Anda di halaman 1dari 4

A.

Latar Belakang

Kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Korban tidak


hanya dari kalangan dewasa saja namun kini merambah ke remaja, anak-anak bahkan balita.
Kekerasan seksual pada anak dibawah umur sudah menjadi ancaman di Indonesia,
melonjaknya kekerasan seksual di Indonesia membuat semua orang harus waspada karena
kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk penyiksaan anak, dimana orang dewasa atau
remaja memakai anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak
selayaknya untuk ditampilkan pada anak. Kekerasan seksual pada anak dapat diartikan
dengan interaksi antara seorang anak dengan orang yang lebih tua atau lebih dewasa, bisa
juga saudara kandung atau orang tua, dan anak tersebut digunakan sebagai suatu ojek pemuas
kebutuhan seksual pelakunya, perbuatan itu dilakukan menggunakan paksaan, ancaman,
suap, tipuan, dan lainnya.

Perlindungan anak di Indonesia sendiri dalam konteks kebijakan hukum negara


sebenarnya secara tegas telah diatur dalam beberapa ketentuan undang-undang, seperti dalam
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang termuat dalam Bab XII dari Pasal
77 sampai Pasal 90 serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dimana Pasal 65 mengatur
tentang adanya hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Walaupun demikian berdasar pada kondisi
faktual kehidupan kemasyarakatan saat ini, dengan merujuk pada makin tingginya kasus
kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia tersimpulkan bahwa sejumlah peraturan
tersebut belum tegak secara maksimal. Secara nyata jaminan hukum telah tegas mengatur,
namun justur kekerasan seksual terhadap anak semakin marak terjadi.

Sebagai contoh, dimana terjadi kasus kekerasan seksual yang menimpa 20 anak di
Pondok Pesantren K. Dimana kasus tersebut mulai diketahui setelah salah satu korban
melapor kepada Woman Crisis Center (WWC). Dan kasus lainnya yaitu pelecehan seksual
yang dilakukan oleh seorang Guru SDN Seyagan, Sleman, Yogyakarta. Guru berinisial SPT
(48 Tahun) dilaporkan oleh para orang tua korban ke Polres Sleman karena telah melakukan
pelecehan seksual terhadap muridnya.

Dua kasus diatas menjelaskan kepada kita bahwa siapapun bisa menjadi pelaku kejahatan
seksual dan kekerasan seksual dapat terjadi dimanapun. Orang tua maupun orang terdekat
harus lebih waspada dalam melihat lingkungan anak, untuk mewaspadai kekerasan seksual

1
yang mengakibatkan dapat mengakibatkan jiwa anak terganggu dan merusak masa depan
anak tersebut.

B. Pembahasan

1. Kronologi Kasus

Berdasarkan kasus yang sudah diberikan, kelompok kami beragumen bahwa terjadi
tindakan kekerasan seksual terhadap anak di pondok pesantren K. Pesantren menganut
konsep pondok dimana dalam Pesantren K terdapat banyak kamar. Setiap kamar dalam
pesantren K terdiri dari 30 kasur dan di setiap kamarnya di pandu oleh satu pendamping
senior. Insiden pelecehan seksual menimpa 20 orang anak di Pondok K

Kasus bermula saat satpam M membawa 20 lembar kertas pernyataan (kertas aduan)
dari 20 anak yang menjadi korban pelecehan seksual, salah seorang anak yang menjadi
korban pelecehan seksual mendatangi WCC (Women Crisis Center) dan menyatakan
kebenaran hal tersebut. Kasus ini menyeruak hingga ke telinga pemilik pondok, mendengar
hal tersebut pihak pondok melakukan pemecatan beberapa senior pondok yang terlibat kasus
ini serta membangun sekat agar kejadian seperti ini tidak lagi terjadi.

2. Pengertian Pencabulan
Menurut Ricard J. Gelles, kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja
yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun
emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara
fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial.
Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT)
Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang
lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana
anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan
dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan
kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku
dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk kekerasan seksual itu sendiri bisa dalam
tindakan perkosaan ataupun pencabulan. (footnote jurnal nmr 1)
Di dalam hukum pidana Indonesia, tidak dikenal istilah kekerasan seksual melainkan
pencabulan. Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan Pasal 289 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin yang terdiri dari:

2
a. Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan
pada alat kelaminnya. dan
b. Seorang laki-laki merabai badan seorang anak perempuan wanita dan kemudian
membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus teteknya dan
menciumnya. Pelaku melakukan tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya
Menurut R. Soesilo yaitu “Segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji semua itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman
meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan lain sebagainya. Pada umumnya
yang menjadi pencabulan ini adalah anak-anak." Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kami
simpulkan bahwa pencabulan yakni hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih yang
ditandai dengan kontak badan maupun tanpa kontak badan yang melanggar kesusilaan.Selain
itu kami sependapat bahwa tindak pencabulan ini pada umumnya terjadi pada anak di bawah
umur. (jurnal kedua)
3. Analisis Kasus
Menurut kelompok kami, pasal yang dapat dikenakan adalah pasal 287 ayat (1) KUHP terdiri
atas unsur-unsur:
a. Unsur-unsur subjektif:
● Yang ia ketahui
● Yang sepantasnya harus ia duga
b. Unsur-unsur objektif
● Barang siapa
● Mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan
● Wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun atau yang belum
● dapat dinikahi (masih dari jurnal kedua)
Mengapa demikian? Berdasarkan hasil analisis kelompok kami, tindakan pencabulan ini
dilakukan kepada santri perempuan yang usianya masih berada di bawah umur. Hal ini
dibuktikan dengan adanya pelaporan oleh salah seorang anak kepada Woman Crisis Center
atau WCC. Hal ini didasarkan pada tugas pelaku sebagai senior yang mengayomi para santri,
maka sepantasnya dapat pelaku duga bahawa korbannya adalah anak di bawah umur.
Selanjutnya, untuk membuktikan unsur objektif Unsur objektif pertama adalah unsur
barangsiapa. Kata barang siapa menunjukan pria yang apabila pria tersebut memenuhi semua
unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut
sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.

3
Unsur subjektif kedua dari tindak pidana yang diatur adalah mengadakan hubungan
diluar perkawinan. Agar unsur ini dapat terpenuhi, tidaklah cukup jika hanya terjadi
persinggungan diluar antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, melainkan
harus terjadi persatuan antara alat kelamin pelaku dengan korban. Hal ini dapat kita lihat
melalui surat pernyataan yang dibuat oleh 20 korban pencabulan Pesantren K. Surat
pernyataan ini pun dapat diajukan sebagai salah satu alat bukti permulaan agar kasus ini dapat
diajukan ke persidangan.
4. Konstruksi Keadilan
Dalam hubungannya dengan filsafat ilmu hukum, keadilan diwujudkan melalui hukum
sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak perlu
dalam kehidupan bersama manusia. Tanpa hukum kehidupan manusia menjadi kacau dan
akan kehilangan kemungkinan untuk berkembang secara manusiawi. (jurnal 3)
Melihat dari uraian mengenai terminologi
keadilan di atas jelaslah bahwa untuk dapat melihat adanya gambaran keadilan terdapat
ukuran tersendiri yang dapat mengukurnya. Bersandar pada gambaran itulah maka penulis
mengambil kesimpulan bahwa keadilan dalam hukum terbagi pada 2 (dua) hal yakni keadilan
menurut perundang-undangan (legal justice) atau keadilan dalam praktek (practical justice).
Keadilan berdasarkan perundang-undangan didasarkan pada hukum yang tertulis dan ada
dalam teks perundang-undangan. (jurnal 3)

Anda mungkin juga menyukai