Anda di halaman 1dari 5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : SOSRIL

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 049189841

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4208/Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nama UPBJJ : KENDARI

Masa Ujian : 2023/2024 Genap (2024.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS TERBUKA
Pertanyaan

Kejaksaan mengalami hambatan dalam melakukan eksekusi pidana mati terhadap Sugiono alias
Sugik, pelaku pembunuhan terhadap satu keluarga di Surabaya pada 1995 lalu. Sugik yang saat ini
mendekam di Lapas Porong Sidoarjo itu disebut mengalami gangguan jiwa, sehingga kejaksaan tidak
bisa memberikan hak-haknya sebelum dilakukan eksekusi mati. "Yang bersangkutan (Sugik) diajak
bicara tidak merespons, dan tim dokter susah berkomunikasi," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa
Timur, Mohammad Dhofir saat dihubungi, Selasa (31/12/2019). Padahal menurut aturan, terpidana
mati sebelum dieksekusi harus menjalani proses karantina dan diberi hak menyampaikan permintan
terakhir. "Karena kami anggap mengalami gangguan jiwa, maka eksekusi jadi terhambat. Eksekusi
akan dilakukan jika menurut dokter Sugik sehat mental dan tubuhnya," ujar Dhofir. Sugik adalah satu
dari empat terpidana mati yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dari empat terpidana, hanya
Sugik yang secara hukum sudah bisa dieksekusi karena status hukumnya sudah inkrah. "Upaya
hukum Peninjauan Kembali (PK) atas putusannya sudah ditolak Mahkamah Agung, upaya grasi juga
ditolak Presiden. Sementara tiga terpidana mati lainnya masih berproses banding," ucap Dhofir.
Sugik divonis hukuman mati karena terbukti membunuh satu keluarga di Jalan Jojoran Surabaya
pada 1995. Dia membunuh empat orang sekaligus yakni pasangan Sukardjo-Hariningsih serta dua
anak bernama Eko Hari Sucahyo dan Danang Priyo Utomo. Sugik sempat mengajukan grasi ke
Presiden Jokowi. Namun ditolak pada awal 2015.

Sumber:

https://regional.kompas.com/read/2019/12/31/18145761/hendak-dieksekusi-mati-
pembantai satu-keluarga-di-surabaya-tahun-1995-alami?page=all

Pertanyaan:

a. Jelaskan pengaturan hukuman mati dalam ICCPR (international Covenant on Civil and Political
Rights) / Kovenan hak sipil dan politik!

b. Hukuman mati memiliki daya bangun dan daya rusak, jelaskan argumentasi suadara terkait daya
bangun dan daya rusak hukuman mati!

c. Berkaitan dengan contoh kasus di atas, jelaskan hak terpidana yang dijatuhi sanksi pidana mati!

d. Jelaskan pertimbangan Mahkamah Konstitusi terkait pidana mati dalam yang tertuang dalam
Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007!

Jawaban:

a. Pengaturan Hukuman Mati dalam ICCPR / Kovenan Hak Sipil dan Politik

Secara singkat:

 ICCPR tidak secara tegas melarang hukuman mati.


 ICCPR membolehkan penerapan hukuman mati dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:
o Hanya untuk kejahatan paling serius yang dilakukan setelah berlakunya Kovenan.
o Sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan dilakukan.
o Dengan cara yang tidak melanggar hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan.
 ICCPR mendorong penghapusan hukuman mati secara bertahap.

Penjelasan lebih detail:

Pasal 6 ayat (2) ICCPR mengatur tentang pengecualian terhadap hak hidup, yaitu:

"Hukuman mati hanya boleh dijatuhkan dan dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku pada
saat pelanggaran dilakukan, yang harus mengatur kejahatan paling serius yang dapat dihukum
dengan demikian. Negara Pihak yang belum menghapus hukuman mati tidak boleh menerapkannya
kecuali untuk kejahatan seperti itu dan sesuai dengan ketentuan yang dibuat dalam undang-
undang."

Pasal 6 ayat (6) ICCPR menyatakan:

"Ketika akan menjatuhkan hukuman mati, setiap negara pihak harus mempertimbangkan
kemungkinan pengampunan atau pengurangan hukuman."

Protokol Opsional Kedua ICCPR:

Pada tahun 1989, Protokol Opsional Kedua ICCPR diadopsi untuk menguatkan komitmen terhadap
penghapusan hukuman mati. Protokol ini melarang penerapan hukuman mati untuk semua
kejahatan tanpa terkecuali. Namun, protokol ini hanya mengikat bagi negara-negara yang telah
meratifikasinya. Indonesia belum meratifikasi Protokol Opsional Kedua ICCPR.

Penafsiran ICCPR oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia:

Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Putusan Nomor 105/PU-XIII/2020 menyatakan bahwa


hukuman mati tidak melanggar ICCPR. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 6 ayat (2)
ICCPR memberikan ruang bagi negara-negara untuk mempertahankan hukuman mati untuk
kejahatan-kejahatan paling serius.

b. Argumentasi Daya Bangun dan Daya Rusak Hukuman Mati

Daya Bangun Hukuman Mati:

 Memberikan efek jera: Hukuman mati dianggap sebagai hukuman terberat yang dapat
diberikan kepada penjahat, sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku
dan calon pelaku kejahatan lainnya.
 Menjaga rasa keadilan masyarakat: Bagi sebagian masyarakat, hukuman mati dianggap
sebagai hukuman yang adil bagi pelaku kejahatan yang sangat serius, seperti pembunuhan
berencana, terorisme, dan pengkhianatan negara.
 Melindungi masyarakat: Hukuman mati dapat digunakan untuk menyingkirkan penjahat
berbahaya dari masyarakat dan mencegah mereka melakukan kejahatan di masa depan.
 Menutup biaya kerugian: Dalam beberapa kasus, hukuman mati dapat memberikan rasa
keadilan bagi korban dan keluarga korban, serta membantu menutup biaya kerugian yang
ditimbulkan oleh pelaku.
Daya Rusak Hukuman Mati:

 Pelanggaran hak asasi manusia: Hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran hak asasi
manusia karena merampas hak hidup seseorang.
 Kemungkinan kesalahan: Sistem peradilan pidana tidak luput dari kesalahan. Hukuman mati
yang dijatuhkan kepada orang yang tidak bersalah tidak dapat diubah dan merupakan
pelanggaran hak yang tidak dapat diperbaiki.
 Tidak efektif dalam mencegah kejahatan: Tidak ada bukti ilmiah yang kuat yang
menunjukkan bahwa hukuman mati lebih efektif dalam mencegah kejahatan dibandingkan
dengan hukuman penjara seumur hidup.
 Ketidakadilan dalam penerapan: Hukuman mati sering diterapkan secara tidak adil, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti ras, etnis, dan status sosial ekonomi.
 Biaya tinggi: Pelaksanaan hukuman mati sering kali membutuhkan biaya yang tinggi
compared to other forms of punishment.

c. menurut aturan, terpidana mati sebelum dieksekusi harus menjalani proses karantina dan diberi
hak menyampaikan permintan terakhir. "Karena kami anggap mengalami gangguan jiwa, maka
eksekusi jadi terhambat. Eksekusi akan dilakukan jika menurut dokter Sugik sehat mental dan
tubuhnya," ujar Dhofir. Sugik adalah satu dari empat terpidana mati yang ditangani Kejaksaan Tinggi
Jawa Timur.

.
d Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Terkait Pidana Mati dalam Putusan MK Nomor 2-3/PUU-
V/2007

Dalam Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa


hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945).

MK mempertimbangkan beberapa hal dalam putusannya, antara lain:

1. Hak Asasi Manusia (HAM)

MK menegaskan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Namun, MK
juga mengakui bahwa hak hidup bukan hak yang absolut dan dapat dibatasi dalam keadaan tertentu,
termasuk untuk menjatuhkan hukuman mati.

MK berpendapat bahwa hukuman mati dapat dibenarkan sebagai bentuk penjeraan yang setimpal
untuk kejahatan-kejahatan tertentu yang sangat serius, seperti pembunuhan berencana, terorisme,
dan pengkhianatan negara.

MK juga mempertimbangkan Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang merupakan perjanjian
internasional tentang HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia. MK menyatakan bahwa ICCPR tidak
secara tegas melarang hukuman mati, tetapi membolehkan penerapannya dengan syarat-syarat
tertentu.
2. Keadaan Darurat

MK menyatakan bahwa hukuman mati dapat diterapkan dalam keadaan darurat yang mengancam
jiwa bangsa dan negara. Dalam keadaan darurat, negara dapat mengambil langkah-langkah luar
biasa untuk melindungi rakyatnya, termasuk dengan menerapkan hukuman mati.

3. Proporsionalitas

MK menekankan bahwa hukuman mati harus dijatuhkan secara proporsional dengan tingkat
keparahan kejahatan yang dilakukan. MK menyatakan bahwa hukuman mati hanya boleh diterapkan
untuk kejahatan-kejahatan yang sangat serius yang tidak dapat dihukum dengan cara lain.

4. Keefektifan

MK mempertimbangkan keefektifan hukuman mati dalam mencegah kejahatan. MK menyatakan


bahwa meskipun tidak ada bukti ilmiah yang kuat yang menunjukkan bahwa hukuman mati lebih
efektif daripada hukuman penjara seumur hidup, namun MK tetap mempertimbangkan bahwa
hukuman mati dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku kejahatan.

5. Konsensus Masyarakat

MK juga mempertimbangkan konsensus masyarakat tentang hukuman mati. MK menyatakan


bahwa meskipun terdapat perdebatan tentang hukuman mati, namun MK tetap mempertimbangkan
bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih mendukung penerapan hukuman mati untuk
kejahatan-kejahatan tertentu yang sangat serius.

Kesimpulan

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, MK memutuskan bahwa hukuman mati tidak


bertentangan dengan UUD 1945. Namun, MK menekankan bahwa hukuman mati harus diterapkan
secara seleクtif dan hati-hati, dengan memperhatikan hak asasi manusia dan proporsionalitas.

Anda mungkin juga menyukai