Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah Kepolisian

Nasional di Indonesia yang bertanggung jawab langsung dibawah Presiden. Polri

mempunyai motto Rastra Sewakotama yang artinya adalah Abdi Utama bagi Nusa

dan Bangsa. Polisi mengemban seluruh tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah

Indonesia.

Polisi memiliki dua semboyan yaitu TRIBRATA dan CATUR

PRASETYA. TRIBRATA ialah ialah Rastra Sewa Kottama (Abdi utama pada

nusa dan bangsa), Nagara Janottama (Warga Negara Utama dari pada Negara), dan

Yana Anuscasana Dharma (Kewajiban menjaga tertib pribadi rakyat). 1

CATUR PRASETYA yaitu Satya Haprabu (Setia kepada Negara dan

Pimpinan), Hanyaken Musuh (Mengenyahkan musuh-musuh negara dan

masyarakat), Gineung Pratidina (Mengagungkan Negara), dan Tan Satrisna (Tidak

terikat trisna kepada sesuatu). 2

Arti kata Polisi jika didalami lebih jauh, akan memberikan beberapa

pengertian. Para cendikiawan dibidang Kepolisian sampai pada kesimpulan bahwa

kata Polisi memiliki kedalam 3 pengertian dalam penggunaan sehari-hari yaitu, (1)

Polisi sebagai Fungsi, (2) Polisi sebagai Organ Kenegaraan, (3) Polisi sebagai

Pejabat atau Petugas. Polisi dalam sehari-hari disebut sebagai Pejabat atau Petugas.

1
Mabes Polri, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan, Jakarta
Selatan, hlm. 9.
2
Ibid., hlm. 11.

1
2

Karena Polisi sehari-hari berhadapan dan berkomunikasi langsung dengan

masyarakat. Ini berarti Polisi dan masyarakat memiliki keterkaitan satu sama lain

karena Polisi ada ditengah-tengah masyarakat apabila dilihat dari tugas dan

fungsinya. Menurut Barda Nawawi Arief bahwa: “Polri dalam menjalankan

tugasnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja

sosial (social worker) pada aspek sosial dan kemasyarakatan (pelayanan dan

pengabdian).”3

Pekerjaan yang dilakukan oleh Polisi adalah penegakan hukum in optima

forma, yaitu adalah Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui Polisi janji-janji dan

tujuan hukum untuk mengamankan serta melindungi mayarakat menjadi kenyataan,

ditangan Polisi hukum dapat diwujudkan khususnya dalam bidang Hukum Pidana.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi

pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat”.

Dengan kata lain polisi berperan sebagai institusi pelayanan publik yang

menempatkan kepolisian sebagai bagian dari birokrasi negara dalam menjalankan

kebijakan pemerintahan. Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

menegaskan bahwa:

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan


keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
3
Ryanto Ulil Anshar, Joko Setiyono , “Tugas dan Fungsi Polisi Sebagai Penegak Hukum
dalam Perspektif Pancasila”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. Vol. 2 No. 3, hlm. 360-361.
(https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/view/8806).
3

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta


terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.

Polisi adalah salah satu pranata dalam sub sistem peradilan pidana (selain

daripada Hakim, Jaksa, dan Lembaga Pemasyarakatan) tentunya akan berhadapan

dengan tugas-tugas yang berat dalam menegakkan hukum, terutama yang berkaitan

dengan suatu tindak kejahatan, karena selain daripada berhadapan dengan penjahat,

polisi juga dihadapkan pada proses pemeriksaan terhadap tindak kejahatan yang

bersangkutan dalam rangka menemukan penyelesaiannya.

Dalam menghadapi suatu kejahatan, Polisi akan berhadapan dengan

Penjahat atau Tersangka yang memberikan perlawanan yang dapat membahayakan

keselamatan masyarakat, harta benda, bahkan Polisi itu sendiri. Polisi dituntut

untuk mengambil tindakan cepat dan terbaik menurut penilaiannya dalam

menghadapi Penjahat atau Tersangka.

Berdasarkan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan

mengenai Pembelaan Terpaksa, yang dimana dibedakan menjadi dua yaitu

noodweer (Pembelaan Terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang

melampaui batas) yang sebagaimana tertulis:

(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa


untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau
harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau
ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan
hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan
oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana.

Untuk itu Polisi diberikan wewenang dalam menghadapi situasi darurat dan

melakukan tindakan terukur sebagai bentuk dari noodweer yang tertulis dalam
4

Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia yang menyebutkan: “Untuk kepentingan umum pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

Kewenangan yang dimiliki oleh Polisi yang dimaksud dalam Pasal 18 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah Diskresi. Salah satu tindakan

yang dapat dilakukan oleh Polisi dalam menghadapi noodweer adalah Tembak di

tempat. Dalam pelaksanaan diskresi yang dikehedaki Undang-Undang ini

kemudian diatur secara rinci pelaksanaannya dalam Peraturan Kepala Kepolisian

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam

Tindakan Kepolisian, yang dimana dalam peraturan tersebut mengatur prosedur,

prinsip dan dalam hal apa Polisi menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menurut Pasal 19 Ayat (1)

Polisi harus bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama,

kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Polisi dalam menggunakan kekuatan kepolisian dalam menghadapi situasi

yang terpaksa dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2009 harus sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

(1) legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai
dengan hukum yang berlaku;
(2) nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan
bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan
situasi yang dihadapi;
(3) proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan
tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak
menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan;
5

(4) kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan
untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk
menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
(5) preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan
pencegahan;
(6) masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian
diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi
dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau
bahayanya terhadap masyarakat.

Setelah memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal

3 maka ada tahapan-tahapan yang dilakukan oleh polisi sebelum melaksanakan

tembak ditempat sebagaimana yang disimpulkan dari Pasal 5 Ayat (1) Peraturan

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan

Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yaitu:

(1) Tahap 1 : Kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan.


(2) Tahap 2 : perintah lisan.
(3) Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak.
(4) Tahap 4 : kendali tangan kosong keras.
(5) Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air
mata,semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.
(6) Tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang
menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka
yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau
anggota masyarakat.

Kemudian pada Pasal 5 Ayat (2) mengatakan bahwa: “Dalam melaksanakan

tahapan sebagaimana dimaksud Ayat (1) polisi memilih tahapan yang sesuai

dengan ancaman dari pelaku terhadap polisi maupun kepentingan umum dengan

memperhatikan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan kepolisian.”

Namun yang menjadi masalah, apakah kewenangan ini telah dilakukan

sesuai dengan prosedur dan tidak bertentangan dengan asas pra duga tak bersalah

(presumption of innocent) yang ditulis dalam Penjelasan Umum KUHAP (Kitab


6

Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pada butir ke 3 huruf c dan dalam Pasal 8

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Wajah penegakan hukum di Indonesia yang tumpul ke atas dan tajam ke

bawah. Persamaan di depan hukum (equality before the law) seolah hanya menjadi

pemanis dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Prinsip dasar penegakan

hukum ini tidak pernah ditaati secara konsisten oleh penegak hukum di Indonesia.

Tebang pilih dalam menegakkan hukum justru menjadi tren yang lumrah

belakangan ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwasannya ada potensi pelanggaran

atas hak asasi manusia. Hal ini tertulis dalam Penjelasan atas Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Perilaku tidak adil dan

diskriminatif merupakan pelanggaran hak asasi, dan dalam hal polisi salah

menggunakan kekuatan kepolisian dalam melakukan tembak di tempat dapat

disebut sebagai pelanggaran ham berat (gross violation of human rights).

Para hakim yang pada umumnya hanya terfokus pada kepastian hukum

(rechtszekerheid) dan kurang mengedepankan keadilan (justisia). Padahal hukum

memegang peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peranan

tersebut hanya akan terwujud jika substansi hukum sungguh-sungguh berpihak

kepada kepentingan masyarakat luas dan dalam penegakan hukum (law

enforcement) oleh penegak hukum (law actor), lebih mengedepankan nilai-nilai

keadilan sebab hakikat dan inti dari hukum adalah keadilan (gerechtigheid).4

M.Yasin al Arif, “Penegakan Hukum dalam Perspektif hukum Progresif”, Undang:Jurnal


4

Hukum, Vol.2 No.1, Jambi, 2019, hlm. 178. (https://ujh.unja.ac.id/index.php/home/article/view/66).


7

Adapun beberapa kasus tembak di tempat adalah sebagai berikut:

1) Di makassar diduga penembakan yang dilakukan anggota polisi terhadap


tiga pemuda di Jalan Barukang 3, Kecamatan Ujung Tanah, Kota
Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu (30/8/2020) dini hari terus
didalami Kepolisian Resor Pelabuhan Kota Makassar. Akibat peristiwa
tersebut, seorang warga bernama Anjas (23) yang jadi korban
penembakan dinyatakan meninggal dunia. Kepala Kepolisian Resor
Pelabuhan Makassar AKBP Kadarislam mengatakan, Anjas meninggal
dunia usai sebelumnya sempat menjalani perawatan di ruang Instalasi
Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Bhayangkara Makassar.5

2) Kasus yang terjadi di kawasan Macan Lindungan, Jalan Soekarno Hatta,


Kecamatan Ilir Barat 1 Palembang, Brigadir IP yang melakukan
penembakan terhadap MR terjadi pada hari senin (23/7/2019) siang
sekira pukul 11.30 WIB. Diketahui oknum polisi tersebut bertugas di
polres kabupaten ogan komering ilir (OKI) sedang membawa truk milik
orangtuanya dengan plat G, yang dimana saat kejadian MR berusaha
menodong IP dengan menggunakan pisau dan meminta uang dengan
paksa karena plat kendaraan yang dikendarai IP bukan berasal dari
sumsel. Menurut saksi, terjadi adu mulut antara IP dan MR sebelum IP
melakukan penembakan terhadap MR. Karena merasa nyawanya
terancam, Brigadir IP paada saat itu mengeluarkan senjata api (senpi) dan
menembak MR pada dada kiri dari atas truk yang dikendarainya. Tak
lama kemudian, Brigadir IP mendatangi SPKT Polresta Palembang dan
mengakui perbuatannya. Brigadir IP melaporkan diri sebagai korban
pemerasan. Saksi mengenal MR sebagai pedagang asongan bukan pelaku
pungli seperti yang dituduhkan. Walaupun berdasarkan informasi yang
dihimpun, didaerah tersebut banyak pelaku pungli yang menyamar
menjadi pedagang asongan, pelaku pungli tidak segan untuk merampas
barang targetnya bahkan memecahkan kaca mobil targetnya tersebut. 6

3) Di tanggerang terjadi penembakan oleh oknum polisi yang diduga


terlibat cekcok melepas tembakan dan melukai warga sipil di tempat
hiburan malam viper club, gading serpong, kelapa dua, Kabupaten
Tanggerang paada hari kamis (15/10/2020) dini hari. Berdasarkan
informasi yang dihimpun, tejadi cekcok antara polisi tersebut dengan
korban yang bermula ketika polisi tersebut mengingatkan agar korban
tidak bertindak semaunya didalam club malam tersebut.7

5
Internet, Suara Banten.id, (https://banten.suara.com/read/2020/08/31/112335/kronologi
lengkap-oknum-polisi-tembak-tiga-warga-sipil-di-makassar).
6
Internet, Liputan 6, (https://www.liputan6.com/regional/read/4021827/kronologi-oknum-
polisi-tembak-pelaku-pungli-di-palembang).
7
Internet, Liputan 6, (https://www.liputan6.com/regional/read/4383084/cekcok-mulut-
oknum-polisi-lepaskan-tembakan-di-gading-serpong).
8

4) Kemudian terjadi penembakan di Jalan Kuantan Raya, Kelurahan Sekip,


Kecamatan Limapuluh, Pekanbaru pada tanggal 13 Maret 2021 yang
dilakukan oleh Brigadir AP. Bermula ketika Brigadir AP memesan teman
kencan melalui salah satu aplikasi online. Di tempat hiburan malam
Brigadir AP bertemu dengan perempuan berinisial RO dan DO.
Diketahui kedua perempuan tersebut pamit untuk membeli alat
kontrasepsi, kemudian Brigadir AP yang merasa ditipu mengejar mereka
kebawah akan tetapi DO melarikan diri ke dalam mobil. Oleh karena itu,
Brigadir AP yang tersulut emosi mengeluarkan senjata api dan
melepaskan tembakan pertama ke arah atas, kemudian tembakan kedua
di arahkan ke ban mobil yang mulai melaju, dan tembakan ketiga yang
menembus kaca belakang mobil dan membuat mobil berhenti. Tembakan
tersebut mengenai pelipis RO. Dan karena luka dipelipisnya RO dilarikan
ke Rumah Sakit Santa Maria, sedangkan Brigadir AP diamankan untuk
dilakukan pemeriksaan. 8

Berdasarkan persoalan yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas,

maka dari itu penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan judul: “Kewenangan

Tindakan Polisi Melakukan Tembak Di Tempat”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas, maka penulis merumuskan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan tentang kewenangan tindakan polisi melakukan

tembak di tempat?

2. Bagaimanakah akibat hukum apabila polisi melakukan tembak di tempat tidak

sesuai dengan peraturan perundang-undangan?

8
Internet,Kompas.com,(https://regional.kompas.com/read/2021/03/14/165232978/kasus-
polisi-tembak-teman-kencan-di-pekanbaru-ini-fakta-faktanya).
9

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang kewenangan polisi

melakukan tembak di tempat.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum apabila polisi melakukan

tembak di tempat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat secara teoretis atau akademik, yaitu untuk mengetahui dan

memberikan sumbangan pemikiran sebagai pengetahuan untuk ilmu hukum

terkhusus untuk hukum pidana.

b. Manfaat secara praktis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu

pertimbangan atau masukan dalam penelitian hukum bagi pembaca

umumnya mahasiswa Fakultas Hukum khususnya di Universitas Jambi.

D. Kerangka Konseptual

Dalam kerangka konseptual ini penulis memberikan batasan peristilahan

yang dipakai sebagai dasar penulisan agar mempermudah dalam pemahaman

penulis dalam membahas hal selanjutnya, untuk itu penulis akan menguraikannya

sebagai berikut:

1. Kewenangan

Wewenang menurut Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan Wewenang adalah: “Hak yang dimiliki

oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Penyelenggara Negara lainnya

untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalama penyelenggaraan


10

pemerintahan”. Polisi memiliki wewenang secara atributif yang berarti

wewenang yang dimiliki kepolisian dirumuskan dalam Peraturan perundang-

undangan antara lain dalam Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945,

wewenang yang dirumuskan alam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8

tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan lain

sebagainya.

2. Tindakan Kepolisian

Menurut Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2009, Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan/atau

tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang

berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghenntikan pelaku kejahatan

yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau

kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta

tertibnya ketentraman masyarakat.

3. Tembak Di Tempat

Tembak Di Tempat merupakan suatu tugas polisi yang bersifat represif

yaitu bersifat menindak. Tembak di tempat adalah sebuah istilah yang sering

digunakan terhadap polisi yang melakukan suatu tindakannya berupa tembakan


9
terhadap tersangka. Diskresi kepolisian merupakan realisasi dari azas

Arief Ryzky Wicaksana, “Kewenangan tembak ditempat oleh aparat kepolisian terhadap
9

pelaku kejahatan”, Dialektika Vol.13 No.2, 2018, hlm.114. (https://e-journal.unair.ac.id/


DIALEKTIKA/article/download/19145).
11

kewajiban (salah satu azas yang melandasi penggunaan wewenang polri dalam

menjalankan tugas). Azas kewajiban ini bersifat preventif dan represif non

yustisiil (pemeliharaan ketertiban) dalam menghadapi pencegahan suatu tindak

pidana yang akan terjadi. Diskresi kepolisian aktif adalah kewenangan

melakukan tugas represif kepolisian dalam hal ini melakukan tembak ditempat.10

Berdasarkan pemaparan pengertian konsep di atas, maka maksud dari tujuan

penulisan skripsi ini adalah mengetahui dan mengkaji prosedur polisi dalam

melakukan tembak di tempat sekaligus mengetahui akibat hukum apabila polisi

melakukan tembak di tempat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

E. Landasan Teoretis

1. Teori Pembelaan Diri

Pembelaan Diri yang diatur dalam hukum positif Indonesia dalam KUHP

Pasal 49 yang menyatakan:

(1) Barang siapa yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya


untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain mempertahankan
kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari
kepada seseorang yang melawan hak dan merancang dengan segera
pada saat itu juga tidak boleh di hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan
oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana.
Karena dalam Pasal 49 KUHP tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai

pembelaan diri (noodweer), maka R.Soesilo memberikan penjelasan mengenai

syarat-syarat pembelaan darurat berdasarkan Pasal 49 KUHP, yaitu:

10
Roberts K, “Penggunaan Diskresi dalam Penegakan Hukum oleh Kepolisian menurut
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia”,
Pagaruyuang Law Jurnal, Vol.2 Nomor. 2, Sumatera Barat, 2019, hlm 274.
(https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/paguruyuang).
12

a. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk


mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh
dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang
tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya.
b. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap
kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal tersebut.
c. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan
sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga. 11
Kemudian mengenai unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer),

menurut Andi Hamzah adalah sebagai berikut:

a. Pembelaan itu bersifat terpaksa.


b. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau
harta benda sendiri atau orang lain.
c. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada
saat itu.
d. Serangan itu melawan hukum.12

2. Teori Pertanggungjawaban Hukum

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia diatur dalam Pasal 1 Ayat (1)

KUHP menyatakan bahwa: “Seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan

pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam

Undang-undang Hukum Pidana”. Meskipun demikian, orang tersebut belum

tentu dapat dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan kesalahannya tersebut

atau orang dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang

memiliki kekuatan hukum tetap (Presumption of Innocence) .

Mengenai pertanggungjawaban pidana menyatakan bahwa

pertangungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana

saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat

11
R. Soesilo, KItab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hlm. 64-65.
12
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994,
hlm. 158.
13

dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika

tidak ada kesalahan (geern straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe).13

Chairul Huda menyatakan bahwa “Pertanggungjawaban pidana adalah

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya”. 14

Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan itu adalah tindak pidana yang

dilakukannya.

Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pertanggungjawaban

pidana,yaitu:

Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai diteruskannya celaan


yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjek memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatan itu. Maksud dari celaan
objektif adalah bahwa perbuatan yang dilakukan seseorang memang
merupakan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan yang dimaksud
celaan subjektif menunjukkan pada orang yang melakukan perbuatan yang
dilarang.15

Kemudian Moeljatno mengemukakan pendapatnya mengenai

pertanggungjawaban pidana bahwasannya:

Seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya apabila


melakukan perbuatannya tersebut mempunyai kesalahan, sebab asas dalam
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah Tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan (Gee Straaf Zonder Schuld; Actus non facid reum nisi mens
sist rea).16

13
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 73.
14
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2011, hlm. 70.
15
Yeyen Erwino, “Pertanggungjawaban Hukum Bagi ;Anggota Polri Yang
Menyalahgunakan Senjata Api”. Jurnal Universitas Atma Jaya. hlm.7. (http://e-
journal.uajy.ac.id/12151/1/JURNAL)
16
Ibid. hlm.7-8.
14

F. Metode Penelitian

Untuk mengetahui dan memahami secara rinci metode penelitian yang

digunakan dalam skripsi ini, berikut penulis menjabarkan unsur-unsur sebagai

berikut:

1. Tipe Penelitian

Untuk menemukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, maka

digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian yuridis

normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum dan doktrin-doktrin hukum.17 Penelitian hukum normatif dapat dilakukan

melalui pengkajian bahan hukum primer dan sekunder yang mengandung

kaidah-kaidah hukum. Yang dalam hal ini mengkaji pengaturan yang mengatur

kewenangan tindakan polisi dalam melakukan tembak di tempat.

2. Pendekatan Yang Digunakan

Metode pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini yang sesuai dengan

permasalahan yang akan diselesaikan adalah:

a. Pendekatan perundang-undangan (statue approach)

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif

maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan

(statue approach). Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan untuk

meneliti pengaturan kewenangan polisi melakukan tembak di tempat.

17
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 1, Mandar Maju, Bandung,
2008, hlm. 90.
15

b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)

Pendekatan konsep dilakukan dengan meneliti pengertian-pengertian

hukum, asas-asas hukum dan teori-teori hukum yang berhubungan dengan

masalah yang dibahas mengenai pengaturan kewenangan polisi melakukan

tembak di tempat.

c. Pendekatan Kasus (Case Law Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan meneliti kasus yang berhubungan

dengan judul dan masalah yang dibahas untuk melihat apakah penerapannya

telah operasional. Dalam hal ini meneliti kasus yang terjadi di Makassar, di

Kawasan Macan Lindungan, di Tanggerang, dan di Jalan Kuantan Raya

Pekanbaru yang dimana polisi menggunakan kewenangan tindakan ditempat

tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuataan

mengikat, terdiri dari:

1) Norma Dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945.

2) Peraturan Perundang-undangan

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik

Indonesia.
16

b. Bahan Hukum Sekunder

Buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan

seperti Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, jurnal hukum,

internet, artikel dan lain sebagainya yang dapat digunakan sebagai literatur

dalam skripsi ini.

c. Baham Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

Kamus Hukum.

4. Analisis Bahan Hukum

Sebagai hasil pengumpulan bahan hukum yaitu analisis dalam bentuk

uraian-uraian yang menggambarkan permasalahan yang dibahas serta

pemecahan permasalahan secara jelas dan lengkap berdasarkan bahan hukum

yang diperoleh. Analisis dilakukan dengan cara:

a. Menginterprestasikan semua peraturan perundang-undangan sesuai dengan

masalah yang diteliti.

b. Menilai bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti.

c. Mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti.


17

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini yang terdiri dari 4 (empat) Bab yang dimana dari

bab-bab tersebut terbagi dalam sub-sub bab yang kemudian sub-sub bab tersebut

akan terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil dan fokus. Adapun isi dari skripsi

ini secara garis besar, yaitu:

BAB I Pendahuluan, bab ini memuat tentang latar belakang masalah yang akan

diteliti, perumusan masalah, tujuan dan manfaat peneltian, kerangka

konseptual, landasan teoretis, metode penelitian, dan diakhiri dengan

sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Republik Indonesia, Senjata Api,

Dan Diskresi Kepolisian, bab ini merupakan bab yang menguraikan

tentang polisi, uraian tentang senjata api, dan pengaturan diskresi

kepolisian melalui dasar hukum, dan prosedur serta syarat anggota polri

melakukan tembak ditempat.

BAB III Kewenangan Tindakan Polisi Melakukan Tembak Ditempat, bab ini

merupakan pembahasan mengenai pengaturan kewenangan tindakan

polisi melakukan tembak di tempat serta kasus-kasus polisi yang

melakukan tembak di tempat, dan akibat hukum penyalahgunaan

kewenangan polisi melakukan tembak di tempat.

BAB IV Penutup, bab ini berisi ringkasan dari seluruh penelitian dan diakhiri

dengan kesimpulan dan saran sebagai intisari dari hasil penelitian serta

analisis yang dilakukan dan jawaban atas permasalahan dalam

kewenangan tindakan polisi dalam melakukan tembak di tempat.

Anda mungkin juga menyukai