Anda di halaman 1dari 7

NAMA : Andreas seran

NIM : 1902020026

KELAS : O (REGULER SORE)

SEMESTER :V

MATA KULIAH : VIKTIMOLOGI

RESUME MATERI
1. Pemberian Restitusi Melalui Penerapan Diskresi Kepolisian
Setiap perbuatan pidana yang dilakukan akan menimbulkan akibat negatif berupa
ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan
kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu, diperlukan suatu
pertanggungjawaban dari pelaku yang telah mengakibatkan ketidak seimbangan
tersebut. Pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa
pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat juga dirasakan juga
penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan berarti
dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum. 1
Dalam suatu keadaan tertentu dimana ketika terdapat suatu hal yang terjadi di
lapangan akan tetapi dibutuhakan tindakan secepatnya, seorang petugas kepolisian
dapat mengambil suatu keputusan sesuai hati nuraninya, harus dapat menilai sendiri
secara pribadi apakah ia harus bertindak atau tidak tanpa melanggar Hak Asasi
Manusia dan demi kepentingan umum. Dasar hukum diskresi bagi petugas
kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada Undang- Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitap Undang-Undang Acara Pidana. Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (2)
huruf k : Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Peraturan Perundang-
Undangan lainnya berwenang melaksanakan kewenangan 1 Teguh Prasetyo, Hukum
Pidana, Rajawali Press, Jakarta, 2012, hal. 3. lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian. Dalam sebuah perkara pidana, khususnya menyangkut tentang lalu lintas,
sanksi pidana dijatuhkan dalam sebuah proses peradilan, mulai tahap penyidikan,
penuntutan hingga persidangan. Menurut pandangan teori utilitarisme atau
konsekuensialisme dalam Teori Etika tentang Hukuman Legal, suatu tindakan dapat
dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi- konsekuensinya positif untuk
sebanyak mungkin orang.Hukuman sebagai suatu tindakan terhadap seseorang yang
melanggar hukum dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si pelaku
kajahatan atau pelanggaran telah terbukti bersalah melawan hukum, melainkan
karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum,
korban dan juga orang-orang lain dalam masyarakat.2 Diskresi merupakan
kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan
dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang
ditanganinya. Diskresi yaitu suatu wewenang yang menyangkut kebijaksanaan untuk
pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar
pertimbangan dan keyakinan pribadi seorang anggota polisi. Manfaat diskresi dalam
penanganan tindak pidana atau kejahatan adalah sebagai salah satu cara untuk
membangun moral petugas kepolisian dan meningkatkan profesionalitas dan
intelektualitas anggota polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secara
proporsional.

2. Pemberian Restitusi Melalui Penerapan Pidana Bersyarat


Setiap perbuatan pidana yang dilakukan akan menimbulkan akibat negatif berupa
ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan
kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu, diperlukan suatu
pertanggungjawaban dari pelaku yang telah mengakibatkan ketidak seimbangan
tersebut. Pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa
pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat juga dirasakan juga
penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan berarti
dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum. 1
Dalam suatu keadaan tertentu dimana ketika terdapat suatu hal yang terjadi di
lapangan akan tetapi dibutuhakan tindakan secepatnya, seorang petugas kepolisian
dapat mengambil suatu keputusan sesuai hati nuraninya, harus dapat menilai sendiri
secara pribadi apakah ia harus bertindak atau tidak tanpa melanggar Hak Asasi
Manusia dan demi kepentingan umum. Dasar hukum diskresi bagi petugas
kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada Undang- Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitap Undang-Undang Acara Pidana. Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (2)
huruf k : Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Peraturan Perundang-
Undangan lainnya berwenang melaksanakan kewenangan 1 Teguh Prasetyo, Hukum
Pidana, Rajawali Press, Jakarta, 2012, hal. 3. lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian. Dalam sebuah perkara pidana, khususnya menyangkut tentang lalu lintas,
sanksi pidana dijatuhkan dalam sebuah proses peradilan, mulai tahap penyidikan,
penuntutan hingga persidangan. Menurut pandangan teori utilitarisme atau
konsekuensialisme dalam Teori Etika tentang Hukuman Legal, suatu tindakan dapat
dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi- konsekuensinya positif untuk
sebanyak mungkin orang.Hukuman sebagai suatu tindakan terhadap seseorang yang
melanggar hukum dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si pelaku
kajahatan atau pelanggaran telah terbukti bersalah melawan hukum, melainkan
karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum,
korban dan juga orang-orang lain dalam masyarakat.2 Diskresi merupakan
kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan
dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang
ditanganinya. Diskresi yaitu suatu wewenang yang menyangkut kebijaksanaan untuk
pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar
pertimbangan dan keyakinan pribadi seorang anggota polisi. Manfaat diskresi dalam
penanganan tindak pidana atau kejahatan adalah sebagai salah satu cara untuk
membangun moral petugas kepolisian dan meningkatkan profesionalitas dan
intelektualitas anggota polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secara
proporsional

3. Pemberian Restitusi Melalui Penggabungan Perkara


1. Umum.
Mengenai ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata maupun dalam hukum
pidana.Namun antara keduanya memiliki perbedaan.Dalam hukum pidana, ruang
lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian
ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan adalah
ganti kerugian dalam hukum pidana dalam hal ini dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam praktek peradilan, Hakim
memiliki kewenangan untuk memanfaatkan peluang yang terkandung dalam Pasal
14c KUHP, dengan mencantumkan syarat khusus berupa ganti rugi bersama-sama
dengan hukuman yang dijatuhkan kepada si Terdakwa.Hal ini sangat
menguntungkan si korban, tetapi sayangnya tidak semua Hakim mau menerapkan
Pasal 14c KUHP dengan alasan sepanjang menyangkut ganti rugi bukan wewenang
Hakim pidana untuk memutuskannya. Penggunaan hak menuntut ganti kerugian
maupun permohonan ganti kerugian sangatlah langka.Dipandang dari segi
penegakan hukum, dengan langkanya pengajuan permintaan ganti kerugian
maupun permohonan pengabungan perkara gugatan ganti kerugian, memerlukan
penelitian yang cermat sebab bagaimanapun inti penegakan hukum adalah
tegaknya hak dan dilaksanakan kewajiban.Istilah ganti kerugian tidak ditemui pada
hukum pidana materiil. Hal ini hanya dapat ditemui pada hukum pidana formil
yaitu baik di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP maupun dalam
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Adanya
penggabungan perkara gugatan ganti rugi yaitu karena adanya penyelesaian kasus
dalam suatu perkara yang terdapat dua aspek, yaitu aspek perdata dan juga aspek
pidana. Adanya kedua aspek tersebut dalam suatu perkara yang sama dapat
menimbulkan adanya perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian. Terhadap
perkara yang demikian, sebelum diberlakukan kitab 2 Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, penyelesaiannya oleh Pengadilan dilakukan secara berurutan tidak
boleh bersamaan, jadi perkara pidananya diselesaikan dahulu baru kemudian
menyusul penyelesaian gugatan ganti ruginya ( perkara perdata ). Penyelesaian
perkara seperti ini jelas akan memakan waktu yang lama, dan biaya yang lebih
banyak pula, sehingga Pengadilan tidak akan dapat melaksanakan asas peradilan
yang baik yaitu proses peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta akan lebih mempersulit bagi rakyat
miskin yang terbatas biayanya. Untuk itu perlu dicari suatu cara yang tepat untuk
mengatasi masalah ini yaitu dengan penggabungan perkara gugatan ganti rugi..
Dewasa ini kita sering mendengar adanya suatu perkara Pidana yang dikiuti
dengan perkara Perdata, seperti adanya tuntutan ganti kerugian yang diderita
sehubungan dengantindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Dalam
hal korban mengajukan suatu tuntutan ganti kerugian dan kerugian itu dapat
berupa kerugian materiil maupun immaterial, maka tuntutan ganti kerugian itu
diajukan ke pengadilan perdata yang akan diproses secara perdata. Pihak korban
akan mengalami dua proses peradilan, yaitu peradilan pidana akibat tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku kejahatan terhadap korban dan peradilan perdata
karena tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh korban. Dengan adanya dua
proses pengadilan ini sidang pengadilan akan menjadi lama dan juga
memungkinkan biaya yang harus dikeluarkan relatif banyak. Proses peradilan ini
tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Pengadilan
Militer hanya memeriksa dan mengadili mengenai perkara- perkara Pidana dan
tidak memeriksa dan mengadili mengenai perkara-perkara Perdata, namun
Pengadilan Militer dalam menangani perkara Pidana tidak menutup kemungkinan
terdapat penggabungan perkara gugatan ganti rugi. Terkait hal tersebut Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 telah mengaturnya yaitu dalam paragraph 3 (tiga)
yaitu Pasal 183 sampai dengan Pasal 187, namun dalam pelaksanaannya jarang
sekali menangani perkara Pidana yang digabungkan dengan gugatan ganti rugi,
oleh karenannya Penulis mencoba untuk menjelaskan terkait cara penyelesaian
penggabungan perkara gugatan ganti rugi 3 di Peradilan Militer sesuai dengan
Pasal 183 sampai dengan Pasal 187 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer.

4. Pemberian Restitusi Melalui Gugatan Perdata Atas Dasar Perbuatan


Melawan Hukum
Ganti Kerugian dalam Hukum Perdata Ganti kerugian merupakan bagian
pembahasan dari hukum perdata oleh karenanya patut terlebih dahulu
didefinisikan apakah itu hukum perdata. Hukum Perdata merupakan peraturan
hukum yang mengatur hubungan hukum antar orang yang satu dengan orang
yang lainya. Dalam pengertian di atas terdapat beberapa unsur antara lain unsur
peraturan hukum, yang dimaksud dengan peraturan hukum adalah rangkaian
ketentuan mengenai ketertiban dan berbentuk tertulis dan tidak tertulis dan
mempunyai sanksi yang tegas. Unsur selanjutnya adalah unsur hubungan hukum,
yang dimaksud dengan hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh
hukum hubungan yang diatur oleh hukum itu adalah hak dan kewajiban orang
perorang, sedangkan unsur yang terakhir adalah unsur orang, yang dimaksud
dengan orang adalah subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban,
pendukung hak dan kewajiban itu dapat berupa manusia pribadi ataupun badan
hukum.1 Menurut Prof. R. Subekti S.H., hukum perdata adalah segala hukum
pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.2 Sedangkan
menurut Dr. Munir Fuadi,S.H., yang dimaksud dengan Hukum Perdata adalah
seperangkat/kaidah hukum yang mengatur perbuatan atau hubungan antar
manusia/badan hukum perdata untuk kepentingan para pihak sendiri dan pihak-
pihak lain yang bersangkutan denganya, tanpa melibatkan kepentingan publik.3
Sedangkan istilah Perdata berasal dari bahasa sansekerta yang berarti warga
(burger) Pribadi (privat) sipil(civiel).hukum perdata berarti peraturan mengenai
warga, pribadi, sipil, berkenaan dengan hak dan kewajiban.4 Ganti rugi dalam
hukum perdata dapat timbul dikarenakan wanprestasi akibat dari suatu perjanjian
atau dapat timbul dikarenakan oleh Perbuatan Melawan Hukum.5 Ganti rugi yang
muncul dari wanprestasi adalah jika ada pihak-pihak dalam perjanjian yang tidak
melaksanakan komitmentnya yang sudah dituangkan dalam perjanjian, maka
menurut hukum dia dapat dimintakan tanggung jawabnya, jika pihak lain dalam
perjanjian tersebut menderita kerugian karenanya.6 KUHPerdata memperincikan
kerugian (yang harus diganti) dalam tiga komponen sebagai berikut :7 1. Biaya 2.
Rugi. 3. Bunga. Biaya adalah setiap uang (termasuk ongkos) yang harus
dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, dalam hal ini sebagai akibat
dari adanya tindakan wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan “rugi”
adalah keadaan merosotnya (berkurangnya) nilai kekayaan kreditor sebagai akibat
dari adanya wanprestasi dari pihak debitur.sedangkan yang dimaksud dengan
“bunga” adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh
oleh pihak kreditur karena adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur

5. Pemberian Restitusi Melalui Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana


Terorisme Dan Perkara Pidana Dan Perkara Perdagangan Orang
Perdagangan orang merupakan bentuk perbudakan manusia secara modern.
Perdagangan orang termasuksalah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran
harkat dan martabat manusia. Kabupaten Indramayu adalah salah satu daerah
penyuplai perdagangan orang terbanyak di Indonesia, karena dilalui jalur utama
Pantura, yaitu jalur nomor satu sebagai urat nadi perekonomian pulau Jawa yang
menjadi tempat S.L.R. Vol.1 (No.1) : 52-65 54 persinggahan dan perantauan dari
daerah timur pulau Jawa. Barang dan modal hilir-mudik diperjualbelikan, termasuk
juga orang-orangnya. Setiap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berhak
mendapat perlindungan hukum, salah satunya yaitu berhak memperoleh restitusi.
Restitusi ialah berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan,
penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis, dan
kerugian lain yang diderita korban. Restitusi sesuai dengan Prinsip Pemulihan dalam
Keadaan Semula (restitutio in integrum) adalah suatu upaya bahwa korban kejahatan
haruslah dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadi meski didasari
bahwa tidak akan mungkin korban kembali pada kondisi semula. Tidak semua kasus
TPPO harus mengajukan hak restitusi. Karena didalam pengajuannya untuk
memperoleh hak tersebut didasarkan pada inisiatif dari korban atau ahli warisnya
setelah diberitahu hak tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan dapat melalui
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai mekanisme pengajuan restitusi antara lain yaitu Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
dimana JPU memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan
restitusi, selanjutnya JPU menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat
TPPO bersamaan dengan tuntutan. Didalam pengajuan hak restitusi ataupun
pelaksanaannya, JPU berpedoman pada buku Pedoman Penegakan Hukum dan
Perlindungan Korban dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain
itu, mekanisme pengajuan restitusi diatur pula didalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, dimana adanya peranan dari LPSK dalam mengajukan
hak restitusi tersebut. Praktiknya, masih banyak hambatan-hambatan yang dialami
oleh JPU. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto adalah (Soekanto, 2003): a. Faktor hukumnya sendiri; b. Faktor
penegak hukum; c. Faktor sarana dan fasilitas; d. Faktor masyarakat; e. Faktor
kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya. Karena menjadi
hal pokok dalam penegakan hukum dan sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan
hukum. Berkaitan dengan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul Pelaksanaan Pemberian Restitusi Terhadap Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Indramayu).

Anda mungkin juga menyukai