Anda di halaman 1dari 4

TUGAS TERSTRUKTUR 2

PERBANDINGAN RATIFIKASI CONVENTION OF THE RIGHTS OF THE CHILD


DAN PERUNDANG-UNDANGAN DOMESTIK TENTANG ANAK DI INDONESIA

Dosen Pengampu
Mufatikhatul Farikhah, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Amanda Juliana Clarisa - 155010100111045


Tania Putri Atikahsari - 165010100111005
Fredy Febrian Ibrena - 165010100111071
Yosua Trubus Aji Santosa - 165010100111094
Mikail Aditia Rahman - 165010100111096
Andrie Surya Pribady - 165010100111097
Harya Rifa Ridwana - 165010100111103

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN
CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD

(KOVENSI TENTANG HAK-HAK ANAK)

Lampiran:

PERNYATAAN (DECLARATION)

The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees the fundamental rights of the
child irrepective of their sex, ethnic or race. The Constitution prescribes those rights to be
implemented by national laws and regulations.

The ratification of the Convention on the Right of the Child by the Republic of Indonesia does
not imply the acceptance of obligations going beyond the Constitutional limits nor the
acceptance of any obligation to introduce any right beyond those prescribed under the
Constitution.

With reference to the provisions of Articles 1, 14, 16, 17, 21, 22 and 29 of this Convention,
the Government of the Republic of Indonesia declares that it will apply these articles in
conformity with its Constitution.

A. Pasal 1 Convention of the Rights of the Children

The Convention defines a 'child' as a person below the age of 18, unless the laws of a
particular country set the legal age for adulthood younger. The Committee on the Rights of
the Child, the monitoring body for the Convention, has encouraged States to review the age
of majority if it is set below 18 and to increase the level of protection for all children under
18.

Didasari atas article 1 CRC, disimpulkan bahwa pengertian “anak” secara universal sebagai
mereka yang berumur dibawah 18 tahun, terkecuali apabila hukum suatu negara hendak
mengidentifikasi umur “anak” dengan umur yang lebih muda. Dan apabila demikian, CRC
menghendaki negara-negara ini untuk menimbang data mayoritas sensus umur anak di
negaranya apabila akan menetapkan umur anak menjadi lebih muda, serta menghendaki
negara-negara secara umum untuk menegaskan dan memperketat kebijakan perlindungannya
terhadap semua anak dibawah umu 18 tahun.

Demikian, dalam implementasinya sistem hukum Republik Indonesia memiliki interpretasi


yang bervariasi dalam mengidentifikasi seorang individu sebagai “anak”. Berikut
perbandingan serta persamaan yang kami temukan dalam beberapa perundang-undangan
yang diterapkan di Indonesia;
1. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU tersebut, “anak” ialah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Anak juga meliputi anak yang masih berada dalam kandungan, dalam arti UU ini
mengidentifikasi anak sebagai mereka yang masih berada dalam kandungan hingga mereka
yang belum berumur genap 18 tahun. Sebagai tolak ukur, UU Nomor 35 Tahun 2014 cukup
tegas dan deskriptif, dan demikian akan kami gunakan sebagai definisi utama mengenai
istilah “anak”.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP tidak secara eksplisit mendefinisikan “anak”, namun mengutip Pasal 40 dan Pasal 45
dapat kita temukan definisi penjahat yang tidak dipidana karena umur dan istilah minderjarig
atau “belum cukup umur”. Berikut bunyi Pasal 40 dan 45 KUHP:

“Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut
barang-barang denga melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-
bagian Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan,
mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat
menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah
diserahkan kembali kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun.”

“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu
perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya
yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana
apa pun”

Kata “belum enam belas tahun” yang disebut berkali-kali dalam KUHP (diatas sebagai
contohnya) menandakan bahwa KUHP secara implisit menginterpretasikan anak sebagai
mereka yang belum dewasa, atau secara khusus yaitu mereka yang berumur dibawah 16
tahun. Demikian kita temukan perbedaan, namun bukan kontradiksi, dikarenakan menurut
kami, tidak ada secara defnitif dalam KUHP menjelaskan apa itu “anak”.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata/B.W.)

Layaknya KUHP, kami menemukan kasus yang sama, dimana seperti KUHP, KUHPerdata
menjelaskan “belum dewasanya” seseorang dengan penjelasan bahwa “Seseorang belum
dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali
seseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun”. Demikian penjelasan yang tertera
dalam Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata, dan kembali lagi bukanlah suatu perbedaan atau
kontradiksi yang kami temukan disini, melainkan sebuah gambaran yang implisit dalam
mengidentifikasi definisi “anak” menimbang bahwa ketentuan-ketentuan tersebut memang
hanya berlaku sebatas unsur dan ruang lingkup perdata di KUHPerdata dan seperti KUHP di
lingkup pidana.
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Lain halnya dengan KUHP dan KUHPerdata, dalam Pasal 26 UU Ketenagakerjaan yang
berbunyi:

“Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”

Memberikan pengertian yang jelas tentang apa itu “anak” namun kami berpendapat bahwa
kontradiktif dengan pengertian anak menurut UU Nomor 35 Tahun 2014, dimana pengertian
anak dalam UU Ketenagakerjaan tidak membubuhi perihal anak dalam kandungan sebagai
anak selain mereka yang berumur dibawah 18 tahun.

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Akhir kata, kami menemukan definisi “anak” yang menurut kami sangat rinci dan tegas, yaitu
dalam Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi:

“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya”

Dan demikian adalah deskripsi anak yang sesuai dan patuh terhadap ketentuan article 1 CRC
dimana tidak hanya UU HAM menyatakan perlindungan bagi anak dibawah 18 tahun, tapi
juga membubuhi ketentuan bahwa anak tersebut dalam kondisi belum menikah, dan juga
menyertai atribusi “anak” kepada mereka yang masih berada dalam kandungan.

Sebagai kesimpulan perbandingan article 1 ini, kami merekomendasikan untuk adanya


unifikasi dan acuan yang spesifik dalam menginterpretasi anak terutama dalam aspek umum
dan perlindungan hak, dikarenakan masih banyak miskonsepsi dan multitafsir akan definisi
subjek hukum yaitu anak.

Anda mungkin juga menyukai