Anda di halaman 1dari 6

Seorang anak laki-laki berumur lima tahun menjadi korban kekerasan seksual di toilet

sekolahnya, yang merupakan sekolah standar internasional di Jakarta Selatan.

Dimana pelakunya merupakan karyawan kontrak di sekolah tersebut. Menurut pengakuan


korban, pelaku berjumlah lima orang.

Ibu korban berinisial T (40) mengatakan dirinya mencium adanya kejanggalan terhadap perilaku
anaknya tersebut yakni pada pertengahan Maret 2014.

"Anak saya jadi sering ketakukan, mengigau dan berteriak saat tidur. Saya sempat frustrasi, dia
tidak mau bicara soal perubahan itu. Anak saya juga tidak mau sekolah," ujar T di Jakarta, Senin
(14/4/2014).

Hingga pada akhirnya pada 20 Maret 2014, T menemukan luka memar di perut sebelah kanan
anaknya. T pun menanyakan perihal luka itu pada sang anak. Dan anaknya mengakui menjadi
korban kekerasan di toiletnya.

''Anak saya akhirnya bilang dia mendapat tindakan kekerasan seksual di kamar mandi sekolah.
Dan dia dipukuli sebelum mendapatkan pelecehan seksual melalui anusnya. Akhirnya pada 24
Maret 2014 saya lapor ke Polda Metro," tutur T.

Tidak lama kemudian usai T membuat laporan polisi, penyidik berhasil menangkap dua pelaku
bernama Agus dan Firjiawan. Dan dalam pemeriksaan mereka mengaku telah melecehkan
korban.

Ditempat yang sama, Kuasa Hukum korban, Andi M Asrun menuturkan kasus pencabulan anak
sudah menjadi tren di Indonesia dan masyarakat harus memberikan perhatian akan hal itu.

''Kasus ini jadi perlawanan terhadap deklarasi sekolah sebagai zona damai dan aman bagi anak.
Apalagi sekolahnya dengan status keamanan yang tinggi di Jakarta,'' tambahnya.

Studi Kasus : “Anak Lima Tahun Jadi Korban Pelecehan Seksual di Toilet Sekolah”
Anak-anak merupakan generasi bangsa di masa mendatang yang berkaitan dengan
keberlangsungan hidup manusia. Untuk melaksanakan keberlangsungan tersebut, anak
memerlukan perlindungan dari orang dewasa dikarenakan dalam prosesnya secara fisik dan
mental seorang anak belum sepenuhnya matang. Setiap anak perlu mendapat perlindungan dan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik,
mental, maupun sosial. Kehidupan anak–anak merupakan cermin kehidupan bangsa dan
negara. Kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu negara
memberikan jaminan kepada anak-anak untuk dapat hidup berkembang sesuai dengan dunia
anak-anak itu sendiri, sedangkan kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan rasa ketakutan,
traumatik, sehingga tidak dapat mengembangkan psiko-sosial anak, merupakan cermin suatu
negara yang tidak peduli pada anak-anak sebaga generasi bangsa yang akan datang

Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak telah


diterbitkan. Dalam undang-undang perlindungan anak yang dimaksud dengan :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini telah
diatur dengan jelas tentang perlindungan anak sampai kepada aturan sanksi pidana bagi yang
melanggar hak anak. Dalam Undang-Undang tersebut juga dijelaskan bahwa penyelenggaraan
perlindungan anak adalah orang tua, keluarga, pemerintah dan negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat
2 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi. Untuk itu, perlu
dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa adanya perlakuan diskriminatif.

Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah
berlaku kurang lebih 12 tahun sudah mendapat beberapa perubahan yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Undang-Undang yang baru tersebut lebih menegaskan
tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak
terutama kepada kejahatan seksual. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera
terhadap pelaku, serta mendorong adanya langkah nyata yang cepat untuk memulihkan kembali
fisik, psikis dan sosial anak. Akhir-akhir ini banyak sekali ditemukan kasus kejahatan seksual
pada anak yang pelakunya kebanyakan orang-orang yang berada disekitar anak-anak tersebut,
bahkan tak jarang orang terdekat dari anak-anak yang mengalami kekerasan seksual. Pada kasus
pelecehan seksual selain memberikan hukuman pada pelaku, jangan sampai melupakan cara
mengatasi dampak psikologis yang dialami oleh anak yang menjadi korban.

Salah satu kasus yang marak terjadi adalah pelecehan seksual yang terjadi pada anak yang tak
jarang pelakunya berasal dari orang-orang terdekat korban. Seperti pada studi kasus yang saya
dapat mengenai anak usia lima tahun menjadi korban pelecehan seksual di toilet sekolahnya,
dimana pelakunya adalah karyawan kontrak yang bekerja di sekolah korban. Hal ini sangatlah
miris, dimana harusnya anak-anak pergi sekolah dengan persaan riang untuk menuntut ilmu,
akan tetapi berubah menjadi murung dan enggan pergi ke sekolah setelah mengalami tindak
pelecehan seksual. Hal tersebut juga tidak sesuai dengan UU No 35 tahun 2014 pasal 1 ayat 12
mengenai Hak Anak. Kejadian seperti halnya studi kasus tersebut sudah sangat mengancam hak
seorang anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari orang dewasa baik dari orang
tua, keluarga, guru, petugas sekolah yang lain, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah
daerah.
Salah satu penyebabnya masih tingginya tindakan kekerasan pada ada anak tidak lain adalah
paradigma atau cara pandang yang keliru mengenai anak. Seolah-olah tindak kekerasan
terhadap anak diperbolehkan dan tidak menjadi masalah dengan alasan untuk mendisiplinkan
kenakalan anak dan menganggap anak masih merupakan individu yang lemah. Penyebab lain
juga karena kurangnya sosiali tentang undang-undang perlindungan anak ini, sehingga banyak
kaum awam belum mendapat pengetahuan akan konteks penting di dalamnya. Bagi sebagian
orang tua menghalalkan mendidik dengan cara kekerasan dan dinilai efektif untuk menciptakan
mental seorang anak, padahal cara tersebut dapat memberikan dampak psikis bagi anak
kedepannya. Apabila rasa aman yang dimiliki anak berkurang, maka hal tersebut dapat
menimbulkan dampak yang negatif bahkan yang juga berpengaruh kepada masa depan anak
tersebut.

Berdasarkan pasal 23 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang telah mengalami perubahan,
pasal 1 berbunyi “Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan,
pemeliharaan, dan kesejarteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua,
Wali, atau orang lain”. Sebenarnya pada pasal 23 ini sudah sangat jelas bahwa negara serta
pemerintah terkait juga memiliki kewajiban dalam menjamin dan memperhatikan perlindungan
anak. Tetapi pada kenyataan yang ada, pemerintah cenderung baru bergerak dalam menangani
perlindungan anak setelah ada kasus kekerasan anak yang diangkat oleh media massa. Setelah
kasus tersebut ramai diperbincangkan di media massa dan bnyak mendapat kritik dari berbagai
pihak, barulah pemerintah beramai-ramai turut turun tangan menangani kasus tersebut.
Sebenarnya hal yang seperti ini sering terjadi di masyarakat dan sudah seperti fenomena
gunung es. Padahal seharusnya baik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusah dan Negara
memiliki kewajiban untuk mengawasi penyelenggaraan Perlindungan Anak sesuai dengan pasal
23 ayat 2.

Pada UU No.35 Th 2014 pasal 1 ayat 16 menjelaskan pengertian tentang kekerasan yakni
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Menurut undang-undang seharusnya anak dilindungi dari berbagai jenis kekerasan yang telah
disebutkan dalam undang-undang tersebut. Seorang anak sepatutnya memperoleh
perlindungan dari tindakan yang mengandung unsur Kekerasan sesuai dengan pasal 15 huruf d.

Tujuan perlindungan anak menurut undang-undang adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-
hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskrimisasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Perubahannya yaitu Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perlindungan Anak, diharapkan dapat mencakup
semua permasalahan perlindungan dan dapat menjadi solusi jalan keluar dari maraknya
permasalahan kekerasan anak supaya tidak terdengar kembali kasus mengenai kekerasan pada
anak.

Pada pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mendapat penambahan huruf f mengenai
perlindungan anak dari kejahatan seksual diharapkan dapat ditegakkan oleh para penegak
hukum. Mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku
kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual, supaya menimbulkan efek jera
kepada pelaku. Tidak hanya untuk pelaku, perlu diperhatikan khusus tindakan bagi pemulihan
anak yang pernah mengalami kejahatan seksual dan dapat dibuktikan dengan nyata untuk
memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak tersebut supaya kejadian pelecehan seksual
tidak terulang kembali dikemudian hari dan tidak meninggalkan trauma yang berkepanjangan.

Kepada penegak hukum diharapkan dapat memberikan ganjaran yang setimpal kepada pelaku
kejahatan pada anak sesuai dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang telah
diperbaruhi dengan ancaman pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 5 (lima) tahun
dan denda maksimal sebanyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Yang lebih khusus dalam
undang undang ini adalah jika pelaku pemerkosaan atau pencabulan dilakukan oleh orang tua,
wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Pada UU No 35 tahun 2014 Pasal 76 G tentang perubahan UU No 23 tahun 200 E tentang


Perlindungan Anak sudah dijelaskan mengenai anjuran memberikan laporan kepada pihak
berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap UU ini. Sehingga apabila terjadi kejadian
kekerasan pada anak dapat segera ditangani oleh pihak yang berwajib dan kasus tersebut tidak
terjadi berkepanjangan dan timbul lagi di kemudian hari di sekita kita. Kepada setiap orang yang
berada di lingkungan sekitar anak, diharapkan untuk menjadi pengawas dan pemberi
perlindungan yang baik kepada anak agar anak dapat menjalani hidupnya dengan baik dan
tercipta generasi penerus bangsa yang berkualitas sesuai yang di cita-citakan nenek moyang
kita.

DAFTAR REFERENSI

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun


2002 tentang Perlindungan Anak.

Anonim. http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/04/14/anak-lima-tahun-jadi-korban-
pelecehan-seksual-di-toilet-sekolah. Studi Kasus: “Anak Lima Tahun Jadi Korban Pelecehan
Seksual di Toilet Sekolah” (Diakses pada tanggal 15 Juni 2015)

Anda mungkin juga menyukai