Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ANALISIS YURIDIS MENGENAI


KEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Tugas Mata Kuliah Teori Hukum

OLEH :
KARTONI, SH
NIM. 1920112050

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2019

1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
untuk mengembangkan dan menyempurnakan institusional Kepolisian
Republik Indonesia (selanjutnya disingkat dengan Polri). Politik hukum ini
telah dimulai sejak adanya pergerakan reformasi yang sifatnya sangat
fundamental dalam kehidupan berdemokrasi yang mempunyai pengaruh
besar terhadap seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
bertujuan menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, karena kehidupan
demokrasi merupakan pilihan yang lebih realistis dalam membangun
kehidupan masyarakat yang lebih baik ke depan.
Pengaruh yang besar terhadap eksistensi Polri dimulai dari lahirnya
berbagai kebijakan politik yang sifatnya sangat strategis, yaitu melalui
Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan
Dalam Rangka Pemisahan Polri dengan ABRI. Kemudian diikuti dengan
berbagai langkah produk hukum yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan
Presiden Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Polri, yang dinyatakan
bahwa Polri berkedudukan langsung di bawah Presiden. Berikutnya
dipertegas dengan produk politik berupa TAP MPR Nomor VI/MPR/2000
tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran
Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Keseluruhan kebijakan yang tertuang dalam berbagai produk politik
tersebut di atas, telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 (saat ini telah diberlakukan kurang lebih selama 17 tahun, mulai
tanggal 8 Januari 2002), yang secara yuridis formil telah membawa
pengaruh yang besar terhadap eksistensi Polri, utamanya bila dilihat dari
sistem ketatanegaraan pemerintahan Indonesia. Diharapkan dengan adanya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan dari dari
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Polri, lebih mendukung
tugas-tugas kepolisian ke depan. Dari berbagai produk politik dan hukum

2
sebagaimana disebutkan di atas, maka kedudukan, fungsi (function), tugas
(task), dan peran (role) Polri sudah cukup jelas.
Namun yang perlu dipertanyakan sampai saat ini adalah: Apakah
kedudukan, fungsi, tugas, dan peran Polri sebagaimana yang telah
diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 telah terlaksana
dengan baik atau tidak? Apakah masih ada pasal-pasal yang dalam
pelaksanaannya tidak mencerminkan atau cendrung bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana? Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya kritikan
dan saran bahkan gugatan yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat
yang merasa dan menilai Polri dalam melakukan proses penegakan cendrung
Abuse of Power atau sewenang-wenang baik dalam proses penyelidikan,
penyidikan dan bahkan penerbitan Surat Pemberitahun Penghentian
Penyidikan (SP3) yang kadang cendrung tebang pilih dan dinilai diskriminatif
dan sebagainya.
Oleh sebab itu berdasarkan hal-hal diatas, penulis tertarik untuk
membahas lebih lanjut permasalahan dalam sebuah karya tulis dengan Judul :
“ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA
PIDANA.”

2. Batasan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi pada beberapa pokok
persoalan antara lain sebagai berikut:
a. Bagaimana konsepsi penegakan hukum pidana di Indonesia yang menjadi
kewenangan Polri?
b. Apa saja kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia?

3
c. Bagaimana pelaksanaan kewenangan Polri dalam penegakan hukum
dikaitkan dengan KUHAP?

3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
a. Agar dapat menambah wawasan penulis dan pembaca tentang konsepsi
penegakan hukum pidana di Indonesia yang menjadi kewenangan Polri.
b. Agar dapat menambah wawasan penulis dan pembaca tentang
kewenangan Polri menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia.
c. Agar dapat menambah wawasan penulis dan pembaca tentang
pelaksanaan kewenangan Polri dalam penegakan hukum dikaitkan dengan
KUHAP.

B. KONSEPSI PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA PADA


PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA
1. Penegakan Hukum Pidana di Indonesia
Penegakan hukum pidana adalah upaya yang dilakukan aparat
penegak hukum untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum pada era modernisasi dan globaslisasi saat ini dapat
terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga
keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang
didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu
proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam
kerangka pencapaian tujuan adalah keharusan untuk melihat penegakan
hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.
Faktor penegak hukum dalam hal ini menempati titik sentral karena
Undang-Undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh
penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan
hukum oleh masyarakat. Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem
peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta

4
memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam
wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah
dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum. Dalam konteks penegakan
hukum yang mempergunakan pendekatan sistem, terdapat hubungan
pengaruh timbal yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang
bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh
aparatur penegak hukum.
Penegak hukum menurut Joseph Goldstein sebagaimana dikutip oleh
Mardjono Reksodiputro, harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:
a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)
yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum
tersebut ditegakan tanpa terkecuali.
b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)
yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara
dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual.
c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang
muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana prasarana,
kualitas sumber daya manusianya, kualitias peRancangan Undang-
Undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Oleh sebab itu setiap orang yang melakukan tindak pidana harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum
dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum
mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya.
Menurut Barda Nawai Arief dalam bukunya Bunga Rampai Hukum
Pidana, pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam
penegakan in absractio dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan

5
kebijakan sistem (penagakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari
upaya menunjang kebijakan pembangunan nasional (national development).
Ini berarti bahwa penegakan hukum pidana in absractio (pembuatan/
perubahan; law making/law reform) dalam rangka penegakan hukum pidana
in concreto(law enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya
tujuan, visi dan misi pembangunan nasional dan menunjang terwujudnya
sistem (penegakan) hukum nasional.
Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa : “ Walaupun
hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk pada KUHP
buatan Belanda (WvS), tetap dalam penegakan hukum harusnya berbeda
dengan penegakan hukum pidana seperti zaman Belanda. Hal ini wajar
karena kondisi lingkungan atau kerangka hukum nasional (national legal
framework) sebagai tempat dioperasionalkannya Wvs (tempat dijalankannya
mobil) sudah berubah. Menjalankan mobil (WvS) di Belanda ataua di zaman
Belanda tentunya berbeda dengan di zaman Republik Indonesia. Ini berarti
penegakan hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP) warisan Belanda
tentunya harus memperhatikan rambu-rambu umum proses peradilan
(penegakan hukum dan keadilan) dalam sistem hukum nasional. Penagakan
hukum pidana positif harus berada dalam konteks ke Indonesiaan (dalam
konteks sistem hukum nasional/national legal framework) dan bahkan dalam
konteks pembangunan nasional dan pembangunan hukum nasional. Inilah
baru dapat dikatakan penegakan hukum pidana di Indonesia.”
Menurut Lawrence Friedman sebagaimana dikutip Mardjono
Reksodiputro dalam bukunya Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Tolrensi), unsur-unsur
sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi
hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum
meliputi badan eksektuif, legistlatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga
terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain. Substansi hukum adalah
mengenai norma, peraturan maupun Undang-Undang. Sedangkan Budaya
hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari

6
masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem
hukum yang berlaku, dengan kata lain, budaya hukum itu adalah iklim dari
pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau
dilaksanakan.
Sistem peradilan pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan
hukum, karena proses peradilan merupakan proses menegakan hukum. Jadi
hakikatnya identik dengan “Sistem Kekuasaan Kehakiman,” karena
kekuasaan kehakiman pada dasarnya juga merupakan kekuasaan atau
kewenangan menegakan hukum.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung
pula sikap dan batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat
meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia
memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskrimasi. Paling
tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi,
hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak
memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka Pengadilan yang
bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.
Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak
ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum
acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap
batin penegak hukum yang menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan
hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi masnusia dalam
mekanisme sistem peradilan pidana.
Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat
diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum
berdasarkan Undang-Undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman
yang bebas dan bertanggung jawab. Semua itu hanya terwujud apabila
orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu
mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan yang
saling interrelasi dan mempengaruhi. Artinya penegakan hukum merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya,
karena saling berkaitan dan mempengaruhi.

7
Badra Nawari Arief menerangkan bahwa penegakan hukum pidana
berkaitan dengan kebijakan kriminal, sebagai bagian integral dari kebijakan
sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan
sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi
secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
kebijakan kriminal adalah “perlindungan masyarakat untuk memcapai
kesejahteraan.” Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau
menanggulangi kejahatan menggunakan dua sarana, yaitu :
a. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal
Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentra, yaitu :
1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.
2) Sanski apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.
b. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya
meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi sosial
tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan
terjadinya kejahatan.
Pada hakikatnya, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan
pendekatan berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan
sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach)
karena ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (yaitu bagian
dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal,
dan politik sosial). Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai terhadap
sejumlah perbuatan asusila dilakukan dengan mengadopsi perbuatan yang
tidak pantas/tercela di masyarakat dan berasal dari ajaran-ajaran agama
dengan sanksi berupa pidana.
Menurut Roscoe Pound, hukum adalah sebagai sarana untuk
melakukan rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan
sosial yang ideal atau beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari
penyesuaian-penyesuaian hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga

8
tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki
dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya
ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep “kepentingan.” Ia mengatakan
bahwa sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui
kepentingan-kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan pengakuan
atas kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan
serta diterapkan oleh prose peradilan memiliki dampak positif serta
dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha menghormati
berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui dan ditetapkan.
Kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai
kelangkaan. Kelangkaan mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah
sistem hukum yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan serta
mensahihkan sebagian dari kepentingan-kepentingan itu. Ia menyatakan
bahwa hukum tidak melahirkan kepentingan, melainkan menemukannya dan
menjamin keamanannya. Hukum memilih untuk berbagai kepentingan yang
dibutuhkan untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban. Pound
mengakui adanya tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu
antara kepentingan individual atau personal dengan kepentingan publik atau
sosial. Semua itu diamankan melalui dan ditetapkan dengan status “hak
hukum.”
Law as a tool of social engineering merupakan teori yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat
pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat
berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan
dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Konsepsi “law as a tool of social
engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal
realism yang oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di
Indonesia. Konsepsi ini lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya dari pada
di Amerika Serikat, dengan alasan karena lebih menonjolnya peRancangan
Undang-Undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau
yurispudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme

9
daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang
sama daripada pererapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia.
Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa
Undang-Undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya, seperti telah
dikemukakan diatas, di Indonesia yang paling menonjol adalah peRancangan
Undang-Undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa. Agar
dalam pelaksanaan peRancangan Undang-Undangan yang bertujuan untuk
pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya
peRancangan Undang-Undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang
menjadi inti pemikiran aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang
baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Sebab
jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat
dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan.
Law as a tool of social engineering sebagaimana dikemukakan oelh
Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Hukum, Masyarakat dan
Pembangunan, dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan untuk
mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah
dietatpkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini
adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai
softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan
diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul,
apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor
tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencali
keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat.
Faktor-faktor tersebut harus diidentifikasikan, karena suatu kelemahan
yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa
mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai
sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum juga
perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum
sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga

10
masyarakat. Sebab sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan
tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat untuk dipergunakan.
Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol yaitu
penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakat.

2. Keadilan Restoratif dan Hukum Progresif


Andrianus Meliala dalam bukunya Penyelesaian Sengketa Alternatif
menyebutkan bahwa konsep restorative justice merupakan paradigma baru
dalam penegakan hukum pidana, meskipun sebenarnya konsep tersebut sudah
lama berkembang dan dipraktikkan dalam penyelesaian perkara pidana di
beberapa negara yang menganut common law system. Sebagai suatu filosofi
pemidaan, maka restorasive justive dalam implementasinya membutuhkan
suatu konsep yang memiliki legitimasi dalam aplikasinya. Sebagai wujud
aktualisasi dari filosofi tersebut maka konsep tersebut harus dituangkan
dalam peraturan peRancangan Undang-Undangan. Perubahan dan dinamika
masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya
terhadap regulasi pembuatan peraturan peRancangan Undang-Undangan
sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternayat sifat publik dari
hukum pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat
dengan dikenal dan dipraktekkan mediasi penal sebagai sebuah bentuk
penyelesaian perkara di luar Pengadilan.
Sistem peradilan pidana Indonesia dalam menangani tindak kejahatan
hampir seluruhnya selalu berakhir dengan pemenjaraan. Padahal penjara
bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak kejahatan, khususnya
tindak kejahatan dengan “kerusakan” yang ditimbulkannya masih bisa
direstorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke
keadaan semula. Restorasi tersebut memungkinkan adanya penghilangan
stigma dari indovidu pelaku. Paradigma penghukuman dikenal sebagai
restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang telah
ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan masyarakat.
Restorative justice sebagai salah satu usaha untuk mencari
penyelesaian konflik secara damai di luar Pengadilan masih sulit diterapkan.

11
Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice,
namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam
hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di
masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.
Munculnya ide Restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem
peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif
menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam
konflik tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja
menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru
bagi keluarga dan sebagainya. Ciri yang menonjol dari restorative justice,
kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial
dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai
tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda
dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara.
Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas
adat bisa saja memberikan sanksi.
Sistem pemenjaraan sebagai pelampiasan kebencian masyarakat yang
diterima dan dijalankan negara. Munculnya ide restorative justice karena
proses pidana belum memberikan keadilan kepada korban. Usaha ke arah
restorative justice sebenarnya sudah ada di lembaga pemasyarakatan,
meskipun masih belum menonjol. Penerapan itu misalnya menempatkan
masa pembinaan sebagai ajang menyetarakan kembali hubungan narapidana
dan korban.
Model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan
pidana dan pemidaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam
sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan,
pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi
perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana
(napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi pendekatannya lebih ke keamanan
(security approuch).

12
Teori Hukum Progresif yang dicetauskan oleh Satjipto Rahardjo
menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya.
Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide,
kultur, dan cita-cita. Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 (dua)
macam tipe penegakan hukum progresif :
1) Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif.
Idealnya mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang
memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif.
2) Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual
dan ilmuan serta teoritis hukum Indonesia.
Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga narapidana,
sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan
korban. Apalagi proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya
pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain
dalam menyelesaikan masalah. Disamping itu, menjadikan pelaku tindak
pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
perbuatannya. Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset,
derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku
dan masyarakat, tujuannya adalah pemberian malu agar pelaku tidak
mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya.
Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau
kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat
pun sudah memaafkan. Sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya,
namun penerapannya tidak mudah. Kalau hanya diterapkan di lingkungan
Lapas, hasilnya tidak akan maksimal. Model restoratif harus dilaksanakan
mulai dari Kepolisian, saat pertama kali perkara dalam proses penyidikan. Di
Kejaksaan dan Pengadilan pun demikian harus dilaksanakan. Satu hal lagi
yang sulit adalah meulihkan derita korban, baik fisik maupun psikis.
Kerugian materiil mungkin bisa digantikan pelaku.
Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum
sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat.
Penjahat dalam hal inibukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu

13
orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana.
Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah
laku. Peradilan sekarang tidak membuktikan bahwa seseorang menjadi jera
dan menyelesaikan masalah. Secara konseptual, keadilan alternatif ini adalah
keadilan yang bisa melihat secara menyeluruh dan lebih sensitif. Keadilan
secara menyeluruh ini juga mencakup kemungkinan perbaikan yang
dilakukan oleh pihak terhukum kepada korban. Dengan adanya kesempatan
itu, konsep keadilan lebih bisa diterima semua pihak.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Jadi
agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai tapi dapat
terjadi juga pelanggaran hukum. Dalam kasus pelanggaran hukum inilah
hukum harus ditegakkan. Melaui pengekkan hukum inilah, hukum itu
menjadi kenyataan. Dlam menegakkan hukum terdapat tiga usnsur yang
harus diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan kepastian hukum
agar masyarakat menjadi aman dan tertib. Masyarakat pun mengharapkan
manfaat atau kegunaan dari penegakan hokum, jangan sampai justru
penegakan hokum tersebut kemudian menimbulkan keresahan di dalam
masyarakat. Keadilan dalam penegakan hokum juga merupakan harapan dari
masyarakat. Dengan demikian penegakan hukum yang memperhatikan
faktor-faktor subyektif yang terlibat dalam kasus hokum. Dalam menegakkan
hukum, ketiga unsur itu harus diperhatikan secara proporsional dan penuh
kompromi.
Pembahasan tentang hukum cendrung dikaitkan dengan peRancangan
Undang-Undangan. Undang-Undang ini sendiri tidak sempurna. Hal ini
disebabkan tidak mungkin Undang-Undang mengatur seluruh kegiatan
manusia secara tuntas. Adakalanya Undang-Undang tidak jelas dan
adakalanya tidak lengkap. Meskipun tidak lengkap dan tidak jelas, Undang-
Undang tersebut tetap harus dilaksanakan. Hakim tidak dapat dan tidak boleh
menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena

14
hukumannya tidak lengkap dan jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan
putusan dengan dalih tidak sempurnanya Undang-Undang atau tidak adanya
hukum.
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Apabila seorang
hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan
peRancangan Undang-Undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya,
tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak
mengadili.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka hakim dipaksa
atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana
yang tidak. Bilamana Undang-Undang tidak mengatur suatu perkara, maka
hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali
nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living
law). Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarkat.
Wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah
terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi sekurang-kurangnya di
Indonesia ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan
masalah dan yang lebih parah lagi penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk
keadilan ini terlihat problematik adalah mengingat terdapat dan dilakukannya
suatu proses yang sama bagi semua jenis masalah. Inilah yang mengakibatkan
mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas
masalahnya.
Proses Restorative Justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi
(kebijaksanaan) dan diskresi ini merupakan upaya pengalihan dari proses
peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara
musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru
bagi bangsa Indonesia. Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini

15
mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara;
menghapuskan stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi
manusia normal; pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya sehingga
tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa,
rutan, pengadilan dan lapas; menghemat keuangan negara dan tidak
menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban,
korban cepat mendapatkan ganti kerugian, memberdayakan masyarakat
dalam mengatasi kejahatan; dan pengintegrasian kembali pelaku kejahatan
dalam masyarakat.

C. TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN KEPOLISIAN


REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
1. Fungsi, Susunan dan Kedudukan, Peran ,Tugas serta Wewenang Polri
Berbicara mengenai fungsi, tugas, dan peran Polri dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia, telah mengalami pasang surut sesuai
dengan pergerakan perkembangan tatanan kenegaraan, sehingga eksistensi
Polri sering berubah-ubah sesuai dengan perkembangan kehidupan politik
yang terjadi. Namun dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, reposisi eksistensi
Polri telah ditentukan secara jelas baik mengenai fungsi, susunan, kedudukan,
tugas, dan peran, hal ini dapat dilihat dalam uraian di bawah ini:
a. Fungsi Polri.
Fungsi Polri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002, merupakan bagian dari pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Dengan demikian, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi
pemerintahan tidak terlepas dari tujuan yang telah ditentukan dalam
Pembukaan UUD RI 1945, yaitu fungsi melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan

16
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU
Nomor 2 Tahun 2002 menyangkut fungsi kepolisian dalam dimensi
yuridis dan sosiologis.
1) Fungsi kepolisian dalam dimensi yuridis meliputi:
Fungsi kepolisian yang bersifat umum, yang dilaksanakan oleh Polri
sebagai bagian dari lembaga pemerintahan.
Fungsi Kepolisian umum, yaitu merupakan bagian dari administrasi
negara, dengan demikian melekat fungsi-fungsi utama administrasi
negara yang meliputi:
a) fungsi pengaturan, yaitu menyangkut perumusan peraturan
peRancangan Undang-Undangan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas kepolisian;
b) fungsi perizinan, yaitu fungsi yang berkaitan dengan fungsi
pengaturan dalam rangka penerbitan/pemberian izin, termasuk
prosedur dan unit organisasi atau satuan yang diberi wewenang
untuk menerbitkan izin tersebut;
c) fungsi pelaksanaan tugas pokok, berdasarkan kewajiban umum
kepolisian dan ketentuan peraturan peRancangan Undang-
Undangan tertentu;
d) fungsi pengelolaan pemilikan negara yang dipercaya kepada Polri
yaitu melalui pengolahan inventaris Polri secara efisien yang
berasal dari APBN;
e) fungsi pengawasan tugas pokok Polri, yaitu untuk mengevaluasi
tugas pokoknya;
f) fungsi penyelesaian perselisihan, yaitu menyelesaikan perkara-
perkara atau persengketaan-persengketaan administrasi yang
bukan kompentensi pengadilan.
g) Fungsi Kepolisian Khusus, yang merupakan tugas administrasi
khusus sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar
hukumnya.

17
2) Fungsi kepolisian dalam dimensi sosiologis, yaitu berupa rumusan
fungsi Kepolisian yang diemban, yang secara swakarsa dibentuk,
tumbuh, dan berkembang dalam tata kehidupan masyarakat.

b. Susunan dan Kedudukan Polri.


Susunan Polri telah ditentukan dalam Pasal 7 UU Nomor 2 Tahun
2002 yang menentukan: “Susunan organisasi dan tata kerja Polri
disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya
yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.”
Dengan memperhatikan susunan Polri maka:
1) Polri merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai konsekuensi dari
Negara Kesatuan RI, sehingga Polri merupakan Kepolisian Negara
yang bersifat utuh.
2) Pembagian daerah hukum Polri telah disusun menurut keperluan
pelaksanaan tugas Polri dan diusahakan harmonisasi dengan
pembagian administrasi pemerintahan.
3) Kemudian mengenai kedudukan Polri sebagaimana dalam Pasal 8
yang menentukan: “(1) Polri berada di bawah Presiden. (2) Polri
dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung
jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan peRancangan
Undang-Undangan.”
Dengan demikian, kedudukan Polri dalam mewujudkan sistem
konstelasi hukum nasional telah melaksanakan kekuasaan kepolisian di
bidang preventif dan represif serta mempunyai tugas utama dalam
menyelenggarakan keamanan dalam negeri.

c. Peran Polri
Peran Polri ditentukan dalam Pasal 5 yaitu: “Polri berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharannya keamanan dalam negeri.”
Dengan demikian, peran Polri dalam hal ini difokuskan pada

18
terpeliharannya keamanan dalam negeri melalui upaya menjaga ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum serta pemberian perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

d. Tugas dan Wewenang Polri


Tugas Polri pada prinsipnya menyangkut 3 (tiga) bidang
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 yang
menentukan: “Tugas Pokok Polri adalah: a. memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; c. memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” Tugas-
tugas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 tersebut, telah diperinci
menjadi tugas-tugas yang lebih konkrit dalam arti tugas-tugas kepolisian
secara umum. Demikian juga tugas-tugas pokok tersebut dibagi dalam
bentuk-bentuk kewenangan umum kepolisian maupun dalam bidang
kewenangan khusus di bidang proses penegakan hukum.
Apabila diidentifisir, jabaran-jabaran tugas dari Pasal 13 UU
Nomor 2 Tahun 2002 dalam bentuk tugas, peran, dan wewenang cukup
luas, bahkan melebihi dari 40 (empat puluh) bagian, belum lagi tugas-
tugas khusus seperti terlibat dalam pelaksanaan perdamaian dunia,
kemudian yang diberikan oleh berbagai peraturan peRancangan Undang-
Undangan, antara lain perlindungan saksi sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Teroris dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Dengan demikian, garis besar rumusan tugas
Polri meliputi fungsi kepolisian umum di bidang preventif dan represif,
melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta sebagai Korwas PPNS,
sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), serta peraturan-peraturan lainnya yang memberikan tugas
penyelidikan dan penyidikan kepada Polri.

e. Implikasi Susunan, Kedudukan, dan Pelaksanaan Fungsi serta Tugas


Polri

19
Dalam perjalanan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang
telah berjalan hampir 4 tahun, berbagai faktor yang menimbulkan
implikasi terhadap pelaksanaan eksistensi Polri utamanya dalam
pelaksanaan fungsi dan tugasnya dapat diuraikan di bawah ini:
1) Mengenai Susunan dan Kedudukan Polri
Kedudukan Polri sampai saat ini masih sering diperdebatkan
oleh berbagai kalangan apakah itu datang dari kalangan politikus
maupun birokrat yang mengatakan agar kedudukan/struktur Polri
dirubah dari yang bersifat nasional (terpusat) menjadi desentralisasi
(berada di bawah Gubernur), walaupun hal tersebut telah jelas diatur
dalam berbagai peraturan peRancangan Undang-Undangan, utamanya
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Wacana maupun
konsepsi seperti ini kemungkinan besar merujuk kepada pelaksanaan
otonomi daerah sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena bagi
kalangan tertentu, masuknya Polri sebagai bagian dari urusan
pemerintahan daerah dimaksudkan agar prinsip-prinsip pengamanan
di daerah lebih mudah dikoordinasikan.
Kita menyadari bahwa susunan dan kedudukan Polri tidak
selalu sama di seluruh dunia, ada yang bersifat sentral/nasional dan
ada yang bersifat desentralisasi, tergantung pada sifat dan struktur
pemerintahan, seperti di Amerika Serikat, selain Sheriff terdapat juga
City Police, County Police, State Police, dan pada tingkat Federal
terdapat FBI dan Narcotics Bureau. Kita tidak semata-mata dapat
langsung begitu saja mengadopsi sistem yang ada di luar negeri
mengingat sistem yang diberlakukan dalam masyarakat telah mapan
dan masyarakat telah menerima sistem yang ada dengan baik.
Kalaupun dalam pelaksanaannya yang kurang baik, menurut pendapat
penulis bukan merupakan kelemahan dari sistem yang ada, tetapi
lebih terletak pada penyimpangan perilaku individu. Oleh karena itu,
diperlukan pembenahan ke arah menumbuhkan budaya hukum yang

20
lebih responsif mengantisipasi berbagai tantangan ke depan, dan
akomodatif memperhatikan berbagai kepentingan masyarakat.
Sampai saat ini terus diperdebatkan juga dan menjadi isu yang
berkembang mengenai perbedaan antara prinsip-prinsip keamanan
(security) dan pertahanan (defence), sehingga banyak pandangan
beranggapan bahwa antara keamanan dan pertahanan merupakan dua
bidang yang tidak bisa dipisahkan tetapi dapat dibedakan, karena
dengan kuatnya keamanan maka akan berdampak terhadap kuatnya
pelaksanaan pertahanan, dan kuatnya pertahanan akan berdampak
kuatnya keamanan. Pernyataan itu adalah benar, namun perlu ada
koridor khusus yang dibuat sehingga tidak terdapat kerancuan dalam
melakukan suatu tindakan melalui sistem dan metode yang telah jelas.
Bagaimanapun dan sampai kapanpun, fungsi keamanan negara (the
security function of state) pasti tidak dapat dihilangkan sepanjang
suatu negara masih ada.
Berkaitan dengan dengan prinsip keamanan dan pertahan yang
menjadi salah satu konsumsi politik saat ini, maka Menhankam
Juwono Sudarsono mencoba membuat Konsep Rancangan Undang-
Undang tentang Pertahanan dan Keamanan. Dalam Kosep Rancangan
Undang-Undang ini diharapkan dapat menjembatani payung hukum
antara prinsip Keamanan (UNDANG-UNDANG Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri) dan Pertahanan (UNDANG-UNDANG Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara). Barangkali politik hukum
yang akan diletakkan dalam Konsep Rancangan Undang-Undang
dalam tanda kutip “mencoba menjembatani peran TNI dalam hal
keamanan”.
Sebenarnya bila diperhatikan ketentuan Pasal 30 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (pada
perubahan kedua), telah jelas menentukan bahwa: “Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat, serta menegakkan hukum.” Demikian juga
dalam Pasal 5 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

21
telah menentukan bahwa “Susunan dan kedudukan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan
kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat
keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan
diatur dengan Undang-Undang.”
Mengenai keiikutsertaan atau pelibatan TNI dalam
pelaksanaan keamanan telah diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menentukan: “(1) Dalam
rangka melaksanakan tugas keamanan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (2) Dalam keadaan
darurat militer dan keadaan perang Kepolisian Negara Republik
Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia
sesuai dengan peraturan peRancangan Undang-Undangan.”
Dalam kenyataan sehari-hari, untuk kelancaran tugas-tugas
perbantuan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)
ini telah dilaksanakan, namun landasan formilnya yang belum
terwujud, karena sampai saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 41 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini belum selesai dibahas pada tingkat
Antar Departemen, walaupun sudah lebih dari 3 tahun lamanya karena
terdapat perbedaan prinsip antara Dep. Pertahanan dengan Polri.
Menurut Dep. Pertahanan, Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang
menentukan: “Operasi militer selain perang, membantu Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan
ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang.” Terhadap
Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10 Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004 tersebut, menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Polri
dengan Dep. Pertahanan. Menurut Polri, bahwa ketentuan ini tidak

22
mengharuskan dibuat lagi Undang-Undang, tetapi cukup menunjuk
pada peraturan yang ada yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Sedangkan dari Dep.
Pertahanan memberikan penafsiran bahwa ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10 Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 mengharuskan dibentuk Undang-Undang baru
yang mengatur tata cara pemberian bantuan dalam tugas-tugas
keamanan dan ketertiban. Padahal dalam teknik penyusunan peraturan
peRancangan Undang-Undangan, rumusan pemberian delegasi untuk
membentuk suatu aturan baru rumusannya adalah: “Ketentuan lebih
lanjut mengenai pemberian bantuan dalam rangka tugas keamanan
dan ketertiban diatur dengan Undang-Undang”.

2) Implikasi Dalam Berbagai Fungsi dan Tugas Polri


Antara fungsi dan tugas merupakan satu sistem yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, karena fungsi dijabarkan dalam tugas-
tugas dan tugas-tugas lebih dijabarkan dalam barbagai peran maupun
wewenang, dan dalam pelaksanaannya harus ditopang dengan sifat
profesionalisme dari setiap anggota Pori, yang direfleksikan dalam
sikap/perilaku yang terpuji dan trampil dalam melaksanakan tugasnya.
Dengan kata lain, anggota Polri harus memiliki:
a) pengetahuan tentang peraturan;
b) pengetahuan untuk memahami dan menerapkan isi peraturan yang
berkaitan dengan tugas-tugas Polri;
c) sikap terhadap peraturan;
d) perikelakuan terhadap peraturan itu sendiri
Mengenai fungsi Kepolisian telah jelas ditentukan dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menentukan bahwa: “Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” Selaku
fungsi pemerintahan negara maka diberikan beberapa tugas dan peran

23
sebagaimana yang tertera dalam Pasal 13 s.d. Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002, baik dalam melaksanakan tugas-tugas kepolisian
dalam arti umum maupun tugas-tugas khusus, baik dalam bidang
penegakan hukum secara projustitia maupun non-projustitia.
Dalam perjalanan kurun waktu 17 tahun ini, eksistensi tugas peran
dan wewenang kepolisian sebagaimana yang terdapat di dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002, dalam perkembangan politik hukum sudah
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip harmonisasi dan sinkronisasi dalam
berbagai bentukan peraturan Rancangan Undang-Undangan. Akibatnya,
tugas dan kewenangan antara satu departemen dengan departemen yang
lain saling overlapping bahkan cenderung melahirkan berbagai lembaga
baru dan kewenangan baru.
Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.,
M.H., mengatakan dalam Surat Kabar Harian Kompas, hari Senin
tanggal 18 September 2006, bahwa saat ini lembaga penyidikan
berjumlah 55 (lima puluh lima) yang tersebar dalam berbagai departemen
dan komisi, berakibat terjadi overlapping kewenangan/kekuasaan,
sehingga timbul indikasi merupakan rebutan kekuasaan atau bagi-bagi
kue kekuasaan. Belum lagi bila diperhatikan berbagai ketentuan lainnya
yang tidak konsisten lagi dilaksanakan di bidang proses penyidikan
seperti pelaksanaan kordinator pengawasan dan pembinaan (Korwas)
terhadap PPNS yang telah jelas-jelas diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, namun dalam
berbagai ketentuan malah tidak konsisten dan tidak sinkron dengan
ketentuan yang ada. Keadaan seperti itu jelas menimbulkan inefisiensi
dalam penggunaan keuangan negara. Dampak lainnya adalah akan
mengarah pada tindakan korupsi, kekuasaan selalu dekat dengan
penyimpangan-penyimpangan.
Demikian juga bahwa Polri selaku sub-sistem dari fungsi
pemerintahan, senantiasa terlibat dalam pembinaan sistem hukum
nasional dalam hal peraturan peRancangan Undang-Undangan yang
berkaitan dengan fungsi dan tugas atau wewenang Polri. Ketentuan ini

24
dapat dilihat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002, yang menentukan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertugas turut serta dalam pembinaan hukum nasional.” Mengenai
mekanisme keikutsertaan dalam pembinaan hukum nasional, terkait
dengan pembentukan berbagai peraturan peRancangan Undang-Undangan
yang dengan teknik penyusunan dan bentuknya mengacu pada Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, beserta peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu,
berbagai piranti lunak yang sifatnya mengatur, baik yang dikeluarkan
oleh Kapolri maupun pejabat kewilayahan, setahap demi setahap telah
dilakukan perubahan. Dengan demikian, Polri sebagai sub-sistem dari
pemerintahan negara telah memberikan sumbangsih yang cukup besar
dalam pembangunan sistem hukum nasional.
Demikian juga mengenai pembinaan profesi Polri, sejak
diberlakukan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, secara gradual telah
dilakukan perbaikan, melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam
berbagai piranti lunak, seperti Kode Etik Polri dan Komisi Kode Etik
Polri, termasuk pengaturan Peraturan Pemerintah tentang Pemberhentian
Anggota Polri, Peraturan Pemerintah tentang Pelanggaran Displin dan
Peraturan Pemerintah tentang Penyelesaian Pelanggaran Pidana yang
Dilakukan oleh Polri.
Anggota Polri yang melakukan satu perbuatan pelanggaran dapat
dikenakan tiga tindakan sekaligus apakah diterapkan pelanggaran
disipilin, kemudian penyelesaian pelanggaran kode etik melalui Sidang
Komisi Kode Etik, dan melalui Peradilan Umum apabila dianggap
melakukan suatu perbuatan pidana.
Berkaitan dengan masalah implikasi terhadap pembinaan personel
melalui penetapan usia pensiun atau pemberhentian sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002,
menentukan bahwa usia pensiun anggota Polri adalah 58 tahun. Dalam
pelaksanaannya, ketentuan tersebut mendapat reaksi dari beberapa
anggota Polri, karena dalam penjabaran usia pensiun, kapan

25
diberlakukannya masih memerlukan kebijakan lebih lanjut dari pimpinan
Polri, dan ada yang merasa dirugikan atas kebijakan yang dikeluarkan
oleh pimpinan Polri ketika itu. Untuk mencari solusi masalah tersebut,
ditempuh melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, pensiun
penuh setelah usia mencapai 58 tahun baru dapat diterapkan kepada
anggota Polri yang lahir pada tahun 1950 ke atas.

D. ANALISIS YURIDIS TENTANG KEWENANGAN POLRI DALAM


PENEGAKAN HUKUM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum diantara sekian
banyak aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan melakukan tugas
penyelidikan dan penyidikan untuk semua perkara pidana (lihat pasal 13 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Atas dasar itulah aparat kepolisian
dituntut untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai aparat hukum profesional
yang mampu menerapkan hukum positif dalam kasus yang konkrit. Aparat
penegak hukum merupakan salah satu pilar dari keberhasilan penegakan hukum,
artinya apabila aparat penegak hukum tidak profesional, maka penegakan hukum
akan serampangan. Aturan hukum yang baik tanpa aparat penegak hukum yang
baik dan profesional tentu berdampak pada penegakan hukumnya, berlaku pula
sebaliknya aparat penegak hukum yang sudah baik dengan aturan hukum yang
tidak baik berdampak tidak baik juga pada penegakan hukumnya. Dengan
demikian setiap kewenangan yang dimiliki oleh Polri selaku Penyelidik dan
Penyidik seyogyanya harus berjalan sesuai koridor yang ada sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berikut dibawah ini dikemukakan kewenangan
Polri menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (baca
Undang-Undang Polri) dikaitkan dengan KUHAP.
1. Kewenangan Penyeledikan
Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan (pasal

26
1 angka 8 Undang-Undang Polri dan juga diatur pada pasal 1 angka 4
KUHAP). Sedangkan Penyelidikan adalah serangkaian peristiwa tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur oleh Undang-Undang (pasal 1 angka 9
Undang-Undang Polri dan juga diatur dalam pasal 1 angka 5 KUHAP).
Jika ditinjau lebih lanjut, di dalam Undang-Undang Polri, tidak
terpisah secara tegas tentang kewenangan penyeledikan ini. Semuanya
bercampur baur dalam beberapa pasal yaitu pasal 15 dan pasal 16 Undang-
Undang Polri. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakpastian dalam
penegakan hukum karena bisa saja yang melakukan tindakan penyelidikan
dan penyidikan sebagaimana dimaksud bukanlah penyelidik dan penyidik
yang telah diangkat dan diberikan kewenangan yang sah untuk melakukan
tindakan penyelidikan dan penyidikan.
Jika ditinjau dari pasal 4 KUHAP disebutkan bahwa “ Penyelidik
adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia, maka tentunya hal ini
bertentangan dengan bunyi pasal 15 dimana pada awal kalimatnya berbunyi :
“Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum
berwenang.......”, dan pasal 16 nya juga lebih kurang berbunyi : “Dalam
rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan
14 dibidang proses pidana Kepolisian Negara Republik Indonesia secara
umum berwenang.......”. Kenapa hal ini bertentangan, karena antara Pejabat
Polri dengan Polri (saja) adalah dua hal yang berbeda secara bahasa
(gramatikal). Seorang pejabat Polri dengan anggota Polri adalah dua
komponen yang tentu tak bisa disamakan. Ini sangat fatal sekali dalam
penegakan hukum karena dalam hukum pidana dilarang melakukan
penafsiran analogi sehingga dalam proses penegakan hukum pidana harus
jelas dan tidak boleh terjadi error in persona. Dengan demikian untuk
menghindari multitafsir ini dan menghindari terjadinya abuse of power pasal-
pasal pada Undang-Undang Polri ini perlu untuk disinkronkan kembali
dengan KUHAP.

27
Pada pasal 5 KUHAP telah dirinci secara jelas bahwa Penyelidik
berwenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. mencari keterangan dan barang bukti;
c. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
d. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Disamping hal diatas, atas perintah penyidik, penyelidik dapat
melakukan tindakan berikut :
a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penahanan;
b. pemeriksaan dan penyitaan surat;
c. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
d. membawa dan menghadapkan orang pada penyidik.
Jadi seorang penyelidik dapat melakukan tindakan penyidikan dengan
adanya perintah dari penyidik sehingga setiap tindakan hukum yang diambil
sebagaimana tersebut diatas harus mempunyai dasar yang jelas dan diakui
secara hukum. Tindakan yang dilakukan diluar prosedur akan berdampak
pada gugurnya penetapan tersangka sehingga yang bersangkutan tidak dapat
lagi disangkakan dengan perbuatan yang sama sampai ditemukannya alat
bukti baru (novum).

2. Kewenangan Penyidikan
Jika ditinjau dari kewenangan Penyidikan, sebagaimana dijelaskan
diatas, dimana antara kewenangan penyelidikan dan penyidikan tidak diatur
secara jelas dan tegas sehingga bisa menimbulkan multitafsir. Pengertian
Penyidik itu sendiri diatur pada pasal 1 angka 10 Undang-Undang Polri dan
pasal 1 angka 1 KUHAP yaitu Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang melakukan tindakan penyidikan. Sedangkan tindakan
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan

28
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Berdasarkan pasal 6 KUHAP dijelaskan bahwa Penyidik adalah :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat negeri sipil negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh Undang-Undang.
Jika ditinjau dari kewenangan penyidik pada pasal 7 ayat (1) KUHAP,
terdapat beberapa kewenangan penyidik antara lain :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sedangkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai
wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing.

3. Kewenangan Diskresi
Disamping kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan dalam
penegakan hukum pidana, untuk kepentingan umum Pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (pasal 18 Undang-Undang
Polri). Hal ini disebut juga dengan kewenangan melakukan diskresi

29
(kebijaksanaan) dalam proses penegakan hukum termasuk dalam penegakan
hukum pidana. Diskresi ini merupakan norma hukum baru karena tidak ada
diatur dalam KUHAP. Disatu sisi mungkin ada baiknya, dimana dengan
adanya kewenangan ini maka restorative justice dapat dilakukan oleh
penyidik sehingga tidak semua tindak pidana harus berakhir dengan
pemidanaan atau berakhir di penjara. Suatu perkara pidana dapat diselesaikan
secara kekeluargaan sepanjang kerugian yang diderita korban dapat
direstorasi oleh pelaku tindak pidana, si korban dan keluarga korban telah
saling memaafkan sehingga terciptalah suatu perdamaian diantara mereka.
Namun demikian jika diskresi ini digunakan untuk hal-hal yang justru
bertentangan dengan hukum itu sendiri seperti tindakan oknum aparat yang
menjadikan hal ini sebagai ajang untuk menarik keuntungan pribadi, maka
nilai-nilai yang diambil dari restorative justice ini tentu tidak akan terwujud
dan hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat pun tidak jalan dan
tidak tepat sasaran sehingga keadilan yang sesungguhnya pun tidak akan
tercapai.
Walaupun pelaksanaan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Polri diatas
telah dibatasi dengan pasal 18 ayat (2) yaitu hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan peRancangan
Undang-Undangan serta Kode Etik Profesi Polri, tentu saja pengawasan dari
seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan sehingga dalam pelaksanaan
kewenangan diskesi ini, Polri dapat bekerja secara profesional, mandiri dan
dapat dipercaya.

E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum yang
bertugas membantu negara dalam menegakan hukum. Lahirnya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
merupakan babak baru dalam penegakan hukum utamanya dalam penegakan
hukum pidana dimana kehadiran penegak hukum profesional dapat terwujud
dan terlaksana sebagaimana mestinya.

30
Walaupun dari segi kewenangan penyelidikan dan penyidikan
Undang-Undang Polri terdapat pencampuradukan kewenangan antara
penyelidik dan penyidik karena terjadi perluasan makna dari frasa “pejabat
polisi Republik Indonesia” pada KUHAP menjadi frasa “Kepolisian Negara
Republik Indonesia” pada Undang-Undang Polri yang bisa mengakibatkan
multitafsir dan tumpang tindih kewenangan antara penyelidik dan penyidik
dengan anggota Polri tanpa kewenangan yang sah dalam melaksanakan
tindakan-tindakan penyelidikan dan penyidikan, kewenangan diskresi
memberikan harapan baru dalam pelaksanan restorative justice oleh penyidik
dengan alasan kepentingan umum dapat mengubah makna dari pemidanaan
menjadi penyelesaian secara kekeluargaan dan berlandaskan perdamaian
ketimbang melaksanakan asas legisme (menjadi corong Undang-Undang)
yang cendrung berakhir dengan penjara jika pelaku tindak pidana terbukti
secara sah dan meyakinkan telah melakukan suatu tindak pidana.

2. Saran
Semua kekacauan hukum akibat saling berbenturannya suatu Undang-
Undang dengan Undang-Undang lainnya, tentu sangat berdampak kepada
proses penegakan hukumnya. Oleh sebab itu, kepada pembuat Undang-
Undang dan seluruh stake holders yang terlibat didalamnya agar senantiasa
melakukan harmonisasi peraturan peRancangan Undang-Undangan sehingga
tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan berakibat kepada penegakan
hukum itu sendiri.

31

Anda mungkin juga menyukai