Anda di halaman 1dari 4

Nama: Nathasya Sisworo

Nim: 11000118120114
Kelas: F

1) Teori Hukum Murni menurut Hans Kelsen


Teori ini dikemukakan oleh Hans Kelsen (1881-1973) yang dituangkan dalam karyanya
yang terkenal dengan judul Reine Rechtslehre (ajaran hukum murni), Algemeine
Statslehre (Ajaran umum tentang negara), General Theory of Law and State (teori umum
tentang hukum dan negara).
Teori hukum murni dari Hans Kelsen merupakan bentuk pemberontakan terhadap
ilmu hukum yang ideologis, yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan
dan negara-negara totaliter. Teori ini juga dinilai sebagai penjelmaan dan pengembangan
dari aliran Positivisme yang menentang ajaran yang bersifat ideologis. Teori hukum murni
ini menghendaki hukum harus dibersihkan dari unsur-unsur yang tidak yuridis seperti
etis, sosiologis, politis dan sejarah.
Bersih dari unsur-unsur etis berarti konsep hukum Hans Kelsen tidak memberi
tempat bagi berlakunya suatu hukum alam. Etika memberikan penilaian tentang baik dan
buruk. Ajaran Hans Kelsen menghindarkan diri dari soal penilaian ini. Bersih dari unsur
sosiologis, maksudnya ajaran hukum murni dari Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi
hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.
Dengan demikian, hukum adalah sebagaimana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai
peraturan yang ada. Oleh karena itu, yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana hukum itu
seharusnya, melainkan apa hukumnya. Hans Kelsen berpendapat bahwa satu-satunya
obyek penyelidikan ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatifnya. Ini berarti hukum
itu berada dalam dunia sollen (yang seharusnya menurut hukum), bukan dalam dunia sein
(kenyataan dalam masyarakat)
Sebagai contoh "barang siapa yang membeli barang seharusnya (sollen) membayar".
Dikatakan "seharusnya", sebab tidak dipedulikan suka/tidaknya atau mampu/tidaknya
pembeli akan kewajibannya membayar itu. Jadi, sollen itu sama sekali terlepas dari sein.
Menurut W. Friedmann, bahwa dasar-dasar esensial dari teori Kelsen tentang hukum
adalah sebagai berikut :

1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi
kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan
mengenai hukum yang seharusnya

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan
daya kerja norma-norma hukum
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi
dengan cara yang khusus

6. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah
hubungan yang mungkin dengan hukum yang nyata

Selanjutnya konsep Hans Kelsen dalam bentuk lain adalah konsep Grundnorm atau
teori stufenbau, yaitu dalil yang menganggap bahwa semua hukum bersumber pada satu
induk. Maksudnya, semua peraturan hukum diturunkan (derivasi) dari norma dasar
(grundnorm) yang berada di puncak piramid sehingga semakin ke bawah semakin luas dan
beragam keberadaan peraturan hukum. Dari diturunkannya peraturan hukum berdasarkan
kepada norma dasar, sehingga membentuk suatu hierarki.
Ajaran Stufenbau ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky,
dengan penjabaran yang lebih bersifat konkrit. Indonesia yang menganut sistem civil law
tidak bisa lepas dari teori stufenbau ini. Dapat ditinjau dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dalam Pasal 7 ayat (1)
disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Norma dasar (grundnorm) bersifat abstrak/mengikat umum, semakin ke bawah semakin


konkret/mengikat orang tertentu yang sebelumnya tidak dapat dilaksanakan menjadi
dapat dilaksanakan. Grundnorm inilah yang menjadi sumber dari segala sumber hukum,
dan dianggap sebagai "yang menurunkan hukum" sehingga menciptakan susunan yang
hierarkis berbentuk piramidal.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan
rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh
yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky.
Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung . Susunan
norma menurut teori tersebut adalah
1.      Norma fundamental negara
2.      Aturan dasar negara
3.      Undang-undang formal. dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu
negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi
berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari
konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut
sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara.
Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah
misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, kita dapat membandingkannya dengan
teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi
menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori
Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1)          Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)    Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3)          Formell gesetz: Undang-Undang.
4)      Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi.
Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang
tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan
hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum
dalam Pancasila.
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm
berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi,
karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan
dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan
pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila
dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya
sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya
mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya
mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu
atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir,
postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum
bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi
sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai
valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical
pressuposition.
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena
validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi
pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah
sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar
dari tata aturan hukum ini.

2) Ketidaksesuaian penerapan peraturan terhadap hierarkisme tata

hukum Indonesia
Seperti yang terjadi di kabupaten Berau, meski Peraturan Daerah
(Perda) tentang pelarangan pengedaran dan penjualan Miras  yang terdahulu
sudah direvisi menjadi Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 2009, namun
nasibnya juga sama sebagaimana Perda sebelumnya, dicabut oleh Mentri
Dalam Negeri (Mendagri) karena dinilai bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan lebih tinggi. Untuk itu Perda Miras yang ada akan segera
direvisi. Termaktub dalam surat nomor 188.34/163/SG tertanggal 20
Januari 2011 perihal klarifikasi Peraturan Daerah dari Mendagri menyatakan
bahwa Perda nomor 2 tahun 2009 tentang pelarangan pengedaran dan
penjualan Miras, berdasarkan hasil kajian tim klarifikasi Perda dimaksud
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebh tinggi.
Produksi, pengedaran dan penjualan dimana minuman beralkohol golongan B
dan C,  ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.
Sedangkan minuman beralkohol golongan A yang diperjualbelikan oleh
para pemohon tidak termasuk dalam pengawasan dan karenanya merupakan
barang yang bebas dalam produksi, pengedaran dan penjualannya sesuai pasal
3 ayat (2) jo pasal 5 Keputusan Presiden (Kepres) RI nomor 3 tahun 1997
tentang pengawasan dan pengendalian Miras. Mengacu pada hal itu maka
minta dihentikan pelaksanaan Perda dimaksud dan selanjutnya segera
mengusulkan proses pencabutannya kepada DPRD. 
Selain itu melalui surat bernomor 188.34/4561/SJ tertanggal 16
November 2011 perda milik pemerintah kabupaten Indramayu juga dicabut
karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni
pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol yang menjadi
kewenangan pusat seusai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007. 

Anda mungkin juga menyukai