PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Yang dalam hal ini merupakan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan
Manusia. Kejahatan yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat ialah kejahatan
yang berkaitan dengan tubuh dan nyawa. Kejahatan terhadap nyawa sendiri dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana di bedakan menjadi 2 ( dua) dasar yaitu: pertama atas
unsur kesalahannya dan kedua, atas dasar obyeknya ( nyawa). Tentu saja dalam hal
Namun juga tak jarang terdapat oknum-oknum yang justru tidak jera dalam
kasus pembunuhan yang kerap terjadi di berbagai wilayah provinsi dan juga daerah2
pelosok seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT,NTB, dan lain sebagainya. Kasus
tersebut juga memiliki banyak motiv yang beragam lantaran motif uang, motif balas
dendam,motif berpoligami,dan motif menagih hutang piutang dan berbagai jenis motif
yang mendasari pembunuhan. Pelaku tindak pidana pembunuhan juga tidak terbatasi usia
yang di mana usia seseorang tidak menjamin bahwa ia bersih dari tindak criminal,
terdapat banyak sekali laporan terkait pembunuhan yang di lakukan baik oleh anak di
1
bawah umur, wanita, dewasa, maupun lansia dan juga target yang di buru ( korban). Hal
terkait pembunuhan sangat jelas tercantum dalam pasal 338 KUHP dengan bunyi “
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Namun segala hukuman pidana
yang diberikan pasti sudah dipikirakan matang-matang oleh hakim. Maka dari itu di
kejahatan tindak pidana pembunuhan merupakan salah satu permasalahan yang selalu
menjadi topik yang menarikuntuk dibahas, karena selalu terdapat pro dan kontra yang
seseorang yang melanggar aturan hukum yang berlaku, dalam hal ini pembunuhan
terhadap anak dikatakan sebagai pelanggar hukum karena telah menghilangkan nyawa
juga harus sesuai dengan aturan hukum yang ada dan harus memperhatikan hak-hak asasi
dari pelaku yang melakukan tindak pidana pembunuhan seperti yang telah diatur dalam
Undang- Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 mengatur mengenai Hak
Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Telah terjadi
Tindak Pidana Dengan sengaja dan dengandirencanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
Kematian Salah satu kasus yang baru saja terjadi di SMAN 1Torjun, Sampang, Madura
pada 1 Februari 2018. Seorang siswa memukul gurunya hingga meninggal dunia. Berawal
dari seorang guru yang menginstruksikan muridnya melukis, namun si murid (MH)
2
tidak menghiraukannya. Guru tersebut berkali-kali menegurnya, akan tetapi tetap tidak
dihiraukan sampai pada MH memukul guru tersebut di bagian pelipis kanan hingga
meninggal dunia setelah dirujuk ke rumah sakit dengan diagnose mati batang otak (MBO).
Hakim Pengadilan Negeri Sampang memvonis MH dengan pidana penjara 6 tahun atas
delik penganiayaan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Dari kasus
tersebut menyatakan dengan jelas bahwa perbuatan melawan hukum bukan sekedar hanya
berlaku bagi orang dewasa melainkan juga berlaku bagi anak di bawah umur yang di
anggap belum cakap yang artinya belum dapat di jatuhkan hukuman pidana.
Kronologismya sendiri bermula dari siswa yang beralamat tinggal di Dusun Brekas, Desa
Torjun, Kecamatan Torjun, Sampang tersebut terlihat tidak mendengarkan pelajaran dan
malah mengganggu dengan mencoret-coret lukisan teman-temannya, Melihat hal itu, Budi
kemudian menegur HI. Namun, teguran itu tidak dihiraukan. HI justru terus
menggunakan cat lukis. Namun, HI tidak terima dengan tindakan Budi dan langsung
memukulnya. Keduanya pun dilerai oleh siswa. Budi dibawa ke ruang guru untuk
menjelaskan duduk perkaranya kepada Amat. Setelah mendengarkan penjelasan dan tidak
melihat luka di tubuh Budi, Amat mempersilakan guru kesenian itu untuk pulang
lebih awal. Berdasarkan keterangan Amat, HI tergolong buruk, bandel, dan bermasalah
dengan hampir semua guru, serta punya banyak catatan merah di bagian Bimbingan
Konseling (BK). Tidak lama kemudian, Amat mendengar kabar bahwa Budi mengeluh
sakit pada bagian lehernya. Selang beberapa lama, Budi kesakitan dan tidak sadarkan
diri atau koma. Dia langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo,
Surabaya. Polda Jawa Timur, kata Frans, telah berkoordinasi dengan Kepala Dinas
Pendidikan Sampang Jufri Riady dan diperoleh informasi bahwa Budi dalam kondisi
3
sangat kritis. Menurut diagnosa dokter Budi mengalami mati batang otak atau semua
organ tubuh sudah tidak berfungsi. Budi dinyatakan meninggal dunia Kamis (1/2) sekitar
Dari kasus seorang siswa melakukan penganiayaan terhadap gurunya dan menyebabkan
kematian merupakan suatu problematic dalam psikis seseorang lantaran siswa tersebut
merasa tidak suka akan perbuatan sang guru yang mencoret wajahnya menggunakan
peralatan melukis dan melakukan aksi pembalasan dengan memukul tengkuk sang
guru yang tentunya menimbulkan efek yang fatal dan berujung kematian, dalam hal
tersebut tentu saja karena pelaku merupakan seorang siswa dan juga dengan status sebagai
anak di bawah umur lantas mendapatkan penanganan khusus sesuai dengan undang-
undang no 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Sebelum itu polisi hanya
menerapkan Pasal 335 ayat 3 KUHP tentang Tindak Pidana Penganiayaan yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pada terdakwa kasus pembunuhan guru
SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Mohammad Holili dengan ancaman hukuman 7 tahun 5
bulan penjara. Tetapi penerapan itu ditentang dengan tegas oleh masyarakat Madura dari
berbagai kalangan karena pasal tersebut dinilai terlalu ringan. ribuan orang dari
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Korps Alumni HMI (Kahmi), Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI), GMNI dan Aliansi Guru Sukwan (Agus) se-Madura, berunjuk
rasa ke Mapolres Sampang, menuntut keadilan dalam kasus tragedi pendidikan dengan
korban Ahmad Budi Cahyanto itu. Para pengunjuk rasa ini menilai, penerapan Pasal
335 ayat 3 KUHP untuk kasus siswa HI yang membunuh gurunya sendiri itu, tidak
memenuhi rasa keadilan publik. Sehingga oleh karena itu polres sampang menerapkan
pasal berlapis pada tersangka dengan pasal 338 tentang Pembunuhan Berencana, dan
Pasal 335 ayat 3 tentang Pembunuhan. Terdapat pula saran untuk aparat penegak
4
hukum menerapkan 'restorative justice' sehingga terwujud keadilan bagi keluarga korban
permohonan itu di sampaikan atas pertimbangan bahwa terdakwa masih di bawah usia
dan membutuhkan bimbingan dari berbagai pihak. Namun permohonan tersebut di tolak
oleh hakim lantaran permohonan tersebut tidak relevan jika terdakwa ditempatkan di
RPS Sampang. Sudah menjadi keputusan majelis bahwa Terpidana akan menjalani
Sebelum itu terdakwa di tuntut dengan pidana penjara 7,5 tahun oleh Pengadilan
Negeri Sampang yang oleh JPU tuntutan tersebut sesuai dengan Pasal 338 KUHP tentang
pembunuhan dengan ancaman 15 tahun penjara. Namun dikarenakan faktor usia terdakwa
yang belom dewasa sehingga oleh jaksa berlaku separuh dari tuntutan orang dewasa
menjadi 7,5 tahun penjara. Tetapi oleh putusan majelis hakim meringankan tuntutan JPU
yang semula dituntut dengan pidana penjara 7 tahun 5 bulan menjadi hukuman penjara 6
tahun, hal ini tentu dikarenakan berbagai pertimbangan-pertimbangan oleh hakim yang
salah satunya dikarenakan terdakwa merupakan anak dibawah umur dan berstatus sebagai
seorang pelajar.
Dan dari kasus tersebut tidak di pungkiri bahwa seorang anak dapat melakukan
penganiayaan yang bahkan berujung kepada pembunuhan, dalam hukum pidana telah ada
peraturan hukum yang mengatur secara khusus tentang Peradilan Anak, yaitu Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dirumuskan dalam Pasal 1
butir 1 undang-undang tersebut, bahwa yang dimaksud dengan anak yaitu: “Orang
5
dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan)tahun, tetapi belum
pidana yang dilakukannya dalam siding peradilan adalah seorang anak yang minimal
berumur 8 (delapan) hingga 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Namun
demikian anak pada umur tersebut cenderung belum memiliki stabilitas emosional yang
remaja. Seperti kasus di atas dinyatakan sebagai tindak pidana pembunuhan dan dikenakan
pasal 338 kuhp dan juga terdapat undang-undang tentang peradilan anak, sehingga bisa
dikatakan semua tindak pidana yang merugikan bahkan menghilangkan nyawa seseorang
yang dilakukan oleh anak di bawah umur tetap bisa di perkarakan dan di jatuhi hukuman
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas adapun rumusan masalah yang di angkat ialah antara lain:
tersebut
6
BAB II
PEMBAHASAN
siswa
Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Marlina bahwa, dipidana atau
tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat
melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak.Selanjutnya dikatakan pula bahwa apakah
seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan maka tentu
ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang
Ssesorang yang tidak dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana tidak dapat
dimintakan pertanggung jawaban pidana. Pada prinsipnya, tindak pidana yang dilakukan
oleh anak adalah tanggung jawab anak itu sendiri, akan tetapi oleh karena terdakwa adalah
seorang anak, maka tidak dapat dipisahkan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Tanggung jawab anak dalam melakukan tindak pidana adalah anak tersebut bertanggung
jawab dan bersedia untuk disidik, dituntut dan diadili pengadilan, hanya saja, terdapat
ketentuan-ketentuan dimana seorang anak tidak diproses sama halnya dengan memproses
orang dewasa. Hal ini dijelaskan dalam asas di dalam pemeriksaan anak, yaitu:
7
d. Didampingi oleh orang tua, wali atau penasehat hukum, minimal wali yang
mengasuh
Pertanggungjawaban pidana dari anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana
akan dilihat dari aturan yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP.
1. Pertanggungjawaban yuridis bagi anak di bawah umur di dalam KUHP Hukum Pidana di
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersumber pada KUHP Belanda. KUHP
a. Asas Legalitas, yang berarti bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, sebagaimana
yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jonkers mengatakan bahwa: "undang
merupakan sumber langsung dari hukum pidana. Apa yang dapat dipidana disebut
kepentingan hukum itu sendiri. Sekalipun hukum itu jelas dan diperlukan oleh
masyarakat, tetapi sepanjang hukum itu belum diatur dalam undang-undang, hukum itu
belum dapat ditegakkan. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat yang dilarang dan
undangan. Biasanya ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum Delictum
Nulla Poena Sine Praevia Lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan
sentral dari segala aturan yang ada. Sekalipun aturan itu tampak jelas merugikan orang
8
lain. Karena aturan itu belum diatur dalam undang-undang, sehingga aturan yang
zina dilakukan oleh anak-anak sama-sama di bawah umur, tidak terikat dengan tali
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Dalam asas legalitas terdapat 7
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa);
Dengan demikian, asas legalitas adalah suatu pertanggungjawaban yuridis yang tertulis,
tidak berlaku surut (retroaktif), penegakannya tidak ditafsirkan secara analogi dan
eksistensinya harus sudah diatur terlebih dahulu dalam undang-undang sebelum perbuatan
itu terjadi. Nilai yang paling mendasar dalam asas ini adalah jaminan kepastian hukum bagi
b. Asas Kesalahan, yang berisikan bahwa seseorang hanya dapat dipidana karena telah
terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan.
Untuk menetukan seseorang benar-benar bersalah, harus ada alat bukti yang cukutp,
9
misalnya telah melakukan perbuatan melanggar hukum, sebagaimana unsure-unsur
pasal yang didakwakan penuntut umum, ada kesesuaian alat bukti yang diajukan
dalam persidangan. Dari kedua asas ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa antara unsure
kesalahan dan asas legalitas tidak adapat dipisahkan. Asas legalitas merupakan
dari unsur kesalahan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, pelanggar atau
Pertanggungjawaban yuridis dalam KUHP dapat didasarkan pada 2 (dua) visi, yaitu:
kemampuan fisik dan moral seseorang (pasal 44 ayat (1 dan 2) KUHP). Kemampuan fisik
seseorang dapat dilihat dari kekuatan, daya dan kecerdasan pikirannya. Secara eksplisit,
istilah kemampuan fisik seseorang memang tidak dapat disebutkan dalam KUHP, tetapi
secara implicit, seseorang yang kekuatan, daya, kecerdasan akalnya terganggu atau tidak
sempurna, seperti idiot, imbicil, buta tuli, bisu sejak lahir, orang sakit, anak kecil (di bawah
umur) dan orang yang sudah tua renta, fisiknya lemah, tidak dapt dijatuhi pidana.
Demikian pula orang yang kemampuan moralnya tidak sempurna, berubah akal seperti sakit
jiwa, gila, epilepsy dan macam-macam penyakit jiwa lainnya, juga tidak dapat dimintai
hakikatnya merupakan salah satu persyaratan penting dalam mennetukan seseorang dapat
Pasal 45, 46 dan 47 KUHP dicabut, KUHP masih belum juga mengatur secara jelas tentang
kedewasaan anak. Sebagai perbandingan bahwa dalam Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47
KUHP, ditentukan bahwa anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana:
10
1. Jika tindak pidana dilakukan oleh anak berusia 9 (Sembilan) tahun sampai 13
(tiga belas) tahun, disarankan kepada hakim untuk mengembalikan anak tersebut kepada
2. Jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak yang masih berusia 13 (tiga
belas) tahun sampai 15 (lima belas) tahun dan tindak pidananya masih dalam tingkat
pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514,
517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 KUHP, hakim dapat memerintahkan supaya sitersalah
diserahkan kepada pemerintah atau badan hukum swasta untuk dididik sampai berusia 18
sepertiga, jika perbuatannya diancam hukuman mati, dapat dijatuhi pidana selama-lamanya
15 (lima belas) tahun dan hukuman tambahan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10
anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada hukum materiil seperti yang diatur dalam
KUHP, karena KUHP tersebut ketentuan hukumnya tidak saja masih bersifat konvensional,
tetapi juga karena perilaku dan peradaban manusia sudah demikian kompleks bahkan
perkembangannya jauh lebih cepat daripada aturan yang ada. Dengan demikian tidaklah
dapat dihindarkan bahwa banyak muncul jenis-jenis kejahatan akibat kemajuan teknologi,
dan tidaklah dapat dihindarkan pula bahwa jenis-jenis kejahatan ini dapat dilakukan oleh
11
Oleh karena itu, melalui Pasal 103 KUHP, masih dibenarkan adanya perbuatan lain
yang menurut undang-undang selain KUHP dapat dipidana sepanjang undang-undang itu
bertalian dengan masalah anak dan tidak bertentangan dengan KUHP (lex Specialis Derogat
Legi Generali). Melalui asas ini pula, hukum pidana anak membenarkan undang-undang
Penggunaan undang-undang tersebut dalam hukum pidana anak cukup beralasan, karena
dalam mencari kebenaran dan keadilan dalam hukum pidana harus lebih menitikberatkan
kebenaran hukum materiil daripada kebenaran hukum formal. Untuk itu, dalam mencari
kebenaran hukum materiil ini, hakim harus mengacu pada isi surat dakwaan yang
disampaikan jaksa penuntut umum khususnya unsure- unsur pasal yang didakwakan
termasuk dalam pembuatan putusan, harus mengacu pada unsure-unsur pasal yang
didakwakan penuntut umum. Untuk menentukan apakah perbuatan anak tersebut memenuhi
unsure tindak pidana atau tidak, dapat dilihat minimal melalui 3 (tiga) visi:
12
a. Subyek, artinya apakah anak tersebut dapat diajukan ke persidangan anak?
Apakah anak tersebut memeiliki kemampuan bertanggung jawab terhadap apa yang telah
dilakukan. b. Adanya unsure kesalahan, artinya apakah benar anak itu telah melakukan
perbuatan yang dapat dipidana atau dilarang oleh undang-undang. Hal ini diperlukan untuk
menghindari asas Geen Straf Zonder Schuld (tidak ada pidana, jika tidak ada kesalahan).
c. Keakurasian alat bukti yang diajukan penuntut umum dan terdakwa untuk
membuktikan kebenaran surat dakwaannya. Alat bukti ini, minimal harus ada dua, jika tidak
Yang menjadi persoalan yuridis dari ketiga unsure di atas adalah unsure
Sebelum Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diberlakukan,
Indonesia belum memiliki batas usia minimum bagi anak yang dapat diajukan ke
persidangan anak. Namun sekalipun demikian, tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak
perkara yang diajukan ke persidangan dengan alasan belum ada hukum yang mengatur
secara jelas masalah batas usia minimum bagi anak yang dapat diadili ke depan persidangan,
oleh karena itu anak di bawah umur yang melanggar undang-undang narkotika, psokotropika
atau undang-undang lain di luar KUHP, dapat saja diajukan ke depan persidangan
Pengadilan Anak, tanggung jawab yuridis bagi anak menjadi lebih jelas dan lebih
mempunyai kepastian hukum dibanding dengan KUHP, terutama dalam hal telah
ditegaskannya batasan usia minimum bagi anak yang dapat diajukan ke depan persidangan
anak menjadi 8 (delapan tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun (Pasal 4 ayat (1)).
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
13
dijelaskan bahwa batas umur 8 (delapan) tahun bagi anak nakal yang dapat diajukan ke
persidangaan anak didasarkan atas pertimbangan sosiologis, psikologis dan pedagogis. Anak
perbuatannya. Batas usia minimum 8 (delapan) tahun ini, secara pedagogis maupun
psikologis jelas merugikan kepentingan anak. Anak yang berusia 8 (delapan) tahun yang
diajukan jaksa ke persidangan anak, bisa saja dijatuhi sanksi tindakan (Pasal 46 ayat (3
dan 4) UU No. 3 Tahun 1997). Padahal usia anak 8 (delapan) tahun masih dalam taraf
pengamatan terhadap perbuatan orang dewasa. Jika anak tersebut di penjara, anak ini akan
terisolasi dari temannya maupun dari masyarakat, dan akan dinilai jahat oleh masyarakat dan
atau teman di sekitarnya. Pada dasarnya, anak yang masih berusia 12 (dua belas) tahun
adalah anak yang masih berada daam tingkat remaja awal (10 - 12 tahun), jiwanya
masih labil, emosinya masih tinggi dan belum dapat memecahkan masalah yang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak yang berumur 12 ( dua belas) tahun tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun, maka disini jelas bahwa para pembentuk undang-undang telah sepakat
bahwa umur 8 (delapan) tahun adalah memang suatu umur yang masih belum dapat
berumur demikian masih belum mengerti apa yang dilakukan Apabila anak yang belum
berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana atau
dengan kata lain bahwa anak tersebut belum genap berumur 18 (delapan belas) tahun maka
14
B. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembunuhan yang dilakukan oleh
penjatuhan putusan pidana yang dilakukan oleh anak, hakim menggunakan pertimbangan
yang bersifat yurisdis dan normatif. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan
hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh
undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Di
samping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat
pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk
menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan anak di bawah umur, tanpa ditopang dengan
Pembunuhan.Putusan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum
(JPU) yang menuntut HI dengan hukuman 7 tahun 5 bulan dimana hakim memvonis 6 tahun.
Mohammad Holili akan menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar, Jawa
Timur.
pembunuhan yang dilakukan oleh anak dibawah umur dengan terdakwa Mohammad Holili
adalah hukuman pidana penjara selama 6 (tujuh) tahun. Ini tidak sesuai dengan tuntutan
jaksa penuntut umum yang mendakwa para terdakwa dengan pidana penjara 7 tahun 5 bulan,
dimana perbuatan para terdakwa oleh jaksa penuntut umum didakwa dengan diancam
15
pidana berdasarkan Pasal 338 KUHP Jo Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang
pengadilan anak.
Bunyi Pasal 338 KUHP: Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Berdasarkan Pasal 338 KUHP hukuman bagi orang atau seseorang yang telah melakukan
tindak pidana pembunuhan diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama lima belas
tahun. Karena dalam kasus pembunuhan gurunya sendiri Ahmad Budi Cahyanto korban para
terdakwa masih berumur 17 tahun. Maka hakim dalam mejatuhkan pidana terhadap anak
yang melakukan tindak pidana khususnya tindak pidana pembunuhan harus mengacu
Undang Pengadilan Anak tersebut telah disebutkan bahwa batasan umur anak adalah 18
tahun dan belum pernah kawin.Undang-Undang pengadilan anak telah mengatur pidana yang
dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman
pidana penjara bagi orang dewasa, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 26 Undang-
Pengadilan Anak tersebut telah disebutkan bahwa batasan umur anak adalah 18 tahun dan
belum pernah kawin.Undang-Undang pengadilan anak telah mengatur pidana yang dapat
dijatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor
(1)Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
16
1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10
(sepuluh) tahun.
(3)Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum
mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya
dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4)Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum
mencapai umur 12(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam
pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak
Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
dengan menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun, ada beberapa pertimbangan yang
17
b. Terdakwa mengaku bersalah, menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi lagi
perbuatannya.
c. Terdakwa masih muda sehingga diharapkan masih akan dapat memperbaiki diri
dikemudian hari.
Hal di atas diperkuat dengan pernyataan langsung dari hasil wawancara “anak-anak
seharusnya tidak semestinya berbuat keji seperti itu, seharusnya kami memutus dengan
pidana yang seberat-beratnya karena masih muda dan Undang-undang juga telah mengatur
bahwa pidana anak-anak separuh dari orang dewasa maka kami menjatuhkan pidana penjara
selama 6 tahun”.
Dalam hal menjatuhkan putusan pidana, hakim tidak boleh hanya pada pertimbangan
yuridis saja, karena nilai keadilan dan kebenaran tidaklah cukup diukur dengan nilai
penjatuhan putusan juga harus melihat unsur-unsur yang non yuridis, seperti faktor
tersebut sampai melakukan tindak pidana khususnya dalam penanganan kasus pidana
anak. Dari wawancara yang telah dilakukan penyusun dengan hakim yang menangani kasus
Mohammad Holili, hakim menyatakan bahwa tidak menggunakan saksi ahli psikologi anak
dalam proses peradilan kasus tersebut. Menurut penyusun dengan mendatangkan saksi ahli
psikologi anak dapat membantu hakim melihat psikologi anak pada saat melakukan tindak
karena bisa mengetahui psikologi atau kejiwaan para terdakwa tidak terkecuali terdakwa
Mohammad Holili dalam proses persidangan anak, sejak adanya sangkaan atau diadakan
18
penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus
didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang.
Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan si anak berupa:
1. Masalah sosialnya.
2. Kebribadiannya.
rumah.
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak
pidana adalah sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu berupa: pidana dan tindakan. Pertimbangan Hakim
dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan juga
berdasarkan hal-hal yang memberatkan dalam kasus yang pertama seperti anak telah melakukan
20
DAFTAR PUSTAKA
Asas-Asas Hukum Pidana. Moeljatno. 1983. Jakarta : Bina Aksara, 1983, p. 23.
Hukum Acara Peradilan Anak. Supramono, Gatot. 2000. Jakarta : Djambatan, 2000.
Hukum Pidana Anak. Wagianti, Soetodjo. 2010. Bandung : PT Refika Aditama, 2010, pp. P. 45-
46.
Pemidanaan Anak Di Bawah Umur. Hidayat, Bunadi. 2010. Bandung : Alumni, 2010.
Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Madhe, Astuti Sadhe. 1997. malang :
IKIP, 1997.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180308165915-12-281499/siswa-pembunuh-guru-di-
sampang-divonis-6-tahun-penjara
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30