Anda di halaman 1dari 7

Analisis Kasus Tindak Pidana yang Melibatkan Anak

1. Kasus Posisi
SR (8 tahun), pelajar yang duduk di kelas 2 SD Negeri
Lengkoweng, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten
Sukabumi, tewas setelah berkelahi dengan temannya DI (8 tahun) pada
Selasa, 8 Agustus 2017. Hal tersebut awalnya diketahui Wali Kelas 2,
Ruhiyat yang sempat berpapasan dengan DI dalam kondisi menangis. Saat
ditanya gurunya, DI mengaku telah berkelahi dengan SR hingga tak
sadarkan diri di halaman sekolah.1
Ruhiyat bersama dengan guru lainnya berusaha menolong korban
dan akhirnya korban dibawa ke Puskesmas Cicantayan. Namun saat
diperiksa di Puskesmas korban sudah meninggal dunia. Keluarga korban
melaporkan peristiwa tersebut ke polisi yang kemudian ditangani oleh
Polsek Cibadak. Keluarga SR meminta agar pelaku yang berkelahi dengan
korban harus tetap diproses secara hukum untuk dibina.2
Berdasarkan oleh TKP, polisi tidak menemukan barang bukti lain
yang menyebabkan korban meninggal dunia. Namun, polisi mendapatkan
informasi dari rekan korban, bahwa saat kejadian SR tidak sengaja
dilempar dengan kemasan minuman energi yang sudah beku oleh terduga
pelaku DI. Diduga kaget, SR terjatuh dan mengalami luka kecil di bagian
pelipis.
Polisi sudah melakukan otopsi kepada jenazah korban. Hasil otopsi
menunjukkan tidak ditemukan adanya bekas luka lebam akibat
penganiayaan, hanya ada luka kecil di pelipis korban. Namun bukan itu

1
Budiyanto, Berkelahi dengan Temannya, Siswa SD di Sukabumi Tewas, diakses dari
http://regional.kompas.com/read/2017/08/08/19252521/berkelahi-dengan-temannya-sd-di-
sukabumi-tewas pada 09 Desember 2018 pukul 22.26 WIB.
2
S. Yugo Hindarto, Polisi Olah TKP Kasus Tewasnya Anak SD di Sukabumi, diakses dari
http://m.cnnindonesia.com/nasional/20170809133031-12-233485/polisi-olah-tkp-kasus-tewasnya-
anak-sd-di-sukabumi pada 09 Desember 2018 pukul 22.36 WIB.
yang menjadi penyebab kematian korban. Berdasarkan tim dokter forensik
penyebab kematian korban adalah pecahnya pembuluh darah di otak.3

2. Analisis Kasus
Pengaturan hak asasi manusia secara konstitusional di dalamnya
termasuk hak anak yang disebutkan dalam Pasal 28B ayat (2) yaitu bahwa
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini
menunjukkan bahwa ada kewajiban dari negara, orang tua, dan masyarakat
untuk memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap anak tanpa
adanya diskriminasi, yang ini sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak-Hak Anak yang ada dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang meliputi: a) non
diskriminasi; b) kepentingan yang terbaik bagi anak; c) hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d) penghargaan terhadap
pendapat anak.
Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak anak
secara konstitusional yang dijabarkan dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak, untuk anak yang melakukan tindak pidana diberi
pengaturan secara khusus yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sekarang telah ada
undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Proses peradilan terhadap anak, berbeda dengan orang dewasa
meskipun tahap-tahap penyelesaian peradilannya sama jika anak tersebut
sampai harus menjalani proses peradilan. Tahap-tahap itu yaitu tahap
penyidikan, penuntutan dan tahap pemeriksaan oleh hakim serta
pelaksanaan putusan hakim.
3
Wisnoe Moerti, Ini Penyebab Kematian Bocah SD Usai Berkelahi dengan Rekannya, diakses
dari https://m.merdeka.com/peristiwa/ini-penyebab-kematian-bocah-sd-usai-berkelahi-dengan-
rekannya.html?utm_source=GoogleAMP&utm_medium=CrossLink&ukm_campaign=Mdk-AMP-
Crosslink&utm_content=Artikel-6 pada 09 Desember 2018 pukul 22.57 WIB.
Tahap penuntutan merupakan salah satu tahap penyelesaian
perkara pidana yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang
ketentuannya tunduk pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang salah satu tugas dan
wewenang Jaksa adalah melakukan penuntutan, dan tunduk juga pada
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Meskipun demikian, namun
untuk anak sendiri proses penuntutannya berbeda karena berlaku asas lex
specialis derogat legi generalis yang artinya bahwa aturan hukum yang
khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum sebagaimana di
atur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mulai berlaku setelah
dua tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu sejak tanggal 30 Juli
2012. Hal ini dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa terhadap anak
yang walaupun secara kualitas dan kuantitas dapat saja melakukan
perbuatan melanggar hukum seperti halnya yang dilakukan oleh orang
dewasa, tetapi penanganan yang diberikan tidak harus sama dengan
penanganan bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan.
Dalam kasus posisi pelajar SD yang tewas akibat berkelahi dengan
temannya tersebut, dapat dianalisis bahwa pelaku masih berusia 9 tahun
yang mana berarti bahwa dalam kasus ini, UU yang dapat dikenakan pada
pelaku yaitu UU SPPA karena usia pelaku yang masih masuk dalam
kategori anak yaitu dibawah 18 tahun. Apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang dewasa maka pelaku dapat dikenakan Pasal 351
KUHP tentang penganiyaan dan diancam dengan pidana penjara maksimal
tujuh tahun. Penjelasan dalam Pasal 351 KUHP yaitu:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua


tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun,
(3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun. Dalam kasus ini pelaku melakukan penganiayaan yang
menyebabkan kematian seseorang.

Berdasarkan UU SPPA, pada proses penyelesaian perkara Anak


wajib untuk diupayakan diversi. Diversi menurut UU SPPA Pasal 1 ayat
(7), merupakan pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar pidana. Diversi sendiri wajib pada setiap
tingkatan penyelesaian perkara yang dilakukan dengan musyawarah
dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang
tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. Apabila
proses diversi berhasil, maka sesuai Pasal 10 UU SPPA, diversi dapat
diberikan pada Anak berentuk :

a. Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;


b. Rehabilitasi medis dan psikososial;
c. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 bulan; atau;
e. Pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan.

Tetapi dalam hal Anak masih berada di bawah usia 12 tahun,


terdapat aturan lain, yaitu sesuai dengan pasal 21 ayat (1) UU SPPA yang
berbunyi "Dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:

a. menyerahkannya kembali kepada orangtua atau/wali; atau


b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPSK di Instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 bulan.
Oleh karena umur pelaku tidak termasuk dalam Pasal 1 UU SPPA
yang menjelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun, melainkan merujuk pada Pasal 21 UU SPPA bahwa anak
yang belum berumur 12 (dua belas) dan melakukan tindak pidana dapat
diserahkan kembali kepada orangtua/wali, atau mengikuti pembinaan di
LPKS. Dalam kasus ini, hasil kesepakatan tim memutuskan memilih opsi
yang kedua dan akan diikutsertakan di LPKS yang ada di wilayah
Sukabumi, dimana dalam prosesnya nanti, tim juga akan terus mengawasi
dan melaksanakan evaluasi berkelanjutan.

Keputusan ini juga diambil setelah diketahui hal lain yaitu


berdasarkan hasil analisis forensik dari Rumah Sakit di Sukabumi, korban
dipastikan meninggal karena mengalami pecah pembuluh darah di bagian
otak. Namun ada fakta lain yang ditemukan tim forensik bahwa korban
ternyata memiliki Aneurisma yang merujuk pada kelainan bawaan otak
yang menyebabkan terjadinya sumbatan di pembuluh darah otak, sehingga
saat terjadi benturan pembuluh darah tersebut pecah. Hal inilah yang
diduga membuat benturan kepala yang dialami korban berujung pada
kematian, belum ada kepastian apakah benturan tersebut terjadi karena
pukulan pelaku atau korban terjatuh saat perkelahian terjadi.

Kesimpulan
SR (8 tahun), pelajar yang duduk di kelas 2 SD Negeri Lengkoweng,
Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, tewas
setelah berkelahi dengan temannya DI (8 tahun) pada Selasa, 8 Agustus
2017. Berdasarkan hasil otopsi tim dokter forensik penyebab kematian
korban adalah pecahnya pembuluh darah di otak. Ditemukan pula luka
kecil di bagian pelipis korban akibat benda tumpul yang diduga akibat
kemasan minuman energi yang dilempar oleh pelaku, DI (8 tahun).
Dikarenakan pelaku DI masih berusia 8 tahun maka proses
penyelesaian perkara harus mengacu pada pasal 21 ayat (1) UU SPPA
yaitu Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan
tindak pidana dapat diserahkan kembali kepada orangtua/wali, atau
mengikuti pembinaan di LPKS. Dalam kasus ini, DI akan diikutsertakan di
LPKS yang ada di wilayah Sukabumi, dimana dalam prosesnya tim akan
terus mengawasi dan melaksanakan evaluasi berkelanjutan.

Saran
Peristiwa yang menyebabkan SR, anak yang masih berusia 8 tahun,
tewas akibat berkelahi dengan temannya sendiri tentu sangat disayangkan,
apalagi mengingat tempat kejadian perkara, yaitu sekolah yang seharusnya
menjadi tempat aman bagi anak untuk mengenyam pendidikan. Pihak
sekolah seharusnya bertanggungjawab atas kejadian ini, karena ada unsur
kelalaian yang dilakukan guru. Seharusnya pihak sekolah bisa mencegah
peristiwa ini terjadi dengan meningkatkan pengawasan terhadap anak
didiknya.
Proses hukum terhadap DI harus tetap dilakukan, namun dengan
mempertimbangkan hak-hak anak. Sehingga bentuk hukuman yang
diberikan harus sesuai dengan UU SPPA. Dalam kasus ini, hal tersebut
telah sesuai mengingat DI akan diikutsertakan di LPKS yang ada di
wilayah Sukabumi.

Daftar Pustaka
Budiyanto, Berkelahi dengan Temannya, Siswa SD di Sukabumi Tewas,
diakses dari
http://regional.kompas.com/read/2017/08/08/19252521/berkelahi-
dengan-temannya-sd-di-sukabumi-tewas.
S. Yugo Hindarto, Polisi Olah TKP Kasus Tewasnya Anak SD di
Sukabumi, diakses dari
http://m.cnnindonesia.com/nasional/20170809133031-12-
233485/polisi-olah-tkp-kasus-tewasnya-anak-sd-di-sukabumi.
Wisnoe Moerti, Ini Penyebab Kematian Bocah SD Usai Berkelahi dengan
Rekannya, diakses dari https://m.merdeka.com/peristiwa/ini-
penyebab-kematian-bocah-sd-usai-berkelahi-dengan-rekannya.html?
utm_source=
GoogleAMP&utm_medium=CrossLink&ukm_campaign=Mdk-
AMP-Crosslink&utm_content=Artikel-6.

Anda mungkin juga menyukai