Anda di halaman 1dari 11

EFEKTIFITAS PEMBERLAKUAN PIDANA MATI DI INDONESIA DITINJAU DARI

PRESPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Lamria Damanik, S.H.


Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia
Email: lamriadamanik@gmail.com

ABSTRAK
Kata kunci: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa apakah pemberlakuan pidana
Pidana Mati, Hak Asasi mati bertentangan dan melanggar hak asasi kemudian pemberlakuan pidana
Manusia, Hukum mati sudah tidak sesuai dengan hukum pidana modern. Penelitian dilaksanakan
dengan mengaplikasikan metode penenitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan
sosiologis. Pada hakekatnya pidana mati merupakan pidana menghilangkan
nyawa terpidana Hukuman mati (capital punishment) telah digunakan selama
ribuan tahun sebagai hukuman utama untuk tindak pidana tertentu. Meskipun
sejarawan tidak memiliki cara untuk mengetahui berapa lama sanksi hukuman
mati telah menjadi polemik, namun mereka mengetahui bahwa penerapan
sanksi ini telah diperdebatkan selama berabad abad Pertimbangan mengenai
penghapusan pidana mati di indonesia didasrkan pada Hak untuk hidup dijamin
dan dilindungi oleh Undang-Undang 1945 Pasal 28 A dan Pasal 28 I Ayat (1).
Sedangkan dalam ICCPR Pasal 6 dikatakan bahwa setiap manusia memiliki hak
hidup yang bersifat melekat atau inheren yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Secara spesifik, penghapusan hukuman mati dibahas dalam
Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) merupakan hukum HAM internasional yang secara spesifik
bertujuan untuk menghapus hukuman mati.

ABSTRACT
Keywords: This research aims to explain whether the imposition of the death penalty is
Death Penalty, Human contradictory and violates human rights, then the imposition of the death
Rights, Law penalty is no longer in accordance with modern criminal law. The research
was carried out by applying normative legal research methods using a statutory
approach, a case approach and a sociological approach. In essence, the death
penalty is the crime of taking the life of a convict. The death penalty (capital
punishment) has been used for thousands of years as the main punishment for
certain criminal acts. Although historians have no way of knowing how long
the death penalty has been a polemic, they do know that the application of this
sanction has been debated for centuries. Considerations regarding the abolition
of the death penalty in Indonesia are based on the Right to life guaranteed and
protected by the 1945 Constitution Article 28 A and Article 28 I Paragraph (1).
Meanwhile, in ICCPR Article 6 it is said that every human being has an
inherent or inherent right to life which cannot be reduced under any
circumstances. Specifically, the abolition of the death penalty is discussed in
the Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), which is international human rights law which
specifically aims to abolish the death penalty.
37
Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

PENDAHULUAN
Sebagai salah satu jenis hukuman yang paling tua dan paling berat, penerapan hukuman mati
sering didiskusikan oleh banyak negara, baik oleh ahli hukum, filosof, teolog, maupun para
ilmuan, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini menjadikan hukuman mati sebagai jenis
hukuman yang paling sering menimbulkan polemik dan kontroversi dibandingkan dengan jenis
hukuman yang lainnya. Kontroversi pemberlakuan hukuman mati terjadi hampir diseluruh
belahan dunia, baik dinegara-negara Anglo Saxon yang menganut aliran hukum common law
system, maupun dinegara-negara Eropa Kontinental yang menganut aliran hukum civil law
system. Menganai mereka yang menentang pidana mati selain Beccaria, sebenernya pada tahun
1864 seorang guru besar Austria Joseph van Sonnefels sudah menentang pidana mati yang
dipandangnya bertentangan dengan tujuan pidana. Ing Oei Tjo Lam berpendapat bahwa tujuan
pidana adalah memperbaiki individu yang telah melakukan tindak pidana disamping melindungi
masyarakat. Jadi nyata bahwa dengan adanya pidana mati, bertentangan dengan salah satu dari
tujuan pidana yang disebutkan pertama tadi. Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa
kepentingan dari orang seorang anggota masyarakat menjadi tanggung jawab negara. Negara
tidak hanya menjaga ketertiban umum, tetapi juga memajukan kesejahteraan masyarakat, implisit
anggota-anggotanya.
Hukuman mati jelas bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijami oleh pasal 28 A
Ayat 1 Undang-Undang dasar 1945, hak untuk hidup dijamin dan dilindungi oleh Undang-
Undang 1945 pasal 28 A menyatakan :
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Lebih lanjut pasal 28 I ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa :
“Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”.
Keberadaan frasa tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun pada pasal 28 I ayat 1
merupakan bukti bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak menghendaki pembatasan terhadap
hak untuk hidup. Dengan kata lain secara implisit dapat disimpulkan bahwa pasal 28 I ayat 1
Undang-Undang dasar 1945 tidak menghendaki adanya hukuman mati, karena hukuman mati
merupakan suatu bentuk pengingkaran atas hak untuk hidup (Lubis, T., 2009). Permasalahan
mengenai pro dan kontra hukuman mati ini bukanlah permasalahan baru, maka dari itu peneliti
ingin mencari tau sejauh mana efektifitas pemberlakuan pidana mati.

Kajian Teori
1. Teori Hukum Progresif
Konsep keadilan progresif ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan
keadilan prosedur. Akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap aspek
prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang
menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang
menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif. Kerusakan dan kemerosotan dalam
perburuan keadilan melalui hukum modren disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan
timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan”. Proses
pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan
Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 38
Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

prosedur dengan baik ditempatkan di atas segala-galanya, bahkan di atas penanganan substansi
(accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth
(Rahardjo, S., 2006).

2. Hukum Itu Perlindungan Kodrat (John Locke)


Sebagai penganut hukum alam abad ke-18 locke berpegang pada prinsip hukum alam pada saat
itu, yakini kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ornag-orang yang memiliki kontrak sosial
bukanlah orang-orang yang ketakutan dan pasrah seperti yang dib ayangkan Hobbes. Mereka,
kata Locke, mereka adalah orang-orang yang tertib menghargai kebebasan, hak hidup dan
kepemilikan harta adalah hak bawaan sebagai manusia. Menurut Locke, itulah masyarakat ideal
karena hak-hak dasar manusia tidak dilanggar. Menurutnya hak tersebut tidak ikut diserahkan
kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karna itu kekuasaan penguasa yang
diberikan lewat kontrak sosialdengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Adanya
kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang
mengancam , hukum yang dibuat dalam negarapun bertugas melindungi hak-hak tersebut
(Bernard L, Yoan N.S Dan Markus Y.H, 2019).

3. Teori Hukum Kodrati


Pemikiran yang kemudian melahirkan teori hukum kodrati tidak lepas dari pengaruh tulisan-
tulian santo Thomas Aquinas. Menurut Aquinas, hukum kodrati merupakan bagian dari hukum
Tuhan yang dapat diketahui melalui penalaran manusia. Gagasan Aquinas meletakan dasar-dasar
mengenai hak individu yang bersifat otonom. Setiap manusia dianugrahi identitas individual
yang unik oleh Tuhan, dan hal ini terpisah oleh Negara.

METODE
Menurut (Winarno Surachmad, 1995), bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan
dalam mencapai tujuan. Agar penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan
pedoman yang disebut metode penelitian. Metode penelitian ini meliputi:
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan yaitu:
Pertama, pendekatan Perundang-undangan (state approach) yang dibutuhkan untuk
menganalisis dan memahami pelaksanaan rehabilitasi bagi pengguna narkotika dan obat
berdasarkan hukum positif.
Kedua, pendekatan kasus (case approach) yang digunakan untuk memperoleh gambaran
terhadap dampak dimensi penormaan yaitu mencari asas-asas, doktrin-doktrin dan sumber
hukum efektivitas kebijakan rehabilitasi bagi pengguna narkotika dan obat, untuk menghasilkan
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai praktisi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
Ketiga, pendekatan konsep (conseptual approach), dibutuhkan untuk memahami, menangkap
dan menerima dalam permasalahan penelitian ini. Melalui pendekatan konsep akan dipahami dan
dapat menjawab permasalahan penelitian ketiga terkait konsep regulasi rehabilitasi pengguna
narkotika dan obat yang lebih sesuai dan lebih efektif di masa depan.

Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 39


Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan hasil temuan terhadap
objek penelitian yang berkaitan dengan perundang-undangan. Sebagaimana pendapat Marzuki
bahwa penelitian untuk praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-
undangan (Marzuki, P.M., 2008). Penelitian ini disusun secara sistematis dan disajikan dalam
bentuk diskriptif analitis yaitu dengan menggunakan hubungan antara teori-teori kejahatan
dengan teori efektivitas hukum dan teori kebijakan hukum yang diperoleh melalui studi
kepustakaan.

3. Teknik Pengumpulan Data


Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi peraturan perundang-
undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian. Oleh
karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi
kepustakaan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder. Dalam penelitian ini penulis
meneliti bahan hukum primer yang menjadi sumber penelitian ini, yaitu: Undang–Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.Untuk memperoleh bahan
hukum sekunder penulis meneliti dan menganalisa dokumen-dokumen yang berkaitan langsung
dengan hukum yang meliputi: buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan. Sedangkan bahan hukum tersier yaitu bahan hukum
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
berkaitan dengan penelitian ini diantaranya adalah surat kabar, internet, kamus Hukum, dan
kamus Besar Bahasa Indonesia, dan wawancara.

4. Teknik Pengolahan Data

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data dilakukan dengan cara sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi artinya membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan
hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi (Soerjono Soekanto Dan
Sri Mamudji, 2006)

5. Analisis Data

Menurut Afifudin dan Beni Ahmad Saebani analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar (Afifudin Dan Beni
Ahmad Saebani, 2009). Analisa data yang akan dilakukan adalah analisa yang bersifat deskriptif
analisis. Data yang diperoleh, dikumpulkan dengan cara sebagaimana telah dijelaskan di atas,
data tersebut akan disusun secara sistematis untuk selanjutnya isinya akan dianalisis secara
kualitatif dan pada akhirnya dituliskan apa yang seharusnya dilakukan.

Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 40


Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Perspektif Pidana Mati di Indonesia
Pada hakekatnya pidana mati merupakan pidana menghilangkan nyawa terpidana, maka dengan
menghilangkan nyawa pelaku tindak pidana, berarti menghentikan pelaku untuk melakukan
kejahatan. Ini berarti dengan adanya pidana mati, masyarakat merasa aman dan terlindungi dari
gangguan jahat pelaku. Dilihat dari unsur perlindungan masyarakat yang demikian, kebijakan
tentang pidana mati terhadap kejahatan narkokotika dapat dikatakan memenuhi atau sesuai
dengan aspek perlindungan masyarakat. Baik kontra maupun yang pro, alasan yang diberikannya
semua bertumpu pada Hak Asasi Manusia (HAM). Perlu kiranya diuraikan tentang argumentasi
bagi keduannya, tentunya dengan tetap mengacu pada hukum Nasional (Waluyadi, 2009).
Menurut The Indonesian Human Rights Watch, terdapat tiga alasan utama mengapa penjatuhan
hukuman mati seringkali digunakan oleh pengadilan, antara lain:
1. Hasil penerapan ancaman pidana mati digunakan oleh rezim kolonial Belanda, kemudian
dalam prakteknya terus digunakan sampai rezim otoritarian Orde Baru untuk memberikan rasa
takut bahkan menghabiskan lawan politik. Hal ini dapat dilihat pada penerapan kejahatan
politik Pasal 104 KUHP;
2. Upaya menerbitkan beberapa ketentuan hukum baru yang mencantumkan ancaman pidana
mati sebagai langkah kopensasi politik akibat ketidakmampuan membenahi sistem hukum
yang korup. Padahal ancaman pidana mati tidak pernah bisa membuktikan efektifitasnya
mengurangi angka kejahatan termasuk narkotika;
3. Meningkatnya angka kejahatan dilihat semata sebagai tanggung jawab individu pelaku
Kecenderungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya
didasarkan pada alasan konvensional yaitu pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan
orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak
dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya menjadikan
alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang
tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis
yang dijatuhkan hakim. Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana
mati ialah Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi
Arief, Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang. Jonkers mendukung pidana mati dengan
pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan”
bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di
pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar (A. Hamzah Dan A,
1985).
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda
Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa:
“Walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan
masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat),
namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga
pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)” .

Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 41


Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab dalam
putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22
tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat
terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas
pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman
pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah
bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pidana
mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.

Hanya saja berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan
dengan pidana mati ke depan hendaknya memperhatikan sungguh-sungguh beberapa hal sebagai
berikut:
a. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat
khusus dan alternatif;
b. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila
terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 puluh
tahun;
c. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa ditangguhkan
sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit jiwa tersebut
sembuh
Sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun tidak sedikit dan
menyandarkan argumennya pada landasan berpikir yang ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang
sangat terkenal karena kevokalannya menentang pidana mati ialah seorang berkebangsaan Italia
yang bernama Beccaria.
2. Pertentangan Pidana Mati dengan Hak Asasi Manusia
Pidana mati adalah pidana yang terberat menurut KUHP. Bagi kebanyakan negara soal pidana
mati itu mempunyai arti dari sudut kulturhistoris. Dikatakan demikian, karena kebanyakan
negara-negara tidak mencantumkan pidana mati ini lagi di dalam kitab undang-undangnya
(Saleh, R., 1983)
Pelaksanaan pidana mati di Indonesia menjadi bahan pembicaraan yang cukup aktual dan
polemik yang berkepanjangan bagi negara-negara yang beradab. Hal ini didasari bahwa
penerapan pidana mati tidak sesuai dengan falsafah negara yang menganut paham
Pancasila, yang selalu menjunjung tinggi rasa prikemanusiaan yang adil dan beradap.
Namun demikian dalam kenyataannya, penerapan pidana mati apapun alasan dan
logikanya tetap dilaksanakan di Indonesia dari berbagai kasus tindak pidana yang ada
(Abdullah, M. Z., 2009).
Alasan lain dari kalangan yang pro terhadap pidana mati yakni pidana mati diperlukan untuk
mencegah kembali terjadinya kejahatan yang sadis atau merugikan masyarakat.
Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 42
Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

Lombrosso berpendapat bahwa pidana mati adalah suatu alat yang mutlak yang harus ada
pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang memang telah membawa
sifat-sifat jahat sejak lahirnya, dan karena itu tidak mungkin lagi diperbaiki. Yang karena
itu Lombrosso membela dan mempertahankan adanya pidana mati. Selanjutnya menurut
Lambrosso, pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk menyadarkan orang yang
tidak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati itu maka hilanglah pula
kewajiban negara untuk memelihara mereka dalam rumah-rumah penjara yang tidak
sedikit biayanya, begitu pula dengan pelaksanaan pidana mati terhadap pelaku kejahatan,
hilanglah ketakutan masyarakat dan kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan larinya
penjahat dari rumah penjara untuk kemudian melakukan kejahatan yang lebih mengerikan
lagi, demikian pula akan kembali rasa aman dan ketentraman masyarakat serta kembali
pula rasa keadilan dalam masyarakat. (Lomrosso, 1984).

Adapun kalangan yang kontra ini beralasan bahwa hak asasi manusia merupakan hak
mutlak (nonderogable right) yang tidak dapat dirampas dalam keadaan apapun.

Adnan Buyung Nasution dalam hal pidana mati ia berpendapat bahwa banyak jalan untuk
menegakkan rasa keadilan masyarakat. Kalau hukuman mati sudah jatuh tidak dapat
dirubah lagi, nyawa sudah melayang. Dengan demukian lenyaplah kesempatan untuk
memperbaiki diri. Siapa tahu di hari tuanya seorang penjahat menyadari kesalahannya.
Saya tidak percaya seorang penjahat tidak bisa menjadi baik sedangkan orang baik
menjadi jahat. Hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang. Hakim sendiri
mungkin sekali salah menjatuhkan hukuman atau sengaja memanipuli hukum. Tidak ada
seorangpun yang mempunyai hak mencabut nyawa seseorang dengan legalitas hukum.

Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 mengatur hak untuk hidup ke dalam 2
pasal, yaitu Pasal 4 dan Pasal 9. Berikut adalah isi dari masing-masing pasal tersebut.
 Pasal 4: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun.
 Pasal 9: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.

Apabila kita cermati ketentuan Pasal 4 dan Padal 9 Undang-undang tentang HAM tersebut,
nampak seolah-olah hak untuk hidup adalah hak yang mutlak dan tidak dapat dikurangi dengan
alasan apapun. Namun apabila kita baca bagian penjelasan pasal tersebut, ternyata terdapat
pembatasan terhadap hak untuk hidup itu. Bunyi penjelasan pasal tersebut adalah: “Setiap orang
berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak
atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana
mati.

Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 43


Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

3. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi

Pembukaan Undang-Undang 1945 mewujudkan cita hukum tersebut yang tidak lain adalah
pancasila. Meskipun lilai dan konsep hak asasi dalam Undang-Undang 1945 dalam sejarahnya
telah lebih awal dari Universal Declaration Humman Rights dia tetap memeliki universalitas
yang relevan, walaupun kemudian nilai dan konsep HAM dalam lanjutannya, melalui instrumen
internasional mempengaruhipengelembagaan secara lebih lengkap dalam sistem hukum dan
konstitusi indonesia dimana satu dengan yang lain justru bersesuaian. Dalam kostitusi Hukuman
mati jelas bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijami oleh pasal 28 A Ayat 1 Undang-
Undang dasar 1945, hak untuk hidup dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang 1945 pasal 28
A menyatakan :
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”

Lebih lanjut pasal 28 I ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa :

“Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Keberadaan frasa tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun pada pasal 28 I ayat 1
merupakan bukti bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak menghendaki pembatasan terhadap
hak untuk hidup. Dengan kata lain secara implisit dapat disimpulkan bahwa pasal 28 I ayat 1
Undang-Undang dasar 1945 tidak menghendaki adanya hukuman mati, karena hukuman mati
merupakan suatu bentuk pengigkaran atas hak untuk hidup.

Berkaitan dengan hal tersebut, amendemen UUD 1945 juga telah memberikan kewenangan
constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menakar, apakah suatu
pembatasan terhadap HAM yang dilakukan dengan undangundang itu masih dalam kategori yang
diperbolehkan oleh konstitusi, atau sudah secara nyata-nyata masuk dalam kategori yang
melanggar prinsip-prinsip HAM, sehingga oleh karenanya harus dicabut dan dibatalkan. Tentu
yang menjadi isu utama dalam hal ini adalah sesuai tidaknya materi pembatasan HAM tersebut
dengan persyaratan sebagaimana terkandung dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Secara konsepsional, setiap orang sejak sebelum kelahirannya memiliki hak dan kewajiban
yang hakiki sebagai manusia (Asshiddiqie, J., 2005). Kewajiban kewajiban tersebut tertuang
dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa setiap orang wajib menghormati
HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kewajiban
untuk menghormati hak-hak orang lain tersebut mengandung arti bahwa setiap warga negara
Indonesia dalam melaksanakan hak dan kebebasannya harus memperhatikan hak dan kebebasan
orang lain. Adalah tidak mungkin setiap hak dapat dilakukan secara bebas, karena apabila hak
Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 44
Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

tersebut dilakukan secara bebas maka akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dari orang
lainnya. Untuk itu, dibutuhkan suatu organisasi kekuasaan untuk melakukan pengaturan terhadap
pelaksanaan hak dan kebebasan tersebut.

4. Pandang ICCPR ((International Covenant on Civil and Political Rights) Mengenai HAM

Penegakan HAM juga dipengaruhi oleh penerimaan suatu negara terhadap cara pandang politik
internasional tentang HAM. Terdapat dua cara pandang universalisme dan relativisme kultural.
Negara-negara yang melihat HAM melalui cara pandang universal berpandangan bahwa
pelaksanaan HAM tidak dipengaruhi oleh perbedaan negara, ideologi, tingkat kemajuan
ekonomi, etnisitas, agama, kultur dan sebagainya. Cara pandang ini dianut oleh negara-negara
Barat. Sedangkan cara pandang relativisme kultural yang banyak dianut oleh bangsa-bangsa
Timur beranggapan bahwa pelaksanaan HAM sangat tergantung oleh perbedaan kultural antar
bangsa. Dalam prakteknya kedua cara pandang ini mengandung bias politik dan ideologi.

Bila dicermati lebih lanjut hak sipil dan politik yang tercantum di dalam ICCPR dapat
diklasifikasikan atas dua bagian :
a. Bagian pertama adalah hak-hak absolut dengan kata lain hak yang harus ditegakkan dan
dihormati dalam keadaan bagaimanapun seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas dari
penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi
perjanjian (hutang), hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak atas kebebasan
berpikir dan sebagainya.
b. Bagian kedua, hak-hak yang boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara seperti hak atas
kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau
berekspresi, hak atas kebebasan berserikat, hak untuk mendapatkan dan memberi informasi
dan lain sebagainya.
Nardulli menyebutkan bahwa prasyarat sebuah konstitusi yang dianggap baik yaitu
1) memberdayakan sekaligus membatasi kekuasaan pemerintah ;
2) menggambarkan (atau merumuskan) kontrak sosial yang berlaku dalam hubungan antara
masyarakat dengan negara ;
3) menyediakan ruang publik yang memadai ; dan
4) mekanisme kontrol bagi penyalahgunaan kekuasaan.

Dari keempat syarat tersebut secara implisit diantaranya dapat dijelaskan bahwa suatu
konstitusi yang baik harus memuat hak-hak asasi manusia atau hak-hak yang harus dimiliki
warganegaranya. Pengintegrasian HAM (termasuk hak sipil dan politik sebagai bagian
imperatif dari konstitusi moderen telah dilakukan oleh banyak negara. Bahkan di negara seperti
India, hakhak minoritas dijamin secara tegas di dalam konstitusinya terlepas masih tetap
problematiknya interpretasi tentang dasar penentuan status minoritas-mayoritas.

Penerapan hukuman mati ini tentunya bertantangan dengan HAM internasional, yang
terdapat dalam Declaration of Human Rights Pasal 3 yang menyatakan bahwa “everyone has the
Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 45
Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

rights to life, liberty and security of person”. Hak hidup juga diatur dalam ICCPR (International
Covenant on Civil and Political Rights). Dalam ICCPR Pasal 6 dikatakan bahwa setiap manusia
memiliki hak hidup yang bersifat melekat atau inheren yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun. Secara spesifik, penghapusan hukuman mati dibahas dalam Second Optional Protocol to
the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan hukum HAM
internasional yang secara spesifik bertujuan untuk menghapus hukuman mati. Dalam
pembukaannya menyatakan bahwa penghapusan hukuman mati berkontribusi pada peningkatan
martabat manusia dan perkembangan hak asasi manusia secara progresif.
ICCPR mengatur berbagai hak yang terkait dengan hak-hak sipil dan politik, juga
memandatkan dibentuknya Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee). Komite ini
merupakan sebuah lembaga kuasi-yudisial yang bertugas mempelajari dan memberikan komentar
terhadap laporan-laporan dari negara-negara mengenai kepatuhan mereka terhadap kovenan
tersebut. Komite ini juga bertugas mempelajari dan memberikan komentar terhadap
petisi/permohonan yang diajukan perseorangan mengenai adanya pelanggaran terhadap kovenan
tersebut oleh pemerintah negaranya. Penafsiran Komite HAM atas ICCPR dianggap sangat
otoritatif.

KESIMPULAN
Pemberlakuan pidana mati dalam prespektif hak asasi manusia. Pada hakekatnya pidana mati
merupakan pidana menghilangkan nyawa terpidana, maka dengan menghilangkan nyawa pelaku
tindak pidana, berarti menghentikan pelaku untuk melakukan kejahatan, alasan didasarkan pada
alasan konvensional yaitu pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang
dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi
sedangkan dari sudut pandang Hak Asasi Manusia sedah jelas melanggar. Pertimbangan
mengenai penghapusan pidana mati di indonesia didasrkan pada Hak untuk hidup dijamin dan
dilindungi oleh Undang-Undang 1945 Pasal 28 A dan Pasal 28 I Ayat (1). Sedangkan dalam
ICCPR Pasal 6 dikatakan bahwa setiap manusia memiliki hak hidup yang bersifat melekat atau
inheren yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Secara spesifik, penghapusan
hukuman mati dibahas dalam Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) merupakan hukum HAM internasional yang secara spesifik
bertujuan untuk menghapus hukuman mati, begitu pula kehendak internasional melalui
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mendukung penghapusan terhadap pidana mati diikuti
dengan banyak negara yang menghapus dan tidak menearpkan hukuman mati, selain daripada itu
dari segi filosofis pemidanaan dan perkembangan hukum sekarang penghukuman seperti
hukuman mati dianggap sudah tidak sejalan dengan filosofi pemidaan. Penerapan hukuman mati
sebenarnya sudah tidak relefan lagi dalam penegakan hukum sehingga untuk mewujudkan
formulasi hukum yang relevan dengan kondisi dan maksud tujuan hukum yang sekarang maka
hukuman mati harusnya sudah di hapuskan dikarekan banyak instrumen yang sebenarnya yang
menjadi alasan yang jelas untuk menghendaki penghapusan terhadap hukuman mati.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 46


Efektifitas Pemberlakuan Pidana Mati Di Indonesia Ditinjau Dari Prespektif Hak Asasi Manusia
(HAM)

A. Hamzah Dan A, Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu Kini Dan Di
Masa Depan, Ghalian Indonesia, Jakarta, 1985.

Bambang Sugeng Rukmono, Hakikat Pelaksanaan Hukuman Mati Ditinjau Dari


Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Pt. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005.

Bernard L, Yoan N.S Dan Markus Y.H, Teori Hukum Strategu Tertib Manusia Lintas
Ruang Dan Generasi, Genta Pubishing, Yogyakarta, 2019.

Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia”, Makalah Disampaikan Dalam
Studium General Pada Acara The 1st National Converence, Yang Diselenggarakan Oleh
Corporate Forum For Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.

Lombrosso Dalam Zainal Moehadi.. Pidana Mati Dihapuskan Atau Dipertahankan.


Yogyakarta: Pt Hanindita. 1984.

M. Zen Abdullah.. Pelaksanaan Pidana Mati Di Indonesia Telaah Dalam Kontek Hak
Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Universitas Jambi, 2009.

Roeslan Saleh. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. 1983.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006).

Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi,
Kompas, Jakarta 2009.

Waluyadi, 2009, Kejahatan, Pengadilan Dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung,
2009.

This work is licensed under a


Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

Jurnal Cahaya Mandalika (JCM) | 47

Anda mungkin juga menyukai