Disusun Oleh:
1. Ajeng Safitri S. NIM. E0016023
2. Anindito Setiawan NIM. E0016063
3. Hepi Surya Melfina NIM. E0016202
4. Venna Melinda NIM. E0016430
5. Vera Ayu Lailasari NIM. E0016431
6. Willibrordus Yudistira T. S. P. NIM. E0016444
7. Yulista Triyani NIM. E0016461
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice, Bandung: PT Refika Aditama, , 2009, hlm 29.
Tidak hanya itu ponsel milik pelaku juga pernah dipinjam korban sehingga
ponsel tersebut disita oleh pihak sekolah karena siswa kelas X memang
dilarang membawa ponsel saat sekolah. Pelaku meminta korban untuk
mengambil ponsel tersebut tetapi korban tidak mau mengurus sehingga
pelaku merasa sakit hati.2
Masyarakat yang baik di masa akan datang bergantung dari
perilaku anak-anak sekarang sebagai generasi penerus. Anak-anak yang
baik dalam berprilaku sangat menunjang terbentuknya sistem sosial
masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku tindak pidana anak
perlu mendapat perhatian demi terbentuknya sistem sosial masyarakat
yang baik. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis
berusaha untuk menuangkan kedalam makalah yang berjudul : “Analisa
Kasus Pembunuhan Berencana Oleh Siswa Sma Taruna Nusantara
Magelang”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, rumusan masalah
dalam makalah ini di antaranya :
1. Apakah faktor penyebab terjadinya pembunuhan oleh anak yang
terjadi pada kasus pembunuhan di SMA Taruna Nusantara Magelang?
2. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana pembunuhan
yang dilakukan oleh anak?
2
https://regional.kompas.com/read/2017/04/02/07353541/ini.motif.pembunuhan.siswa.sma.taruna.
nusantara?page=all.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pembunuhan
Perbuatan yang dikatakan membunuh adalah perbuatan yang oleh siapa
saja yang sengaja merampas nyawa orang lain. pembunuhan (Belanda :
Doodslag) itu diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
(Pasal 338 KUHP). jika pembunuhan itu telah direncanakan lebih dahulu
maka disebut pembunuhan berencana (Belanda : moord), yang diancam
dengan pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun
atau seumur hidup atau pidana mati (Pasal 340 KUHP).3
Pasal 338 KUHP disebutkan bahwa :
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain
dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15
tahun”.
Pasal 340 KUHP disebutkan bahwa :
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Perkataan nyawa sering disinonimkan dengan "jiwa". Pembunuhan adalah
suatu perbuatan yang dilakukan sehingga menyebabkan hilangnya seseorang
dengan sebab perbuatan menghilangkan nyawa. Dalam KUHP Pasal 338-340
menjelaskan tentang pembunuhan atau kejahatan terhadap jiwa orang.
kejahatan ini dinamakan "makar mati" atau pembunuhan (doodslag).4
B. Definisi Anak
Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata
hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa,
3
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 129-130.
4
Lade Marpung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta: Sinar Grafika, 1999, hlm. 4.
orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau kerap juga
disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali. Berdasarkan UU
Peradilan Anak. Anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 tercantum dalam Pasal 1
Ayat (2) yang berbunyi:
“Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan
belas) tahun dan belum pernah menikah.”
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang berkonflik
dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana. Walaupun begitu istilah ini juga sering
merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara
biologis dan kronologi seseorang telah sudah termasuk dewasa namun apabila
perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja
diasosiasikan dengan istilah anak. Pengaturan batas usia anak dalam beberapa
ketentuan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:5
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP tidak memberikan
rumusan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi pembatasan usia anak
dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan
usia 16 tahun.
2. KUHAP (UU No.8 Tahun 1981), tidak secara eksplisit mengatur batas usia
pengertian anak, namun dalam Pasal 153 Ayat (5) memberi wewenang
kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun
untuk mengahdiri sidang.
3. Menurut Pasal 1 angka (2) UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum pernah kawin.
5
Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung : Fakultas Hukum Unila, 2013, hlm.
41.
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang
senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan
hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan
Konvensi PBB tentang HakHak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan
bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita
bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
6
Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Bandung: Cetakan 2. Alumni, hlm. 60
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa kenakalan anak mencakup 3
pengertian, yaitu7:
a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa merupakan tindak pidana
(kejahatan), akan tetapi bila dilakukan anak- anak belum dewasa
dinamakan deliquency seperti pencurian, perampokan dan penculikan.
b. Perbuatan anak yang menyeleweng dari norma kelompok yang
menimbulkan keonaran seperti kebut-kebutan, perkelahian kelompok dan
sebagainya.
c. Anak-anak yang hidupnya membutuhkan bantuan dan perlindungan,
seperti anak-anak terlantar, yatim piatu dan sebagainya, yang jika
dibiarkan berkeliaran dapat berkembang menjadi orang-orang jahat.
Menurut Romli Atmasasmita istilah deliquency tidak identik dengan istilah
kenakalan dan istilah junevile tidak identik dengan istilah anak. Istilah junevile
deliquency lebih luas artinya dari istilah kenakalan ataupun istilah anak-anak.
Oleh karena itu, Romli lebih cenderung menggunakan istilah kenakalan anak
daripada istilah kejahatan anak-anak8.
Kenakalan Anak menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat/dursila,
atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi)
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian tingkah laku yang menyimpang9. Kenakalan anak merupakan reaksi
dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh anak, namun tidak segera
ditanggulangi, sehingga menimbulkan akibat yang berbahaya baik untuk dirinya
maupun bagi orang lain. Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan anak
dikategorikan sebagai berikut:
a. Kenakalan Anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak yang
dianggap menyimpang, tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak
dianggap sebagai tindak pidana, misalnya membolos sekolah, melawan
orang tua, lari dari rumah, dan lain-lain.
7
Soedjono Dirdjosisworo, Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Alumni, hlm. 150.
8
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-Anak/Remaja, Jakarta: Armico, 1983, hlm. 17.
9
Kartini Kartono, Psikologi Remaja. (Bandung : Rosda Karya, 1988), hlm. 93
b. Kenakalan Anak sebagai tindak pidana (Juvenile delinquency), yaitu segala
prilaku anak yang dianggap melanggar aturan hukum dan apabila dilakukan
oleh orang dewasa juga merupakan tindak pidana, tetapi pada anak
dianggap belum bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.
Dalam UU No.3 Tahun 1997, Anak yang berkonflik dengan hukum
menggunakan istilah “Anak Nakal” sedangkan pada UU No.11 Tahun 2012
menggunakan istilah “Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”. Penggunaan
istilah “anak nakal” bagi seorang anak baik karena melakukan tindak pidana
ataupun karena melakukan penyimpangan perilaku. istilah “anak nakal”
merupakan bagian dari proses labeling atau stigmatisasi bagi seorang anak, yang
dalam kajian sosiologis dan psikologis dikhawatirkan justru akan menimbulkan
efek negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental si Anak.
Selanjutnya, penggunaan istilah ‘Anak yang Berhadapan dengan Hukum’, dimana
istilah ‘Anak yang Berhadapan dengan Hukum’ merupakan istilah yang memuat 3
(tiga) kriteria, yaitu sebagai berikut:
1) Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak
Adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
2) Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak
Korban Adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana
3) Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak
Saksi Adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri
Dengan demikian Tindak Pidana Anak ialah suatu perbuatan yang melanggar
norma, aturan atau hukum dalam Masyarakat maupun Negara yang dilakukan
pada usia yang belum dewasa.
BAB III
PEMBAHASAN
10
Bambang Sunggono, 1999, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
41
informasi dan ingin mewujudkan keinginan hati seringkali tanpa
berfikir dahulu apakah perbuatan yang dilakukannya merupakan
perbuatan yang baik atau buruk dan dampak yang akan
ditimbulkan dari suatu perbuatan tersebut dapat merugikan diri
sendiri maupun orang lain.
c. Faktor rendahnya budi pekerti
Faktor ini menyebabkan pelaku kejahatan tidak dapat berfikir
dengan menggunakan akal budinya ketika melakukan kejahatan.
Rendahnya budi pekerti yang dialami oleh kelompok anak
disebabkan karena kurangnya kontrol sosial dalam lingkungan
keluarga maupun sekolah.
d. Faktor rendahnya iman
Faktor ini merupakan faktor yang mendasar menyebabkan
terjadinya kejahatan. Keyakinan serta pengetahuan agama yang
kurang akan membuat seseorang tidak memiliki iman yang kuat.
Orang yang imannya lemah cenderung mudah terpancing
emosinya untuk melakukan kejahatan.
2. Faktor Eksternal
Faktor ekternal penyebab anak melakukan kejahatan pembunuhan
adalah:
a. Faktor lingkungan keluarga
Faktor lingkungan keluarga memiliki peranan yang sangat
penting terhadap perkembangan anak itu sendiri. Lingkungan
keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan
anak, sedangkan lingkungan keluarga yang buruk akan
menimbulkan pengaruh negatif terhadap perkembanga anak
tersebut. Oleh karena itu sangat wajar apabila faktor lingkungan
keluarga sangat mempengaruhi perilaku anak tersebut.
b. Faktor kedudukan orang tua
Kejahatan yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh faktor
kedudukan yang dimiliki oleh orang tua, dimana orang tua
memiliki kedudukan dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan
anak tersebut beranggapan bahwa jika mereka melakukan
kesalahan sudah pasti akan dilindungi oleh orang tuanya karena
orang tuanya memliki pengaruh dalam masyarakat.
c. Faktor kurangnya pengawasan orang tua
Kurangnya pengawasan orang tua merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan anak melakukan kriminalitas. Akibat
kurangnya pengawasan orang tua membuat anak tersebut
dengan leluasa melakukan kegiatan-kegiatan yang menimbulkan
kesan negatif dalam masyarakat. Maka dari itu pengawasan
orang tua sangatlah dibutuhkan dalam memperhatikan perilaku
dan kegiatan yang dilakukan anak sehari-harinya.
d. Faktor pemakaian alkohol
Pengaruh alkohol dapat mengakibatkan seseorang bisa berbuat
agresif dan melakukan perbuatan yang berlebihan tanpa disadari
oleh penggunanya sendiri. Usia anak yang masih dalam masa
peralihan sangat rentan terhadap minuman yang beralkohol,
mereka menganggap dengan meminum minuman beralkohol
atau minuman keras dapat meningkatkan rasa percaya diri
mereka.
Faktor terlantarnya anak Kriminalitas yang melibatkan anak
sering kali dikaitkan dengan faktor terlantarnya anak. Orang tua
tersebut tidak mampu melaksanakan kewajibanya sehingga
kebutuhan anak baik jasmani maupun rohani tidak terpenuhi.
Namun menurut Nashriana dalam bukunya menyatakan bahwa
tidak selamanya terlantarnya anak diakibatkan kondisi ekonomi
yang berada tingkat bawah, akan tetapi pada saat ini terlantarnya
anak diakibatkan karena orang tua yang sibuk kerja, tidak ada
pengasuh dan keluarga tidak harmonis (broken home), sehingga
dapat membuat perilaku anak menjadi menyimpang.11
e. Faktor lingkungan pergaulan
Lingkungan pergaulan sangatlah berpengaruh terhadap
perkembangan anak, terutama dalam konteks kultural atau
konteks kebudayaan lingkungan anak tersebut karena anak
tersebut menjadi delinquen karena banyak dipengaruhi oleh
berbagai tekanan pergaulan yang semuanya memberikan
pengaruh yang menekan dan memaksa pada pembentukan
prilaku buruk, sehingga anak tersebut menjadi suka melanggar
peraturan.
Kepala Polda Jawa Tengah Irjen Pol Condro Kirono, berdasarkan hasil
penyelidikan yang telah dilakukan menyatakan bahwa AMR tega membunuh
temannya tersebut dikarenakan korban sudah beberapa kali memergoki
pelaku yang sedang mencuri barang milik siswa lain. Korban juga menegur
pelaku atas tindakannya sehingga pelaku merasa kesal. Selain itu ponsel milik
pelaku pernah dipinjam oleh korban sehingga ponsel tersebut disita oleh
pihak sekolah. Ponsel pelaku disita karena siswa kelas 10 (sepuluh) dilarang
membawa ponsel saat sekolah. Pelaku meminta korban untuk mengambil
ponselnya dari pihak sekolah, namun korban menolak sehingga pelaku
merasa sakit hati hingga akhirnya pelaku menjalankan niatnya untuk
membunuh korban saat korban tengah tertidur lelap.
11
Nashriana, 2014, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
hlm. 40
melihat tindakannya, ia yakin bahwa Tuhan selalu melihatnya, sehingga tidak
seharusnya dia melakukan perbuatan tercela tersebut. Serta faktor emosi yang
labil terbukti dari pelaku yang merasa kesal karena tindakannya diketahui
oleh korban dan marah hanya karena korban mengingatkannya, padahal
seharusnya korban merasa malu dan berkaca diri atas perbuatan tercela yang
dilakukannya. Pelaku juga sakit hati karena korban enggan meminta pihak
sekolah mengembalikan handphone yang disita karena korban, padahal bisa
saja seharusnya mereka mencari jalan keluarnya bersama, dibanding harus
bertengkar dan menimbulkan sakit hati yang akhirnya mengakibatkan pelaku
membunuh korban. Untuk itu anak selain dididik akan pengetahuan ilmunya
anak juga harus dibina penguasaan atas emosi dan mentalnya, agar anak bisa
menjadi pribadi yang baik dan bijaksana.
12
Abintoro Prakoso 2016, Kriminologi Dan Hukum Pidana Pengertian, Aliran, Teori dan
Perkembangannya, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm.180
mensterilkan sistem keamanan sekolah, serta mempertimbangkan perlunya
pengecekan ulang sebelum masuk barak (kamar siswa taruna).
Sedangkan upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan
kejahatan bila kejahatan itu sudah terjadi. Upaya represif yang dilakukan
adalah dengan melakukan penyelidikan dan pengadilan. Dalam pengadilan
ini, pelaku yang kemudian disebut terdakwa, dituntut oleh penuntut umum
dengan Pasal 340 KUHP tentang tindak pidana pembunuhan berencana
dengan pidana penjara paling lama dua puluh tahun. Namun dikarenakan
terdakwa yang masih berusia 15 tahun, maka kuasa hukum terdakwa
berpendapat bahwa undang-undang yang digunakan dalam tuntutan haruslah
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bukannya
KUHP yang mana mengatur secara umum bukan khusus, sedangkan pidana
anak bersifat khusus. Dan tentu saja hal ini dibenarkan karena mengingat usia
terdakwa yang belum mencapai 18 tahun. Penggunaan undang-undang ini
dapat meringankan tuntutan pidana terdakwa, dari tuntutan jaksa sebesar 10
tahun penjara menjadi kurang dari itu. Namun keputusan akhir berada
ditangan hakim, dan hakimlah yang menjadi penentu dalam perkara tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan permasalahan diatas dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab kejahatan pembunuhan
yang dilakukan anak adalah pertama faktor internal yakni faktor
kesalahpahaman, faktor emosi yang labil, faktor rendahnya budi
pekerti dan faktor rendahnya iman. Kedua faktor yang dilakukan anak
adalah faktor lingkungan keluarga, faktor kedudukan orang tua, faktor
kurangnya pengawasan orang tua, faktor pemakaian alkohol, faktor
terlantarnya anak dan faktor lingkungan pergaulan. Upaya
penanggulangan kejahatan pembunuhan yang dilakukan anak adalah
dengan upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif
merupakan upaya penanggulangan mencegah kejahatan itu terjadi agar
tidak terjadinya kembali kejahatan pembunuhan yang dilakukan anak.
Sedangkan upaya represif adalah upaya yang dilakukan ketika
tindakan tersebut telah terjadi.
B. Saran
Dalam menangani perkara pidana yang dilakukan oleh anak sebagai
penyidik di harapkan mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah anak. Dalam melaksanakan penyidikan, kebijakan
Diversi tentu perlu untuk diterapkan mengingat anak bukanlah orang
dewasa yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Penegakan hukum yang lebih efisien dan efektif untuk semua jenis
tindak pidana yang dilakukan oleh anak agar anak tidak mengulangi
tindak pidana tersebut. Dan untuk anak-anak janganlah meniru sesuatu
yang buruk yang dilakukan oleh orang dewasa serta hindari pergaulan
yang dapat merusak masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Lade Marpung. 1999. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Jakarta : Sinar
Grafika.
Jurnal
https://regional.kompas.com/read/2017/04/02/07353541/ini.motif.pembunuhan.sis
wa.sma.taruna.nusantara?page=all diakses pada tanggal 10 November 2019
pukul 1:44 WIB.