BAB I
PENDAHULUAN
Remaja adalah bagian dari generasi muda merupakan suatu kekuatan sosial yang
sangat berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Di tangan generasi muda
terletak masa depan bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin dalam membangun hari
depan yang lebih baik. Sebagai generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia yang
mempunyai hak dan kewajiban ikut serta dalam membangun negara dan bangsa Indonesia,
generasi muda dalam hal ini remaja merupakan subyek dan obyek pembangunan nasional
dalam usaha mencapai tujuan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur.
mengembangkan hasil pembagunan baik fisik maupun mental sosial Indonesia yang harus
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia yang
senantiasa memiliki tanggungjawab dan bermanfaat sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945.
Sebagai salah satu sumber daya manusia yang mempunyai potensi dan memiliki
terpenting yang akan menentukan nasib peradaban masyarakat di masa yang akan datang
dan juga remaja mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dalam
rangka menjamin pertumbuhan fisik dan mentalnya secara utuh, selaras dan seimbang.
Namun yang menjadi suatu permasalahan serius yang sedang dihadapi adalah
masalah kenakalan remaja yang merupakan persoalan aktual dihampir setiap negara di
dunia termasuk Indonesia. Saat ini sebagai gambaran merebaknya kasus-kasus
berbagai pelanggaran hukum lainnya. Dari beberapa kasus pelanggaran hukum tersebut
yang mempunyai hak dan kewajiban membangun bangsa dan negara, justru mereka
melibatkan kerjasama antara multidispliner, multi sektor dan peran serta masyarakat secara
yang semakin meningkat dan akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun
perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang dapat menimbulkan masa
masa remaja akan timbul keinginan yang sangat tinggi untuk mencoba-coba sesuatu,
mengikuti trend dan gaya hidup, serta bersenang-senang walaupun semua kecenderungan
itu wajar-wajar saja, tetapi hal itu bisa juga memudahkan remaja untuk terdorong untuk
menyalahgunakan narkotika. Oleh karena itulah apabila pada masa remaja telah rusak
karena penyalahgunaan narkoba, maka suram atau bahkan hancurlah masa depan remaja
tersebut.
Semarang dengan peningkatan jumlah populasi penduduk yang cukup tinggi setiap
tahunnya serta berada pada lokasi yang strategis yaitu merupakan salah satu jalur akses
transportasi antara propinsi dan juga menjadi pusat aktivitas perekonomian, perdagangan
serta kegiatan masyarakat lainnya sehingga memungkinkan akan banyak terjadi tindak
pidana di tengah–tengah kehidupan masyarakat khususnya tindak pidana penyalahgunaan
3
narkotika yang melibatkan remaja sebagai pelaku tindak pidana.
Hasil observasi awal penulis (tanggal 25 Januari 2021), yang dilakukan pada Satuan
penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Kota Semarang pada tahun 2019 sebanyak 2
kasus, kemudian pada tahun 2020 mengalami peningkatan menjadi 3 kasus, dan sampai
bulan April 2011 tercatat sebanyak 5 kasus yang dilakukan oleh remaja sehingga
pertumbuhan anak.
melakukan kajian secara mendalam tentang penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh
remaja dalam bentuk skripsi dengan mengangkat judul tinjauan kriminologis terhadap
Dari uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat
2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Polrestabes Semarang dalam
Semarang ?
1). Hasil penelitian dapat memberikan kegunaan untuk mengembangkan ilmu hukum
2). Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian yang lain yang sesuai dengan
1). Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat atau praktisi hukum
dan instansi terkait tentang tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh remaja.
2). Dengan dibuatnya penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kriminologi sebagai salah satu cabang dari ilmu pengetahuan sosial (social
science), sebenarnya masih tergolong sebagai ilmu pengetahuan yang masih muda, oleh
karena itu kriminologi baru mulai menampakkan dirinya sebagai salah satu disiplin ilmu
pengetahuan pada abad ke XIII. Meskipun tergolong ilmu yang masih muda, namun
perkembangan kriminologi tampak begitu pesat, hal ini tidak lain karena konsekuensi logis
Perkembangan kejahatan bukanlah suatu hal yang asing, oleh karena sejarah
kehidupan manusia sejak awal diciptakan telah terbukti mengenal kejahatan. Apalagi pada
saat seperti sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi justru memberi
peluang yang lebih besar bagi berkembangnya berbagai bentuk kejahatan. Atas dasar
itulah maka kriminologi dalam pengaktualisasian dirinya berupaya mencari jalan untuk
dan Logos artinya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu kriminologi dapat diartikan secara luas
dan lengkap sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. (Abdul Syani,
1987 : 6).
dengan sudut pandang yang berbeda. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis
akan mencoba mengemukakan beberapa pendapat para sarjana / ahli hukum mengenai
6
pengertian kriminologi, antara lain sebagai berikut :
Kanter dan Sianturi (2002 : 35), memberikan definisi kriminologi (sebagai ilmu
kejahatan tersebut.
Selanjutnya W.A Bonger (R. Soesilo, 1985 : 1), mengemukakan bahwa kriminologi
sebagai salah satu disiplin ilmu sosial menelaah gejala dan tingkah laku anggota
masyarakat dari sudut tertentu yaitu dari segi pola, motivasi, serta usaha menanggulangi
seluas-luasnya (kriminologi teoritis dan kriminologi murni). Kriminilogi teoritis adalah ilmu
Andi Zainal Abidin (1981 : 42), mengemukakan bahwa kriminologi adalah ilmu
menanggulanginya.
Sejalan dengan itu, Paul Moeliono (Abussalam, 2007 : 5), bahwa pelaku kejahatan
mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan
semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari
Menurut Michael dan Adler (Abussalam, 2007 : 5), menyatakan bahwa kriminologi
adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat,
lingkungan mereka dan cara mereka resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib
Sutherland dan Cressey (Kanter dan Sianturi, 2002 : 35), menyatakan bahwa
Lebih lanjut Vrij (Sahetapy dan Marjono Reksodiputro, 1982 : 8) mendefinisikan
menangani apakah perbuatan jahat itu, tetapi selanjutnya juga mengenai sebab musabab
dan akibat-akibatnya.
George C.Vold (Abussalam, 2007 :5), menyatakan bahwa dalam mempelajari
perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa
yang dibolehkan dan apa yang dilarang, apa yang baik dan apa buruk, yang semuanya itu
Menurut Soejono D (R.Soesilo, 1985 : 3), pengertian kriminologi adalah ilmu
kejahatan.
Rusli Effendy (1983 :10), menyatakan bahwa disamping ilmu hukum pidana yang
juga dinamakan ilmu tentang hukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang kejahatan itu
sendiri yang dinamakan kriminologi, kecuali obyeknya berlainan dan tujuannya pun
berbeda, dimana hukum pidana adalah peraturan hukum yang mengenai kejahatan atau
yang berkaitan dengan pidana dengan tujuan ialah agar dapat dimengerti dan
adalah kejahatan itu sendiri, tujuannya mempelajari apa sebabnya sehingga orang yang
Barda Nawawi Arief (1991:10), bahwa aliran modern yang di organisasikan oleh Von
Lis menghendaki kriminologi bergabung dengan hukum pidana sebagai ilmu bantuannya,
pelaksanaannya, yang semuanya ditunjuk untuk melindungi warga negara yang baik dari
kejahatan.
Lebih terperinci lagi, definisi dari Martin L, Haskell dan Lewis Yablonski (Soejono
Soekanto, 1985 : 10), menyatakan bahwa kriminologi adalah studi ilmiah tentang kejahatan
pengetahuan mengenai sikap tindak kriminal. Sehubungan itu beliau menjelaskan pula
bahwa Kriminologi modern berakar dari sosiologi, psikologi, psikiatri dan ilmu hukum yang
Sehubungan. dengan pengertian tersebut maka tepatlah apa yang kemukakan oleh
kriminologi nampak sangat luas, maka adalah logis bila. untuk praktisnya kriminologi itu
terbagi-bagi. Sehubungan dengan itu, Rusli Effendi (1986 : 11), menyebutkan bahwa di
negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, kriminologi itu dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1) Criminal Biologi ialah yang menyelidiki diri orang itu sendiri, akan sebab dari
perbuatannya baik jasmani maupun rohani.
2) Criminal Sociology adalah ilmu pengetahuan yang mencoba mencari sebab dalam
lingkungan masyarakat dimana penjahat itu berdomisili (Milleau)
3) Criminal Policy adalah tindakan-tindakan apa yang dijalankan agar supaya
penjahat itu menjadi lebih baik atau supaya
10 orang tidak turut melakukan perbuatan itu.
kejahatan dari segi gejala sosial yang relatif menyeluruh yang menghubungkan pembuatan
undang-undang, pelanggaran dan sanksi dari pelanggaran tersebut dimana akan lebih
Diantara tugas-tugas yang diemban kriminologi itu dikemukakan oleh Abdullah Sani
ditekankan pada gejala kejahatan seluas-luasnya dalam artian mempelajari kejahatan dan
penjahat. Sedang subjek kriminologi adalah anggota dan kelompok masyarakat secara
keseluruhan sebagai suatu kelompok sosial yang memiliki gejala-gejala sosial sebagai
suatu sistem yang termasuk di dalarnnya gejala kejahatan yang tidak terpisahkan.
Sehingga berdasarkan pengertian kriminologi di atas juga dapat ditarik suatu pandangan
bahwa kriminologi bukanlah ilmu yang berdiri sendiri akan tetapi berada disamping
kejahatan secara sistematis merupakan hal baru, meskipun sebenarnya hal tersebut telah
dibahas oleh banyak ahli kriminologi (kriminolog). Di dalam kriminologi juga dikenal adanya
zaman, Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita (1987 : 57), membagi sebab-sebab kejahatan
dalam fase-fase pendahuluan yang berkembang dari zaman ke zaman sebagai berikut :
1. Zaman kuno
Pada masa, ini dikenal pendapat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM)
yang pada dasarnya menyatakan makin tinggi penghargaan manusia atas kekayaan
makin merosot penghargaan akan kesusilaan demikian pula sebaliknya kerniskinan
(kemelaratan) dapat mendorong manusia yang menderita, kerniskinan untuk
melakukan kejahatan dan pemberontakan.
3. Permulaan zaman baru dan masa sesudah revolusi Prancis banyak dikemukakan
dan sebab-sebab sosial lainnya juga masa kini dikenal dengan masa, pertengahan
hukuman yang terlalu bengis dan masa itu, sehingga tampil tokoh-tokoh seperti
Montesquieu, Beccaria dan lain-lain.
4. Masa sesudah revolusi Prancis sampai tahun 1830 mulai dikenal sebab-sebab
kejahatan dari faktor-faktor sosial ekonomi, antropologi dan psikiatri
Teori tertua tentang sebab-sebab kejahatan adalah teori Roh jahat, seperti yang
dikatakan oleh R.Soesilo (1985 : 20), mengemukakan bahwa : "Pendapat ini adalah yang
tertua yang menyatakan, bahwa orang-orang12
menjadi jahat karena pengaruh-pengaruh roh
jahat ............”
Teori ini lebih tegas dituliskan oleh Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita (1987 :
53-54) dalam awal teorinya mengusulkan beberapa pendapat yakni sebagai berikut :
a. Penjahat sejak lahir mempunyai tipe tersendiri
b. Tipe ini bisa dikenal dengan beberapa ciri tertentu, misalnya tengkorak asimetris,
rahang
bawah yang panjang, hidung pesek, rambut janggut jarang, tahan sakit.
c. Tanda-tanda lahiriah ini bukan penyebab kejahatan, mereka merupakan tanda
mengenal kepribadian yang cenderung dalam hal kriminal behaviour itu sudah
merupakan suatu pembawaan sejak lahir, dan sifat-sifat pembawaan ini dapat terjadi
dan membentuk atafisme atau generasi keturunan epilepsy.
d. Karena kepribadian ini, maka mereka tidak dapat terhindar dari melakukan
kejahatan kecuali bila lingkungan dan kesempatan memungkinkan.
e. Beberapa penganut aliran ini mengemukakan bahwa macam-macam penjahat
(pencuri, pembunuh, pelanggar seks), saling dibedakan oleh tanda lahirnya/stigma
tertentu".
terhadap harta benda akan terlihat naik dengan sangat pada negara-negara berkembang,
kenaikan ini akan mengikuti pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, hal ini disebabkan
adalah faktor pendidikan yang dapat juga bermakna ketidak tahuan dari orang yang
(yang diturunkan oleh orang tua menurut hukum-hukum kebakaran dari mental)
menyebabkan orang-orang yang bersangkutan tidak mampu menilai akibat tingkah lakunya
dan tidak bisa menghargai undang-undang sebagaimana mestinya (Ninik Widyanti dan
Faktor lain yang lebih dominan adalah faktor lingkungan, Bonger (R. Soesilo, 1985 :
28), dalam "in leiding tot the criminologie " berusaha menjelaskan betapa pentingnya faktor
lingkungan sebagai penyebab kejahatan. Sehingga dengan demikian hal tersebut di atas,
bahwa faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor lingkungan merupakan faktor-faktor
yang lebih dominan khususnya kondisi kehidupan manusia dengan kemajuan ilmu
Pidana) dengan perbuatan pidana atau peristiwa pidana. Kata Strafbar feit inilah yang
melahirkan berbagai istilah yang berbeda–beda dari kalangan ahli hukum sesuai dengan
sudut pandang yang berbeda pula. Ada yang menerjemahkan dengan perbuatan pidana,
tindak pidana dan sebagainya. Dari pengertian secara etimologi ini menunjukan bahwa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukuman kejahatan
tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan lain sebagainya. Pidana juga berarti
hukuman. Dengan demikian, kata mempidana berarti menuntut berdasarkan hukum pidana,
Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. (Topo Santoso : 2001).
menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan straf baar feit atau tindak pidana dan
Menurut R. Tresna (1995 : 7), menyatakan bahwa peristiwa pidana itu adalah
sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-
tindakan penghukuman.
Selanjutnya R.Tresna (1995 : 7), menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu
Sejalan dengan itu, L.J Van Apeldoorn (Bambang Pornomo, 1987 : 92), peristiwa
15
pidana memiliki dua segi yaitu obyektif dan segi subyektif :
a. Delik dari segi obyektif, maka peristiwa pidana adalah tindakan (perbuatan atau lalai
berbuat) yang bertentangan dengan hukum positif, jadi yang bersifat tanpa hak yang
menimbulkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Unsur
yang perlu sekali untuk peristiwa pidana (delik dari sudut obyektif) adalah sifat tanpa
hak (onrechmatigheid), yakni sifat melanggar hukum. Dimana tidak terdapat unsur
tanpa hak (onrechmatigheid), tidak ada peristiwa pidana.
b. Segi subyektif dari peristiwa pidana adalah segi kesalahan (schuldzijde) yakni bahwa
akibat yang tidak diinginkan undang–undang, yang dilakukan oleh pelaku dapat
diberatkan apanya. Karena itu maka tidak dapat dihukum, mereka melakukan
perbuatan yang tidak dapat diberatkan padanya, karena otak lemah atau karena
terganggu akalnya
pengertian strafbar feit dibedakan :
a. Dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Definisi menurut teori
memberikan pengertian strafbar feit adalah suatu pelanggaran norma hukum yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbar feit adalah suatu
kejadian (fiet) yang oleh peraturan undang– undang dirumuskan sebagai perbuatan
yang dapat dihukum.
Menurut Vos (Andi Zainal Abidin Farid, 1995 : 225), memberikan definisi yang
disingkat bahwa strafbar feit adalah kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh
Moeljatno (1985 : 37) menggunakan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang juga disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan
perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana, larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada
Lebih lanjut Molejatno menjelaskan antara larangan dan ancaman pidana ada
hubungan erat, karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu harus
ada hubungan yang erat pula, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Suatu
kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkannya bukanlah orang. Seseorang tidak
dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk
menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakaikanlah perkataan perbuatan, yaitu
pengertian abstrak yang menunjukan kepada dua keadaan kongkrit yaitu adanya kejadian
memperoleh kejelasan tentang pengertian perbuatan pidana. Hal ini penting mengingat
(criminal liability).
Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi pidana
sebab masih harus dilihat apakah orang tersebut dapat disalahkan atas perbuatan yang
pidana. Dengan demikian, orang yang telah melakukan perbuatan pidana tanpa adanya
kesalahan, maka orang tersebut tidak dapat dipidana, sesuai dengan asas hukum yang
tidak tertulis, geen straf zonder schuld, yaitu tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan.
Sementara itu Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno (1985 : 40), mengatakan
merumuskannya sebagai berikut : kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu
pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat
dicela karena melakukan perbuatan tadi. Simons menyatakan perbuatan pidana adalah
suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
sengaja oleh seseorang yang dapat dipetanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat
dihukum
Secara etimologi, kata Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke yang
artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Orang Amerika menyebutnya dengan
Selain itu, pengertian Narkotika secara farmakologis medis menurut Ensiklopedia
Indonesia adalah obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang berasal dari daerah
Viseral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong atau kondisi sadar tetapi harus
digertak) serta adiksi, efek yang ditimbulkan narkotika adalah selain menimbulkan
ketidaksadaran juga dapat menimbulkan daya khayal / halusinasi serta menimbulkan daya
rangsang / stimultant.
Menurut vide Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2882 Tahun 1970, narkotika
atau obat bius diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang umumnya
menghayal (halusinasi).
Pengertian Narkotika menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, yaitu :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabka menurunnya atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-
undang ini.
a. Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari hasil olahan tanaman yang
dapat dikelompokkan dari tiga jenis tanaman masing-masing :
1). Opium atau candu, yaitu hasil olahan getah dari buah tanaman papaver
somniferum. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium
masak dan morfin. Jenis opium ini berasal dari luar negeri yang diselundupkan
ke Indonesia, karena jenis tanaman ini tidak terdapat di Indonesia.
2). Kokain, yang berasal dari olahan daun tanaman koka yang banyak terdapat dan
diolah secara gelap di Amerika bagian selatan seperti Peru, Bolivia, Kolombia.
3). Canabis Sativa atau marihuana atau yang disebut ganja termasuk hashish
oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini banyak ditanam secara ilegal didaerah
khatulistiwa khususnya di Indonesia terdapat di Aceh.
b. Narkotika semi sintetis, yang dimaksud dengan Narkotika golongan ini adalah
narkotika yang dibuat dari alkaloida opium dengan inti penathren dan diproses secara
kimiawi untuk menjadi bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotika. Contoh yang
terkenal dan sering disalahgunakan adalah heroin dan codein.
c. Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui proses kimia dengan
menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru yang
mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon dan Megadon.
20
manusia seperti operasi pembedahan, menghilangkan rasa sakit, perawatan stress dan
depresi.
pengadaan, impor, ekspor, peredaran dan penggunaannya diatur oleh pemerintah dalam
hal ini Menteri Kesehatan. Sehingga penggunaan narkotika selain yang disebutkan pada
Pasal 7 di atas, mempunyai konsekuensi akibat yuridis yaitu penyalahgunaan narkotika dan
akan memperoleh pidana / ancaman pidana sesuai yang diatur dalam undang-undang
tersebut.
Narkotika, yaitu :
Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, tindak pidana narkotika adalah tindak
pidana penyalahgunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum selain yang ditentukan
dalam undang-undang.
Adapun bentuk-bentuk dan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan
narkotika di atur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yaitu sebagai berikut : 21
Pasal 111 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000
(Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar
rupiah).
Pasal 112 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika
Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 113 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau
pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling
banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar
22 rupiah).
Pasal 114 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau
menyerahkan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling
banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika Golongan I
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk
bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 115 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).24
Pasal 116 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk
digunakan orang lain, dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000
(Satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika
Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang lain mati, cacat permanen, pelaku dipidana mati, pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 117 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp 600.000.000 (Enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
5.000.000.000 (Lima milyar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika
Golongan II sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3.
25
Pasal 122 :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan III, dipidana dengan penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp 400.000.000 (Empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
3.000.000.000 (Tiga milyar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika
Golongan III sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3.
berikut :
Dalam kajian ilmu hukum tidak dikenal adanya istilah remaja sehingga tidak
ditemukan pengaturan yang jelas mengenai remaja. Namun demikian jika kita cermati
dengan seksama, istilah remaja termasuk dalam kategori golongan anak yang telah
atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang
mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga
Menurut WHO (Sarwono, 2002 : 4), mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual,
ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara
10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan
yang relatif lebih mandiri.
Menurut Hurlock (1998 : 11), Masa remaja merupakan masa dimana seorang
individu mengalami peralihan dari satu tahap ketahap berikutnya dan mengalami
perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku dan juga penuh dengan masalah-
masalah. Oleh karenanya remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial
yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial.
batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu
dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau
batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir
Lebih lanjut, Singgih Gunarso (1985 : 30), menjelaskan bahwa seorang anak berusia
10 tahun mungkin saja sudah atau sedang mengalami pubertas namun tidak berarti ia
sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia
belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan
anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur,
kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap
mandiri dan dewasa. Sehingga dapat dikatakan remaja adalah seorang yang berusia 13
sampai dengan 17 tahun dan belum menikah. (Singgih Gunarso, 1985 : 31). .
antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan
22 tahun bagi pria, dimana masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-
kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa
bahwa remaja bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak,
tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Sehingga remaja sering mengalami
masa kegoncangan karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi
yang kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dinilai
Monks (1999 : 53), memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara
12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja
pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Senada dengan pendapat Monks,
menurut Suryabrata (1981: 14), membagi masa remaja menjadi tiga, masa remaja awal 12-
15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun.
Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999:12) yang membagi masa remaja menjadi dua
bagian, yaitu masa remaja awal 13-16 tahun, sedangkan masa remaja akhir 17-18 tahun.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penulis memilih lokasi penelitian di Kota Semarang yang merupakan wilayah hukum
Polrestabes Semarang. Adapun alasan memilih lokasi penelitian ini karena semakin
meningkatnya jumlah kriminilitas yang ditangani oleh pihak Kepolisian Polrestabes
Semarang khususnya tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh remaja di Kota
Semarang.
Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua kategori,
yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari nara sumber dilokasi penelitian
yang berkaitan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh remaja di Kota
Semarang.
2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu menelaah
literatur, artikel, liputan, makalah serta peraturan perundang– undangan yang ada
kaitannya dengan tinjauan kriminologis terhadap tindak pidana penyalahgunaan
narkotika oleh remaja.
29
Populasi penelitian ini adalah seluruh aparat Polrestabes Semarang yang menangani
mengetahui tentang penyebab terjadinya tindak pidana narkotika serta pelaku tindak pidana
narkotika. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah 1 orang Kasat Narkoba, 1 orang
Kanit dan 3 orang penyidik Polrestabes Semarang, 2 orang tokoh masyarakat, 2 orang
Tokoh Agama, 2 orang tokoh pemuda serta 5 orang remaja pelaku tindak pidana narkotika.
Pertimbangan peneliti memilih 2 orang tokoh masyarakat, 2 orang Tokoh Agama, 2
orang tokoh pemuda serta 5 orang remaja pelaku tindak pidana narkotika, karena sampel
Kanit dan 3 orang penyidik Polrestabes Semarang, karena peneliti mengharapkan dan
pihak kepolisian dalam mengatasi terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh
Adapun teknik pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu :
narkotika oleh remaja, serta bahan-bahan normatif berupa produk hukum yaitu Kitab
tentang Narkotika. 30
a). Observasi (Observation)
Yaitu penulis mendatangi lokasi penelitian kemudian melakukan pengamatan
narkotika oleh remaja dan upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian
Kota Semarang.
b). Wawancara (Interview)
Yaitu penulis melakukan tanya jawab (interview) kepada sejumlah nara sumber
yang berkompeten seperti remaja yang pernah menjadi pelaku dalam tindak
serta masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda dalam upaya menanggulangi
Semarang.
c). Dokumentasi (Documentation)
diperoleh bahasan atau paparan dalam bentuk kalimat yang sistematis dan dapat
Dalam definisi operasional ini, penulis akan memberikan batasan, pengertian atau
31
istilah yang digunakan dalam penulisan hukum ini, yang berkaitan dengan judul dan
1. Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan
hak atau melawan hukum selain yang ditentukan dalam undang-undang yang
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar Maju,
Bandung.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kamus
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta
Disusun Oleh:
Dosen Pengampu:
Wiwik Pratiwi, S. H., M. Hum.
Dibuat Tanggal:
16 JULI 2021