Anda di halaman 1dari 8

Nama : Rizky Luthfiandari

Nim : C93218103

Prodi : Hukum Pidana Islam (B)

Dosen Pengampu : Riyanto, SH.,MH.

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

SANKSI HUKUM KEBIRI KIMIA DALAM KASUS PEMERKOSAAN ANAK

A. Pendahuluan

Hak Asasi Manusia atau yang biasa disebut dengan HAM merupakan sesuatu yang
sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Hak Asasi Manusia telah melekat sejak
manusia lahir yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan
pemerintah, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena
itu, hak asasi manusia menjadi hal yang fundamental dalam keberlangsungan dari kehidupan
manusia. Karena menjadi sangat penting, maka hak asasi manusia harus dilindungi dan
dijamin secara universal.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) 1948, menjelaskan bahwa manusia hidup dalam kebebasan,
persamaan dan perlindungan yang setiap orang harus diakui hak dasarnya tanpa terkecuali
orang lain, termasuk negara beserta penguasanya sekalipun. Di Indonesia telah diatur
Undang-Undang mengenai Hak Asasi Manusia, namun masih saja banyak pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi. Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminatif.” Sebaliknya, mereka bukanlah objek
(sasaran) dari tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari
pihak siapapun atau pihak manapun.
Salah satu bentuk kejahatan terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah yang
banyak terjadi adalah pemerkosaan yang umumnya pada perempuan dewasa namun tidak
jarang terdapat kasus pemerkosaan terhadap anak. Kejahatan pemerkosaan sangat berdampak
pada psikologi korban,trauma yang berkepanjangan, timbul ketakutan atau fobia tertentu,
mudah merasa takut dan cemas berlebihan, yang lebih miris di kemudian hari anak bisa
menjadi lebih agresif, berpotensi melakukan tindak criminal bahkan menjadi pelaku
kekerasan. Tindakan pemerkosaan tidak hanya terjadi di kota-kota besar dengan tingkat
kriminalitas tinggi dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tetapi juga terjadi di pedesaan
yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Hal ini menunjukkan bahwa
tindak pidana pemerkosaan adalah masalah serius bagi setiap sudut kehiduppan masyarakat.

Oleh karena maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak. Sebagai kelompok yang lemah
dan rentan perlindungan hak-haknya harus terpenuhi. Perlindungan terhadap anak Indonesia
bertujuan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan mampu memberikan
perlindungan dari bahaya yang mengintai mereka, yang pada akhirnya dapat menjauhkan
anak dari perampasan hak mereka.Hal ini semestinya juga berlaku bagi perempuan dewasa
yang mana mereka sama-sama harus dilindungi keberadaannya dari oknum laki-laki yang
melakukan tindak pidana.

B. Permasalahan
Kasus pemerkosaan anak di bawah umur terjadi di Kecamatan Wonomerto, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Dilakukan oleh Dukun berinisal S (55) dan korban yang masih
duduk di bangku Sekolah Dasar ( SD) berinisal B. Pelaku yang diketahui sebagai dukun ini
sudah melakukan aksinya sebanyak 10 kali, sejak Mei 2020. Aksinya baru terbongkar setelah
korban cerita ke orang tuanya. Mengetahui itu, awalnya orang tua korban takut untuk
melaporkan pelaku ke polisi karena S dikenal sebagai dukun pesugihan atau paranormal.
Setelah mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak, orang tua korbsn akhirnya melaporkan
kasus ini ke polisi .(32/08/2020).

C. Bahan- bahan, informasi dan bukti terkait.


Pelaporan ini berdasarkan keterangan korban kepada orang tuanya. Kasatreskrim Polres
Probolingo mengatakan, dalam melakukan aksinya pelaku S (55) mengiming-imingi korban
dengan uang jajan sebesar Rp.15.000.
Selain mengamankan pelaku, polisi juga menyita barang bukti seperti pakaian korban,
pakaian pelaku, dan flashdisk berisi rekaman aksi pelaku yang direkamnya sendiri
menggunakan kamera ponsel.

D. Dasar hukum terkait dengan kasus.


a. Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
b. Pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

E. Uraian fakta-fakta dan Kronologis


Seorang pria di Kecamatan Wonomerto, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, berinisal S
(55), mencabuli anak di bawah umur yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD)
berinisal B. Pelaku yang diketahui sebagai dukun ini sudah mencabuli korban sebanyak 10
kali, sejak Mei 2020.Namun, aksinya baru terbongkar setelah Kobran bercerita kepada orang
tuanya. Mengetahui itu orang tua korban takut untuk melaporkan pelaku ke polisi karena S
dikenal sebagai dukun pesugihan atau paranormal.
Setelah mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak, orang tua korban akhirnya
melaporkannya ke polisi hingga pelaku ditangkap pada Senin( 31/08/2020). Kasatreskrim
Polres Probolinggo mengatakan, dalam melakukan aksinya, pelaku S (55) mengiming-imingi
korban dengan uang jajan sebesar Rp.15.000. Saat melakukan pencabulan, pelaku juga
merekam aksinya dengan menggunakan kamera ponsel dan menyimpannya di dalam
flashdisk. Perbuatan tersebut dilakukan secara berkali-kali di rumahnya. Selain
mengamankan pelaku, polisi juga menyita beberapa barang bukti seperti pakaian korban,
pakaian pelaku dan flashdisk.

F. Analisa Hukum
Merujuk Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak khususnya pada pasal 81, mengesampingkan Pasal 287 KUHP. Pasal 81 Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tersebut berisi
perlindungan hukum kepada anak korban perkosaan. Pada Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang
No.23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, telah digunakan batas
minimal penjara 5 tahun dan maksimal 15 tahun kepada pelaku kejahatan perkosaaan
terhadap anak di bawah umur dan apabila dilakukan oleh Orang tua, wali, pengasuh anak
maka hukumannya ditambah menjadi 1/3 dari ancaman hukuman yang terdapat pada pelaku
sehingga dapat diancam dengan 20 tahun penjara. Jika dibandingkan dengan Pasal 287 ayat
(1) KUHP dengan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 ini sudah lebih baik dan lebih memperhatikan kepentingan
perlindungan korban, khususnya anak yang menjadi korban perkosaan. Dan batas maksimal
hukuman penjara lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas maksimal hukuman pada Pasal
287 ayat (1) KUHP yang hanya menganvam maksimal hukuman penjara kepada pelaku
kejahatan perkosaan terhadap anak dibawah umur selama 9 tahun.

Unsur-unsur Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan Anak, sebagai berikut :

a. Setiap orang

Terpenuhinya unsur ini karena yang dimaksud setiap orang adalah “subyek
hukum” yang mengarah kepada pelaku tindak pidana pemerkosaan yang berinisal S (55).

b. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman.

Dalam melakukan persetubuhan, pelaku melakukan kekerasan atau ancaman demi


memuluskan perbuatannya, bentuk konkret kekerasan itu misalnya dengan memukul,
menendang, menusuk dengan pisau, dan lain sebagainya. Sedangkan, ancaman itu
merupakan suatu tindakan yang berupa perbuatan persiapan yang ditujukan pada korban
untuk memudahkan melakukan suatu perbuatan.
Pada kasus di atas sudah sangat jelas apabila korban di iming-imingi dengan uang
jajan sebesar Rp.15.000 dan akan menyebar luaskan video yang direkam oleh pelaku
apabila mengadu ke orang sekitar/ orang lain. Jadi, Unsur dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman terpenuhi.

c. Memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya.

Memaksa disini merupakan suatu perbuatan untuk menekan kehendak orang lain
agar orang tersebut menerima kehendak terdakwa dalam melakukan persetubuhan,
sedangkan yang dimaksud “anak” dalam undang-undang ini adalah seseorang yang
belum berusia delapan belas (18) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam
kandungan.

Unsur ini terpenuhi apabila melihat status korban masih anak-anak atau belum
berusia delapan belas tahun yang duduk di bangku sekolah dasar dipaksa untuk
memuaskan hasrat pelaku.
Maka apabila dilihat dengan seksama maka Pasal yang paling tepat dalam kasus
ini adalah Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak yang unsur-unsurnya telah terpenuhi seluruhnya dan
dihukum dengan hukuman penjara 15 tahun dengan denda maksimal Rp. 5.000.000.000.

G. Pendapat Hukum.

Hal yang harus lebih diperhatikan pada kasus tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak yaitu Tidak dilaporkannya kepada keluarga atau aparat penegak hukum.
Alasan kasus-kasus ini tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk
di proses ke pengadilan karena beberapa factor, diantaranya korban merasa malu dan
tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain atau korban merasa takut
karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian
tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/ kejiwaan
dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegak hukum itu sendiri untuk
mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.
Sanksi Hukum tindak pidana pemerkosaan secara umum diatur dalam Kitab
Undang- Undang (KUHP) Pasal 286 sedangkan sanksi hukum terhadap pelaku
pemerkosaan anak telah diatur tersendiri di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor
23 Tahun 2002 Pasal 81 Butir (1),(2), dan (3) dengan kurungan penjara paling lama 15
tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000.

Penerapan sanksi pidana harus mampu memberikan efek jera dan setimpal bagi
pelaku kejahatan pemerkosaan tak terkecuali terhadap kasus pemerkosaan anak di bawah
umur.Sehingga tiap tahunnya Indonesia tidak mengalami peningkatan terkait dengan
kasus pemerkosaan anak. Hukuman pidana yang tercantum dalam KUHP dan Undang-
Undang Perlindungan Anak dianggap belum efektif sehingga pemerintah mengesahkan
PERPU No.1 Tahun 2016 menjadi Undang-Undang No.17 Tahun 2016 yang menerapkan
hukuman tambahan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual dengan
memberlakukannya kebiri secara kimiawi.

Penerapan kebiri secara kimiawi ini dilakukan dengan memasukkan zat kimia
antidrogen yang dapat memperlemah hormon testoteron. Caranya bisa lewat pil atau
suntikan. Bila hormone lemah, maka kemampuan ereksi, libido atau seksual seseorang
akan berkurang bukan hilang. Pengaruh kebiri kimia ii tidak berlangsung permanen. Jika
pemberian cairan dihentikan, libido dan kemampuan ereksi akan kembagi berfungsi.
Hukuman ini mempunyai dampak negative yaitu mempercepat penuaan tubuh, sehingga
tulang keropos, memperbesar patah tulang, menaikkan resiko jantung dan pembuluh
darah.

Negara-negara yang menerapkan hukuman kebiri, pelaku kejahatan seksual yang


diberi hukuman pemberatan kebiri tetap menjalani hukuman kurungan sesuai Undang-
undang yang berlaku. Namun banyak pro-kontra terkait hukuman kebiri ini, alasanya
karena penerapan kebiri kimia sebagai penghukuman adalah pelanggaran HAM. Selain
itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri bagi
pelaku kejahatan seksual pada anak-anak. Hal ini menurut IDI dikarenakan pelaksanaan
hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar sumpah dokter dank ode etik kodekteran
Indonesia.
Akan tetapi, dilihat dari semakin meningkatnya kasus pemerkosaan anak yang
terjadi di Indonesia setiap tahunnya, hukuman pemberatan kebiri kimia tampaknya
dianggap sebagai jawaban atas tingginya tuntutan publik atas penghukuman setimpal bagi
para pelakunya agar pelaku mendapatkan efek jera atas perbuatannya dan memberikan
rasa aman terhadap korbannya.

H. Kesimpulan dan Saran.


Seorang pria di Kecamatan Wonomerto, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur,
berinisal S (55), mencabuli anak di bawah umur yang masih duduk di bangku sekolah
dasar (SD) berinisal B. Pelaku yang diketahui sebagai dukun ini sudah mencabuli korban
sebanyak 10 kali, sejak Mei 2020.
Hukuman yang tepat dalam kasus ini adalah Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang unsur-
unsurnya telah terpenuhi seluruhnya dan dihukum dengan hukuman penjara 15 tahun.
Namun dapat juga pelaku diberi hukuman tambahan Kebiri kimia PERPU No.1 Tahun
2016 menjadi Undang-Undang No.17 Tahun 2016, sehingga pelaku memiliki efek jera.
Walaupun hukum kebiri kimia tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk mengatasi
permasalahan kejahatan seksual terhadap anak. Perlu ada kesadaran dan kerjasama
masyarakat dan pemerintah untuk menemukan akar permasalahan dan penanganan yang
tepat untuk mengangangi kasus kejahatan seksual.

Sumber berita/ kasus : https://regional.kompas.com/read/2020/09/02/05130021/kronologi-


terbongkarnya-dukun-cabuli-bocah-sd-berulang-kali-korban-cerita-ke?page=all#page2

Anda mungkin juga menyukai