputusan. Polisi secar penuh mempunyai kewenangan diskresi tersebut dikarenakan tugas polisi yang mandiri, sama halnya dengan petugas pemasyarakatan, imigrasi ataupun bea cukai. Filosofi hukum oleh R.Dworkien and Hart,teori donat doughnut theory mengatakan diskresi tidak diatur seperti halnya aturan dan kebijakan rules and policies tapi diskresi adanya didalam hal tersebut. Kenapa adanya diskresi hal ini disebabkan karena ada aturan atau kebijakan tertentu yang tidak dibuat untuk masalah-masalah tertentu (diberikan pada perkuliahan Prof Mardjono-KIK,2008) a) Posisi Kasus Di Lumajang, berawal dari kasus penganiayaan yang Polisi menetapkan H sebagai tersangka. Saat akan ditangkap, H berhasil melarikan diri. Hingga akhirnya beberapa bulan berselang, tersangka belum tertangkap. Oleh karena itu, Polsek Tekung menetapkan tersangka H masuk Daftar Pencarian Orang (DPO)52. Aipda Utar Wardhani, kanitreskrim polsek Tekung sedang melakukan penyelidikan perkara tindak pidana lainnya. Dalam perjalanannya, Aipda Utar Wardhani bersama tim mampir ke sebuah warung makan untuk beristirahat. Ternyata, pada saat bersamaan, tersangka H berada di warung itu. Melihat kedatangan sejumlah polisi masuk ke warung, tersangka H melarikan diri meninggalkan sepeda motornya. Polisi pun segera melakukan pengejaran namun tersangka berhasil melarikan diri. Sepeda motor tersangka yang ditinggalkannya diamankan polisi untuk diamankan dari pencurian. Namun tindakan yang diambil polisi tersebut
52

Wawancara dengan Kanitreskrim Polsek Tekung, AKP Butar tanggal 12 Oktober 2011

63

justru memicu pengaduan keluarga tersangka pada Provost dan melaporkan Aipda Utar Wardhani dengan tuduhan menyita/mengambil barang orang lain tanpa surat penyitaan53. Menerima pengaduan tersebut, Provost melakukan penyidikan terhadap Aipda Utar Wardhani hingga akhirnya, Provost menetapkan tindakan yang diambil Aipda Utar Wardhani sebagai Deskresi Kepolisian. Diskresi yang dilakukan Aipda Utar Wardhani merupakan langkah untuk mengamakan barang berharga milik seseorang untuk menghindari tindak pidana pencurian, dalam hal ini merupakan sepeda motor milik tersangka H yang sengaja ditinggalkan untuk menghindari kejaran Polisi. b) Pelaksanaan Diskresi Dalam Penyitaan Berdasarkan UU RI No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 14 ayat (1) yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang undangan lain. Wewenang kepolisian dalam proses pidana diatur dalam pasal 16 UU RI No2 Tahun 2002 sebagai berikut: 1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan 2) Melarang setiap orang meninggalkan/memasuki TKP untuk kepentingan penyidikan 3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai, menyakan serta memeriksa tanda pengenal diri 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan diri 6) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara 7) Mengadakan penghentian penyidikan 8) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum 9) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan menangkap orang yang disangka untuk melakukan tindak pidana
53

Id.

64

10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dengan demikian kewenangan penyidik POLRI dalam memberantas tindak pidana korupsi sudah jelas dan terarah sehingga apa yang diharapkan oleh pemerintah/ masyarakat kepada aparat penegak hukum dalam hal ini POLRI dapat berjalan dengan baik. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002 pada Pasal 18 ayat (1) bahwa Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, maka akan menjadi masalah apabila dengan adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi. Dengan lebih mengarahkan pada kenyataan-kenyataan (empiris) yang terjadi dilapangan sebagai bahan analisis dengan luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh polisi, mempunyai potensi kekuasaan itu disalahgunakan untuk keuntungan diri sendiri, kelompok maupun organisasi lain. Padahal penggunaan kekuasaan diskresi yang diberikan oleh pembuat undang-undang sebenarnya apabila jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan suatu masalah malah menjadi kurang efisien, kurang ada manfaatnya maupun macet. Ditinjau dari sudut hukumpun setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian hukum dan hak asasi manusia. 6. Kepolisian sebagai Pelayan Masyarakat, Penegak Hukum, Pembina Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat Kinerja Polri mencakup faktor-faktor manifest dalam perilaku individu dan lembaga Polri. Kinerja Polri merupakan fungsi dari pencapaian tujuan lembaga, baik berupa keberhasilan maupun kegagalan. Kinerja merupakan perilaku yang dapat diamati dan dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Pada dasarnya ada

65

dua bentuk pengukuran kinerja kepolisian. Yang pertama adalah pengukuran secara kuantitatif, dan yang kedua pengukuran secara kualitatif. Bentuk kuantitatif ukuran kinerja adalah ukuran seperti jumlah pelanggaran lalu lintas yang fatal. Sedangkan bentuk kualitatif ukuran kinerja pada dasarnya terkait dengan pendapat masyarakat tentang polisi. a) Polisi sebagai Pelayan Masyarakat Dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pelayan masyarakat setiap anggota kepolisian memerlukan sikap mental yang menyadari apa yang dimaksud dengan katapelayan. Seorang pelayan tidak berada diatas. Setidak-tidaknya polisi harus menyadari bahwa kedudukannya sebagai warga negara adalah sama dengan warga masyarakat yang lain. Polisi harus memberikan apa yang diharapkan oleh yang dilayani, walaupun semuanya dilaksanakan dalam batas-batas ketentuan peraturan dan atau hukum yang berlaku. Sebagai pengayom masyarakat, polisi memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberikan pertolongan dan perlindungan, menjadi teman siapapun yang memerlukan bantuan tanpa membedakan status sosial maupun status kekayaan, mengamati lingkungan yang dapat menimbulkan situasi yang tidak tertib, misalnya traffic light yang tidak menyala, dan memberikan saran kepada pihak yang bertanggung jawab untuk mengaturnya, polisi harus menjadi pelayan yang terpercaya, artinya kapanpun dan dimanapun polisi berada,ia harus siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, memiliki integritas moral yang terpuji (disiplin, jujur dan sikap-sikap terpuji lainnya), karena betapapun profesionalnya seorang polisi, jika tidak memiliki moral yang tangguh, tidak akan pernah berhasil dalam mengemban tugasnya Tugas-tugas pelayanan dan pengayoman oleh polisi kepada masyarakat diaktualisasikan dalam tindakan konkrit yang sebenarnya sepele,tetapi maknanya dalam bagi masyarakat yang mengerti arti sebuah nilai pengabdian. Misalnya, polisi harus bersedia menyeberangkan orang tua atau anak-anak manakala jalanan ramai atau polisi harus terjaga dengan kewaspadaan tinggi ditengah malam saat warga masyarakat sudah terlelap dalam tidur.

66

Dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara umum tugas ini masih jauh dari harapan. Dapat dimengerti adanya kekurangan personil, anggaran, dan peralatan. Namun, nampaknya perlu dicari pola-pola yang inovatif dalam pelaksanaannya, agar tidak monoton dan bersifat tradisional belaka. Sangat dirasakan oleh masyarakat kurangnya rasa aman dan tertib disemua tempat karena kejahatan semakin brutal sementara aparat kemanan tidak mengimbanginya dengan sistem keamanan secara menyeluruh. Yang dapat dilihat dan dirasakan antara lain kurang tegasnya polisi, kurang konsisten dan konsekwennya dalam pencegahan dan penindakan. Operasi Kepolisian sering hanya bersifat sporadis. Akibatnya pelanggar hanya mereda beberapa saat dan di wilayah tertentu saja, sementara jika pelanggaran dan kejahatan sudah meningkat lagi baru diadakan operasi lagi dan terbatas pula. Di bidang lalu lintas juga sangat tidak tertib, misalnya di Jakarta, Surabaya dan atau kota besar lainnya di Indonesia. Mungkin lalu lintas di kota inilah yang paling semrawut di dunia. Untuk mengatasi hal ini perlu adanya keterpaduan dari semua instansi yang terkait. b) Polisi sebagai Penegak Hukum Polisi adalah instansi yang berperan dalam penegakan hukum dan norma yang hidup dalam masyarakat (police as an enforment officer). Pada pelaksanaan demikian, polisi adalah instansi yang dapat memaksakan berlakunya hukum. Manakala hukum dilanggar, terutama oleh perilaku menyimpan yang namanya kejahatan, diperlukan peran polisi untuk memulihkan keadaan (restitutio in intreguman) pemaksa agar sipelanggar hukum menanggung akibat dari perbuatannya. Untuk mengetahui bagaimana hukum ditegakkan tidaklah harus dilihat dari institusi hukum seperti kejaksaan atau pengadilan, tetapi dilihat pada perilaku polisi yang merupakan garda terdepan dari proses penegakkan hukum.Sebagai penegak hukum, polisi adalah pribadi atau anggota yang menguasai pengetahuan hukum, bersifat jujur, bersih, berani bertindak dengan penuh tanggungjawab, sehingga hukum dapat ditegakkan. Dalam penegakan hukum. Secara umum mengalami kemajuan, namun masih perlu peningkatan kinerja secara sungguh-sungguh,utamanya perkara

67

yang menjadi sorotan masyarakat adalah tentang penanganan koruptor dan hal-hal lain yang menyangkut banyak merugikan negara. Di tubuh Polri sendiri harus ada konsistensi dan transparansi dalam pemberantasan korupsi jika Polri ingin mendapat dukungan masyarakat dan memiliki citra yang baik. Pemberantasan korupsi di tubuh Polri dan pemberantasan perjudian adalah merupakan point of no return, apabila Polri konsisten dengan reformasi internalnya. Masyarakat sangat berharap akan keberlanjutan penanganan masalah tersebut walaupun sudah pasti banyak korban dan resistensi baik dari dalam tubuh Polri sendiri maupun orang luar yang mempunyai kepentingan tertentu.Terkadang juga ada kasus berat namun hanya dapat terungkap kalau ada pejabat penting yang turun tangan. Faktanya memang menunjukkan adanya fenomena seperti itu. c) Polisi sebagai Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kantibmas), polisi melakukan tugas mengantisipasi, menjaga dan mengayomi

masyarakatnya dari perilaku jahat yang diperagakan para penjahit. Polisi bersamaan anggota masyarakat lainnya, menjalankan upaya preventif, yaitu mencegah terjadinya kejahatan. Polisi harus siap siaga terhadap keadaan yang mengancam keselamatan masyarakat. Agar polisi mampu menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan dan ketertiban yang muncul di tengah masyarakat, sangatlah penting kemesraan hubungan polisi dengan masyarakat. Polisi harus mampu mendekati masyarakat melalui proses kondisioning secara bertahap dan keteladanan dari para anggota polisi, sehingga masyarakat semakin percaya kepada polisi. Dengan bekal kepercayaan tersebut, diharapkan masyarakat akan semakin lekat pada polisi. Dalam pelaksanaan tugas Bimmas, Polri harus bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah, organisasi kemasyarakatan sampai kepada pemimpin-peminpin informal yang berpengaruh di daerah

pedesaan.Memberikan penyuluhan pada masyarakat dan bimbingan pada remaja/anak-anak/pelajar/Mahasiswa/pemuda supaya taat pada hukum dan norma-norma yang ada.

68

Dalam perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam bidang inipun masih jauh dari harapan masyarakat. Masyarakat pada umumnya belum merasa terlindungi secara baik, belum merasa diayomi, dan belum merasa dilayani dengan baik oleh Polri. Oleh karena itu, perlu peningkatan sikap, perilaku, dan tindakan yang lebih baik, lebih proaktif dengan benar-benar setiap anggota Polri menempatkan diri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Merubah kultur ke arah demikian memang tidak mudah dan tidak bisa dalam waktu singkat. Namun, perlu kesungguhan, konsistensi, dan keberlanjutan dari semua lapisan organisasi Polri. Untuk masalah ini, yang sangat diperlukan adalah teladan dari setiap atasan. Pengawasan yang ketat dan berlanjut dari setiap atasan akan lebih memacu keberhasilan Polri. 7. Pertanggungjawaban Dalam Pelaksanaan Diskresi Pandangan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Kinerja Polri dari hari ke hari telah menampakkan kemajuan yang berarti walaupun belum dapat memenuhi harapan masyarakat. Banyak prestasi yang telah dicapai oleh Polri dalam menemukan penjahat dalam waktu yang relatif tidak lama. Namun, juga masih banyak harapan masyarakat akan dapat ditangkapnya para koruptor besar yang sampai saat ini belum berhasil ditangkap. Keberhasilan Polri melumpuhkan komplotan teroris di Batu-Malang (Jawa Timur) dan menewaskan Dr. Azahari sangat menggembirakan masyarakat. Juga ditemukannya sejumlah bahan peledak dan bom rakitan seperti di Ngebel-Ponorogo dan Bojonegoro, Jawa Timur54. Polri pula yang berhasil membongkar dan menangkap produsen Narkoba. Dalam penggrebekannya di desa Cemplang-Serang (Banten) itu Polri menangkap 13 tersangka pelaku termasuk pemilik pabrik, serta menyita sejumlah barang bukti. Konon, pabrik Narkoba itu merupakan terbesar ketiga di dunia dengan omset mencapai kurang lebih satu triliun rupiah setiap minggu. Keberhasilankeberhasilan itu diakui oleh masyarakat
55

sebagai

prestasi

Polri

yang

membanggakan dan pantas mendapat pujian.

54

Kompas 12-13 Nov. 2005, dalam www.kompas.com diakses tanggal 22 Oktober 2011 jam 19.30 WIB 55 Indo Pos 15 Nov. 2005, dalam www.google.co.id diakses tanggal 22 Oktober 2011 jam 18.00 WIB

69

Namun, harus diakui juga bahwa harapan masyarakat untuk memiliki polisi yang benar-benar baik dan bersih masih belum menjadi kenyataan. Masih banyak oknum polisi yang melakukan pelanggaran etika kepolisian, memeras, bahkan melakukan kejahatan Narkoba, penadah perampasan taksi seeperti belum lama berselang56. Masih banyak lagi kejadian kejahatan yang melibatkan polisi dan sering dapat dibaca atau ditonton dalam berita di media massa. Masyarakat juga banyak bergonjing tentang adanya polisi yang

menghentikan kendaraan truk terutama di luar kota di mana pengemudinya sudah menyiapkan kotak korek api untuk diberikan kepada oknum polisi itu. Tentu saja kotak itu tidak berisi korek api karena bukan itu yang diminta oleh polisi. Pengurusan Surat Ijin Mengemudi dan surat-surat lainnyapun menjadi ladang yang subur bagi pemasukan uang bagi polisi57. Masih banyak lagi ladang lainnya yang dapat menjadi tempat korupsi polisi, tetapi bukan terhadap uang negara. Korupsi itu korupsi terhadap uang masyarakat secara perseorangan. Hal itu sulit dibuktikan, namun bagi masyarakat dianggapnya bukan rahasia lagi. Hal ini menyebabkan masyarakat belum merasa menjadi satu sebagai mitra polisi, pada hal perkara ini sangat penting dalam mendukung tugas polisi. Masyarakat masih takut atau segan berhubungan dengan polisi karena berbagai sebab yang pada umumnya takut kehilangan uang. Menjadi saksipun kalau bisa dihindari, demikian pula melaporkan kejadian kehilangan barangnya saja masih ada yang tidak merasa perlu karena pesimis akan manfaatnya, dan bisa jadi ujung-ujungnya akan kehilangan uang. Di samping banyak ladang untuk korupsi dari uang masyarakat secara perseorangan, ada pula korupsi dari intern tubuh Polri sendiri tetapi juga bukan terkait dengan uang negara. Ini juga sulit dibuktikan karena yang bersangkutan menganggap pengeluaran uang itu demi melicinkan kepentingannya, misalnya masuk pendidikan jenjang, kenaikan pangkat, jabatan dan sebagainya. Walaupun berulang kali KaPolri atau Kapolda menegaskan tidak ada pungutan uang untuk masuk pendidikan atau kenaikan pangkat, namun dalam kenyataannya masih berlangsung terus. Tentu saja hal ini tidak akan diketahui oleh KaPolri atau
56 57

Ibid Dalam www.wikipedia.com, diakses tanggal 19 Oktober 2011 jam 7.20 WIB

70

Kapolda. Masyarakat juga tahu kalau di lingkungan organisasi Polri ada wajib setor. Hal itu akan berdampak luas, antara lain timbulnya kecenderungan melakukan penekanan dan pemerasan untuk mencapai target setoran. Belum lagi berbicara tentang adanya beking terhadap cukong dan suap. Bukankah ada oknum polisi yang melakukannya dari skala kecil sampai yang besar. Mungkin dengan alasan gaji kurang. Memang, hal itu bisa dimengerti, tetapi jika penyimpangan-penyimpangan itu berjalan terus maka resikonya negeri ini akan semakin keropos dan lemah. Apabila penyimpangan-penyimpangan dibiarkan, maka yang salah itu bisa dianggap benar. Kalau hal itu berlangsung terus berarti merupakan banalisasi yang menganggap penyimpangan merupakan hal yang biasa/seolah-olah yang salah itu benar. Perilaku menyimpang polisi disebabkan oleh banyak faktor, antara lain pengaruh lingkungan yang mengakibatkan ingin menjalani gaya hidup hedonisme, gaji yang relatif kurang, sikap mental yang buruk, dan diberikannya kekuasaan polisi oleh hukum untuk mengambil tindakan dalam situasi tertentu menurut pertimbangan sendiri atau disebut kekuasaan diskresi-fungsional yang menempatkan pribadi-pribadi polisi sebagai faktor sentral dalam penegakan hukum.58 Jadi, diskresi merupakan kebijakan, keleluasaan atau kemampuan untuk memilih rencana kebijakan atau mempertimbangkan bagi diri sendiri atau suatau kebijakan berdasarkan keleluasaannya untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Oleh karena itu, diskresi tidak terlepas dari ketentuan hukum, artinya diskresi itu dilakukan dalam kerangka hukum.59 Dari pengertian di atas itulah, maka pribadi-pribadi polisi mendapat peran yang sangat penting dan sentral dalam penegakan hukum. Polisi merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan tegaknya hukum. Namun, jika polisi tidak memiliki integritas moral yang tinggi dan kuat, maka dengan kekuasaan diskresifungsional tersebut justru memberi peluang untuk menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadinya sendiri yang tidak untuk tegaknya hukum dan

58 59

Ronny Nitibaskara, 2001, Polisi dan Polisi, Jakarta: Ghalia, hal.29 Ibid, hal 106

71

keadilan dengan melakukan tindakan yang bernuansa pemerasan atau intimidasi ataupun rekayasa dan kolusi dalam penanganan suatu perkara. Untuk mencegah digunakannya kekuasaan diskresi fungsional yang tidak proporsional, maka masalah peningkatan moral, etika dan berfungsinya hati nurani menjadi sangat penting. Moral dan etika akan menjadi pendorong untuk menjadi polisi yang baik, yang menuntun sikap, tindakan, dan perilaku polisi. Moralitas adalah norma atau standard tingkah laku manusia yang didasarkan atas pertimbangan benar-salah, dan baik-buruk. Etika merupakan nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Menghidupkan berfungsinya hati nurani juga sangat penting karena sesungguhnya hati nurani tidak pernah bohong. Hati nurani yang sensitif (tidak tumpul) dapat mengarahkan pada hal-hal yang baik dan terpuji. Pentingnya peningkatan moral dan etika serta mensensitifkan hati nurani itu juga berkaitan dengan prinsip bahwa yang legal belum tentu bermoral. Kalau berdasarkan legal saja maka seperti jawaban Eichman (Nazi Jerman) ketika dalam proses peradilan ditanya mengapa dia tega membunuh puluhan ribu manusia yang dengan entengnya dijawabnya saya tidak bersalah karena saya taat. Orang yang berpikir hanya berdasar legalitas saja akan cenderung seperti Machiavellis yang berprinsip tujuan menghalalkan cara yang menumpulkan hati nurani. Di samping itu, ada masalah keseharian polisi yaitu persoalan menggunakan hukum. Apabila hukum digunakan oleh polisi secara semestinya niscaya kedilan akan mendukung terwujudnya keadilan dan citra polisi akan membaik. Mungkin ada aturan hukum yang tidak sempurna, tetapi akan menciptakan kebaikan jika penegak hukumnya baik. Sebaliknya, hukum yang baik tidak menjamin akan terciptanya keadilan, keteriban atau kebaikan jika aparat penegak hukumnya buruk. Disini lagi menunjukkan pentingnya moral, etika dan hati nurani diketengahkan. Sikap dan perilaku anggota Polri terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara R.I. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota Polri harus dapat mencerminkan kepribadian Bhayangkara Negara seutuhnya. Anggota Polri juga harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya seperti dirumuskan dalam Kode Etiknya yang

72

merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila. Kode Etik tersebut bukan hanya untuk dihafalkan tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam melaksanakan tugasnya.60 Masalah lain adalah perlu ditegaskan dan ditegakkannya lagi pertanggung jawaban Kepolisian, artinya setiap anggota polisi yang melakukan kesalahan baik secara sengaja maupun tidak sengaja (lalai) harus menanggung kesalahannya dengan memberikan pertanggung jawaban atas tindakannya yang bisa dikatagorikan tidak sah. Dalam kaitan ini, Warsito Hadi Utomo61 menyimpulkan rumusan tindakan seseorang petugas polisi yang dapat dianggap tidak sah, seperti berikut: 1) Melanggar hukum, baik yang berlaku umum maupun yang berlaku khusus, misalnya melakukan pemeriksaan kendaraan di jalan umum yang ada larangan dari dinas. 2) Tanpa dasar hukum baik berupa tindakan tanpa hak dan wewenang, misalnya memaksa seseorang membayar hutangnya, maupun tindakan melampaui batas-batas wewenang, misalnya memborgol tersangka yang lemah badannya. 3) Mempunyai pertimbangan-pertimbangan di luar persoalan, misalnya mengulur-ulur pemeriksaan tersangka bukan karena kurang alat bukti tetapi karena sikap tersangka yang tidak sopan. 4) Ingin mencapai tujuan lain, misalnya menahan Surat Ijin Mengemudi agar mendapat uang tebusan 5) Sewenang-wenang. 6) Melanggar kesusilaan, misalnya menggeledah badan sambil merabaraba bagian terlarang. 7) Tidak hati-hati, misalnya menggeledah rumah begitu rupa sehingga ada barang-barang yang menjadi rusak. Dalam praktek masih banyak terjadi tindakan-tindakan petugas polisi yang dapat digolongkan dalam salah satu atau lebih katagori tersebut di atas. Itu akan
60

Anang Usman, SH, MSi. Kaur Penerapan Hukum dan Undang Undang Bidang Pembinaan Hukum Polda Jawa Barat, Dosen Unpas, Unpad dan STIA Al Jawami. 61 Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI)

73

membawa kerugian manusia, masyarakat atau negara. Hal itu juga akan merugikan citra Kepolisian. Pendapat itu memang benar dan nampaknya hal-hal seperti itu kurang mendapat perhatian dari pejabat yang membawahi anggota yang melakukan tindakan tidak sah itu. Dilihat dari kaca mata tugas pokok Polri, maka kinerja Polri juga masih belum memenuhi harapan masyarakat. Menurut UU No. 2 Tahun 2002 dalam pasal 13 dinyatakan tugas pokok Kepolisian Negara R.I adalah: 1. 2. 3. Memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat Menegakkan hukum, dan Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mewujudkan tugas pokok tersebut tentunya perlu dukungan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum adalah sangat penting. Partisipasi itu bisa terwujud apabila masyarakat merasa memiliki dan mencintai Polri. Hal itu bisa terwujud jika Polri dapat merebut hati masyarakat, dekat dengan masyarakat dengan menunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Pengungkapan masalah-masalah tersebut di atas mungkin dirasakan pahit bagi Polri, tetapi kebanyakan obat adalah pahit. Anggaplah itu sebagai obat yang pahit yang perlu bagi polisi untuk memperbaiki diri. Yang jelas pengungkapan ini tidak bermaksud memojokkan Polri, tetapi didasari oleh kecintaan pada Polri dan keinginan memiliki polisi sipil yang bersih, berwibawa, bermartabat dan bermoral, yang benar-benar dapat menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang baik. Di negara manapun, keinginan masyarakat adalah seperti itu. Harapan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Harapan masyarakat sudah banyak disebutkan pada perbincangan sebelumnya, yang pada intinya masyarakat ingin agar Polri dapat mewujudkan tugas pokoknya dengan baik, yang dilandasi oleh moralitas, profesionalisme sebagai polisi sipil, dan memiliki kedekatan dengan rakyat yang positif. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan. Untuk itu, setiap anggota Polri juga harus memperhatikan beberapa hal, yaitu:62
62

Bambang Widodo Umar. Kebijakan Negara di Bidang Kepolisian. Dalam idsps.org/kebijakannegara-di-bidang-kepolisian diakses tanggal 18 Oktober 2011 jam 14.25

74

1) Mengenal diri, artinya tahu dan paham, dan menghayati benar siapa dirinya (sebagai anggota polisi sipil), paham dan menghayati tugasnya dan bagaiman melakukan tugas dengan baik, serta memahami apa yang menjadi keharusan dan larangannya; 2) Integritas pribadi, artinya bersikap jujur, adil, dan amanah dalam melakukan tugas; 3) Pengendalian diri, yang berarti dapat menunda gratifikasi dan bertindak secara proporsional serta tidak emosional; 4) Komitmen dan konsistensi, artinya memiliki tekad yang kuat untuk menjadi polisi yang baik sebagai pelindung, pengayom,dan pelayan masyarakat; 5) Kepercayaan diri, artinya dalam melaksanakan tugas tidak bersikap ragu-ragu, tegas tetapi tetap terukur dan tetap sopan santun; 6) Fleksibel, berarti tidak bersifat kaku dalam bertindak.

75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari uraian pada bab-bab diatas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1) Sikap dan perilaku anggota Polri terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara R.I. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota Polri harus dapat mencerminkan kepribadian Bhayangkara Negara seutuhnya. Anggota Polri juga harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya seperti dirumuskan dalam Kode Etiknya yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila. Kode Etik tersebut bukan hanya untuk dihafalkan tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam melaksanakan tugasnya. Apabila hukum digunakan oleh polisi secara semestinya niscaya kedilan akan mendukung terwujudnya keadilan dan citra polisi akan membaik. Mungkin ada aturan hukum yang tidak sempurna, tetapi akan menciptakan kebaikan jika penegak hukumnya baik. Sebaliknya, hukum yang baik tidak menjamin akan terciptanya keadilan, ketertiban atau kebaikan jika aparat penegak hukumnya buruk. 2) Dengan reformasi internalnya, Polri sudah mengalami kemajuan untuk menjadi polisi sipil bagi mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan perlindungan, pengayom, dan pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan tugas pokok tersebut tentunya perlu dukungan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum adalah sangat penting. Partisipasi itu bisa terwujud apabila masyarakat merasa memiliki dan mencintai Polri.

76

5.2 Saran Bertolak dari temuan penelitian tentang kewenangan diskresi polisi berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut diatas, maka penulis menganggap perlu disempurnakan dan dilakukan tentang hal hal sebagai berikut: 1) Bagi Polri, memenuhi harapan masyarakat yang begitu banyak dan beraneka ragam kepentingan dan kebutuhan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan personil, anggaran, dan peralatan yang dimiliki Polri. Namun, mewujudkan harapan itu bukan sesuatu yang mustahil, tergantung pada niat yang kuat dan tulus. Perwujudan harapan itu harus dilakukan dari dua arah baik dari Polri maupun dari masyarakat sendiri. Yang perlu digarap lebih dulu adalah bagaimana menciptakan kondisi dari dua pihak itu untuk menuju ke arah harapan itu. 2) Peningkatan moralitas, etika, dan mensensitifkan hati nurani menjadi kunci pokok dalam mewujudkan harapan masyarakat. Untuk itu, setiap anggota Polri perlu bertanya pada diri sendiri sudah patutkah saya menjadi polisi harapan masyarakat? Bertanyalah pada hati nurani sendiri, seandainya saya anggota masyarakat biasa, apa harapan anda kepada Polri? Sudah memadaikah apa yang saya lakukan selama ini? Hal-hal seperti itu perlu dilakukan agar perilaku dan kinerja polisi tidak jauh berbeda dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap Polri.

77

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Alamsyah, Nur. 2000. Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang Berat. LBH Medan Anthon F Susanto. 2004. Wajah Peradilan Kita. Bandung: Refika Aditama. Atmasasmitha, Romli. 2001. Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Mandar Maju. Bandung. Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni. George E Berkley. 1969. The Democratic Policeman. Boston Beacon Press. Hans Kelsen. 1992. Pure Theory; A Rechtslehre Litschewski Press. Theory. Introduction To The Problems Of Legal Translationof the First Edition of the Reine orPure Theory of Law. Translated by: Bonnie Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford: Clarendon

H.B sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. HR. Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press Indonesia. Hutauruk, M. 1982. Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Erlangga. Jakarta. Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaat. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press Cetakan Pertama. Kunarto. 1997. Perilaku Organisasi Polri. Jakarta. Cipta Manunggal. Lexy J Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. M. Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita. Marbun, BN. 2000. Penegakan Hukum dan Hak Asasi di Indonesia. Bina Cipta. Jakarta.

78

Muladi, 1995, Kapita Selekte Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Sarwono. S.W. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. SF. Marbun dan Moh. Mahfud. 2001. Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. Satjipto Rahardjo. 1983. Masalah Penegakan Hukum. Bandung: Sinar Baru. Senoadji, Indriyanto. 1998. Penyidikan dan HAM dalam Prospektif KUHAP Bidang Penyidikan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Sitompul, DPM, 2005, Beberapa tugas dan Wewenang Polri, Aoudie, Jakarta Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Research. Jilid 3. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Winarno Soerakhmat. 1982. Dasar dan Teknik Research. Bandung: Tarsito. Undang-Undang Undang Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Makalah dan Website Kombes Pol Drs. DBM. Suharya, Diskresi Kepolisian dalam rangka Penaganan Anak Berkonflik Dengan Hukum, disampaikan dalam acara Seminar Sehari Peradilan Anak Atas Kerjasama Maber PolriUnisef-Sntra HAM Univ. Indonesia, Jakarta 11 Desember 2003. Ali Safaat dalam alisafaat.wordpress.com/perkembangan-teori-hukum-tatanegara-dan-penerapannya-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai