Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembunuhan dapat di artikan sebagai tindakan menghilangkan nyawa orang lain

Yang dalam hal ini merupakan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Kejahatan yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat ialah kejahatan

yang berkaitan dengan tubuh dan nyawa. Kejahatan terhadap nyawa sendiri dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana di bedakan menjadi 2 ( dua) dasar yaitu: pertama atas

unsur kesalahannya dan kedua, atas dasar obyeknya ( nyawa). Tentu saja dalam hal

mengahabisi nyawa seseorang harus dapat dipertanggunjawabkan perbuatanya, yang

berupa hukuman atau biasa di sebut “ dipidanakan” sehingga seseorang yang di

pidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggungjawabkan

perbuatannya yang dinilai tidak baik dan merusak kepentingan umum.

Namun juga tak jarang terdapat oknum-oknum yang justru tidak jera dalam

melakukan tindak pidana pembunuhan. Seringkali media menayangkan informasi terkait

kasus pembunuhan yang kerap terjadi di berbagai wilayah provinsi dan juga daerah2

pelosok seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT,NTB, dan lain sebagainya. Kasus

tersebut juga memiliki banyak motiv yang beragam lantaran motif uang, motif balas

dendam,motif berpoligami,dan motif menagih hutang piutang dan berbagai jenis motif

yang mendasari pembunuhan. Pelaku tindak pidana pembunuhan juga tidak terbatasi usia

yang di mana usia seseorang tidak menjamin bahwa ia bersih dari tindak criminal,

terdapat banyak sekali laporan terkait pembunuhan yang di lakukan baik oleh anak di

1
bawah umur, wanita, dewasa, maupun lansia dan juga target yang di buru ( korban). Hal

terkait pembunuhan sangat jelas tercantum dalam pasal 338 KUHP dengan bunyi “

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa oranglain,diancam karena pembunuhan

dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Namun segala hukuman pidana

yang diberikan pasti sudah dipikirakan matang-matang oleh hakim. Maka dari itu di

dalam putusan lamanya menempuh pidana penjara berbeda-beda. Pemidanaan terhadap

kejahatan tindak pidana pembunuhan merupakan salah satu permasalahan yang selalu

menjadi topik yang menarikuntuk dibahas, karena selalu terdapat pro dan kontra yang

mengiringi pembahasan masalah tersebut.

Pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu hukuman yang diberikan kepada

seseorang yang melanggar aturan hukum yang berlaku, dalam hal ini pembunuhan

terhadap anak dikatakan sebagai pelanggar hukum karena telah menghilangkan nyawa

seseorang.Tindakan atau hukuman yang tepat diberikan kepada pelaku pembunuhan,

juga harus sesuai dengan aturan hukum yang ada dan harus memperhatikan hak-hak asasi

dari pelaku yang melakukan tindak pidana pembunuhan seperti yang telah diatur dalam

Undang- Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 mengatur mengenai Hak

Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Telah terjadi

Tindak Pidana Dengan sengaja dan dengandirencanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa

orang lain atau perbuatan Kekerasan terhadap seseorang yang menyebabkan

Kematian Salah satu kasus yang baru saja terjadi di SMAN 1Torjun, Sampang, Madura

pada 1 Februari 2018. Seorang siswa memukul gurunya hingga meninggal dunia. Berawal

dari seorang guru yang menginstruksikan muridnya melukis, namun si murid (MH)

2
tidak menghiraukannya. Guru tersebut berkali-kali menegurnya, akan tetapi tetap tidak

dihiraukan sampai pada MH memukul guru tersebut di bagian pelipis kanan hingga

meninggal dunia setelah dirujuk ke rumah sakit dengan diagnose mati batang otak (MBO).

Hakim Pengadilan Negeri Sampang memvonis MH dengan pidana penjara 6 tahun atas

delik penganiayaan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Dari kasus

tersebut menyatakan dengan jelas bahwa perbuatan melawan hukum bukan sekedar hanya

berlaku bagi orang dewasa melainkan juga berlaku bagi anak di bawah umur yang di

anggap belum cakap yang artinya belum dapat di jatuhkan hukuman pidana.

Kronologismya sendiri bermula dari siswa yang beralamat tinggal di Dusun Brekas, Desa

Torjun, Kecamatan Torjun, Sampang tersebut terlihat tidak mendengarkan pelajaran dan

malah mengganggu dengan mencoret-coret lukisan teman-temannya, Melihat hal itu, Budi

kemudian menegur HI. Namun, teguran itu tidak dihiraukan. HI justru terus

mengganggu teman-temannya. Budi lalu mengambil tindakan dengan mencoret pipi HI

menggunakan cat lukis. Namun, HI tidak terima dengan tindakan Budi dan langsung

memukulnya. Keduanya pun dilerai oleh siswa. Budi dibawa ke ruang guru untuk

menjelaskan duduk perkaranya kepada Amat. Setelah mendengarkan penjelasan dan tidak

melihat luka di tubuh Budi, Amat mempersilakan guru kesenian itu untuk pulang

lebih awal. Berdasarkan keterangan Amat, HI tergolong buruk, bandel, dan bermasalah

dengan hampir semua guru, serta punya banyak catatan merah di bagian Bimbingan

Konseling (BK). Tidak lama kemudian, Amat mendengar kabar bahwa Budi mengeluh

sakit pada bagian lehernya. Selang beberapa lama, Budi kesakitan dan tidak sadarkan

diri atau koma. Dia langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo,

Surabaya. Polda Jawa Timur, kata Frans, telah berkoordinasi dengan Kepala Dinas

Pendidikan Sampang Jufri Riady dan diperoleh informasi bahwa Budi dalam kondisi

3
sangat kritis. Menurut diagnosa dokter Budi mengalami mati batang otak atau semua

organ tubuh sudah tidak berfungsi. Budi dinyatakan meninggal dunia Kamis (1/2) sekitar

pukul 21.40 WIB.

Dari kasus seorang siswa melakukan penganiayaan terhadap gurunya dan menyebabkan

kematian merupakan suatu problematic dalam psikis seseorang lantaran siswa tersebut

merasa tidak suka akan perbuatan sang guru yang mencoret wajahnya menggunakan

peralatan melukis dan melakukan aksi pembalasan dengan memukul tengkuk sang

guru yang tentunya menimbulkan efek yang fatal dan berujung kematian, dalam hal

tersebut tentu saja karena pelaku merupakan seorang siswa dan juga dengan status sebagai

anak di bawah umur lantas mendapatkan penanganan khusus sesuai dengan undang-

undang no 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Sebelum itu polisi hanya

menerapkan Pasal 335 ayat 3 KUHP tentang Tindak Pidana Penganiayaan yang

mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pada terdakwa kasus pembunuhan guru

SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Mohammad Holili dengan ancaman hukuman 7 tahun 5

bulan penjara. Tetapi penerapan itu ditentang dengan tegas oleh masyarakat Madura dari

berbagai kalangan karena pasal tersebut dinilai terlalu ringan. ribuan orang dari

aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Korps Alumni HMI (Kahmi), Persatuan Guru

Republik Indonesia (PGRI), GMNI dan Aliansi Guru Sukwan (Agus) se-Madura, berunjuk

rasa ke Mapolres Sampang, menuntut keadilan dalam kasus tragedi pendidikan dengan

korban Ahmad Budi Cahyanto itu. Para pengunjuk rasa ini menilai, penerapan Pasal

335 ayat 3 KUHP untuk kasus siswa HI yang membunuh gurunya sendiri itu, tidak

memenuhi rasa keadilan publik. Sehingga oleh karena itu polres sampang menerapkan

pasal berlapis pada tersangka dengan pasal 338 tentang Pembunuhan Berencana, dan

Pasal 335 ayat 3 tentang Pembunuhan. Terdapat pula saran untuk aparat penegak

4
hukum menerapkan 'restorative justice' sehingga terwujud keadilan bagi keluarga korban

dan membuat efek jera bagi pelaku.

Sehingga dalam sidangnya pelaku di dampingi kuasa hukum yang menyampaikan

permohonan untuk pelaku di Rehabilitasi di Ruma Perlindungan Sosial (RPS) Sampang

permohonan itu di sampaikan atas pertimbangan bahwa terdakwa masih di bawah usia

dan membutuhkan bimbingan dari berbagai pihak. Namun permohonan tersebut di tolak

oleh hakim lantaran permohonan tersebut tidak relevan jika terdakwa ditempatkan di

RPS Sampang. Sudah menjadi keputusan majelis bahwa Terpidana akan menjalani

hukumannya di lapas anak di blitar.

Sebelum itu terdakwa di tuntut dengan pidana penjara 7,5 tahun oleh Pengadilan

Negeri Sampang yang oleh JPU tuntutan tersebut sesuai dengan Pasal 338 KUHP tentang

pembunuhan dengan ancaman 15 tahun penjara. Namun dikarenakan faktor usia terdakwa

yang belom dewasa sehingga oleh jaksa berlaku separuh dari tuntutan orang dewasa

menjadi 7,5 tahun penjara. Tetapi oleh putusan majelis hakim meringankan tuntutan JPU

yang semula dituntut dengan pidana penjara 7 tahun 5 bulan menjadi hukuman penjara 6

tahun, hal ini tentu dikarenakan berbagai pertimbangan-pertimbangan oleh hakim yang

salah satunya dikarenakan terdakwa merupakan anak dibawah umur dan berstatus sebagai

seorang pelajar.

Dan dari kasus tersebut tidak di pungkiri bahwa seorang anak dapat melakukan

penganiayaan yang bahkan berujung kepada pembunuhan, dalam hukum pidana telah ada

peraturan hukum yang mengatur secara khusus tentang Peradilan Anak, yaitu Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dirumuskan dalam Pasal 1

butir 1 undang-undang tersebut, bahwa yang dimaksud dengan anak yaitu: “Orang

5
dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan)tahun, tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Batasan anak nakal yang dapat diperkarakan dan dipertanggungjawabkan tindak

pidana yang dilakukannya dalam siding peradilan adalah seorang anak yang minimal

berumur 8 (delapan) hingga 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Namun

demikian anak pada umur tersebut cenderung belum memiliki stabilitas emosional yang

memadai sebagaimana orang dewasa. Oleh karenanya pelanggaran-pelanggaran hukum

yang dilakukannya masih dapat dikategorikan sebagai kenakalan anak ataukenakalan

remaja. Seperti kasus di atas dinyatakan sebagai tindak pidana pembunuhan dan dikenakan

pasal 338 kuhp dan juga terdapat undang-undang tentang peradilan anak, sehingga bisa

dikatakan semua tindak pidana yang merugikan bahkan menghilangkan nyawa seseorang

yang dilakukan oleh anak di bawah umur tetap bisa di perkarakan dan di jatuhi hukuman

sesuai dengan undag-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian di atas adapun rumusan masalah yang di angkat ialah antara lain:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penganiayaan terhadap guru yang

dilakukan oleh siswa tersebut

2. Bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam penanganan perkara

tersebut

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban pidana pelaku penganiayaan terhadap guru yang dilakukan oleh

siswa

Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Marlina bahwa, dipidana atau

tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat

melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak.Selanjutnya dikatakan pula bahwa apakah

seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan maka tentu

ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang

terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak

dipidana.Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab.

Ssesorang yang tidak dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana tidak dapat

dimintakan pertanggung jawaban pidana. Pada prinsipnya, tindak pidana yang dilakukan

oleh anak adalah tanggung jawab anak itu sendiri, akan tetapi oleh karena terdakwa adalah

seorang anak, maka tidak dapat dipisahkan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya.

Tanggung jawab anak dalam melakukan tindak pidana adalah anak tersebut bertanggung

jawab dan bersedia untuk disidik, dituntut dan diadili pengadilan, hanya saja, terdapat

ketentuan-ketentuan dimana seorang anak tidak diproses sama halnya dengan memproses

orang dewasa. Hal ini dijelaskan dalam asas di dalam pemeriksaan anak, yaitu:

a. Azas praduga tak bersalah anak dalam proses pemeriksaan.

b. Dalam suasana kekeluargaan;

c. Anak sebagai korban;

7
d. Didampingi oleh orang tua, wali atau penasehat hukum, minimal wali yang

mengasuh

e. Penangkapan, penahanan sebagai upaya terakhir setelah dilakukan

pertimbangan dengan catatan penahanan dipisahkan dari orang dewasa.u

Pertanggungjawaban pidana dari anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana

akan dilihat dari aturan yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP.

1. Pertanggungjawaban yuridis bagi anak di bawah umur di dalam KUHP Hukum Pidana di

Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersumber pada KUHP Belanda. KUHP

ini merupakan hasil dari aliran klasik yang berpijak pada:

a. Asas Legalitas, yang berarti bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, sebagaimana

yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jonkers mengatakan bahwa: "undang

merupakan sumber langsung dari hukum pidana. Apa yang dapat dipidana disebut

dalam undang-undang pidana. Apa yang tidak terkena peraturan-peraturan itu,

bagaimanapun Asas ini lebih mengutamakan kepentingan formal daripada

kepentingan hukum itu sendiri. Sekalipun hukum itu jelas dan diperlukan oleh

masyarakat, tetapi sepanjang hukum itu belum diatur dalam undang-undang, hukum itu

belum dapat ditegakkan. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat yang dilarang dan

diancam dengan pidana, jika tidak ditentukan terlebih dahulu denganperundang-

undangan. Biasanya ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum Delictum

Nulla Poena Sine Praevia Lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan

lebih dahulu).Dari pernyataan ini jelas bahwa undang-undang merupakan kekuatan

sentral dari segala aturan yang ada. Sekalipun aturan itu tampak jelas merugikan orang

8
lain. Karena aturan itu belum diatur dalam undang-undang, sehingga aturan yang

merugikan orang lain itutidak dilarang dalam undang-undang. Misalnya, perbuatan

zina dilakukan oleh anak-anak sama-sama di bawah umur, tidak terikat dengan tali

perkawinan, perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan tindak pidana (perzinahan)

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Dalam asas legalitas terdapat 7

(tujuh) aspek yang dapat dibedakan yaitu:

1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang;

2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;

3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan;

4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa);

5. Tidak ada ketentuan surut (retroaktif) dari ketentuan pidana;

6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang;

7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukanundang-undang.

Dengan demikian, asas legalitas adalah suatu pertanggungjawaban yuridis yang tertulis,

tidak berlaku surut (retroaktif), penegakannya tidak ditafsirkan secara analogi dan

eksistensinya harus sudah diatur terlebih dahulu dalam undang-undang sebelum perbuatan

itu terjadi. Nilai yang paling mendasar dalam asas ini adalah jaminan kepastian hukum bagi

seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

b. Asas Kesalahan, yang berisikan bahwa seseorang hanya dapat dipidana karena telah

terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan.

Untuk menetukan seseorang benar-benar bersalah, harus ada alat bukti yang cukutp,

9
misalnya telah melakukan perbuatan melanggar hukum, sebagaimana unsure-unsur

pasal yang didakwakan penuntut umum, ada kesesuaian alat bukti yang diajukan

dalam persidangan. Dari kedua asas ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa antara unsure

kesalahan dan asas legalitas tidak adapat dipisahkan. Asas legalitas merupakan

jaminan kepastian hukum tertulis yang sekaligus sebagai pertanggungjawaban hukum

dari unsur kesalahan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, pelanggar atau

orang yang ikut serta melakukan tindakan pidana tersebut.

Pertanggungjawaban yuridis dalam KUHP dapat didasarkan pada 2 (dua) visi, yaitu:

kemampuan fisik dan moral seseorang (pasal 44 ayat (1 dan 2) KUHP). Kemampuan fisik

seseorang dapat dilihat dari kekuatan, daya dan kecerdasan pikirannya. Secara eksplisit,

istilah kemampuan fisik seseorang memang tidak dapat disebutkan dalam KUHP, tetapi

secara implicit, seseorang yang kekuatan, daya, kecerdasan akalnya terganggu atau tidak

sempurna, seperti idiot, imbicil, buta tuli, bisu sejak lahir, orang sakit, anak kecil (di bawah

umur) dan orang yang sudah tua renta, fisiknya lemah, tidak dapt dijatuhi pidana.

Demikian pula orang yang kemampuan moralnya tidak sempurna, berubah akal seperti sakit

jiwa, gila, epilepsy dan macam-macam penyakit jiwa lainnya, juga tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban yuridis. Kemampuan dalam melakukan perbuatan hukum, pada

hakikatnya merupakan salah satu persyaratan penting dalam mennetukan seseorang dapat

dimintai pertanggungjawaban yuridis atau tidak.

Bertalian dengan pertanggungjawaban yuridis terhadap anak di bawah umur, setelah

Pasal 45, 46 dan 47 KUHP dicabut, KUHP masih belum juga mengatur secara jelas tentang

kedewasaan anak. Sebagai perbandingan bahwa dalam Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47

KUHP, ditentukan bahwa anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana:

10
1. Jika tindak pidana dilakukan oleh anak berusia 9 (Sembilan) tahun sampai 13

(tiga belas) tahun, disarankan kepada hakim untuk mengembalikan anak tersebut kepada

orang tua atau walinya dengan tanpa pidana;

2. Jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak yang masih berusia 13 (tiga

belas) tahun sampai 15 (lima belas) tahun dan tindak pidananya masih dalam tingkat

pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514,

517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 KUHP, hakim dapat memerintahkan supaya sitersalah

diserahkan kepada pemerintah atau badan hukum swasta untuk dididik sampai berusia 18

(delapan belas) tahun. (Pasal 46 KUHP);

3. Jika hakim menghukum sitersalah, maka maksimal hukuman utama dikurangi

sepertiga, jika perbuatannya diancam hukuman mati, dapat dijatuhi pidana selama-lamanya

15 (lima belas) tahun dan hukuman tambahan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10

KUHP huruf b angka 1 dan 3 tidak dijatuhkan (Pasal 47 KUHP).

2. Pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur di luar KUHP Pertanggungjawaban pidana

anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada hukum materiil seperti yang diatur dalam

KUHP, karena KUHP tersebut ketentuan hukumnya tidak saja masih bersifat konvensional,

tetapi juga karena perilaku dan peradaban manusia sudah demikian kompleks bahkan

perkembangannya jauh lebih cepat daripada aturan yang ada. Dengan demikian tidaklah

dapat dihindarkan bahwa banyak muncul jenis-jenis kejahatan akibat kemajuan teknologi,

dan tidaklah dapat dihindarkan pula bahwa jenis-jenis kejahatan ini dapat dilakukan oleh

anak-anak (di bawah umur).

11
Oleh karena itu, melalui Pasal 103 KUHP, masih dibenarkan adanya perbuatan lain

yang menurut undang-undang selain KUHP dapat dipidana sepanjang undang-undang itu

bertalian dengan masalah anak dan tidak bertentangan dengan KUHP (lex Specialis Derogat

Legi Generali). Melalui asas ini pula, hukum pidana anak membenarkan undang-undang

lain di luar KUHP yang bertalian dengan masalah anak seperti:

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme;

Penggunaan undang-undang tersebut dalam hukum pidana anak cukup beralasan, karena

dalam mencari kebenaran dan keadilan dalam hukum pidana harus lebih menitikberatkan

kebenaran hukum materiil daripada kebenaran hukum formal. Untuk itu, dalam mencari

kebenaran hukum materiil ini, hakim harus mengacu pada isi surat dakwaan yang

disampaikan jaksa penuntut umum khususnya unsure- unsur pasal yang didakwakan

termasuk dalam pembuatan putusan, harus mengacu pada unsure-unsur pasal yang

didakwakan penuntut umum. Untuk menentukan apakah perbuatan anak tersebut memenuhi

unsure tindak pidana atau tidak, dapat dilihat minimal melalui 3 (tiga) visi:

12
a. Subyek, artinya apakah anak tersebut dapat diajukan ke persidangan anak?

Apakah anak tersebut memeiliki kemampuan bertanggung jawab terhadap apa yang telah

dilakukan. b. Adanya unsure kesalahan, artinya apakah benar anak itu telah melakukan

perbuatan yang dapat dipidana atau dilarang oleh undang-undang. Hal ini diperlukan untuk

menghindari asas Geen Straf Zonder Schuld (tidak ada pidana, jika tidak ada kesalahan).

c. Keakurasian alat bukti yang diajukan penuntut umum dan terdakwa untuk

membuktikan kebenaran surat dakwaannya. Alat bukti ini, minimal harus ada dua, jika tidak

dipenuhi, terdakwa tidak dapat dipidana (Pasal 184 KUHAP).

Yang menjadi persoalan yuridis dari ketiga unsure di atas adalah unsure

Sebelum Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diberlakukan,

Indonesia belum memiliki batas usia minimum bagi anak yang dapat diajukan ke

persidangan anak. Namun sekalipun demikian, tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak

perkara yang diajukan ke persidangan dengan alasan belum ada hukum yang mengatur

secara jelas masalah batas usia minimum bagi anak yang dapat diadili ke depan persidangan,

oleh karena itu anak di bawah umur yang melanggar undang-undang narkotika, psokotropika

atau undang-undang lain di luar KUHP, dapat saja diajukan ke depan persidangan

anak, sekalipun undang-undang tersebut tidak mengatur batasan usia minimum.

Selanjutnya, dengan diberlakukannya UU nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, tanggung jawab yuridis bagi anak menjadi lebih jelas dan lebih

mempunyai kepastian hukum dibanding dengan KUHP, terutama dalam hal telah

ditegaskannya batasan usia minimum bagi anak yang dapat diajukan ke depan persidangan

anak menjadi 8 (delapan tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun (Pasal 4 ayat (1)).

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

13
dijelaskan bahwa batas umur 8 (delapan) tahun bagi anak nakal yang dapat diajukan ke

persidangaan anak didasarkan atas pertimbangan sosiologis, psikologis dan pedagogis. Anak

yang belum mencapai 8 (delapan) tahun, dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan

perbuatannya. Batas usia minimum 8 (delapan) tahun ini, secara pedagogis maupun

psikologis jelas merugikan kepentingan anak. Anak yang berusia 8 (delapan) tahun yang

diajukan jaksa ke persidangan anak, bisa saja dijatuhi sanksi tindakan (Pasal 46 ayat (3

dan 4) UU No. 3 Tahun 1997). Padahal usia anak 8 (delapan) tahun masih dalam taraf

pengamatan terhadap perbuatan orang dewasa. Jika anak tersebut di penjara, anak ini akan

terisolasi dari temannya maupun dari masyarakat, dan akan dinilai jahat oleh masyarakat dan

atau teman di sekitarnya. Pada dasarnya, anak yang masih berusia 12 (dua belas) tahun

adalah anak yang masih berada daam tingkat remaja awal (10 - 12 tahun), jiwanya

masih labil, emosinya masih tinggi dan belum dapat memecahkan masalah yang

tergolong rumit.Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak yang berumur 12 ( dua belas) tahun tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun, maka disini jelas bahwa para pembentuk undang-undang telah sepakat

bahwa umur 8 (delapan) tahun adalah memang suatu umur yang masih belum dapat

dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya, karena anak yang

berumur demikian masih belum mengerti apa yang dilakukan Apabila anak yang belum

berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana atau

dengan kata lain bahwa anak tersebut belum genap berumur 18 (delapan belas) tahun maka

anak tersebut akan tetap diadili di persidangan anak.

14
B. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembunuhan yang dilakukan oleh

anak di bawah umur

Pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor 09/Pid.Sus.Anak/2018/PN.Spg Dalam

penjatuhan putusan pidana yang dilakukan oleh anak, hakim menggunakan pertimbangan

yang bersifat yurisdis dan normatif. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan

hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh

undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Di

samping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat

pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk

menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan anak di bawah umur, tanpa ditopang dengan

pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, Majelis Hakim

menyatakan Mohammad Holili terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan dalam

Pasal 338 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang

Pembunuhan.Putusan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum

(JPU) yang menuntut HI dengan hukuman 7 tahun 5 bulan dimana hakim memvonis 6 tahun.

Mohammad Holili akan menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar, Jawa

Timur.

terungkap bahwa keputusan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara

pembunuhan yang dilakukan oleh anak dibawah umur dengan terdakwa Mohammad Holili

adalah hukuman pidana penjara selama 6 (tujuh) tahun. Ini tidak sesuai dengan tuntutan

jaksa penuntut umum yang mendakwa para terdakwa dengan pidana penjara 7 tahun 5 bulan,

dimana perbuatan para terdakwa oleh jaksa penuntut umum didakwa dengan diancam

15
pidana berdasarkan Pasal 338 KUHP Jo Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang

pengadilan anak.

Bunyi Pasal 338 KUHP: Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,

diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Berdasarkan Pasal 338 KUHP hukuman bagi orang atau seseorang yang telah melakukan

tindak pidana pembunuhan diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama lima belas

tahun. Karena dalam kasus pembunuhan gurunya sendiri Ahmad Budi Cahyanto korban para

terdakwa masih berumur 17 tahun. Maka hakim dalam mejatuhkan pidana terhadap anak

yang melakukan tindak pidana khususnya tindak pidana pembunuhan harus mengacu

ke Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadialan Anak. Dalam Undang-

Undang Pengadilan Anak tersebut telah disebutkan bahwa batasan umur anak adalah 18

tahun dan belum pernah kawin.Undang-Undang pengadilan anak telah mengatur pidana yang

dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman

pidana penjara bagi orang dewasa, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 26 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadialan Anak. Dalam Undang-Undang

Pengadilan Anak tersebut telah disebutkan bahwa batasan umur anak adalah 18 tahun dan

belum pernah kawin.Undang-Undang pengadilan anak telah mengatur pidana yang dapat

dijatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana

penjara bagi orang dewasa, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1997. Dimana bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

(1)Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud

dalam Pasal

16
1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana

penjara bagi orang dewasa.

(2)Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10

(sepuluh) tahun.

(3)Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum

mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya

dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.

(4)Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum

mencapai umur 12(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam

pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak

Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

memutus perkara Nomor 09/Pid.Sus.Anak/2018/PN.Spg terdakwa Mohammad Holili

dengan menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun, ada beberapa pertimbangan yang

menjadi alasan putusan tersebut, antara lain: 1. Hal-hal yang memberatkan:

a. Perbuatan terdakwa dapat mengganggu ketenangan masyarakat.

b. Perbuatan para terdakwa tergolong sadis.

2. Hal-hal yang meringankan:

a. Terdakwa sopan dan berterus terang sehingga melancarkan jalannya persidangan.

17
b. Terdakwa mengaku bersalah, menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi lagi

perbuatannya.

c. Terdakwa masih muda sehingga diharapkan masih akan dapat memperbaiki diri

dikemudian hari.

Hal di atas diperkuat dengan pernyataan langsung dari hasil wawancara “anak-anak

seharusnya tidak semestinya berbuat keji seperti itu, seharusnya kami memutus dengan

pidana yang seberat-beratnya karena masih muda dan Undang-undang juga telah mengatur

bahwa pidana anak-anak separuh dari orang dewasa maka kami menjatuhkan pidana penjara

selama 6 tahun”.

Dalam hal menjatuhkan putusan pidana, hakim tidak boleh hanya pada pertimbangan

yuridis saja, karena nilai keadilan dan kebenaran tidaklah cukup diukur dengan nilai

kerugian, dampak perbuatan maupun kebenaran hukum. Hakim dalam mempertimbangkan

penjatuhan putusan juga harus melihat unsur-unsur yang non yuridis, seperti faktor

sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis yang melatarbelakangi mengapa pelaku

tersebut sampai melakukan tindak pidana khususnya dalam penanganan kasus pidana

anak. Dari wawancara yang telah dilakukan penyusun dengan hakim yang menangani kasus

Mohammad Holili, hakim menyatakan bahwa tidak menggunakan saksi ahli psikologi anak

dalam proses peradilan kasus tersebut. Menurut penyusun dengan mendatangkan saksi ahli

psikologi anak dapat membantu hakim melihat psikologi anak pada saat melakukan tindak

pidana pembunuhan sehingga dapat menjadi tambahan pertimbangan menjatuhkan putusan

karena bisa mengetahui psikologi atau kejiwaan para terdakwa tidak terkecuali terdakwa

Mohammad Holili dalam proses persidangan anak, sejak adanya sangkaan atau diadakan

18
penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus

didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang.

Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan si anak berupa:

1. Masalah sosialnya.

2. Kebribadiannya.

3. Latar belakang kehidupannya, misalnya:

a. Riwayat sejak kecil.

b. Pergaulannya di luar dan di dalam

rumah.

c. Keadaan rumah tangga si anak.

d. Hubungan antara bapak, ibu dan si anak.

e. Hubungan si anak dengan keluarganya, dan lain-lain.

f. Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak

pidana adalah sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu berupa: pidana dan tindakan. Pertimbangan Hakim

dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan juga

berdasarkan hal-hal yang memberatkan dalam kasus yang pertama seperti anak telah melakukan

pelanggaran hukum dan telah diselesaikan melalui diversi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Asas-Asas Hukum Pidana. Moeljatno. 1983. Jakarta : Bina Aksara, 1983, p. 23.

Hukum Acara Peradilan Anak. Supramono, Gatot. 2000. Jakarta : Djambatan, 2000.

Hukum Pidana Anak. Wagianti, Soetodjo. 2010. Bandung : PT Refika Aditama, 2010, pp. P. 45-

46.

Pemidanaan Anak Di Bawah Umur. Hidayat, Bunadi. 2010. Bandung : Alumni, 2010.

Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Madhe, Astuti Sadhe. 1997. malang :

IKIP, 1997.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180308165915-12-281499/siswa-pembunuh-guru-di-

sampang-divonis-6-tahun-penjara

21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Anda mungkin juga menyukai