Anda di halaman 1dari 10

HUKUM KEPOLISIAN

PERTEMUAN KULIAH KE 2
MATERI : SIFAT, ASAS, DAN SUMBER HUKUM
SIFAT, ASAS, DAN SUMBER HUKUM

Hukum kepolisian merupakan kesatuan hukum yang fokus kajiannya


dibatasi pada hal ikhwal tentang kepolisian, akan tetapi tidak bisa dilepaskan dan
dipisahkan dengan konsep hukum umum; dimaksudkan dengan hukum umum
adalah hukum sebagai kaidah atau norma yang mengatur bagaimana
seyogyanya manusia bertingkah laku dimasyarakat, sehingga manusia
diwajibkan untuk mentaati dan mematuhi kaidah tersebut agar tertib, tentaram
dan damai dalam hidupnya. Oleh karena itu agar terdapat pemahaman yang
hollistik dan komprehensif hubungan atau kaitan antara sifat, asas, dan sumber
hukum kepolisian dan hukum umum, perlu dikemukakan sifat, asas, dan sumber
hukum secara umum. Penentuan suatu sifat,asas dan sumber hukum kepolisian
dari suatu negara sangat dipengaruhi oleh sejarah terbentuknya kepolisian,
sistem hukum dan sistem pemerintahan, kultur hukum suatu negara, batas
kekuasaan kepolisian yang diberikan, dan kultur sosial dari suatu bangsa.

A. Sifat Hukum Kepolisian.

Mengenai sifat hukum kepolisian yang merupakan bagian dari hukum pada
umumnya, dapat dilihat dari berbagai segi antara lain dari kekuatan sanksinya,
sehingga dari segi ini ditemukan penggolongan hukum kedalam dua golongan
yaitu hukum yang bersifat memaksa ( dwingendrecht ) dan hukum yang bersifat
mengatur ( regelendrecht ). Menurut Erlyn Indarti ( 2002 ), mengemukakan
bahwa hukum kepolisian secara umum dapat diklasifikasikan kedalam “ hukum
prosedural “, yakni hukum yang memberikan kekuasaan bagi polisi atau
menggariskan prosedur tindakan polisi ( intern ) dan “ hukum substantif “, yakni
hukum yang menetapkan dan mendefinisikan ( suatu ) tindakan sebagai sekedar
pelanggaran hukum ataukah tindakan pidana ( extern ).

1. Hukum Kepolisian yang bersifat Memaksa.

Adalah merupakan suatu peraturan perundang – undangan yang harus dan


wajib diterapkan atau dikenakan tidak dapat dikesampingkan dan mempunyai
kekuatan paksa atau paksaan yang mutlak ( absolut ), yaitu :

a) Hukum kepolisian bersifat “ memaksa “ ialah memaksa pejabat polisi


supaya melakukan tindakan kepolisian terhadap pelaku tindak pidana
berdasarkan hukum;

b) Polisi dalam pelaksanaan tugas – tugas terutama untuk kepentingan


penyelidikan dan penyidikan berwenang melakukan upaya paksa
penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah,
penyitaan dan pemeriksaan surat, seringkali dirasakan oleh masyarakat
sebagai sesuatu tindakan yang memaksa dan berkecenderungan atau
berpotensi melanggar hak asasi manusia ( HAM );

c) Mengingat HAM adalah merupakan hak – hak yang paling dasar yang
harus dijunjung tinggi, dimana setiap anggota polisi pun mempunyai
kedudukan yang sama didalam atau dimuka hukum dengan warga negara
lainnya. Oleh karena itu perlu ada ketentuan –ketentuan yang mengatur
tentang bagaimana polisi melaksanakan tugas dan wewenangnya agar tidak
menyimpang dan atau memaksa dirinya untuk melakukan kegiatan
berdasarkan peraturan perundang – undangan , sebagaimana diatur dalam
pasal 13 s/d 19 Undang – Undang No. 2 Tahun 2002;

d) Polisi mempunyai kewenangan bertindak atas penilaian sendiri atau


kebijakan yang terikat dalam lingkup kewajiban, yaitu suatu kewenangan
yang diberikan oleh Undang – Undang, tindakan mana lebih bersifat moral
daripada bersifat hukum, yang dikenal dengan istilah “Diskresi”
(Discretionair-kebijaksanaan, dalam halnya memutuskan sesuatu tidak
berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, Undang-undang atau hukum
yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan).

e) Walaupun sudah ada rambu – rambunya tidak menutup kemungkinan


terjadinya penyimpangan, baik karena memang kesalahan bertindak dari
anggota polisi maupun ketidaksamaan penafsiran dari masyarakat
terutama yang menyangkut HAM; walaupun peraturan perundang –
undangan ( seperti yang diatur dalam pasal 16 ayat ( 2 ) Undang – Undang
No. 2 Tahun 2002 ) telah menentukan persyaratan – persyaratannya;

f) Keberadaan Hukum Kepolisian merupakan suatu keharusan perlunya


pengaturan pertanggungjawaban profesi polisi untuk melindungi dan
menjamin hak – hak asasi manusia, sekaligus guna melindungi para petugas
polisi sepanjang tindakannnya dapat dipertanggungjawabkan secara
profesional ( yuridis formal dan yuridis material ).

2. Hukum Kepolisian yang bersifat Mengatur.

1. Adalah suatu peraturan perundang – undangan yang tujuannya untuk


memberi pedoman tentang bagaimana yang sebaiknya polisi dalam
melaksankan tugas dan wewenangnya. Mengacu kepada Undang – Undang RI
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Undang – Undang, telah dirobah
dengan UU 12 tahun 2011 kemudian dirobah dengan UU 15 tahun 2019
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pimpinan Polri
mengeluarkan dan/atau menerbitkan Peraturan Kepolisian dalam berbagai
bentuk seperti : Peraturan Kapolri, prosedur tetap, petunjuk teknis, petunjuk
lapangan, dan seterusnya; atau dapat disiasati pasal – pasal dalam Undang –
undang RI No. 1 Tahun 1946 yang diperbaharui Undang – Undang RI No. 73
Tahun 1958 tentang KUHP dan Undang – undang RI No. 27 Tahun 1999
tentang Perubahan KUHP berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan
negara serta Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang
bersifat mengatur tentang prosedur tata cara kinerja dan telah terpenuhi
suatu unsur – unsur pidana dengan ancaman hukumannya.

B. Asas Hukum Kepolisian.


Perkembangan hukum kepolisian sebagai hukum positif bertitik tolak pada asas –
asas atau sendi – sendi pokok yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas
kepolisian. Asas –asas hukum kepolisian merupakan unsur yang penting dan
pokok dari peraturan hukum kepolisian karena :

Pertama, asas berarti prinsip atau garis hukum yang diterapkan secara langsung
kepada suatu perbuatan faktual nyata / konkrit ( tindakan kepolisian ) dalam
masyarakat;

Kedua, semua peraturan kepolisian ( hukum positif ) dapat dikembalikan kepada


asas – asas hukum kepolisian sehingga asas merupakan landasan yang paling luas
sebagai batu ujian untuk menilai apakah suatu kaidah itu merupakan kaidah yang
baik atau tidak;

Ketiga, asas – asas hukum kepolisian mengandung nilai – nilai dan tuntutan etika
yang menjiwai kaidah – kaidah dalam peraturan kepolisian sebagai hukum positif.

1. Asas – asas yang tersirat dalam Tri Brata.

Asas hukum Kepolisian Negara RI bersumber dari pedoman hidup kepolisian “Tri
Brata “ yang memuat nilai – nilai dan prinsip dalam pelaksanaan tugas kepolisian,
yaitu : Pertama, “ Rastra Sewakottama “ polisi abdi utama dari nusa dan bangsa
( mengutamakan kepentingan nusa dan bangsa ), dengan perubahan : berbakti
kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan YME; Kedua,
“ Nagara Yanottama “ polisi warga negara utama atau teladan, dengan perubahan
: menjunjung tinggi kebenaran keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan
Hukum Negara Pancasila dan UUD 1945; Ketiga, “ Yana Anucasana Dharma “
polisi wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat, dengan perubahan : senantiasa
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, dengan keikhlasan untuk
mewujudkan keamanan dan ketertiban.

2. Asas Kepolisian.

Satjipto Rahardjo ( 2002 ) dalam Momo Kelana ( 2007 ) menyatakan bahwa “


Perpolisian adalah fungsi dari masyarakat dan perkembangan masyarakat.
Dengan demikian perpolisian bersifat ‘ progresif ‘ yang setiap saat melakukan
penyesuaian ( adjustment ) terhadap perubahan dan perkembangan
masyarakat yang dilayaninya “. Dalam era reformasi ada beberapa perubahan
perkembangan paradigma yang mempengaruhi asas – asas kepolisian yaitu
supremasi hukum, perlindungan Hak Asasi Manusia, demokratisasi, transparansi,
akuntabilitas, kemandirian dan profesionalisme. Pengaruh tersebut nampak
dalam sikap dan perilaku kinerja pejabat kepolisian dalam melaksanakan
tugasnya.

a. Asas Legalitas.

Asas Legalitas merupakan asas yang paling mendasar dalam negara hukum (NKRI
dengan konstitusi UUD 1945), terutama negara hukum formal yang menyatakan
bahwa setiap tindakan polisi ( kepolisian ) harus didasarkan hanya kepada undang
– undang (UU No. 2 Th 2002 dan UU lainnya) dan peraturan yang berlaku, sebagai
ciri yang menonjol dalam menegakkan supremasi hukum. Namun dengan
pesatnya perkembangan masyarakat dengan segala permasalahan barunya, asas
legalitas diartikan bukan lagi sah menurut undang – undang dan peraturan
melainkan sah menurut hukum dan sesuai dengan tujuan hukum (
doelmatigheid ). Asas legalitas diterapkan dalam tataran fungsi kepolisian “
represif yustisial “ dalam proses pidana formal sesuai dengan Hukum Acara
Pidana yang berlaku ( UU No. 8 Th 1981 ttg KUHAP dan UU No. 2 Th 2002 psl 16 )

b. Asas Kewajiban.

Asas Kewajiban merupakan asas yang memberi wewenang untuk melakukan


tindakan - tindakan selain yang disebut dalam undang – undang dengan
pembatasan tertentu. Di Belanda asas ini dinamakan “ Plichhtmatigheidsbeginsel
“ dan di Jerman “ Pflichtsmaessigkeitsprinzip “ yang diartikan “ memakai
Kewajiban sebagai ukuran “. Asas ini biasa dikenal juga dengan istilah “ diskresi
( discretion ) “ yaitu wewenang untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri
atau penilaian bebas ( freies Ermessen ); Asas kewajiban ( diskresi ) sangat
diperlukan oleh petugas kepolisian dilapangan yang secara langsung menghadapi
keadaan – keadaan yang memerlukan pengambilan keputusan secara cepat
dalam rangka pelaksanaan kewajiban umumnya memelihara keamanan dan
ketertiban umum, sedangkan situasi tidak mungkin menunggu perintah dari
atasan, selain itu juga karena hukum tidak mungkin mengatur seluruh persoalan
secara rinci dan selaras dengan perkembangan yang terjadi dalam tata kehidupan
masyarakat.

c. Asas Partisipasi.

Asas partisipasi adalah asas yang mempersyaratkan adanya peran serta


masyarakat dalam tugas kepolisian, asas yang memungkinkan membina potensi
masyarakat dan memberdayakan pengerahan pengikutsertaan masyarakat dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya bersama dengan kepolisian baik dalam
tugas – tugas kepolisian preventif maupun represif ( problem oriented
policing dan atau community policing ). Dalam pasal 3 ayat ( 1 ) Undang – undang
RI No. 2 Tahun 2002 asas partisipasi terdapat dalam pengemban fungsi kepolisian
yaitu Kepolisian Negara RI yang dibantu oleh Kepolisian Khusus ( Polsus ), Penyidik
Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ), dan atau bentuk – bentuk pengamanan swakarsa.

d. Asas Preventif ( pencegahan ).

Tindakan polisi preventif dianggap lebih efisien daripada tindakan polisi represif,
bahkan menyelidiki sebab – sebab terjadinya kejahatan. Pernyataan E.H.Glover
( 1934 ) dalam buku instruksi resmi dari “ The London Metropolitan Police “
sebagai berikut : “ Tujuan pertama dari kepolisian yang efisien ialah pencegahan
adanya kejahatan, kemudian penyelidikan dan penghukuman pelanggar apabila
terjadi kejahatan. Adapun perlindungan atas jiwa dan harta benda, pemeliharaan
ketenteraman umum dan tidak adanya kejahatan ini hanyalah merupakan bukti,
apakah tujuan – tujuan pembentukan kepolisian telah dicapai “.

e. Asas Subsidiaritas ( pengganti ).

Asas Subsidiaritas adalah asas yang memberi wewenang kepada polisi untuk
memungkinkan melakukan atau dapat mengambil tindakan pengganti bagi
instansi atau petugas yang berwenang atau berkewajiban, belum mengambil
tindakan, sehingga berarti asas ini menjamin tidak ada satu kasuspun yang
terlepas dar kewenangan kepolisian memelihara ketertiban umum. Asas
subsidiaritas tumbuh dan berkembang dari kebiasan praktek kepolisian dan
kebiasaan masyarakat bila memerlukan pertolongan dan bantuan selalu
memintanya kepada polisi, sebab adalah antara lain :

Pertama, instansi yang diperlukan memang tidak terdapat ditempat itu, seperti
didaerah terpencil tidak terdapat instansi bea cukai, imigrasi, kejaksaan dsbnya;

Kedua, orang atau petugas yang berkewajiban kebetulan tidak ditempat,


sedangkan sangat diperlukan tindakan bantuan, pelayanan dan pertolongan

f. Asas Oportunitas.

Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mengadopsi asas


oportunitas dalam arti sempit, tidak mencakup asas kewajiban dan diartikan
sebagai asas yang memberi wewenang untuk tidak menindak seseorang yang
telah melanggar hukum, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap
penuntutan. Pasal 7 ayat ( 1 ) huruf i memberi wewenang kepada penyidik untuk
“ mengadakan penghentian penyidikan “ , lebih lanjut diatur dalam pasal 109 ayat
( 2 ) yang berbunyi : “ Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya “.

A. Sumber Hukum Kepolisian.

Mengenai sumber – sumber hukum diantara para ahli terdapat perbedaan antara
sumber hukum formal dan sumber hukum material ; dimaksudkan dengan
sumber hukum formal adalah sumber yang menentukan kekuatan dan berlakunya
suatu ketentuan hukum, yang penting adalah cara terciptanya hukum dan bentuk
dalam mana hukum itu dinyatakan, sumber hukum material supaya berlaku maka
diberi bentuk tertentu sehingga menjadi hukum formal. Sedangkan sumber
hukum material adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum.
Sumber hukum kepolisian juga menganut ketentuan – ketentuan umum sumber
hukum yaitu dikelompokkan menjadi sumber hukum kepolisian dalam arti formil
dan sumber hukum kepolisian dalam arti material.

1. Sumber hukum formil.


Sebagaimana telah diuraikan bahwa Sumber hukum formil adalah sumber hukum
yang menentukan kekuatan dan berlakunya hukum dengan yang terpenting
adalah cara terciptanya hukum dan bentuk dimana hukum dinyatakan. E.
Utrecht dalam Sadjijono ( 2008 ) membagi sumber – sumber hukum formil
adalah : Undang – Undang ; Kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam
keputusan penguasa dalam masyarakat ; Traktat ‘ Jurisprudensi ; Ilmu
pengetahuan hukum, yaitu berupa pendapat para ahli hukum yang terkenal.

a. Undang – Undang.

Sistem hukum dan kehidupan hukum kepolisian yang berlaku di Indonesia


dipengaruhi sistem hukum di Negeri Belanda “ Civil Law System “ sebagian besar
terdiri dari peraturan – peraturan perundang – undangan. Menurut pendapat CST
Kansil dalam Warsito H.U ( 2005 : 25 ) “ Undang – undang adalah suatu peraturan
negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan
dipelihara oleh Penguasa negara. Momo Kelana ( 2007 ) menggunakan istilah
Undang – undang dalam arti luas yaitu baik yang dihasilkan dari Badan
Pembentuk Undang – undang ( Legislatif = DPR ) saja tetapi termasuk yang dibuat
oleh Badan atau Lembaga Eksekutif ( Pemerintah ).

b. Kebiasaan Praktek Kepolisian.

Tidak bisa dipungkiri atau dihindari kenyataan membuktikan bahwa undang –


undang dan peraturan – peraturan tidak pernah dan tidak akan pernah lengkap
walaupun banyak undang – undang dan peraturan – peraturan yang telah dibuat
sedemikian rinci detail untuk mengatur sebanyak mungkin perbuatan –
perbuatan. Hidup dan kehidupan masyarakat dengan segala aspeknya berubah
dan berkembang dengan cepat sehingga pembentuk undang – undang dan
peraturan tidak dapat mengikuti pandangan, keinginan, kebutuhan yang berganti-
ganti berubah dalam masyarakat.

c. Traktat.

Traktat adalah perjanjian internasional, diadakan oleh dua negara atau lebih,
sebagai perjanjian “ bilateral “ atau “ multilateral “ didalam Hukum Internasional
sebagai salah satu sumber hukum. Ternyata hubungan internasional negara –
negara mencakup juga soal- soal pemberantasan kejahatan internasional yang
telah meningkat kepada bentuk kejahatan lintas negara ( transnational
crime )sehingga telah memacu lahirnya kerjasama internasional mengadakan
traktat – traktat yang dipelopori PBB melalui Konvensi – konvensi anata lain “
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime ( UNCATOC )
Tahun 2000. Dalam kerjasama internasional bentuk – bentuknya antara lain :
Ekstradiksi, Penegakkan hukum, Penyerahan terhukum, Penyelidikan bersama,
dan Mutual legal assistance.

d. Jurisprudensi.

Jurisprudensi difahami sebagai suatu keputusan hakim yang telah mempunyai


kekuatan hukum tetap yang mengikat dan diikuti oleh hakim – hakim lainnya
sebagai “ preseden “ dalam memutus perkara.

Satjipto Rahardjo dengan bukunya Ilmu Hukum tahun 2000, dalam Momo
Kelana ( 2007 ) menjelaskan “ Salah satu esensi dari doktrin atau ajaran preseden
dalam sistem “ common law “ adalah bahwa ketentuan – ketentuan hukum itu
dikembangkan dalam proses penerapannya “. Dengan menyebut “ Jurisprudensi
“ sebagai salah satu sumber hukum kepolisian maka berarti hukum kepolisian “
memberikan tempat yang penting” bagi keputusan hakim yang dihasilkan melalui
proses pengadilan, dalam penerapan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan.

e. Ilmu Pengetahuan.

Didalam Jurisprudensi, hakim dalam memeriksa dan mengadili sering berpegang


pula pada teori – teori yang dijelaskan oleh para ahli hukum atau ahli dibidangnya
terutama dalam memperkuat argumentasi penafsirannya terhadap suatu masalah
atau perkara. Ilmu pengetahuan sebagai sumber hukum kepolisian akan terlihat
sekali peranannya dalam hal seorang pejabat kepolisian harus melakukan “
diskresi “ yaitu untuk kepentingan umum mengambil tindakan berdasar
kewajiban umum kepolisiannya menurut penilaian sendiri; bagi pejabat
kepolisian yang memiliki ilmu pengetahuan yang banyak seperti komunikasi,
human relation, psychologi, sosiologi, lingkungan, adat kebiasaan, analis
futurologi, statistik, pendidikan, ilmu – ilmu kemasyarakatan , dsbnya atau banyak
bertanya kepada para pakar dari berbagai disiplin ilmu maka tindakan yang
diambil, menurut penilaian akan lebih mendekati obyektifitas.

2. Sumber Hukum Materil.

Sumber hukum materil yaitu merupakan sumber yang menentukan isi kaidah
hukum itu sendiri, maksudnya adalah bahwa penilaian yang menentukan kaidah
masyarakat telah menjadi kaidah hukum mendapat penguatan dari masyarakat.
Dari perkembangan kaidah – kaidah didalam masyarakat dapat diketahui adanya
macam – macam kaidah, antara lain : Kaidah kesusilaan perorangan ; Kaidah
kesusilaan masyarakat ; dan Kaidah hukum. Contoh : seseorang yang “
bertelanjang “ akan berkembang proses isi kaidah yaitu, apabila dilakukan
didalam kamar milik pribadi sendiri, penilaian baik atau buruknya perbuatan itu
tergantung menurut penilaian pribadi yang bersangkutan ; apabila dilakukan
dimuka umum, penilaian baik buruknya menurut masyarakat setempat ; apabila
telah dicela oleh masyarakat umum dan menunjukkan hal – hal tidak bermoral
serta aspirasi masyarakat mengusulkan kepada pemerintah agar diberi sanksi
berarti telah meningkat menjadi kaidah hukum ( pro dan kontra UU Pornografi ).

Quis pertemuan kuliah ke 2

1. Jelaskan apa pentingnya mempelajari Hukum Kepolisian

2. Sebutkan ada berapa asas Hukum Kepolisian dan jelaskan masing-masing


asas tersebut

Anda mungkin juga menyukai