Anda di halaman 1dari 3

Masa remaja (usia 11–20 tahun) adalah masa yang khusus dan penting, karena merupakan periode

pematangan organ reproduksi manusia. Masa remaja disebut juga masa pubertas, merupakan masa
transisi yang unik ditandai dengan berbagai perubahan fisik, emosi dan psikis. Remaja berada
dalam situasi yang sangat peka terhadap pengaruh nilai baru, terutama bagi mereka yang tidak
mempunyai daya tangkal. Mereka cenderung lebih mudah melakukan penyesuaian dengan arus
globalisasi dan arus informasi yang bebas yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku
menyimpang karena adaptasi terhadap nilainilai yang datang dari luar. Masalah yang paling
menonjol dilakangan remaja saat ini, misalnya masalah seksualitas, sehingga hamil di luar nikah
dan melakukan aborsi. Kemudian rentan terinfeksi penyakit menular seksual (IMS), HIV dan AIDS
serta penyalahgunaan Narkoba. Adanya motivasi dan pengetahuan yang memadai untuk menjalani
masa remaja secara sehat, diharapkan remaja mampu untuk memelihara kesehatan dirinya sehingga
mampu memasuki masa kehidupan berkeluarga dengan reproduksi sehat.

Istilah “anak” saat ini relatif sudah memiliki definisi yang lebih tegas, yakni subjek hukum yang
berusia di bawah 18 tahun. Batasan usia 18 tahun ini antara lain ditemukan dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,
dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Batas usia minimal untuk disebut anak bisa sangat rendah, misalnya sejak di dalam
kandungan seperti terbaca dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

Tentu ada variasi lain soal usia ini, karena dalam beberapa peraturan perundang-undangan, usia
anak memiliki batas maksimal 17 tahun, seperti untuk ikut memilih presiden dan wakil presiden
(UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) atau untuk memilih di
pemiilu legislatif (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Sebaliknya, ada peraturan perundang-undangan yang menetapkan batas usia lebih ttinggi, yaitu 21
tahun atau 23 tahun. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, dinyatakan bahwa hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir
apabila anak tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai umur 23 tahun. Lalu dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 1949 tentang Pemberian Pensiun kepada Janda (Anak-Anaknya)
Pegawai Negeri yang Meninggal Dunia, dicantumkan keterangan bahwa anak yang dapat ditunjuk
sebagai yang berhak menerima tunjangan ialah anak-anak yang dilahirkan sebelum dan sesudahnya
peraturan ini dijalankan dan belum mencapai umur 21 tahun penuh.

Batas usia minimal untuk bisa disebut dewasa, dengan demikian bisa berbeda-beda sesuai aturan
yang digunakan. Batas usia 17, 18, 21, atau 23 tahun di atas, juga tidak mutlak. Apabila sebelum
mencapai usia-usia itu ternyata subjek telah melangsungkan perkawinan, maka sejak saat itu juga
telah terjadi proses pendewasaan.
Satu hal yang menarik adalah apakah usia anak ini terkait dengan dengan jenis-jenis tindak pidana
anak? Ternyata hukum nasional kita tidak memberi penegasan tentang apa saja jenis-jenis tindak
pidana anak itu. Semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak, digolongkan sebagai tindak
pidana anak. Padahal, seharusnya ada istilah yang dalam bahasa Inggris disebut juvenile
delequency. Dulu, istilah ini kerap diterjemahkan sebagai kenakalan remaja. Namun, terminologi
“remaja” sepertinya tidak lagi dimasukkan sebagai terminologi hukum positif Indonesia. Artinya,
konsep juvenile delequency seharusnya dialihbahasakan menjadi kenakalan anak.

Kata “nakal” dan “kenakalan” tidak dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Juga tidak ditemukan kata-kata
tersebut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sebagai gantinya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menggunakan istilah “ anak yang
berkonflik dengan hukum ” . Pasal 1 butir 3 dari undang-undang ini menyatakan, “ Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”
Jadi, umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun inilah yang sebenarnya masuk dalam kategori remaja
(juvenile).

Jika dilihat dari rentang umur tersebut, maka Anak yang Berkonflik dengan Hukum (selanjutnya
disingkat ABH) ini sudah dapat melakukan tindak pidana umum yang tergolong serius di mata
masyarakat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penipuan. Sebagai contoh,
tindak pidana pemerkosaan dan pembunuhan sadis terhadap remaja bernama Yuyun di Bengkulu
(2 April 2016) dilakukan oleh 14 orang, yang tiga pelaku di antara berusia di bawah 18 tahun.

Pertanyaannya adalah apakah terhadap ABH yang melakukan kejahatan seperti pemerkosaan dan
pembunuhan seperti ini layak mendapakan perlakuan khusus seperti diversi yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak? Konsep pengalihan penanganan kasus
ABH dengan pendekatan yang berbeda dari jalur formal tersebut tentu berujung pada penerapan
sanksi yang lebih ringan terhadap pelaku.

Pertanyaan di atas menjadi signifikan karena konsep anak adalah orang yang berusia di bawah 18
tahun (terlepas di manapun batas usia bawah itu diletakkan), akan berganti ketika orang ini telah
berstatus kawin. Artinya, anak yang melangsungkan perkawinan bukan lagi berpredikat sebagai
anak. Untuk dapat kawin, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
menetapkan batas usia terendah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, kendati di
masyarakat batas usia ini seringkali juga dilanggar. Asumsi dari dikawinkannya anak berusia di
bawah 18 tahun itu adalah karena mereka dianggap sudah mampu melakukan tugas dan peran
sebagaimana layaknya orang dewasa. Salah satunya adalah bereproduksi.

Oleh sebab itu, tindak pidana yang tergolong serius dilakukan oleh ABH seperti pemerkosaan dan
pembunuhan berencana, seharusnya tidak layak diberikan diversi. Perbuatan-perbuatan demikian
bukan lagi disebut “ kenakalan anak ” sebagaimana konsep yang ingin dilekatkan pada sebutan
ABH. Kenakalan anak adalah bentuk-bentuk pelanggaran yang masih bisa ditoleransi oleh
masyarakat, bukan kejahatan yang meresahkan seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana.

Generalisasi terkait ABH yang semata-mata melihat usia pelaku sebagai patokan, sesungguhnya
tidak sepenuhnya tepat. Antisipasi ini sebenarnya sudah ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di sana sudah dibuat penggolongan bahwa diversi
hanya diberikan untuk jenis-jenis tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah tujuh tahun
penjara dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Kata “dan” di atas harus dibaca bahwa
diversi wajib diberikan bagi ABH yang melakukan untuk pertama kalinya tindak pidana yang
diancam sanksi penjara kurang dari tujuh tahun. Apabila ABH itu melakukan pengulangan tindak
pidana serupa di kemudian hari, maka diversi tidak lagi wajib diberikan. Kata “tidak wajib” di sini
perlu dicermati karena boleh saja dipandang sebagai “dapat” diberikan.

Kendati mungkin fasilitas diversi tidak dijalankan, para hakim ternyata memiliki persepsi yang kuat
bahwa pelaku yang belum berusia 18 tahun wajib diberikan keringanan hukuman. Indikasinya
terlihat dari sangat lazimnya ditemukan putusan yang memuat faktor usia yang masih muda sebagai
pertimbangan yang meringankan hukuman. Dengan demikian dapat dipastikan usia ABH inipun
akan dijadikan pertimbangan untuk memberikan keringanan, yang notabene menurut Pasal 47
KUHP dapat diberikan pengurangan sepertiga dari ancaman untuk orang dewasa. Keringanan dan
pengurangan demikian juga akan “ dinikmati ” lagi setelah yang bersangkutan menjalani masa
pidana. Pasal 4 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menyatakan anak yang sedang
menjalani masa pidana berhak mendapat pengurangan masa pidana.

Dengan melihat kecenderungan pertambahan kuantitas dan kualitas tindak pidana yang serius dan
meresahkan yang dilakukan oleh anak di bawah 18 tahun, tampaknya praktik sistem peradilan
pidana anak perlu disadarkan pada patokan-patokan yang lebih komprehensif, di luar semata-mata
batasan usia, yakni terkait dengan keputusan untuk memberikan perlakuan khusus seperti diversi,
keringanan, dan pengurangan hukuman. Untuk sementara ini, ketentuan Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat dijadikan tolok ukur yang penting guna
melengkapi batasan usia ini. Semangat untuk memberikan keadilan restoratif yang diusung oleh
sistem peradilan pidana anak akan menjadi sangat naif apabila hanya diungkapkan melalui
pemberian fasilitas diversi, keringanan, dan pengurangan hukuman kepada para pelaku
tindak-tindak pidana yang tergolong serius dan meresahkan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai