Anda di halaman 1dari 14

A.

Konsep Diskresi Kepolisian

Polisi dalam masyarakat demokratis dituntut untuk menjagaketertiban dalam kerangka supremasi
hukum (rule oflaw). Dalamrangka melaksanakan fungsi menjaga keamanan dan ketertibantersebut,
polisi diberikan sejumlah kewenangan yang dapat dilakukan.Diskresi merupakan bagian dari
kewenangan yang sah yang dimilikioieh kepolisian. Diskresi polisi bukanlah fenomena baru. Polisi
telahmembuat keputusan yang bersifat diskresi sejak terbentuknya angkatanpolisi (lembaga polisi) yang
terorganisir. Dalam diskresi, polisi harusmenggunakan penilaian yang baik (good judgement) yang
membutuhkanpemahaman mengenai hal yang benar untuk dilakukan dan kapan
harusmelakukannya.193 Polisi diharapkan untuk melakukan diskresi ketikamenjalankan tugasnya atas
nama publik. Bahwa masyarakat berhakatas ketertiban dan hidup yang damai.

Ansori menyatakan bahwa diskresi kepolisian adalah merupakansuatu kekuasaan atau kewenangan
yang diberikan oleh undang-undang atau atas kuasa undang-undang untuk bertindak
berdasarkanpertimbangan atau keyakinan sendiri, dan tindakan mana yang lebihbersifat moral daripada
bersifat umum.206 Definisi Ansori tersebutmenunjukkan bahwa diskresi kepolisian merupakan sebuah
kewenanganuntuk bertindak berdasarkan keyakinan individu yang lebih bersifatmoral.

Kewenangan diskresiyaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umumberdasarkan penilaian


sendiri.”207 Dengan demikian, kewenangandiskresi dalam penjelasan UU Kepolisian tersebut dapat
dimaknaisebagai kewenangan diskresi dalam makna yang luas. Pengertiankewenangan diskresi dalam
makna yang luas, berarti kewenanganpejabat Polri yang meliputi berbagai aspek tindakan kepolisian.
Halini dapat dilihat dalam pandangan M. Faal, sebagaimana dikutip olehAlfano Ramadhan.208 Menurut
M. Faal, diskresi polisi adalah “suatukebijaksanaan berdasarkan kekuasaan untuk melakukan suatu
tindakanatas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya.”209 Kalau diambilçontoh, sebuah tindakan
yang menunjukkan kewenangan diskresidalam arti yang luas adalah tindakan polisi untuk menutup jalan
rayapada saat akan diadakannya suatu pertemuan internasional di suatu

Berdasarkan jabatannya, polisi memiliki tanggung jawab gandakepada masyarakat. Dalam istilah
legalistik, ia bertanggung jawabuntuk penegakan hukum dalam batas-batas yurisdiksinya.Dalum
haltanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat,polisi ditugaskan untuk
menyeimbangkan kekuatan-kekuatan sosialyang ada di masyarakat agar tercipta ketertiban sosial. Selain
itu, polisimemiliki fungsi utama untuk melakukan pencegahan kejahatan danpemeliharaan perdamaian

B. Latar Belakang dan Urgensi Diskresi Kepolisian

Indonesia merupakan negara hukum yang artinya adalah bahwa segalasikap tindak dan perbuatan
haruslah berlandaskan dengan hukum. Salahsatu tujuan mendasar dari dibentuknya hukum di suatu
negara adalahuntuk menjaga keamanan dan ketertiban bagi seluruh warga negaranya.Salah satu
pemegang peranan penting dalam menjaga keamanan danketertiban di tengah-tengah masyarakat
adalah polisi.

Terdapat kekuatan sosial yang memiliki pengaruh besar terhadap eksistensi kemandirian hukum.
Sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa hukum hingga derajat tertentu merupakan
produk sosial dan hukum yang ada di dalam undang-undang (law in books) dan hukum dalam tindakan
(law in action) tidak selalu sama. Inilah yang disebut oleh Achmad Ali sebagai penyakit hukum bagi kaum
"normatif akut". Penegakan hukum sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945,
menegaskan bahwa kepolisian juga memiliki peranan dalam menggali dan menyesuaikan penerapan
hukum yang ada di masyarakat, sebab pada dasarnya hukum utama yang benar- benar melekat dengan
masyarakat adalah living law, yaitu hukum yang hidup; serta aturan hukum yang benar-benar pada
realitasnya diimplementasikan secara optimal.219 ang 3.1 Per bu dend Dengan demikian, kepolisian
memiliki peranan penting pada saat menjalankan fungsi menegakkan hukum, di mana dapat
mengoptimalkan mana hukum yang masuk pada klasifikasi living law atau mana yang termasuk sleeping
law dan dead law. 220 Secara tidak langsung, kepolisian juga memiliki peranan dalam pembangunan
hukum nasional dan harmonisasi hukum di Indonesia. Untuk melaksanakan semua itu, maka diperlukan
sarana diskresi dalam menjawab permasalahan hukum yang ada di lapangan (masyarakat). keber emin
Sulutra Dapat dikatakan bahwa polisi merupakan hukum yang hidup, karena perkerjaan yang dijalankan
oleh polisi adalah penegakan hukum. Penegakan hukum yang dimaksud adalah bahwa kepolisian
sebagai salah satu aparatur criminal policy merupakan institusi yang paling sibuk dalam Nab erka 218
Achmad Ali, Sosiologi Hukum (Kajian Empiris Terhadap Pengadilan), Cetakan ke-2 (Jakarta: Kencana,
2014), hlm. 271. na 219 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Cetakan ke-7 (Jakarta:
Kencana, 2014), hlm. 167. ank rma 220 Sleeping law adalah aturan hukum yang tetap digunakan, namun
tidak optimal; sedangkan dead law adalah aturan hukum yang belum pernah dicabut (melalui prosedur
legislasi, masih berlaku), namun dalam realitasnya tidak pernah digunakan lagi.

5. Tindakan diskresi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang mendesak dengan cara yang
cepat dan tepat walaupun masih ada proses menganalisis dan mencermati terlebih dahulu. Seperti yang
telah ditegaskan sebelumnya, diskresi kepolisian dapat digunakan sebagai alat dalam menjawab suatu
permasalahan dengan cepat dan tepat. Namun, dalam penggunaan diskresi kepolisian, tetap terlebih
dahulu harus melalui proses analisis dan pencermatan agar langkah dalam menggunakan diskresi
kepolisian benar-benar tepat. Memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap publik.
Penggunaan diskresi memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan
terhadap publik. Hal tersebut merupakan tugas utama kepolisian. Tindakan diskresi mencegah
terjadinya konflik yang berdampak lebih luas. Penggunaan diskresi kepolisian harus mempertimbangkan
terlebih dahulu, bahwa langkah yang akan diambil memang akan meminimalkan kemungkinan
terjadinya konflik yang berdampak lebih luas. Diskresi kepolisian dapat digunakan untuk meredam
kemungkinan terburuk pada saat kejadian di lapangan

C. Pengaturan Diskresi Kepolisian di Indonesia

Pengaturan mengenai diskresi kepolisian merujuk pada UU Kepolisian. Meskipun tidak ada bagian atau
ketentuan khusus mengenai diskresi (sebagaimana halnya dalam UU Administrasi Pemerintahan), norma
yang mengatur tugas dan wewenang kepolisian menunjukkan esensi diskresi. Absennya kata diskresi
dalam batang tubuh UU Kepolisian dapat dimaklumi, sebab UU Kepolisian lahir pada tahun 2002, jauh
sebelum munculnya UU Administrasi Pemerintahan di tahun 2014. Apabila dilakukan perubahan
terhadap UU Kepolisian di masa akan
Keempat, diskresi kepolisian untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18
UU Kepolisian. Dinyatakan dalam Pasal 18 bahwa: 1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
Terlihat jelas dalam Pasal 18 ayat (1) bahwa polisi "dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri". Hal
tersebut bermakna bahwa tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tindakannya dan
betul-betul untuk kepentingan umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1), terdapat tiga hal utama
yang menjadi pedoman pelaksanaan diskresi untuk kepentingan umum, yaitu aspek manfaat, aspek
risiko, dan aspek tujuan yang harus demi kepentingan umum. Kelima, diskresi perlu memperhatikan hal-
hal sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU Kepolisian. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma
hukum dan mengindahkan norma agama, jabatannya. (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik

1. Kewenangan Anggota Polri Diskresi yang akan dilakukan haruslah berkenaan dengan kewenangan
yang dimiliki oleh kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya selaku penjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat. 2. Mengambil Langkah atas Penilaiannya Sendiri D. Unsur-unsur Diskresi
Kepolisian Adapun yang menjadi unsur-unsur diskresi kepolisian adalah sebagai berikut.231 231 Tim
Pokja Lemdiklat Polri Tahun Ajar 2022, Op. Cit., hlm. 18. serta Pengambilan keputusan dalam
menggunakan diskresi oleh kepolisian, haruslah benar-benar merupakan penilaian sendiri yang
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan atas kelayakan tindakan diskresi yang akan diambil.
Dalam pengambilan keputusan diskresi tersebut, harus berdasarkan penilaian yang cepat, tegas dan
tepat

D. Unsur-unsur Diskresi Kepolisian

Adapun yang menjadi unsur-unsur diskresi kepolisian adalah sebagai berikut.231 231 Tim Pokja
Lemdiklat Polri Tahun Ajar 2022, Op. Cit., hlm. 18. serta Pengambilan keputusan dalam menggunakan
diskresi oleh kepolisian, haruslah benar-benar merupakan penilaian sendiri yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan atas kelayakan tindakan diskresi yang akan diambil. Dalam pengambilan
keputusan diskresi tersebut, harus berdasarkan penilaian yang cepat, tegas

1) tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

2) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal
351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal
459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi
(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7),
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 2) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378,
Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan
Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-
Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun
1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor2) tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal
353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan
Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran
terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1,
Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955,
Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor
37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086)

Persyaratan yang digariskan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP tersebut dikenal dengan syarat penahanan
objektif, oleh karena syarat penahanan telah diatur dengan jelas dan digariskan dalam undang- undang.
Apabila seorang tersangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih, dia dapat ditahan. Seorang tersangka juga dapat ditahan apabila yang bersangkutan
melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24

Ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP jelas menegaskan bahwa tindakan untuk melakukan
penahanan atau tidak adalah sebagai bagian dari kewenangan diskresi Polisi. Kewenangan diskresi untuk
memutuskan tindakan penahanan atau tidak tersebut merupakan kewenangan yang diperoleh secara
atributif, yaitu "kewenangan yang langsung didapat dari undang-undang".235 Selain UU No. 2 Tahun
2002 dan KUHAP, diskresi dalam tindakan penyidikan juga diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan
Restoratif (selanjutnya, disingkat Perpol 8/2021). Kasus-kasus pidana yang potensial diselesaikan melalui
upaya penyelesaian di luar pengadilan, termasuk di dalamnya dengan cara menerapkan prinsip
restorative justice, merupakan bagian dari penerapan kewenangan diskresi. Pasal 1 angka 3 Perpol
menegaskan bahwa: Setiap tindakan yang diambil oleh polisi akan sangat mungkin memunculkan
beberapa pilihan tindakan, termasuk dalam hal penggunaan wewenang diskresi. Meskipun diskresi ini
sangat penting bagi peran polisi, diskresi juga berpotensi menghasilkan ketidakadilan di antara warga
negara. Persepsi disparitas dalam keputusan penegakan lalu lintas telah memungkinkan frase seperti
"driving while black" menjadi Bertolak dari pembahasan ketiga dasar hukum tersebut (UU No. 2/2002,
KUHAP, dan Perpol 8/2021), pada intinya menunjukkan bahwa fokus diskresi kepolisian adalah pada
proses atau mekanisme peradilan pidana. Namun demikian, fokus diskresi polisi secara luas juga
disinggung dalam UU No. 2 Tahun 2002. 2. Penggunaan Diskresi Kepolisian dalam Penegakan Hukum
Pidana 235Ibid. "Restorative justice adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku
kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan

hukum pidana di Indonesia seharusnya diatur dan ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan
maupun peraturan yang bersifat teknis, khususnya yang berkaitan dengan aspek kepentingan umum
atau kepentingan masyarakat. Hal ini penting untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian tindakan
diskresi yang akan diambil oleh setiap aparat kepolisian. Dengan adanya rambu-rambu batasan yang
jelas, maka setiap pejabat kepolisian akan memiliki panduan dalam menentukan tindakan diskresinya,
serta akan dapat lebih yakin pada saat akan mengambil sebuah tindakan diskresi

Selain perlunya tolok ukur dalam pengambilan tindakan diskresi polisi, Abbas Said juga menggarisbawahi
perlunya sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menilai penggunaan diskresi oleh polisi,
khususnya untuk menentukan apakah penggunaan diskresi tersebut sudah tepat atau keliru dalam
penegakan hukum pidana. Abbas Said menyatakan bahwa ketentuan yang terkait dengan kewenangan
lembaga yang menilai penggunaan diskresi tidak jelas dan masih samar.241

Apabila mengacu pada UU No. 2 Tahun 2002 saja, maka memang benar masih diperlukan pengaturan
lebih lanjut. Oleh karena itu, diperlukan penataan peraturan sehubungan dengan pedoman pelaksanaan
diskresi serta penanganan dan penyelesaian atas laporan penggunaan diskresi yang keliru. Penataan
peraturan tersebut dapat dimulai dari internal kepolisian, mulai dari Peraturan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Perpol) sampai dengan pedoman teknis di bawahnya. Penataan peraturan internal
yang berkaitan dengan diskresi kepolisian tersebut tentunya disesuaikan dengan kebutuhan
pelaksanaan tugas kepolisian

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana isu diskresi kepolisian di Indonesia? Hal ini menarik untuk dibahas,
terlebih lagi ketika membahas diskresi dari konteks penegakan hukum pidana di Indonesia. Persoalan
diskresi dalam fungsi kepolisian di Indonesia juga menjadi sebuah isu yang menarik perhatian sejak
bangsa Indonesia merdeka. Tindakan diskresi kepolisian juga tidak terhindarkan dalam penegakan
hukum pidana di Indonesia. Kasus-kasus kecelakaan lalu lintas juga banyak yang diselesaikan dengan
jalan perdamaian melalui mekanisme keadilan restoratif. Kesepakatan damai dalam kecelakaan lalu
lintas dilakukan antara korban dan pelaku, contoh tersebut menunjukkan bahwa persoalan diskresi
kepolisian tidak hanya menjadi perhatian di negara lain. Persoalan diskresi kepolisian juga menjadi
perhatian di lingkup nasional. Criminal Evidence Act 1984. Poin lain yang dapat diambil dari perubahan
kebijakan di Inggris tersebut adalah pada persoalan perlunya sebuah batasan dalam penggunaan
diskresi kepolisian. Dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, diskresi dapat juga diambil atas dasar
pada hukum adat/kebiasaan setempat. 238 Pertanyaan yang muncul selanjutnya, bagaimana batasan
diskresi yang tepat? Hal ini penting untuk diklarifikasi, mengingat aparat kepolisian masih sering kali
mengalami "keragu-raguan" apabila akan mengambil tindakan diskresi. Klarifikasi ini juga penting untuk
menemukan sumber masalah dalam persoalan diskresi kepolisian. Abas Said mengemukakan, bahwa
sekali pun tolok ukur diskresi kepolisian telah diatur dalam ketentuan undang-undang, namun dalam
tataran praktiknya masih sangat abstrak, khususnya yang berkaitan dengan aspek kepentingan umum
atau kepentingan masyarakat. Sebagai akibatnya, diskresi yang diambil oleh polisi dalam penegakan
hukum pidana bisa saja menjadi salah atau keliru.239 Secara lengkap, Abas Said menyatakan bahwa:
Penegakan Hukum Pidana", Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 1, Maret "Tolok ukur diskresi
kepolisian dalam proses penegakan hukum pidana, pada umumnya telah diatur dalam ketentuan
undang- undang. Namun, tolok ukur diskresi polisi yang didasarkan pada kepentingan umum atau
kepentingan masyarakat dalam

Bertolak dari ketentuan tersebut, setiap anggota polisi yang akan melakukan diskresi (berupa tindakan
lain) dalam penegakan hukum pidana harus berpedoman pada kelima unsur di atas. Dengan kata lain,
apabila akan diuji apakah tindakan diskresi dalam penegakan hukum pidana tersebut sudah tepat atau
tidak, batu ujinya adalah kelima unsur tersebut.

Selain UU No. 2 Tahun 2002, diskresi kepolisian dalam penegakan hukum pidana juga diatur dalam
KUHAP. Terdapat satu tindakan yang penting dalam penegakan hukum pidana yang di dalamnya
terkandung penerapan diskresi polisi, yaitu tindakan diskresi dalam hal penahanan. KUHAP mengatur
tentang kewenangan diskresi bagi penyidik dalam hal penahanan. Kewenangan diskresi penyidik
tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP. Pasal 21 ayat (1) KUHAP menegaskan
bahwa, "Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana." Bertolak dari ketentuan tersebut,
terdapat tiga keadaan yang membuat penyidik dapat menggunakan kewenangan diskresi, yaitu dalam
hal untuk menahan atau tidak menahan seorang tersangka, yaitu:234

ukum ndi b C+ Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
merupakan induk dari peraturan yang berhubungan dengan penyelenggaraan tugas, fungsi, dan peran
kepolisian di Indonesia; serta sebagai dasar hukum yang memisahkan kelembagaan TNI dan Polri
berdasarkan peran dan fungsi masing-masing. Dengan diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2002, peraturan
sebelumnya telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tersebut
perlu diganti dengan undang-undang yang baru, mengingat norma yang dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1997 memiliki karakteristik militer yang masih sangat dominan. Hal ini dapat
dimaklumi oleh karena penyusunan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1997 (UU Kepolisian yang lama)
tersebut masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368), dan
Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369) Undang-Undang
tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan Undang-
Undang tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dasar hukum tersebut akan
memengaruhi "sikap perilaku pejabat kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan" 233 232Lihat
lebih lanjut: Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 233
Lihat lebih lanjut: Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Dalam penjelasan umum UU No. 2 Tahun 2002, dinyatakan bahwa penyusunan UU Kepolisian
yang baru telah didasarkan kepada

Sebagai bahan perbandingan, pada tahun 1980-an, isu diskresi kepolisian menjadi perhatian publik di
Inggris. Kerusuhan yang terjadi di Brixton tahun 1981 menyebabkan pemerintah Inggris melakukan
investigasi secara khusus terkait dengan kebijakan kepolisian yang saat itu dijalankan oleh kepolisian
Inggris. Pemerintah Inggris kemudian menunjuk seorang Hakim, yaitu Lord Scarman, untuk menjadi
ketua investigasi kerusuhan "berbau" ras yang terjadi di Inggris. Selain karena reputasinya sebagai
hakim, Lord Scarman kemudian menjadi sosok yang terkenal karena memimpin investigasi tentang
penyebab kerusuhan yang "berbau" ras di Brixton pada tahun 1981

Dalam laporan yang dibuat oleh tim Lord Scarman (Scarman's Report) terkait kerusuhan di Brixton tahun
1981 tersebut, menyebutkan bahwa "the exercise of discretion lies at the heart of the policing function"
(pelaksanaan diskresi merupakan jantung fungsi kepolisian). Laporan Scarman tersebut pada akhirnya
menjadi dasar beberapa perubahan dalam pemolisian di Inggris, meski isu diskresi kepolisian masih
berlanjut di Inggris pada tahun-tahun tersebut.237

Permasalahan yang berkepanjangan terkait sifat diskresi polisi dalam sistem peradilan pidana Inggris,
tampaknya diakhiri dengan diberlakukannya the Police and Criminal Evidence Act pada tahun 1984.
Undang-undang tersebut tidak hanya memperkenalkan prosedur baru dalam penanganan tindak pidana,
tetapi juga membentuk sistem akuntabilitas polisi yang lebih besar untuk mencapai keseimbangan yang
tepat antara kebutuhan investigasi polisi dan hak-hak warga negara. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa meskipun isu-isu seputar diskresi kepolisian dalam sistem peradilan pidana Inggris
masih menjadi diskusi sampai saat ini, batasan penggunaan diskresi kepolisian dalam perkara pidana di
Inggris telah mulai diperjelas dalam the Police and

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan induk dari
peraturan yang berhubungan dengan penyelenggaraan tugas, fungsi, dan peran kepolisian di Indonesia;
serta sebagai dasar hukum yang memisahkan kelembagaan TNI dan Polri berdasarkan peran dan fungsi
masing-masing. Dengan diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2002, peraturan sebelumnya telah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tersebut perlu diganti dengan
undang-undang yang baru, mengingat norma yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1997 memiliki karakteristik militer yang masih sangat dominan. Hal ini dapat dimaklumi oleh karena
penyusunan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1997 (UU Kepolisian yang lama) tersebut masih mengacu
pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368), dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369) Undang-Undang tentang
Ketentuan- ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang
tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dasar hukum tersebut akan memengaruhi
"sikap perilaku pejabat kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan" 233 232Lihat lebih lanjut:
Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 233 Lihat lebih
lanjut: Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam
penjelasan umum UU No. 2 Tahun 2002, dinyatakan bahwa penyusunan UU Kepolisian yang baru telah
didasarkan kepada paradigma baru dengan menyatakan bahwa:

Sebagai induk dari pengaturan tentang penyelenggaraan kepolisian, UU No. 2 Tahun 2002 merupakan
pijakan yang utama sehubungan dengan diskresi dalam penyidikan tindak pidana (diskresi dalam arti
sempit); dan juga diskresi dalam pelaksanaan tugas polisi dalam hal memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat (diskresi dalam arti luas)

Diskresi dalam arti luas dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, yang
menyatakan bahwa, "Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri." Ketentuan
tersebut menunjukkan bahwa polisi diperkenankan untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Namun demikian, tindakan diskresi tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu:
Supaya tindakan diskresi dapat dikatakan "tepat" maka harus memperhatikan dua hal, yaitu (1)
peraturan perundang-undangan; dan (2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002. Lebih lanjut, UU No. 2 Tahun 2002
juga menegaskan bahwa diskresi polisi dalam penyidikan tindak pidana berhubungan dengan konsep
kewenangan polisi untuk "mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" dalam
rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf 1. Kemudian, batasan dalam mengadakan tindakan lain diatur dalam Pasal 16 ayat (2) yang
menegaskan bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan adalah "tepat" apabila
memenuhi syarat sebagai berikut

Lebih lanjut, dasar hukum mengenai penggunaan diskresi oleh polisi diakomodir dalam Peraturan
Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 (Perkap) tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Dirumuskan dalam Perkap tersebut bahwa Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan
lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah,
menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, atau
membahayakan jiwa raga, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan
tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.230

1. Mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang sedang
berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. 2. Mencegah pelaku
kejahatan atau tersangka melarikan diri atau 3. Melindungi diri atau masyarakat dari ancaman
perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan luka parah atau
mematikan 4. Melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri

Kewenangan diskresi kepolisian dari aspek hukum pidana diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan. Secara eksplisit, pengaturan diskresi kepolisian dalam perundang-undangan pidana dapat
dilihat dalam penjelasan umum UU No. 2 Tahun 2002. Merujuk pada penjelasan umum dalam undang-
undang tersebut, pengaturan diskresi dimaksudkan sebagai bagian dari tindakan pencegahan yang
dilakukan berdasarkan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian. Secara eksplisit dinyatakan
bahwa: Kewenangan dan Diskresi Kepolisian di Indonesia "... tindakan pencegahan tetap diutamakan
melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini, E. Diskresi Kepolisian dari Perspektif Hukum Pidana
1. Pengaturan Kewenangan Diskresi Kepolisian dari Perspektif Hukum Pidana Dalam mengambil
keputusan atau tindakan diskresi, kepolisian harus benar-benar mempertimbangkan kelima unsur
diskresi tersebut di atas. Kelima unsur tersebut menjadi satu kesatuan sistem dalam upaya mengambil
tindakan diskresi kepolisian. 5. Keselamatan Pelaksana Diskresi Keputusan diskresi yang diambil oleh
kepolisian tersebut tidak hanya menekankan pada kepentingan publik saja, namun juga keselamatan
dari pelaksana diskresi tersebut. Maka, dalam mengambil keputusan diskresi tersebut, kepolisian
(pelaksana diskresi) juga harus memperhitungkan tentang keselamatannya apabila mengambil langkah
diskresi tersebut. 4. Menjamin Kepentingan Publik Tindakan diskresi yang diambil oleh kepolisian
tersebut haruslah berlandaskan pada kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan publik. Langkah
diskresi harus dinilai secara tepat, agar tindakan diskresi yang diambil benar-benar merangkul
kepentingan publik. berdasarkan penilaian sendiri. Keputusan diskresi tersebut harus memiliki pengaruh
dari keadaan yang mendesak, di mana telah didasarkan atas penilaian dan pertimbangan akan adanya
kemungkinan timbulnya suatu masalah atau risiko yang lebih besar apabila langkah diskresi tersebut
tidak diambil. setiap pejal kewenangan e sur hala

Pertama, berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kepolisian sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 14 UU Kepolisian. Dalam Pasal 14 tersebut terdapat ketentuan yang menunjukkan esensi diskresi,
yakni pelaksanaan tugas dalam rangka membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan. Kemudian, tugas memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum, memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan
tersebut bersifat umum, sehingga dalam pelaksanaannya dimungkinkan terdapat keputusan atau
tindakan yang bersifat diskresi sepanjang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas kepolisian

Kedua, berkaitan dengan wewenang yang dimiliki oleh kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU
Kepolisian. Misalnya, wewenang membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum, mencegah, dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat. Dalam
rangka melaksanakan wewenang tersebut, dimungkinkan terdapat keputusan atau tindakan diskresi
yang dilakukan oleh polisi. Kemudian, dalam Pasal 15 ayat (2) huruf k dinyatakan bahwa polisi dapat
melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Ketentuan ini juga
membuka dilaksanakannya diskresi sepanjang berada dalam lingkup tugas kepolisian

Undang-undang yang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum, sulit untuk kemudian dijadikan petunjuk
pelaksanaan sampai detail bagi petugas di lapangan. Mengenai bahasa hukum itu sendiri, terdapat
perbedaan dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Bahasa hukum yang dipergunakan di Indonesia
merupakan bahasa Indonesia yang mengandung makna-makna serta simbol-simbol hukum, baik dalam
lalu lintas bahasa ilmiah (wetenschappelijke taal) maupun dalam bahasa pergaulan (omgangastaal).226
Tidak hanya masyarakat umum, penegak hukum (law enforcement) dalam faktanya tidak menutup
kemungkinan juga akan mengalami kesulitan dalam memahami suatu bahasa hukum. Hal ini karena
bahasa hukum Indonesia memiliki perbendaharaan kata yang sangat pluralistik, karena bersumber dari
akar kata dari berbagai bahasa-bahasa negara yang ada di dunia.227 Belum lagi sistem hukum Indonesia
yang dipengaruhi oleh sistem hukum eropa kontinental yang dibawa oleh Belanda pada masa
kolonialisme di Indonesia. Dengan rumitnya bahasa hukum Indonesia, telah menimbulkan kesulitan bagi
penegak hukum dalam melakukan penafsiran terhadap bahasa yang terdapat dalam pasal per pasal
suatu peraturan perundang- undangan. Dengan kerumitan tersebut, diskresi kepolisian diharapkan
dapat digunakan untuk membantu kepolisian dalam menegakkan hukum dengan cepat dan tepat,
terkhusus dalam mengambil tindakan lapangan yang telah memenuhi syarat untuk dapat dilakukannya
diskresi

2. 221 Adanya Hukum yang notabene sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban,
ternyata bukan satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut, diskresi juga bisa berperan. Bahwa
hukum yang terdapat dalam buku tidak sepenuhnya sesuai dengan hukum dalam kenyataan. Jalan untuk
mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban tidak hanya bergantung pada hukum tertulis, melainkan
juga pada peranan dari penegak hukum itu sendiri saat menghadapi keadaan faktual. Sebagai salah satu
bagian yang memiliki peran besar dalam menegakkan hukum, kepolisian harus

dapat mewujudkan keadilan dan ketertiban di masyarakat m penggunaan diskresi. Contohnya adalah
dengan mengguna Restorative Justice (RJ) yang merupakan salah satu turunan dar diskresi kepolisian.
Restorative Justice merupakan suatu paradigma yang dapat digunakan sebagai bagian dari strategi
dalam penanganan perkara pidana yang bertujuan untuk menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya
suatu sistem peradilan pidana yang telah digunakan saat ini.228 Tujuan penerapan Restorative Justice
adalah untuk mewujudkan terciptanya masyarakat yang damai dan adil, yang dalam hal ini harus
didukung oleh sistem peradilan yang benar- benar dapat untuk menciptakan perdamaian, bukan
"berusaha" untuk menghukum. 229 Mengenai usaha penegakan Restorative Justice itu sendiri, telah
diwujudkan oleh kepolisian melalui disahkannya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dilihat pada
pertimbangan poin b Peraturan Kepolisian tersebut, dijelaskan bahwa kepolisian memiliki tanggung
jawab dalam menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang memenuhi rasa keadilan
semua pihak. Kewenangan kepolisian dalam mewujudkan hal tersebut telah diakomodir di dalam Pasal
16 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kepolisian diarahkan untuk dapat menggali norma dan nilai yang berlaku di masyarakat sebagai solusi
sekaligus memberikan kepastian hukum, terutama kemanfaatan demi mewujudkan keadilan bagi
masyarakat. mengenai dasar hu selama hal tersebut ber tersebut. Maka, kepolis

3. Mempertimbangkan sumber daya dan kemampuan petugas kepolisian. Penggunaan diskresi dapat
dijadikan sebagai alat bantu bagi kepolisian, hal ini karena terbatasnya kemampuan dan sumber daya
kepolisian dalam menangani suatu permasalahan. Dengan diskresi, diharapkan dapat membantu
kepolisian dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya. 4. Setiap anggota kepolisian telah
memiliki kewenangan yang melekat 196 untuk melakukan tindakan diskresi. Sebelumnya telah dibahas
yaitu mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan hal
tersebut, tentu dalam keadaan tertentu harus keluar dari koridor kekakuan legal positivistik yang
cenderung terlambat menyesuaikan dengan keadaan faktual. Sebagaimana kelemahan dari hukum
tertulis, selalu terlambat dalam menyesuaikan dengan keadaan nyata lapangan. Dalam pelaksanaannya,
hukum tertulis pada situasi tertentu tidak dapat menjawab permasalahan faktual yang ada. Maka dari
itu, selaku pelaksana utama penegakan hukum, kepolisian diberikan kewenangan dalam menggunakan
diskresi pada saat menjalankan kewenangannya. Semua itu pada dasarnya bertujuan untuk
pembangunan hukum dan usaha dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban di tengah-tengah
masyarakat. Dalam bahan ajar yang dibuat oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, disebutkan
bahwa diskresi merupakan privilege atau keistimewaan bagi aparat penegak hukum (termasuk
pemerintah).223 Pada intinya, ditegaskan bahwa penggunaan diskresi oleh kepolisian adalah bertujuan
untuk menghadapi peristiwa yang bersifat konkret yang pada saat itu harus melampaui aturan posivistik
yang ada tanpa melanggar batasan-batasan diskresi yang telah ditegaskan sebelumnya di dalam
peraturan perundang-undangan dan pelaksana lainnya.224 Adapun urgensi penggunaan diskresi
kepolisian adalah sebagai berikut.225 221 Edi Saputra Hasibuan, Hukum Kepolisian dan Criminal Policy
dalam Penegakan Hukum (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 87. 222Ni Ketut Sari Adnyani,
"Kewenangan Diskresi Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakan Hukum Pidana", Artikel pada
Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, Vol. 7, No. 2, Desember 2021, hlm. 136. 223Lihat Tim Pokja Lemdiklat Polri
Tahun Ajar 2022, Bahan Ajar (HANJAR) Diskresi Kepolisian (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Pelatihan
Polri), hlm. 13. Alternative Dispute Resolution (ADR) digunakan dalam perkara perdata, sedangkan
Restorative Justice (RJ) digunakan dalam perkara pidana. Tim Pokja Lemdiklat Polri Tahun Ajar 2022, Op.
Cit., hlm. 17. 194 Kewenangan dan Diskresi Kepolisian di Indonesia penegakan hukum, khususnya dalam
bidang hukum pidana.221 Ada polisi merupakan suatu pengharapan akan adanya pengamanan sen at
222 perlindungan terhadap masyarakat. Undang-undang y untuk kemudian di petugas di lapangan
perbedaan daan dengan bah yang dipergunakan di In mengandung makna-ma dalam lalu lintas bahasa
dalam bahas na In

Kemudian, Wortley melanjutkan bahwa dari semua aparat penegak hukum yang berada dalam criminal
justice system, polisi merupakan pejabat yang memiliki kewenangan yang luas dalam menerapkan
diskresi (discretionary judgement). Tidak seperti hakim dan penegak hukum lainnya, polisi memiliki
kemampuan (kesempatan serta kewenangan) untuk bertindak sebagai autonomous agents. Setiap hari,
petugas kepolisian (street-level police officer) dapat menemukan atau menyaksikan terjadinya banyak
pelanggaran hukum, di mana proses penegakan hukum yang tegas belum tentu dilakukan. Bahwa
terkadang seorang petugas kepolisian dapat mengambil keputusan untuk membebaskan pelaku
pelanggaran dengan hanya mengambil beberapa tindakan, seperti memberikan peringatan atau
mengabaikan pelanggaran tersebut.216 eksistensi kem M. E Sementara itu, menurut Abdul Muis dkk.,
alasan diberikannya diskresi kepada polisi dalam bertindak, yaitu karena diskresi kepolisian tersebut
merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheid
beginsel). Asas tersebut berkaitan dengan kewenangan pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak
bertindak menurut penilaian sendiri dalam rangka kewajiban umumnya, yaitu menjaga, memelihara
ketertiban, dan menjamin keamanan umum (public order).217 Kepolisian dalam menjalankan fungsinya
untuk menegakkan hukum, sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, tidak hanya
menegakkan apa yang tertulis pada hukum yang tertulis, melainkan juga hukum yang hidup, tumbuh,
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penegakan hukum, hukum tidak dapat menjadi
hukum yang benar-benar mandiri secara hukum tanpa 215 Richard K. Wortley, "Measuring Police
Attitudes Towards Discretion", dalam Criminal Justice and Behavior, hlm. 3. 2161bid. 217 Abdul Muis,
dkk., Hukum Kepolisian dan Kriminalistik (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2021), hlm. 56-57. Bandingkan
dengan pendapat Sadjijino dalam Sadjijino, Memahami Hukum Kepolisian (Yogyakarta: LaksBang
Pressindo, 2010)

Ansori menyatakan bahwa diskresi kepolisian adalah merupakan suatu kekuasaan atau kewenangan
yang diberikan oleh undang- undang atau atas kuasa undang-undang untuk bertindak berdasarkan
pertimbangan atau keyakinan sendiri, dan tindakan mana yang lebih bersifat moral daripada bersifat
umum.206 Definisi Ansori tersebut menunjukkan bahwa diskresi kepolisian merupakan sebuah
kewenangan untuk bertindak berdasarkan keyakinan individu yang lebih bersifat moral. Hukur Kum uxan
C Secara normatif, pengertian kewenangan diskresi dapat ditemukan dalam Penjelasan Umum UU
Kepolisian. Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, "Kewenangan diskresi
yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri."207 Dengan
demikian, kewenangan diskresi dalam penjelasan UU Kepolisian tersebut dapat dimaknai sebagai
kewenangan diskresi dalam makna yang luas. Pengertian kewenangan diskresi dalam makna yang luas,
berarti kewenangan pejabat Polri yang meliputi berbagai aspek tindakan kepolisian. Hal ini dapat dilihat
dalam pandangan M. Faal, sebagaimana dikutip oleh Alfano Ramadhan.208 Menurut M. Faal, diskresi
polisi adalah "suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan atas dasar
pertimbangan dan keyakinan dirinya."209 Kalau diambil contoh, sebuah tindakan yang menunjukkan
kewenangan diskresi dalam arti yang luas adalah tindakan polisi untuk menutup jalan raya pada saat
akan diadakannya suatu pertemuan internasional di suatu am Kew Sb. ta gar ar ur y 205 Davis K.C.,
"Discretionary Justice: A Preliminary Inquiry", 1971, dalam Simon Bronnitt dan Philip Stenning, Op. Cit.,
hlm. 321. 206 Ansori, "Konsep Diskresi Kepolisian dalam Proses Pidana", Jurnal PERSPEKTIF, Volume X,
No. 3, 2005, Edisi Juli, hlm. 198. 207 Lihat lebih lanjut: Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. 208 Alfano Ramadhan, "Diskresi Penyidik Polri Sebagai Alternatif
Penanganan Perkara Pidana", LEX Renaissan, No. 1, Vol. 6, Januari 2021, hlm. 32

Selanjutnya, M. Faal menyatakan bahwa apabila kata diskresi itu digabungkan dengan kata kepolisian,
istilahnya akan menjadi diskresi penyidik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian diskresi
kepolisian dapat juga diartikan atau dimaknai secara sempit, yaitu terbatas pada tindakan penyidik
dalam menegakkan hukum pidana. Dia memberikan batasan bahwa diskresi kepolisian adalah "suatu
kebijaksanaan penyidik berdasarkan kekuasaan (power) untuk melakukan suatu tindakan atas dasar
pertimbangan dan penilaiannya sendiri" 210 Diskresi menjadi objek studi serius oleh peneliti polisi di
Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Goldstein, yang mengungkap mitos "full enforcement" hukum
pidana, menggambarkan diskresi polisi berlaku untuk bidang-bidang, seperti (1) memilih tujuan
(choosing objective); (2) pemilihan metode intervensi (methods of intervention); (3) memilih cara
menyelesaikan kasus (choosing how to dispose case); (4) memilih tindakan investigasi (choosing
investigative measures); (5) memilih prosedur lapangan (choosing field procedures); dan (6)
menerbitkan izin dan lisensi (issuing permits and licenses).211 Diskresi dilaksanakan pada berbagai level
petugas kepolisian, mulai dari pimpinan (higher level) hingga petugas yang berpatroli (lower level),
semuanya dapat melaksanakan diskresi. Pelaksanaan diskresi pada petugas "tingkat bawah" lebih
banyak mendapat perhatian dalam penelitian daripada diskresi yang dijalankan oleh pimpinan. Bahwa
riset-riset soal diskresi yang diambil oleh petugas "lower level" dianggap paling sering dilakukan tanpa
pengawasan yang memadai.212 Menurut Goldstein, keputusan diskresi yang dibuat polisi di jalan, sering
kali secara mendadak, tidak dilihat oleh atasannya atau

Sejarawan kepolisian terkemuka, Mark Finanne mengemukakan bahwa "Every level of police work,
especially at the micro level, involves choice on part of the police officer" 202 Sarjana hukum terkemuka
lainnya menyampaikan pendapat yang sama bahwa polisi memiliki rentang keputusan diskresi yang luas
dalam penegakan hukum berkaitan dengan tindakan untuk melakukan penyelidikan, penggeledahan,
penangkapan, dan memberi peringatan atau tindakan lainnya.203 pertimbangan Jau 1. P Definisi
tersebut di atas, menunjukkan bahwa penggunaan diskresi melibatkan pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pilihan-pilihan alternatif. Terkait penegakan hukum, ada empat bidang utama di mana
polisi dapat menggunakan diskresi. Pertama, polisi dapat mengambil keputusan untuk menangkap atau
tidak menangkap seseorang yang diduga melanggar hukum. Kedua, apakah akan menegakkan hukum
dalam keadaan tertentu. Ketiga, dalam menegakkan hukum, polisi dapat mengambil keputusan untuk
tidak memproses hukum lebih lanjut terhadap pelaku kejahatan/pelanggar hukum setelah
mempertimbangkan baik-buruknya kasus tersebut. Terakhir, polisi dapat membuat keputusan mengenai
apakah harus memperingatkan seorang yang telah melanggar hukum dan menghentikan perkara.204
mas Piny Salah satu definisi diskresi yang paling sering dikutip adalah yang ditawarkan oleh Kenneth
Culp Davis, yakni seorang pejabat publik memiliki keleluasaan untuk membuat keputusan di antara
kemungkinan (pilihan) untuk melakukan tindakan tertentu atau tidak bertindak. Konsep ini tentu saja
merupakan definisi diskresi yang luas, yang tidak membedakan antara dasar diskresi yang dapat diterima
dan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, Davis melanjutkan dengan menunjukkan bahwa diskresi yang
diizinkan kepada pejabat biasanya merujuk (terikat) ara upa 202 Mark Fianne dalam Simon Bronitt dan
Philip Stenning, Op. Cit., hlm. 320. Lebih lanjut lihat Mark Fianne, "Police and Politics in Australia: The
Case for Historical Revision", Australian and New Zealand Journal of Criminology, 1990, hlm. 218

Dalam Black's Law Dictionary diskresi diartikan sebagai "A public official's power or right to act in certain
circumstances according to personal judgment and conscience". Bahwa diskresi merupakan kekuasaan
pejabat publik untuk bertindak menurut keputusan dan hati nurani sendiri. 195 Sementara itu, dalam
kamus istilah Polri, diskresi kepolisian (police discretion) diartikan sebagai kebijaksanaan petugas
kepolisian untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatasi masalah yang dihadapi dengan tetap
berpegang pada peraturan-peraturan. 196 er N.M Spelt-J.B.J.M ten Berge dalam tulisannya berjudul
"Inleiding Vergunningenrecht", Utrecht, Desember 1991 membedakan dua macam kebebasan
pemerintahan (vrij bestuur) dalam uraiannya sebagai berikut, "De vrijheid die een wettelijke regeling
aan een besturrsor gaan kan laten bij hetgeven van een beschikking wordt wer onderscheiden in
beleidvrijheid en beoordelijngsvrijheid" (kebebasan yang diizinkan peraturan perundang- undangan bagi
organ pemerintahan untuk membuat keputusan dapat dibedakan dalam kebebasan kebijaksanaan dan
kebebasan penilaian). Kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) diuraikan sebagai berikut, "Er is
beleidsvrijheid (ook wel dicretionaire bevoegheid in enge zin) indien een wettelijke regeling een
bestuursorgaan een bepaalde bevoegheid verleent, terwijl het aan het organ vrij staat van het
gebruikvan die bevoegheid af te zien, ook al zijn de voorwaarden voor rechmatige uitoerening daarvan
vervult" (ada kebebasan kebijaksanaan [wewenang diskresi dalam arti sempit] bila peraturan
perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan sedangkan

Anda mungkin juga menyukai