Anda di halaman 1dari 5

LEGAL OPINION

TENTANG PERKAWINAN DIBAWAH TANGAN ( Putusan MK No. 46/PUU-


VIII/2010)

Oleh : Amanda Juliana Clarisa (155010100111045)

A. Posisi Kasus
1. Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan
antara HJ. AISYAH MOCTHAR dan DRS. MOERDIONO, dengan wali nikah
almarhum H. Mocthar Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, dengan mahar
berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (Mata uang Arab), satu set
perhiasan emas. Berlian dibayar tunai dengan ujab yang duycapkan oleh wali
tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama DRS. MOERDIONO.
2. Bahwa DRS. MOERDIONO seorang suami yang sudah beristri menikah lagi
dengan istri kedua, HJ. AISYAH MOCTHAR, dengan akad nikah secara islam
tetapi tidak dicatat dalam bukku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta
nikah. Dan dari perkawinan tersebut dilahirkan soerang anak laki-laki bernama
MUHAMMAD IQBAL RAMDHAN BIN MOERDIONO.
3. Bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyatakan bahwa, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.” Kemudian Pasal 43 ayat 1 UUP tersebut mengatakan
bahwa: Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh sebab itu, HJ. AISYAH
MOCHTAR dan MUHAMMAD IQBAL RAMDHAN merasakan dirugikan hak
konstitusionalnya oleh tuntutan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut karena perkawinan
HJ. AISYAH MOCTHAR tidak diakui menurut hukum dan anaknya
(MUHAMMAD IQBAL RAMDHAN) tidak memiliki hubungan perdata dengan
ayahnya (DRS. MOERDIONO) dan keluarga ayahnya.
4. Bahwa menurut HJ. AISYAH MOCHTAR dan MUHAMMAD IQBAL
RAMDHAN, ketentuan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para
pemohon, khususnya yang berkaitan dengan kasus perkawinan dan status anak
yang dihasilkan dari perkawinan pemohon.
5. Bahwa hak konstitusional para pemohon telah tercederai oleh norma hukum
dalam Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan
merugikan karena perkawinan Pemohon 1 adalah sah dan sesuai dengan Rukun
nikah dalam Islam.
6. Bahwa merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat
(1) UUD NRI 1945 maka perkawinan HJ. AISYAH MOCTHAR dan DRS.
MOERDIONO, yang dilangsungkan sesuai Rukun nikah adalah sah tetapi
terhalang oleh Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah
menurut norma hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak
terhadap status anak yaitu MUHAMMAD IQBAL RAMDHAN yang dilahirkan
menjadi anak diluar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34
Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini
sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di
muka hukum menjadi tidak jelas dan sah.
7. Bahwa menurut menurut HJ. AISYAH MOCHTAR dan MUHAMMAD IQBAL
RAMDHAN, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak saka
dihadaan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena
itu menurut para pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28 B Ayat (1) dan (2) srta Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945.

B. Pertanyaan Hukum
1. Apa dasar Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tentang
status hukum Anak dengan perkawinan di bawah tangan (ditinjau dari perspektif
hak asasi Manusia)?
2. Apa akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap hak nafkah
untuk anak dari perkawinan di bawah tangan?

C. Bahan Hukum
1. Pasal 43 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
2. Pasal 28 B Ayat (1) dan (2) Undang – Undang Negara Republik Indonesia
1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keutrunan melalui perkawinan yang sah.” Dan menyatakan
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
3. Pasal 28 D Ayat (1) Undang – Undang Negara Republik Indonesia 1945 yang
berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
4. Pasal 2 Konvensi Hak Anak yang menyatakan “Negara-negara peserta akan
menghormati dan menjamin hak0hak yang ditetapkan dalam Konvensi ini
terhadap setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam
bentuk apapun…”
5. Pasal 56 s/d Pasal 66 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
6. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.”
7. Pasal 80 Ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, dimana ada kewajiban suami
terhadap keluarganya sepanjang terikat perkawinan yang sah.

D. Analisis Hukum
1. Dasar hukum Mahkamah Konstitusi memutus perkara terkait perkawinan
dibawah tangan, MK mengambil kebijakan dan pertimbangan yang menyatakan
bahwa pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 sangan bertentangan dengan
UUD NRI 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai menghilangan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan.atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata memiliki hubungan darah sebagai ayahnya.
MK juga mendasarkan kepada prinsip persamaan di hadapan hukum yang
terkadung dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 B Ayat (1) dan (2) dan Pasal 28 D. Di
dalam prinsip ini, terkandung jaminian persamaan bagi semua orang di hadapan
hukum. Sehingga hukum atau perundang-undangan harus memberikan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap sstatus setiap anak yang
dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya.
Anak memiliki HAM yang melekat dalam diri anak, yang tidak dapat dikurangi
dan dicabut oleh siapapun dalam keadaan apapun. Pengakuan perlindungan
terhadap HAM Anak, termuat di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah
diratifikasi oleh Indonesia. Pemahaman isi konvensi itu telah diakomodir dalam
Pasal 53 hingga Pasal 66 UU tentang HAM. Dengan kata lain, keadilan dan
perlindungan hukum harus diberikan kepada semua anak tanpa membendakan
status pernikaan orang tua mereka.
Hasil dari putusan ini menimbulkan konsekuensi hukum bahwa ada hubungan
anak luar nikah dengan bapak biologisnya, apabila terlebih dahulu dilakukan
pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tes DNA dan lain
sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak tersebu memiliki hubungan
darah dengan pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya.
Dari analisis diatas, maka putusan MK tentang status anak di perkawinan bawah
tangan ditinjau dari perfektif Hukum HAM, baik nasional ataupun internasional
tidak bertentangan. Justru dasar hukum MK dalam perkara diatas sejalan dengan
makna filosofis serta prinsip-prinsip HAM, yaitu keadilan, persamaan didepan
hukum serta bebas dari perlakuan diskriminasi. Putusan MK sejalan dengan
hukum konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945) yakni Paal 28 B ayat (2) UUD
1945, “Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
2. Bila kita perhatikan pada putusan MK, bahwa ada “hubungan perdata” dengan
laki-laki yang ayah biologisnya, sepanjang bisa dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan. Sehingga pasal tersebut tidak hanya menyangkut hak waris saja
namun hubungan perdata lainnya seperti salah satunya Hak Nafkah dari Ayah.
Oleh sebab itu, berdasarkan putusan MK tersebut, status anak yang dilahirkan di
luar perkawinan memiliki hubungan nasab (kekerabatan) dengan dengan ibu dan
kelauarga ibunya serta ayah dengan keluarga ayahnya. Atas dasar putusan tadi,
maka ayah dan keluarga ayah wajib memeberikan nafkah terhadap anak tersebut.
Sebab anak yang dilahirkan dari hubungan biologis tanpa ikatan perkawinan yang
sah, secara krodati tidak berbeda dengan anak sah. Dengan demikian ayah wajib
menunaikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti kesehatan, pendidikan,
dan lain sebagaina kepada anak-anaknya sesuai penghasilannya. Hal tersebut
selaras dengan Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam.
Pokok pikiran utama yang melandasi putusan MK merombak Pasal 43 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974 pada dasarnya adalah tidak tepat dan tidak adil bila
hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual dan
menybeabkan kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya
sebagai seorang ayah, dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak
anak terhadap laki-laki yang menjadi ayahnya.
Seandainya putusan MK hanya berkaitan dengan persoalan pertanggunggjawaban
nafkah, menurut saya sifatnya kasuistik dan akan sejalan dengan logika hukum
Islam, sebab masalah nafkah yang diperlukan untuk menunjang kehidupan anak,
tidak hanya terkait dengan orang yang ada kaitannya dengan hubungan nasab,
seperti apabila anak tersebut diangkat oleh orang lain, maka kewajiban nafkah
beralih ke ayah angkatnya.

E. Kesimpulan dan Rekomendasi


1. Dasar hukum pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara
No. 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak diluar nikah adalah bahwa Pasal 43
UU. No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya" bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam
memutuskan perkara tersebut juga mendasarkan kepada prinsip “equality
before the Law” yaitu prinsip “persamaan di hadapan hukum”. Prinsip ini
terkandung di dalam UUD 45 Pasal 28B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28D ayat
(1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”. Hal terpenting adalah bahwa keputusan Mahkamah
Konstitusi terebut sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM)
baik hukum HAM internasional maupun hukum Ham Nasional.
2. Akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentu
harus dibatasi berdasarkan konteks anak luar perkawinan dari hasil pernikahan
poligami sirri Aisyah Mokhtar dan Moerdiono serta hanya dalam perkara
perdata waris. Sehingga koridor hukum dari akibat Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut hanya dalam perkara perkawinan sirri bukan anak hasil
zina dan hanya dalam lingkup perkara perdata waris bukan hak-hak perdata
anak lainnya.

Anda mungkin juga menyukai

  • 03
    03
    Dokumen1 halaman
    03
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • Legal Opinion
    Legal Opinion
    Dokumen7 halaman
    Legal Opinion
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • Replik
    Replik
    Dokumen2 halaman
    Replik
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • T2 Perburuhan Grab
    T2 Perburuhan Grab
    Dokumen44 halaman
    T2 Perburuhan Grab
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • KEPAILITAN
    KEPAILITAN
    Dokumen14 halaman
    KEPAILITAN
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • T2 HAM Kelompok 1
    T2 HAM Kelompok 1
    Dokumen4 halaman
    T2 HAM Kelompok 1
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • Uas Filkum
    Uas Filkum
    Dokumen4 halaman
    Uas Filkum
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • Hukum Islam T2 Selesai Fix
    Hukum Islam T2 Selesai Fix
    Dokumen13 halaman
    Hukum Islam T2 Selesai Fix
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • T1 Azwar Antropologi
    T1 Azwar Antropologi
    Dokumen3 halaman
    T1 Azwar Antropologi
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat
  • Kendeng III
    Kendeng III
    Dokumen7 halaman
    Kendeng III
    Amanda Julianna Clarissa
    Belum ada peringkat