Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : CHONDRI PARDAMEAN LUMBAN GAOL

Nomor Induk Mahasiswa /NIM : 045077217

Kode / Nama Mata Kuliah : HKUM4208 / HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Kode / Nama UPBJJ : 24 / UPBJJ – UT KOTA BANDUNG

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Pertanyaan :
1. Jelaskan pengaturan hukuman mati dalam ICCPR (international Covenant on Civil and
Political Rights) / Kovenan hak sipil dan politik!
2. Hukuman mati memiliki daya bangun dan daya rusak, jelaskan argumentasi suadara terkait
daya bangun dan daya rusak hukuman mati!
3. Berkaitan dengan contoh kasus di atas, jelaskan hak terpidana yang dijatuhi sanksi pidana
mati!
4. Jelaskan pertimbangan Mahkamah Konstitusi terkait pidana mati dalam yang tertuang dalam
Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 !

Jawaban :
1. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (bahasa Inggris:
InternationalCovenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR) adalah sebuah
perjanjianmultilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsaberdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966.
2. Dalam Hukum Islam secara gamblang menyatakan bahwa hukuman mati
adalahsebuah keharusan dalam kejahatan pembunuhan, sedangkan menurut konsep
hakasasi manusia khususnya dunia internasional yang didominasi negara
baratmenyatakan bahwa hukuman mati tidak dianjurkan karena melanggar hak
hidupseseorang yang merupakan anugerah Tuhan. Hukuman mati itu sendiri dalam
konsepsiHAM memiliki dua dimensi yakni dimensi universal dan dimensi partikular. Pada
bagiandimensi particular memandang bahwa penegakan HAM dikembalikan kepada masing-
masing negara. Dimensi inilah yang selaras dengan keinginan hukum Islam asalkansesuai
dengan proporsi mudarat dan manfaatnya. Nilai-nilai HAM khususnya diIndonesia
lahir dari nilai luhur suatu bangsa sehingga dapat saja memiliki pandanganberbeda mengenai
perlunya hukuman mati. Keputusan mengenai hukuman matidikembalikan pada masing-
masing Negara.
3. Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Pasal 100 Ayat 1KUHP
mengatur, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10tahun dengan
memerhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untukmemperbaiki diri atau
peran terdakwa dalam tindak pidana, Hukuman mati jugadianggap pengingkaran
terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalamkeadaaan apapun seperti termuat
dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945 bahwa “Hakuntuk hidup, adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaanapapun
4. A. Hak konstitusional yang bersumber dari UUD 1945 tidak hanya dimiliki oleh warganegara
Indonesia melainkan juga dimiliki oleh warga negara asing. Dan dengansendirinya
constitusional loss juga dapat dialami oleh warga negara asing. Dengandemikian, pembatasan
terhadap warga negara asing dalam mengajukanpermohonan pengujian materiil terhadap
Undang-undang yang dilakukan oleh Pasal51 ayat (1) huruf a UUMK merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusiayang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945
B. Hukuman mati merupakan suatu bentuk pengingkaran (pengurangan/pembatasan)
terhadap hak untuk hidup. Dan hal ini bertentangan dengan Pasal28A dan terutama Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “hakuntuk hidup...adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalamkeadaan apa pun
C. Pasal 6 ICCPR mengatur tentang hukuman mati sebagai suatu bentukpembatasan
atas hak untuk hidup; namun ICCPR lebih menghendaki agarhukuman mati
dihapuskan. Walaupun lebih menghendaki agar hukuman matidihapuskan, ICCPR masih
memberikan toleransi kepada Negara yang menjadiPihak dalam ICCPR yang masih belum
menghapus hukuman mati untuk tetapmempraktikkan hukuman mati, tetapi dibatasi hanya
pada “the most seriouscrimes” (kejahatan yang sangat serius/luar biasa). Kejahatan-
kejahatan yangterkait dengan narkotika tidak termasuk dalam definisi “the most serious
crimes”.Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan UU Narkotika yang
memberlakukanhukuman mati bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) ICCPR dan,
dengansendirinya, Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yang sama sekali
tidakmengizinkan dikuranginya hak untuk hidup. 4. Pasal 5 ayat (2) ICCPR menjamineksistensi
hukum nasional dari Negara yang menjadi Pihak untuk menerapkanhak asasi manusia dengan
standar yang lebih tinggi daripada yang diatur padaICCPR. Hal ini sesuai dengan asas
bahwa hukum internasional menerapkanstandar kewajiban yang minimum terhadap negara
dalam pemenuhan hak asasimanusia. Oleh karena itu, jika Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
menegaskan bahwa“hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” maka
standartersebut tidak boleh diturunkan dengan mengacu pada ketentuan mengenai hakuntuk
hidup yang terdapat dalam Pasal 6 ICCPR, yang masih memungkinkandilakukannya hukuman
mati. 5. Fakta bahwa sistem peradilan pidana tidaklahsempurna, yang dapat (dan telah terjadi)
menghukum orang yang tidak bersalah,sudah merupakan bukti yang tidak dapat dibantah bahwa
penerapan hukumanmati merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan
kewajibanPemerintah berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 untuk melindungi hakasasi
manusia, termasuk di dalamnya hak untuk hidup sebagaimana diaturdalam Pasal 28A
dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. 6. Keberadaan instrumen-instrumen internasional dan regional
yang bertujuan untuk menghapus hukumanmati maupun tribunal-tribunal yang disponsori oleh
PBB yang telah meniadakanhukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi atas kejahatan-
kejahatan yangluar biasa seperti genosida (genocide) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan(crimes against humanity) merupakan bukti yang sangat kuat bahwa
duniainternasional menghendaki penghapusan hukuman mati. Selain itu, jumlahnegara
yang menghapus hukuman mati terus meningkat secara signifikan daritahun ke tahun. Data
tersebut merupakan indikasi yang tidak terbantahkanbahwa dunia internasional secara
mantap bergerak menuju penghapusanhukuman mati. 7. Penerapan hukuman mati
tidak sesuai dengan filosofipemidanaan di Indonesia. Hukuman mati lebih menekankan pada
aspek balasdendam. Tidak terbuka kesempatan bagi yang bersangkutan untuk bertobat
dankembali ke masyarakat. 8. Untuk menerapkan hukuman yang sangat berat
seperti hukuman mati yang pelaksanaannya bersifat irreversibel (tidak
dapatdikembalikan kepada keadaan semula), pemberlakuannya harus didasarkanpada
data dan riset yang mendalam. Tidaklah bertanggung jawab untukmempertahankan
hukuman mati dengan mendasarkannya pada spekulasisemata. Ketiadaan data dan riset
yang mendukung tentang efektivitas hukumanmati (dalam mengurangi tindak pidana melalui
efek jera yang ditimbulkannya)dan irreversibilitas dari hukuman mati merupakan alasan yang
sangat kuat untukmenghapus hukuman mati. 9. Oleh karena itu, sudah seyogianya Majelis
HakimKonstitusi Yang Terhormat menyatakan bahwa hukuman mati yang diberlakukandalam
UU Narkotika bertentangan dengan “hak untuk hidup” yang dijamin dandilindungi oleh Pasal
28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. 10. Meskipun uraiandalam permohonan ini membuktikan
bahwa hukuman mati bertentangan dengan“hak untuk hidup” yang dijamin oleh Pasal 28A dan
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,dan konsekuensi logis dari hal tersebut adalah dinyatakannya
hukuman matisebagai inkonstitusional, namun kami dibatasi oleh kuasa yang diberikan
paraPemohon untuk hanya mengajukan Permohonan Pengujian Materiil terhadap UUNarkotika.
Oleh karena itu kami percayakan kepada Mahkamah Konstitusi untukmemutuskan mengenai
konstitutionalitas hukuman mati yang tersebar padaberbagai peraturan perundang-
undangan di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai