Anda di halaman 1dari 3

Nama : Annisa

Tugas : analisis dan deskripsi pendapat saya mengenai “Apakah Hukuman Mati
diangap sebagai Pelanggaran HAM ? padahal banyak negara termasuk indonesia
melakukan hal itu !”

Pada masa orde baru pada tahun 1966 sampai 1998 hukuman mati digunakan
sebagai upaya untuk mencapai stabilitas politik untuk mengamankan agenda
pembangunan.Di Indonesia sudah banyak orang di hukum mati yang mengikuti sistem
KUHP peninggalan Belanda dan masih berlaku sampai sekarang. Penjatuhan Pidana
kepada pelaku Tindak Pidana merupakan kewenangan hakim dengan
mempertimbangkan secara yuridis dan sosiologis agar pidana yang dijatuhkan dapat
bermanfaat baik bagi terpidana maupun masyarakat (Warih Anjari, 2015: 108).
Penjatuhan pidana meskipun di pertimbangkan secara yuridis maupun sosiologis tetapi
tetap merupakan suatu penderitaan yang dirasakan tidak enak oleh yang dikenai karena
patutkah makna tujuan serta ukuran yang didapat selaras dengan penderitaan pidana
yang di terima. Berdasarkan pasal 10 KUHP pidana terdiri atas dua jenis yaitu (1)
Pidana Pokok, yang terdiri dari: (a) pidana mati, (b) pidana penjara, (c) pidana
kurungan, dan (d) pidana denda; (2) Pidana Tambahan, yang terdiri dari: (a) pencabutan
hak tertentu, (b) perampasan barang tertentu, (c) pengumuman keputusan hakim; Pidana
Tutupan, dengan dasar UU No. 20 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan. Selain Pasal 10
KUHP tercatat juga beberapa undang-undang lain seperti undang-undang narkotika,
undang-undang pengadilan HAM No.26 tahun 2000, dan undang-undang korupsi No.
31 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa pidana mati masuk kedalam jenis pidana
pokok.

Keputusan pasal 10 KUHP yang menyebutkan Pidana mati masuk kedalam jenis
pidana pokok jelas banyak menimbulkan pertentangan pro dan kontra, karena pidana
mati dapat dikatakan sebagai satu jenis pidana yang kejam dan paling kontroversial di
dunia, selain itu penjatuhan pidana mati dianggap bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM) sebab pelaksanaanya dengan mengambil hak hidup orang lain dan
tiada harapan bagi terpidana untuk memperbaiki kejahatan yang telah dilakukannya.
Padahal setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya (pasal 28A UUD 1945). Awal mula pertentangan pro dan kontra terkait
penjatuhan pidana mati secara teoritis bermula dari publikasi beccaria, melalui bukunya
Dei Delitti e Delle Pene (1746), yang menanyakan “ dari manakah orang mengambil
haknya untuk membunuh sesama manusia? Tentunya tidaklah dari sumber yang sama
seperti kedaulatan dan undang – undang.”. pernyataan itu jelas menjadi polemik dan
mulai menimbulkan pertentangan pro dan kontra terkait kesangsian diatara orang-orang
tentang legitimasi dari penjatuhan pidana mati tersebut. Dalam perspektif Universal
Declaration Of Human Right, deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM)
penjatuhan hukum pidana mati itu dilarang untuk diterapkan, sesuai dengan ketentuan
pada pasal 3 Deklarasi Universal yang berbunyi bahwa “ setiap orang mempunyai hak
atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang”. Ketentuan dalam
DUHAM tersebut dipertegas lagi dengan adanya pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “ Setiap
manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini dilindungi
oleh hukum.

Hukuman mati merupakan jenis pidana yang terberat dibandingkan dengan


pidana lainnya, karena dengan pidana mati terenggut jiwa manusia untuk
mempertahankan hidupnya. Hukuman mati juga bentuk hukuman keji yang memberikan
efek jera kepada pelaku kejahatan. Sayangnya hukuman ini juga melanggar hak untuk
hidup yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal
Declaration of Human Rights (DUHAM)

Menurut Peneliti Balitbangkumham Firdaus, dalam kerangka hukum nasional,


hak untuk hidup juga diatur dalam Konstitusi Indonesia. Ketentuan ini ditegaskan dalam
Pasal 4 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak. “Dalam kaitan dengan masalah ini,
penerapan hukuman mati sebenarnya masih mengandung kontroversi di tengah
masyarakat, sehubungan dengan hak asasi manusia. Karena itulah Balitbangkumham
melakukan penelitian tentang Implementasi Kebijakan Hukuman Mati Ditinjau dari
Aspek HAM,’’ jelas Firdaus dalam kegiatan presentasi proposal penelitian
Implementasi Kebijakan Hukuman Mati Ditinjau dari Aspek HAM.

Hukuman mati masih diterapkan di Indonesia dan tertuang dalam hukum positif
Indonesia yaitu Pasal 10 KUHP dan termasik sebagai pidana pokok, hal tersebut juga
didukung dengan kualifikasi tindak pidana yang bisa dikategorikan ataupun diancam
dengan pidana mati antara lain tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk
menyerang Indonesia begitu juga dalam Rancangan KUHP juga terdapat pengaturan
pidana mati. 2. Hukuman mati atau yang sering disebut dengan pidana mati
bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3
DUHAM yaitu hak untuk hidup. Namun terdapat pengecualian dari Pasal tersebut
yaityu Pasal 4 ayat (1) ICCPRderogable right yang pada intinya hukuman mati dapat
dilaksanakan dengan kualifikasi kejahatan tersebut membehayakan publik.

Dan akhirnya pendapat saya tentang hukuman mati adalah saya tidak setuju.
karena:

1. Hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia


2. Kita bukan Tuhan yang dapat mengambil nyawa manusia, dan hanya Tuhan yg
dapat melakukan itu
3. Setiap orang patut mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan
yg sebelumnya.
4. Terdakwa pasti juga punya keluarga yg akan sangat merasa kehilangan jika
hukuman mati dijatuhkan.
Referensi :
1. https://www.balitbangham.go.id/detailpost/hukuman-mati-dalam-perspektif-
ham-di-indonesia
2. https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2015/07/HUKUMAN-
MATI-DITINJAU-DARI-PERSPEKTIF-HUKUM-DAN-HAK-ASASI-
MANUSIA-INTERNASIONAL.pdf
3. https://law.unja.ac.id/hak-atas-hidup-siapa-yang-bisa-mencabut/

Anda mungkin juga menyukai