NIM : C93218103
Prodi : HPI-B/Semester VI
1. Tahapan konflik :
a. pre conflict stage sengketa berawal dari munculnya keluhan- keluhan (grievance) dari
salah satu pihak terhadap pihak yang lain (individu atau kelompok), karena pihak yang
mengeluh merasa hakhaknya dilanggar, diperlakukan secara tidak wajar, kasar,
dipersilahkan, diinjak harga dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dll.
Kondisi awal seperti ini disebut sebagai tahapan prakonflik (pro-conflict stage) yang
cenderung mengarah kepada konfrontasi yang bersifat monadik (monadic).
b. onflict stage adalah apabila kemudian pihak yang lain menunjukkan reaksi negatif
berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan- keluhan dari pihak yang
pertama, maka kondisi ini meningkat eskalasinya menjadi situasi konflik (conflict
stage), sehingga konfrontasi antarpihak-pihak berlangsung secara diadik.
c. Dispute stage adalah Apabila sengketa antar pihak-pihak tersebut ditunjukkan dan
dibawa ke arena publik (masyarakat) dan kemudian di proses menjadi kasus
perselisihan dalam institusi penyelesaian konflik sengketa (dispute stage) dan
konfrontasi antar pihak-pihak yang berselisih menjadi triadik atau bahwa perorangan
atau kelompok telah terlibat secara aktif dalam ketidakadilan atau ketidaksesuaian.
2. Cara penyelesaian dengan cara Arbitrase ialah
1. Pihak yang bersengketa melakukan kesepakatan bahwa penyelesaian sengketa secara
Arbitrase dan harus disetujui kedua belah pihak. Lalu, Pemohon harus memberitahukan
Termohon bahwa sengketa diselesaikan melalui jalur arbitrase. Menurut Undang-Undang
No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang menjelaskan bahwa menyiapkan surat
pemberitahuan yang memuat lengkap informasi yakni :
a. Nama lengkap Pemohon;
b. Alamat lengkap Pemohon;
c. Nama lengkap Termohon;
d. Alamat lengkap Termohon;
e. Penunjukan Klausula Arbitrase yang berlaku;
f. Perjanjian yang menjadi sengketa;
g. Dasar tuntutan;
h. Jumlah yang dituntut (apabila ada);
i. Cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki;
j. Perjanjian tentang jumlah arbiter (atau jika tidak memiliki perjanjian ini, Pemohon
dapat mengajukan jumlah arbiter yang dikehendaki dan harus dalam jumlah yang
ganjil. Penunjukan arbiter ini juga dapat diserahkan kepada ketua BANI atau melalui
pengangkatan Ketua Pengadilan Negeri).
2. Pihak pemohon melakukan pendaftaran dan permohonan arbitrase kepada Sekretariat
BANI.
3. Pemohon menyerahkan permohonan disertai dengan pembayaran biaya pendaftaran dan
administrasi (meliputi biaya administrasi sekretariat, pemeriksaan perkara, arbiter, dan
Sekretaris Majelis)
4. Setelah permohonan diterima dan pembayaran dilunasi, maka permohonan didaftarkan ke
dalam register BANI dan Permohonan akan diperiksa untuk kemudian ditentukan apakah
perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk melakukan
pemeriksaan sengketa tersebut.
5. Menurut UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 Pemohon dan Termohon dapat memiliki
kesepakatan untuk menunjuk arbiter tunggal atau Majelis. Jika menunjuk arbiter tunggal
para pihak menulis kesepakatan tertulis dan pemohon mengusulkan kepada termohon
sebuah nama yang akan dijadikan arbiter tunggal dalam waktu 14 hari. Sedangkan jika
menjuk Majelis maka pemohon dan termohon masing-masing menunjuk seorang arbiter
dan arbiter yang sudah ditunjuk oleh termohon dan pemohon menunjuk arbiter ketiga yang
akan menjadi Ketua Majelis dalam kurun waktu 14 hari.
6. Setelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriksa dan
memutuskan apakah BANI memang berwenang untuk melakukan pemeriksaan sengketa,
maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk.
7. Sekretariat menyiapkan salinan permohonan arbitrase pemohon dan dokumen-dokumen
lampiran lainnya dan menyampaikannya kepada Termohon.
8. Termohon memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan
tersebut. Apabila dalam jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter, maka secara
otomatis dan mutlak penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas waktu 30 hari dapat
diperpanjang melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat tertentu. Termohon
menyampaikan permohonan perpanjangan waktu untuk menyampaikan jawaban atau
menunjuk arbiter dengan menyertakan alasan-alasan yang jelas dan sah. Maksimal
perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari.
9. Dalam jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya kepada
BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban tersebut harus
mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung permohonan arbitrase
berikut butir-butir permasalahannya dengan melampirkan data dan bukti lain yang relevan
terhadap kasus.
10. Jika ternyata Termohon bermaksud untuk mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi),
maka tuntutan tersebut dapat pula disertakan bersamaan dengan pengajuan Surat Jawaban.
pihak Pemohon yang mendapat tuntutan balik dari Termohon diberi waktu selama 30 hari
(atau sesuai dengan kebijakan Majelis) untuk memberi jawaban atas tuntutan tersebut.
11. Dilakukan sidang pemeriksaan, maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180 hari terhitung
sejak Majelis atau arbiter ditetapkan.
12. Pemberian putusan akhir, Putusan akhir paling lama ditetapkan dalam kurun waktu 30 hari
sejak ditutupnya persidangan. Sebelum memberi putusan akhir, Majelis atau arbiter juga
memiliki hak untuk memberi putusan-putusan pendahuluan atau putusan-putusan parsial.
3. penyelesaian secara Arbitrase jika terjadi dispute, dan bagaimana pula untuk mengahiri
para pihak sebagai hakim yang ditunjuk dalam penanganan sengketa dimaksud, kemudian
Sidang Pemeriksaan
Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter.
Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait dengan
sengketa yang dipersoalkan.Sementara itu, terkait dengan bahasa yang digunakan, Majelis
atau arbiter dapat mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa asing sesuai
kesepakatan apabila ada pihak atau bahkan arbiter asing yang tidak dapat menggunakan
bahasa Indonesia, atau bagian transaksi yang menjadi penyebab sengketa dilaksanakan
dalam bahasa asing (selain Indonesia).Sebagaimana yang termaktub dalam Undang
Undang, batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180 hari terhitung sejak Majelis atau
arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi faktor Majelis atau arbiter
memperpanjang masa pemeriksaan adalah:
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Ayat (1) UU Arbitrase, arbiter yang ditunjuk atau
diangkat dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan atas dirinya.
Penerimaan atau penolakan tersebut, wajib diberitahukan secara tertulis kepada pihak yang
menunjuk dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
penunjukan atau pengangkatan. Jika penunjukan tersebut diterima oleh arbiter, maka antara
pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian
perdata yang mengakibatkan arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara
jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima
putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan bersama. Selain itu,
penerimaan atas penunjukan arbiter ini juga mengakibatkan arbiter yang bersangkutan
tidak dapat menarik diri kecuali atas persetujuan para pihak. Apabila para pihak menyetujui
permohonan penarikan diri tersebut, maka barulah yang bersangkutan dapat dibebaskan
dari tugas sebagai arbiter oleh ketua pengadilan negeri.
Menurut Pasal 21 UU Arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan
tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses
persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis
arbitrase kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut. meskipun
begitu, Arbiter tetap dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang ditimbulkan
kepada para pihak apabila arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak
memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.