Anda di halaman 1dari 6

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu Islami

Dosen Pengajar : Dr. Andi Aladin, MT

QISOS

PRO HAM ATAU KONTRA

Oleh :
RESA WIRA NATA
0025.02.52.2020
MH-2

MAGISTER HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020
PEMBAHASAN

Pelaksanaan Hukuman Mati atau eksekusi mati yang sedang diterapkan di Indonesia ini
mengalami Pro dan Kontra. Menurut mereka yang setuju dengan dijalankannya hukuman mati
menganggap bahwa hukuman mati itu merupakan hal yang senapas dan sejalan dengan
kaidah hukum islam yang berlaku dengan kata lain qishash. Sedangkan mereka yang
menganggap bahwa hukuman mati tidak layak diterapkan di Indonesia itu berasumsi bahwa
setiap orang mempunyai hak hidup. Hak Asasi Manusia merupakan hak absolute dan Universal
yang tidak dapat dicabut oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.

Memang dalam hukum positif yang sedang berlaku di Indonesia kita ini mengenal adanya
hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai pidana pasal 10, menerangkan
tentang macam-macam pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, dan
termasuk pidana mati tersebut. Namun dalam perkembangannya pidana mati tersebut relevan
apa tidak untuk diterapkan di Indonesia ? perdebatan itu muncul ketika banyak orang mulai
menanyakan tentang baik tidaknya hukuman mati yang belum lama ini telah dilaksanakan di
Indonesia dengan kasus Narkotika, Karena hal tersebut menyangkut tentang hak absolute yang
dimiliki orang secara kodrati dan tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun apalagi Indonesia
juga menganut ideology dan dasar negara Pancasila. Disisi lain, Indonesia memang telah
melindunginya dan tertuang dalam peraturan Perundang-undangan. Tentang HAM ini diatur
dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Bab III, pasal
9 ayat satu dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf hidupnya. Kemudian perlindungan terhadap hak asasi juga termuat dalam
pasal 281 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi ,”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati
nurani,hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,dan hak
untuk di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun:” pada dasarnya bukanlah ketentuan yang melarang sama
sekali hukuman mati ditarapkan di Indonesia.

Namun di lihat dari tujuan adanya pidana, Menurut saya pribadi pidana mati tersebut
tetap harus diberlakukan karena yang bersangkutan melakukan tindakan yang tidak
berperikemanusiaan, dan mereka khususnya yang tertangkap aparat dalam kasus narkotika
merupakan orang yang membahayakan hidup orang lain serta bangsa lain apabila di pakai,
diedar dalam taraf internasional terutama di Indonesia. Kalau tidak dengan cara begini lalu
bagaimana seharusnya Indonesia harus menerapkan hukuman agar bisa membuat jera dan bisa
mencegah dan memberantas peredaran narkotika dan psikotropika yang ada di Negara Kita ini?

Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada Minggu dini hari (18/1) telah melakukan
eksekusi mati terhadap 5 orang terpidana narkotika. Dari 5 orang tersebut, satu di antaranya
adalah warga negara Indonesia. Eksekusi mati ini kembali memunculkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat yang setuju dan menolak pemberlakuan hukuman mati.

Bagi yang setuju, hukuman mati memang harus diberlakukan lantaran kejahatan yang
dilakukan memang harus dibalas dengan nyawa lantaran tingkat bahaya dampak kejahatannya
harus dibalas dengan nyawa. Sementara yang kontra hukuman mati, menganggap tak ada satu
pun pihak yang bisa menghabisi nyawa seseorang, kecuali Tuhan. Hukuman mati juga kerap
disandingkan dengan tuduhan-tuduhan melanggar HAM.

Para pegiat HAM mengemukakan Setidaknya ada tiga alasan kenapa hukuman mati
harus ditolak. Pertama, mencabut nyawa seseorang merupakan hak Tuhan semata. Dua, hakim
yang memvonis mati terhadap terdakwa adalah manusia yang tidak sempurna sehingga selalu
ada kemungkinan menghasilkan keputusan salah. Tiga, sejelek-jeleknya manusia seharusnya
diberi kesempatan untuk menjalani pertobatan atas kejahatan yang diperbuat.

Eksekusi mati para terpidana narkoba ini juga dikecam Dewan Amnesti Internasional.
Pernyataan tersebut, disampaikan lembaga tersebut melalui laman resminya di amnesty.org.
Kecaman tersebut keluar dari lembaga ini mengingat kampanye Presiden Jokowi yang terus
mengedepankan peningkatan Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan, kebijakannya untuk
menghukum mati justru sangat bertentangan dengan HAM. Presiden Joko Widodo terkekeh
begitu mendengar desakan Dewan Amnesti Internasional yang memintanya menghentikan
eksekusi lima terpidana mati. Dia menegaskan, pelaksanaan hukuman mati musti dilaksanakan
sesuai perintah pengadilan.

Bagaimana hukuman mati dilihat dari konteks agama? Sebagian besar ulama setuju
dengan pemberlakuan hukuman mati. Selain juga diatur dalam Alquran, hukuman mati juga
masih berlaku di banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia
memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tenting kejahatan de ngan
ancaman hukuman mati. Opsi ini (hukuman mati--Red) merupakan sanksi yang paling berat
dikenakan terhadap pelaku tindak ke ja hatan berat dan menyangkut pihak yang berwenang dan
berkepentingan, serta berkaitan dengan nilainilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ada beberapa produk hukum di Indonesia yang memiliki konsekuensi sanksi berupa
hukuman mati, antara lain, kejahatan terhadap negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3, dan
140 ayat 3 KUHP), pembunuhan dengan berencana (Pasal 340 KUHP), dan Undang-Undang
tentang NarkotikadanObat-ObatanPsikotropika. Hanya saja, pemberlakuannya menuai pro-
kontra di kalangan masyarakat. Oleh sebagian kalangan, hukuman mati dianggap sebagai
pengebirian terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk tetap hidup. Di sisi lain, kehadiran
hukuman mati, menghadirkan rasa adil atas tindak kriminalitas yang dilakukan oleh pelaku.
Lantas, bolehkah negara, selaku pemegang otoritas hukum menjatuhkan hukuman
mati terhadap terdakwa kasus tindak pidana yang tergolong berat?

Dalam buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dijelaskan bahwa pada
dasarnya, Islam mengakui eksistensi hukuman mati dan memberlakukannya dalam tindak
pidana (jarimah) hudud, qi shash, dan ta’zir. Berkaitan dengan qishash, misalnya, ada sejumlah
ayat yang mendasari pemberlakuan hukuman mati tersebut.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula). Yang demi ki an itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barang siapa yang melampaui batas se sudah itu, baginya siksa yang sa ngat pedih. (QS al-
Baqarah [2] : 178).

Sedangkan dalil pelaksanaan hukuman mati atas hudud, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA. Ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Ambillah
dariku (terimalah hukum dariku)! Ambillah dariku (terimalah hukum dariku)! Allah telah
menetapkan suatu jalan (ketentuan hu kum) bagi perempuan-perempuan itu, mereka yang
belum kawin (jika berzina), dengan orang yang belum kawin hukumnya adalah cambuk 100
kali dan diasingkan satu tahun; dan (hukuman) yang sudah kawin (jika berzina) dengan yang
sudah kawin hukumannya dijilid 100 kali dan dirajam’.” (HR Muslim). Lantas, siapakah yang
boleh mengeksekusi hukuman tersebut? Apakah negara memiliki kewenangan
melaksanakannya?

Islam juga mengakui hukuman mati atas tindakan onar dan kejahatan publik yang
menimbulkan korban jiwa di berbagai pihak. Ter masuk misalnya, pertikaian dua kelompok
yang sulit didamaikan. Allah SWT berfirman: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi, kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.”(QS al-Hujuraat [47]: 9).

Masih menurut fatwa MUI tersebut, berdasarkan dalil pengakuan atas eksistensi tersebut,
negara di nyatakan boleh menjatuhkan dan melakukan hukuman mati kepada pelaku kejahatan
tertentu. Dalam Kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan
bahwa orang yang kejahatannya di muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan di bunuh,
maka ia (harus) dibunuh; misalnya orang yang memecah belah kaum Muslimin dan orang yang
mengajak ke bidah agama.

Dalam karya monumentalnya di bidang fikih tersebut, Syekh Wahbah berkesimpulan


bahwa hukumnya boleh menjatuhkan hukuman mati sebagai siyasah (politik hu kum) kepada
orang, yang selalu melakukan kejahatan (berupa gangguan terhadap) keamanan, negara, dan
sebagainya.

Pidana qishash (ancaman pidana mati kepada pelaku tindak pidana pembunuhan) sangat
memungkinkan untuk diberlakukan di Indonesia, karena memenuhi syarat filosofis, yuridis,
sosiologis, dan historis. Bahkan ada kemiripan dengan Pasal 338, 339, 340 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), tidak sekadar bentuk pidana tetapi juga lebih melindungi hak
hidup.

“Pidana mati tertuang dalam Pasal 340 KUHP. Ini sangat mirip dengan qishash, tetapi di
KUHP tidak dapat melindungi hak asasi manusia (HAM), baik bagi tersangka maupun korban,
sehingga KUHP harus diperbaharui. “Hak Asasi Manusia pada Piagam Madinah Dihubungkan
dengan Qishash dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”.

Islam sangat tegas terhadap pelaku tindak pidana terhadap nyawa, karena termasuk
kejahatan besar selain musyrik dan meninggalkan salat. Bentuk pidana ini disertai
perlindungan HAM, sudah diberlakukan Rasulullah sejak periode Madinah (abad VII Masehi),
dijelaskan, pidana yang dikenal manusiawi di Barat baru dikenal pada abad ke-18 Masehi,
tetapi masih berdasarkan pada teori retributive (pembalasan). Pemidanaan yang
memperhatikan HAM berdasarkan filosofi restorative justice baru dikenal di Barat pada abad
ke-21. KUHP masih menggunakan pidana retributive, sehingga perlindungan HAM pun
ditujukan kepada pelaku delik, sedangkan korban dan masyarakat umum yang dirugikan tidak
mendapatkan hak-haknya secara layak.

Qishash yang dianggap sebagai hukuman yang kejam, ternyata sangat melindungi hak
hidup. Ini terbukti saat Rasulullah memberlakukannya pada periode Madinah, Negara ini
menjadi aman dan damai dengan angka kejahatan yang sangat rendah. Rasulullah saat itu lebih
menganjurkan pemaafan dengan pembayaran diyat (ganti rugi), karena Islam menginginkan
adanya perubahan prilaku masyarakat Madinah menjadi lebih penyabar dan penyayang.

Rasulullah akhirnya berhasil melakukan perubahan budaya Arab Jahiliyah menjadi


penduduk Madinah yang berperadaban dan sangat toleran, yang semula dikenal perangainya
lebih mencintai sukunya secara berlebihan, keras, dan suka balas dendam. Jadi, qishash
merupakan bentuk perlindungan hak hidup. Hak korban diindungi dengan adanya ganti rugi
berupa diyat, pelaku kejahatan terlindungi dengan adanya prinsip pamaafan dan diyat sebagai
alternatif pidana.

“Masyarakat pun terlindungi dengan pemaafan dan diyat, sehingga dapat


mengembalikan keharmonisan masyarakat. Intinya, qishash menjaga anggota masyarakat
untuk tidak melakukan pembunuhan. Nilai hukum Islam dapat diberlakukan di semua sistem
kenegaraan, karena nilai-nilainya sangat universal. Qishash pun akan cocok diberlakukan di
Indonesia karena memenuhi syarat filosofis, yuridis, sosiologis, dan historis.

Anda mungkin juga menyukai