Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“PROFESIONALISME POLISI DALAM MENEGAKKAN HUKUM”

Disusun Oleh :

M. Sarli Novaldy

Npm 1952011003

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul “Profesionalisme polisi dalam
menegakkan hukum” dapat selesai sesuai waktu yang ditentukan.

Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca
tentang profesionalisme polisi dalam menegakkan hukum.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu saya memohon maaf atas kesalahan dan
ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Saya juga
mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan
dalam makalah ini.

Bandar Lampung, Mei 2022

M Sarli Novaldy

2
A. Latar Belakang

Masalah moralitas penegak hukum dari waktu ke waktu masih merupakan


persoalan yang relevan untuk dibicarakan, karena apa yang disajikan oleh media
massa sering kali bersifat paradoksal. Pada satu sisi, penegak hukum di tuntut
untuk menjalankan tugas sesuai dengan amanat undang-undang yang berujung
pada pemberian putusan dengan substansi berupa keadilan bagi para pihak, akan
tetapi di sisi lain kejahatan dan ini menyebabkan citra lembaga penegak hukum
dan penegakan hukum Indonesia terpuruk di tengah-tengah arus perubahan
jaman.

Salah satu penegak hukum yang sering kali mendapat sorotan adalah polisi,
karena polisi merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum pidana,
sehingga tidaklah berlebihan jika polisi dikatakan sebagai hukum pidana yang
hidup yang menerjemahkan dan menafsirkan law in the book menjadi law in
action. Meskipun polisi dikatakan sebagai garda terdepan, akan tetapi dapat
terjadi pada tahap awal penyelesaian suatu perkara pidana dapat berakhir,4
karena polisi mempunyai kewenangan yang disebut diskresi.

Perilaku polisi yang sering mendapat kritikan adalah berkaitan dengan


penggunaan kekerasan dalam pelaksanaan tugas. Indriyanto Seno Adji
mengemukakan bahwa perilaku sedemikian telah membudaya, terutama dalam
penyidikan untuk mendapatkan pengakuan terdakwa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, terdapat beberapa rumusan


masalah yaitu :

 Bagaimana kode etik kepolisian di Indonesia?


 Bagaimana profesionalisme polisi dalam menegakkan hukum?
 Upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan penegakkan hukum kode
etik polisi?

3
Nama : M. Sarli Novaldy

Npm : 1952011003

C. PEMBAHASAN

Kode Etik Kepolisian di Indonesia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia, disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Januari 2002, diundangkan pada
tanggal 8 Januari 2002 dalam Lembaran Negara Nomor 2 Tahun 2002,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Kepolisian, menyebutkan bahwa; Kepolisian adalah segala hal ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. (Undang-undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 Pasal 1 poin 1, hlm,
3) Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian menyebutkan bahwa;
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan tidak
dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia karena
melanggar sumpah/janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sumpah/janji jabatan, dan/atau Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia. (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

Berdasarkan Konsiderans Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan :

a. Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya


masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
b. Bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya
penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan

4
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.
c. Bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan
yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan
kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi
masing-masing.
d. Bahwa Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia sudah tidak memadai dan perlu diganti untuk
disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta
ketatanegaraan Republik Indonesia
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a,b,c, dan d perlu dibentuk Undang-undang tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.( C.S.T. Kansil, S.H, Christine S.T. Kansil, S.H.M.H,
2006: 122)

Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supermasi hukum, dalam Undang-


Undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya. (Winarni, 2014: 28)

Di samping uraian yang telah dijelaskan tersebut di atas, ketentuan mengenai


Kode Etik Profesi Kepolisian yang diatur di dalam Peraturan Kapolri Nomor 14
Tahun 2011 dalam konsiderans nya menyebutkan;

a. Bahwa pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab anggota


Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dijalankan secara profesional,
proporsional, dan prosedural yang didukung oleh nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya dijabarkan dalam kode etik
profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai norma berperilaku
yang patut dan tidak patut;
b. Bahwa penegakan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
harus dilaksanakan secara obyektif, akuntabel, menjunjung tinggi kepastian
hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate), serta hak asasi manusia

5
dengan memperhatikan jasa pengabdian anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang diduga melanggar kode etik profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
c. Bahwa selaras dengan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
mengamanatkan pengaturan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia;

Profesionalisme polisi dalam menegakkan hukum

Penegakan hukum bukan seperti menarik garis lurus yang selesai dengan
dibuatnya undang-undang dan diterapkan seperti sebuah me- sin saja, sehingga
tampak sederhana dan mudah (model mesin otomat). Kompleksitas penegakan
hukum disebabkan adanya keterlibatan manusia dalam proses penegakan
hukum. Dimensi keterlibatan manusia ini oleh Black dinamakan mobilisasi
hukum, yaitu proses yang melalui itu hukum mendapatkan kasus-kasusnya.
Tanpa mobilisasi atau campur tangan manusia, kasus-kasus tersebut tidak akan
ada, sehingga hukum hanya akan menjadi huruf mati di atas kertas belaka.

Hukum memberi wewenang kepada polisi untuk menegakkan hukum dengan


berbagai cara, dari cara yang bersifat primitif sampai represif berupa pemaksaan
dan penindakan. Tugas polisi dalam ruang lingkup yang kebijakan kriminal
yang penal berada pada ranah kebijakan aplikatif, yaitu ranah penerapan hukum
pidana yang cenderung represif. Kecenderungan ini menyebabkan tugas polisi
lekat dengan penggunaan kekerasan sebagai salah satu cara untuk mengatasi
hambatan dalam proses penyidikan untuk memperolah pengakuan atau
keterangan terdakwa mengenai suatu tindak pidana.

Tindakan polisi mesti selalu mengandung kebenaran hukum, bukannya hukum


dijadikan pembenaran tindakan kepolisian atau merekayasa hukum bagi
tindakan kepolisian, hal ini dapat terjadi penyesatan hukum. Dengan kata lain

6
elastisitas hukum dieksploitasi untuk kepentingan tindakan polisi, yang
berbentuk upaya paksa untuk memenuhi target kepentingan politik,
kepentingan kelompok, kepentingan pribadi atau perorangan, dan kepentingan
lainnya. Upaya paksa pada sisi yang benar adalah tindakan kepolisian
berdasarkan undang-undang untuk membatasi kebebasan seseorang yang
melakukan tindak pidana (khususnya) yang dilakukan secara objektif, jujur dan
benar, berdasarkan pertimbangan hukum dan kepentingan hukum.

Pemeriksaan tersangka oleh penyidik (reserse) dalam proses penyidikan


berdasarkan pada berbagai hasil penelitian memperlihatkan bahwa budaya
kekerasan di kalangan polisi masih ada, bahkan menjadi kelaziman untuk
memperoleh pengakuan tersangka. Pendekatan dan perlakuan yang dilakukan
oleh polisi terhadap tersangka lebih bersifat non-scientific, seolah menjadi akar
budaya pola pemeriksaan bagi polisi yang menemui jalan buntu. Pola
pemeriksa- an yang berdasar pada scientific investigation akan menghindari
aneka bentuk intimidasi, ancaman, kekerasan fisik, maupun psikologis. In-
vestigasi di sini diartikan secara ekstensif, ter- masuk pola penanganan Polri
terhadap permasalahan public mass yang berkaitan dengan masa- lah
perlindungan HAM.

James Welsh, anggota Amnesty Internatio- nal dari Australia, dalam sebuah
seminar pernah menyatakan bahwa di mana pun, penyiksaan dan perlakuan
tidak wajar dialami para kriminal saat diperiksa polisi, termasuk di negara yang
men- junjung tinggi HAM. Penyiksaan dijadikan alat untuk mendapatkan
pengakuan.37 Pola kerja Pol- ri pernah dikiritisi oleh P. Kooijmans, selaku
Special Rapporteur dari Komisi Hak Asasi PBB yang khusus mempelajari
dugaan adanya pelang- garan HAM di Indonesia yang berkaitan dengan Hukum
Acara Pidana Indonesia. Kooijmans mem- berikan evaluasi dan konklusi bahwa
polisi mempunyai kewenangan penuh selama 20 hari penahanan,
memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM. Bila tidak ada lembaga khusus
yang dapat menampung keluhan atas penganiayaan dan ke- kerasan yang
banyak terjadi dalam initial phases investigation, baik pada tahap penanganan
di lapangan maupun penyidikan.

7
Sebenarnya, sikap dan tindakan antisipatif telah dituangkan melalui instrument
internasional. Dikatakan oleh Luhut Pangaribuan bahwa asas yang melekat
pada konvensi itu adalah non- derogable human right (hak asasi manusia yang
tak boleh dikurangi), artinya kekerasan maupun penyiksaan dalam bentuk apa
pun (fisik maupun psikis) tidak mempunyai sikap eksepsional sehingga setiap
percobaan penyiksaan atau penyiksaan tanpa kecuali dan dalam keadaan
bagaimanapun (dalam keadaan perang, instabilitas politik dalam negeri)
tidaklah dibenarkan dan sebagai pelanggaran berat hukum pidana.

Kekerasan yang dilakukan oleh penyidik dalam penyidikan bermuara pada


moralitas polisi. Moralitas menunjuk pada perilaku manusia sebagai manusia
yang dikaitkan dengan tindakan seseorang, sehingga norma moral merupakan
norma yang dipakai untuk mengukur betul salah- nya tindakan manusia sebagai
manusia. Ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh
berkaitan dengan moralitas atau yang menyelidiki tingkah laku moral adalah
etika.

Pedoman perilaku yang bagi pemegang profesi terangkum dalam Kode Etika
yang di dalamnya mengandung muatan etika, baik etika deskriptif, normatif dan
meta-etika. Jadi kode etik berkaitan dengan profesi tertentu sehingga setiap
profesi memiliki kode etiknya sendiri- sendiri. Akan tetapi tidak semua okupasi
dapat dikatakan sebagai profesi yang berhak dan layak memiliki kode etik
tersendiri. Ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur apakah suatu
okupasi itu dikatakan suatu profesi atau bukan. Pertama, profesi itu
dilaksanakan atas dasar keahlian tinggi arena itu hanya dapat dimasuki oleh
mereka yang telah menjalani pendidikan dan pelatihan teknis yang amat lanjut.
Kedua, profesi mensyaratkan agar keahlian yang dipakainya selalu berkembang
secara nalar dan dikembangkan dengan teratur seiring dengan kebutuhan
masyarakat yang minta dilayani oleh profesi yang menguasai keahlian
profesional- nal tersebut, atau dengan kata lain ada standar keahlian tertentu
yang dituntut untuk dikuasai. Ketiga, profesi selalu mengembangkan pranata
dan lembaga untuk mengontrol agar keahlian- keahlian profesional
didayagunakan secara bertanggungjawab, bertolak dari pengabdian yang tulus
dan tak berpamrih, dan semua itu dipikir- kan untuk kemaslahatan umat.

8
Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-
cita dan nilai-nilai bersama. Mereka juga membentuk suatu profesi disatukan
karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki
keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian, profesi menjadi suatu
kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan kare- na itu mempunyai
tanggung jawab khusus. Oleh karena memiliki monopoli atas suatu keahlian
tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi
suatu kalangan yang sukar ditembuk.

Kode etik dapat mengimbangi segi negatif profesi dan dengan adanya kode etik
kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap kliem
mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik ibarat
kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga
menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Supaya kode etik
berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi self-regulation (pengaturan diri)
dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitas
atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya
hakiki, yang tidak pernah dipaksakan dari luar. Syarat lain adalah bahwa
pelaksanaannya diawasi terus menerus.

Polisi sebagai suatu profesi memiliki kode etik sebagai pedoman tingkah laku
dalam pelaksanaan tugas. Kode etik polisi terumus dalam tiga kategori, yaitu
etika pengabdian, etika kelembagaan, dan etika kenegaraan. Berkaitan dengan
tema tulisan ini, maka hanya akan dising- gung butir-butir etika yang berkaitan
saja pada etika pengabdian dan kelembagaan. Beberapa etika yang termasuk
dalam etika pengabdian, dirumuskan sebagai berikut, tidak menimbulkan
penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa
kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait
dengan perkara; bersikap hormat kepada siapa pun dan tidak menunjukkan si-
kap congkak/arogan karena kekuasaan; bertutur kata kasar dan bernada
kemarahan; menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas; merendahkan
harkat dan martabat manusia. Salah satu etika yang terumus dalam etika
kelembagaan adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam perlindungan hukum terhadap tersangka.

9
Persoalan yang ada polisi bukan hanya melulu pada penguasaan teknis
(hardskill), akan tetapi juga kemampuan yang bersifat softskill, salah satunya
adalah komunikasi. Hal ini disadari betul oleh Mabes Polri yang berpendapat
bahwa polisi memiliki karakter tertentu yang menghambat komunikasi
disebabkan oleh kondisi pekerjaan mereka yang penuh stres dan berkaitan
dengan konflik. Situasi tersebut membuat polisi mengembangkan karakter atau
cenderung bersikap negatif dalam berkomunikasi, seperti prasangka buruk,
kecurigaan berlebihan, gaya yang opresif, agresif, dorongan untuk menonjolkan
diri, sikap tidak menghargai, sok berkuasa, dan tidak berempati.

Upaya untuk meningkatkan penegakkan hukum kode etik polisi

Dalam upaya meningkatkan penegakan hukum disiplin anggota Polri, Kapolri


telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Polri sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dalam negeri
dan penjaga ketertiban masyarakat serta melayani, melindungi dan mengayomi
masyarakat dituntut untuk selalu ada dan dibutuhkan oleh masyarakat serta
dituntut mampu menciptakan rasa aman di masyarakat adalah tugas dan
tanggung jawab yang sangat berat. Dimasa orde reformasi seperti sekarang ini,
Polri dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan jaman dan merubah
paradigmanya dari gaya militer ke gaya sipil yang lebih mengedepankan
tindakan preventif dari pada represif seperti mengedepankan tugas melindungi,
mengayomi, dan melayani masyarakat daripada penegakkan hukum.

Sebelum dibentuknya PROPAM POLRI, Provos Polri bekerja sendiri dalam


melaksanakan pengawasan dan penindakan terhadap anggota Polri yang
bermasalah sehingga pengawasannya dinilai sangat kurang walaupun saat
masih bergabung dengan ABRI ada yang membantu mengawasi yaitu
PAMSAN (pengamanan dan Sandi) di bawah Intelpam (sekarang berganti
Intelkam) namun program dan pengawasan tidak bisa maksimal dikarenakan
perbedaan tugas pokoknya.

Setelah dibentuknya Propam Polri, tingkat pelanggaran anggota Polri baik


pelanggaran biasa, pelanggaran kode etik dan tindak pidana yang dilakukan

10
oleh oknum anggota Polri dapat dikurangi karena pengawasan dilaksanakan
secara berjenjang dan melekat pada tiap-tiap kesatuan mulai dari Mabes Polri
sampai dengan Polsek.

Tugas Propam Polri dalam memperbaiki citra Polri di masyarakat seringkali


mendapat hambatan baik dari luar maupun dari dalam tubuh Polri sendiri.
Masih ditemukannya oknum anggota Polri yang menjadi backing tempat
hiburan atau backing illegal loging adalah sebagai bukti masih banyaknya
oknum anggota Polri yang belum bisa menempatkan diri sebagai abdi negara
penegak hukum.

Perlu ditegaskan, secara teoretik maupun faktual konsep Kamtibmas dan


penegakan hukum tidak lepas kaitannya dengan persoalan akar kejahatan yang
merupakan eskalasi dari adanya persoalan sosial. Bahwa “potensi gangguan”
yang tidak ditanggulangi dengan baik akan berubah menjadi “ambang
gangguan” untuk kemudian menjadi “ancaman faktual” terhadap keamanan dan
ketertiban masyarakat. Karena itu diperlukan revitalisasi terhadap strategi
penanganannya, antara lain dalam bentuk: a. Revitalisasi tindakan pencegahan
terhadap “potensi gangguan” guna mengantisipasi secara dini perkembangan
semua faktor kriminogen yang berpotensi menimbulkan terjadinya gangguan
Kamtibmas. Kegiatan utama yang dapat dilakukan antara lain dengan
merevitalisasi pelaksanaan program Pemolisian Masyarakat (POLMAS); b
Revitalisasi tindakan penanggulangan “ambang gangguan”, melalui upaya
“penangkalan” dengan sasaran untuk mengurangi “faktor kesempatan” dan
menurunkan “faktor niat”, melalui kegiatan pengaturan, penjagaan, pengawalan
maupun patroli; dan c. Revitalisasi tindakan penegakan hukum yang responsif,
profesional, tegas, tidak diskriminatif, memenuhi rasa keadilan masyarakat,
transparansi proses penyidikan perkara, dan adanya kepastian hukum bagi para
pencari keadilan dari berbagai bentuk tindak pidana konvensional, kejahatan
transnasional, kejahatan kontijensi, maupun kejahatan terhadap kekayaan
negara (sumber daya alam).

Demikian beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Kepolisian Negara


Republik Indonesia untuk mewujudkan jati diri Polri sebagai alat Negara

11
pemelihara Kamtibmas, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri.

D. Kesimpulan

Ada dua simpulan yang dapat diberikan berdasar pada permasalahan, hasil dan
pembahasan penelitian sebagaimana tersebut di atas. Pertama, Polisi masih
menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari
tersangka dalam penyidikan. Bentuk keke- rasan yang dilakukan oleh penyidik
adalah kekerasan fisik, psikis, maupun hukum. Negara telah gagal memberi
perlindungan hukum kepada ter- sangka yang disebabkan oleh ketiadaan
peraturan yang dapat digunakan oleh tersangka untuk memperjuangkan hak-hak
yang telah dilanggar oleh penyidik; kinerja lembaga pengawas dalam
penyidikan tidak bekerja secara optimal; dan adanya perlindungan dari institusi
kepolisian terhadap penyidik yang melakukan kekerasan.

Kedua, semua fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa polisi dalam


melakukan penyidikan belum profesional, sehingga upaya untuk menjadikan
polisi yang profesional menjadi tugas berat bagi institusi kepolisian. Upaya
untuk membangun atau menciptakan polisi yang profesional harus dimulai dari
awal, yaitu pada taraf seleksi dan pendidikan, bahkan upaya ini mesti harus
terus dipupuk karena pelaksanaan tugas-tugas kepolisian memiliki standar
keahlian dan standar etika yang tinggi.

12

Anda mungkin juga menyukai