Anda di halaman 1dari 21

C.

Dampak Hukuman Mati


1. Bagi Dirinya
Jika ditinjau dari HAM, bahwa hukuman mati merupakan bentuk
hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan
hak asasi manusia. Karena setiap orang mempunyai hak untuk hidup dan
mempertahankan hidupnya. Hal ini terkait pada Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia yang terdiri dari sepuluh Pasal, dimulai dari Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J (Hamenda, 2013). Pada Pasal 28A UndangUndang Dasar 1945 dengan jelas mengatakan bahwa Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Karena menggunakan kata setiap orang, maka hal itu juga berlaku
pada terdakwa kasus kejahatan, bahkan berlaku bagi mereka yang bukan
warna negara Indonesia. Hal tersebut kemudian diperjelas pada Undangundang tentang HAM nomor 39 tahun 1999 dimana pada pasal 9 ayat 1
dikatakan bahwa Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan
hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini
sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota
Uni Eropa dilarang menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal
2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000.
Hidup adalah sebuah anugerah dari Tuhan YME dan tidak ada
satupun manusia yang dapat mencabutnya. Namun pernyataan itu seakan
sirna dengan adanya hukuman mati bagi narapidana pada kasus narkoba
seperti yang tercantum dalam UU nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika pasal 113, yaitu :
Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau

melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman


beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Banyak kontroversi tentang hal ini, banyak yang menilai bahwa
hukuman mati menyimpang dari Pancasila sila Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab dan melanggar Hak Asasi Manusia, namun sebagian juga
menilai hukuman mati adalah cara yang paling ampuh untuk membuat
jera para pelaku kejahatan. Dibeberapa Negara lain hukuman mati sudah
dihapuskan, namun di Indonesia sendiri hukuman mati masih secara
tegas diberlakukan (Rahman, et al., 2013).
Hukuman mati belum tentu dapat membuat para pelaku kejahatan
jera, hal itu juga dapat menutup rapat kejahatan yang belum
terselesaikan, seperti hukuman mati yang diberlakukan pada kasus
teroris. Para pelaku pengeboman telah dihukum mati sebelum seluruh
kasus terorisme terungkap. Setelah kasus bom Bali satu, di Indonesia
masih marak dengan kasus-kasus pengebomban yang lainnya. Hal ini
dapat dijadikan bukti bahwa tidak ada kata jera untuk para pelaku
terorisme di Indonesia (Rahman, et al., 2013).
Kelompok abolisionis membantah alasan kaum retensionis yang
meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera dan, karena itu,
akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya kejahatan terkait narkoba.
Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi positif
antara hukuman mati dan penurunan tingkat kejahatan narkoba (Brata,
2015).
Menurut T.Mulya Lubis dan Alexander Ray yang harus diberantas
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan
tindak pidana, bukan narapidana yang bersangkutan. Kutipan diatas dapat
dijadikan inspirasi untuk menghapus hukuman mati di Indonesia.

Hukuman mati seperti bukan sebuah hukuman, namun hukuman mati


lebih terlihat sebagai reaksi balas dendam. Pancasila sila pertama yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa juga bertentangan dengan hukuman mati,
dalam sila pertama kita diharuskan meyakini keberadaan Tuhan YME
namun apa yang dilakukan jelas bertentangan dengan sila tersebut.
Mencabut nyawa adalah hak Tuhan, dengan adanya hukuman mati
seakan akan manusialah yang berkuasa atas kematian manusia tersebut.
(T. Mulya & Ray, 2009)
Dan jika dilihat dari KUHP, perbuatan dan tindakan pidana yang
diancam dengan hukuman mati, antara lain:
a

Maker dengan membunuh kepala negara. Pasal 104 menyebutkan


maker dengan maksud membunuh presiden atau wakil presiden
atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau
menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Mengajak/ menghasut negara lain menyerang Indonesia(Pasal 111


ayat 2).

Melindungi atau menolong musuh yang berperang melawan


Indonesia (Pasal 124 ayat 3).

Membunuh kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat 3).

Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (Pasal 140 ayat 3 dan


Pasal 340) (Hamenda, 2013).

2. Bagi Keluarga
Eksekusi mati yang dilakukan terhadap terpidana kasus narkoba di
Indonesia juga dapat memberikan dampak tersendiri bagi keluarganya.
Keluarga pelaku tentu dapat merasa terbebani dan terpukul karena harus
kehilangan salah satu anggota keluarga mereka. Hal tersebut juga dapat

memicu salah satu anggota keluarga yang membenci pihak penegak


hukum atas putusannya untuk memvonis mati anggota keluarganya.
3. Bagi Masyarakat
Eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba di Indonesia
menuai protes dari masyarakat dari berbagai kalangan dan juga dunia.
Masyarakat internasional menyoroti langkah hukuman mati yang
diterapkan di Indonesia merupakan pelanggaran serius atas hak asasi
manusia, karena hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang
merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi
manusia. Sebagaimana dijelaskan pada BAB 2 pasal 4D menjamin
pengaturan rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahgunaan dan
pecandu narkoba. Masih banyak hukuman yang lebih manusiawi yang
menimbulkan efek jera terhadap pengguna atau pengedarnya selain
hukuman mati bagi pengguna sebaiknya di rehabilitasi tetapi bagi
pengedar yang sudah mencapai kelas kakap bisa saja dipenjara seumur
hidup, dan bukan dengan untuk mengambil hak hidup mereka karena itu
menentang pasal 28 A UUD 1945 yang menjelaskan setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, dan
juga bertentangan dengan deklarasi universal of humn right.
Sudah menjadi rahasia umum bila hukum belum mencapai keadilan
lalu bagaimana nasib orang-orang yang tidak bersalah tetapi tetap divonis
dengan hukuman mati seperti yang terjadi di amerika serikat pada tahun
1989 silam, seorang bernama carlos deluna divonis mati oleh pengadilan
texas, amerika serikat dengan perbuatan yang tidak dilakukannya dan
lebih parahnya lagi carlos deluna tidak terbukti tidak bersalah setelah
puluhan tahun setelah ia dihukum mati. Bagaimanapun tidak ada manusia
yang bisa benar-benar memutuskan perkara dengan adil, oleh karena itu
kami dari tim kontra tetap konsisten kalau hukim mati tidak boleh
diterapkan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menerapkan
hukuman mati, hal ini didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). Hukuman mati dalam KUHP merupakan pidana pokok
sebagaimana tercantum dalam Pasal 10. Selain KUHP beberapa

perundang-undangan di Indonesia terdapat hukuman mati sebagai


ancaman hukumannya yaitu UU Narkotika dan UU tentang Psikotropika.
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa hukuman mati ini
merupakan pelanggaran HAM. Namun, Jika dikaitkan antar UUD NRI
1945 Pasal 28J ayat (2) dan UU HAM Pasal 70 dan Pasal 73 tentunya
penjatuhan hukuman mati terhadap narapidana narkoba tidaklah
melanggar HAM. Karena penjatuhan hukuman mati yang diberikan oleh
Pengadilan kepada para narapidana narkoba berdasarkan UU Narkotika
yang memberikan ancaman hukuman mati. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut sangat jelas bahwa seseorang tidak bisa bertindak semena-mena
atau bebas dengan mengatasnamakan HAM karena semua perbuatan
setiap orang dibatasi oleh perundang-undangan. Jika seseorang telah
melanggar atau mengganggu HAM orang lain maka wajib untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya untuk mencapai tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Kasus Narkoba merupakah salah satu kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime). Mengapa disebut sebagai extra ordinary crime? Karena
efek kerugian yang diakibatkan dari perbuatan ini sangat besar sekali,
yang mengancam semua orang, baik anak-anak, orang muda maupun
orang tua bahkan bisa merusak satu generasi dan masa depan dari suatu
negara. Mengingat dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat ini serius,
maka diperlukan upaya pencegahan, pemberantasan dan peredaran gelap
narkoba yang merupakan tanggung jawab bagi kita semua, demi
mewujudkan target yang sudah dicanangkan, yakni menuju Indonesia
bebas narkoba di tahun 2015. Dalam hal ini dibutuhkan peran berbagai
pihak termasuk dalam hal ini masyarakat, untuk mampu berperan sentral
dalam kaitan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Di sisi lain sistem
penegakan hukum harus berjalan secara adil dan penerapan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kita sebagai
generasi bangsa sudah selayaknya untuk berpikir secara sistematis dan
memiliki visi ke depan yang lebih baik, agar dapat mewujudkan sesuatu

yang positif bagi bangsa dan negara tercinta. Dengan demikian


diharapkan masyarakat lebih mengerti tentang HAM pada negara
Indonesia agar tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan HAM. Selain
itu, masyarakat diharapkan menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak
dan juga dapat bersatu memerangi narkoba.
4. Bagi Negara
Sekitar

140

negara

yang

tergabung

dalam

PBB

sudah

menghapuskan hukuman mati sebagai upaya perlindungan hak asasi


manusia, sedangkan sisanya, kurang lebih 58 negara, belum menerapkan
usaha tersebut, kata Wakil Direktur Umum dari Departemen
Perlindungan Hak Asasi Thailand, Pitikan Sithidej, dalam dialog Rights
to Life and Moratorium of Death Penalty in the ASEAN Region di
Jakarta. Setiap negara yang memberlakukan hukuman mati, pasti
mengaharapkan adanya efek jera dari hukuman tersebut. Efek jera yang
dimaksud dapat dilihat dari adanya penurunan tingkat kriminalitas yang
signifikan dari penerapan hukuman tersebut.
Dalam situs sekretariat kabinet Republik Indonesia, terdapat tulisan
dari seorang analis hukum dan kebijakan yang menulis buku Good
Governance dan Permasalahan Pemerintahan Strategis pada tahun 2015
menyebutkan

bahwa

belum

ada

bukti

ilmiah

konklusif

yang

membuktikan adanya korelasi positif antara hukuman mati dan


penurunan tingkat kejahatan narkoba.
Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) sejak tahun 2009
menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkoba pada tahun 2009
adalah 1,99 % dari penduduk Indonesia atau sekitar 3,6 juta orang. Pada
tahun 2010, prevalensi penyalahgunaan narkoba semakin meningkat
menjadi 2,21 % atau sekitar 4,02 juta orang. Bahkan pada tahun 2011,
prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,8 % atau
sekitar 5 juta orang. Dari data BNN ini terlihat jelas bahwa tingkat
penyalahgunaan narkoba semakin meningkat walaupun hukuman mati

diterapkan sehingga menunjukkan bahwa efek jera atau efek cegah dari
hukuman mati itu tidak terbukti.
Di Amerika pernah dilakukan perbandingan antara negara bagian
yang masih menerapkan hukuman mati untuk kasus pembunuhan dengan
negara bagian yang tidak menerpakan hukuman mati. Hasil perbandingan
tersebut menunjukkan bahwa negara bagian yang masih menerapkan
hukuman mati justru kasus pembunuhannya lebih banyak dibanding
negara bagian yang sudah menghapus hukuman mati. Perbedaan nilainya
cukup signifikan seperti yang tergambar dalam grafik di bawah ini.

Sumber: http://www.debate.org

Atas dasar ini, maka tidak salah jika kemudian muncul pandangan
bahwa

hukuman

mati

hanya

menghilangkan

nyawa,

bukan

menghilangkan kejahatan itu sendiri.


Hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman dalam suatu
pemerintahan masih belum terbukti dapat meningkatkan rasa jera bagi
masyarakatnya dalam melakukan berbagai macam tindakan kriminal.
Setiap manusia berhak untuk diberi kesempatan hidup dan pastinya jika
mereka melakukan kesalahan, perlu diberikan kesempatan. Tetapi, jika
seseorang dikenai sanksi hukum mati, maka pelanggaran akan HAM pun
terjadi, dan kesempatan orang tersebut untuk memperbaiki kesalahannya

hilang. Terlebih di era sekarang yang menjunjung tinggi HAM, hal ini
menjadi sorotan dunia.
HAM tetap menjadi sorotan utama dunia, dan minimnya efek jera
masih memberikan pertanyaan terkait dengan praktek hukuman bunuh
diri. Era yang menjunjung tinggi HAM merupakan sebuah era yang
menghargai setiap kehidupan manusia yang ada di seluruh muka bumi,
salah satunya adalah hak untuk hidup yang merupakan salah satu dari
tiga poin utama HAM. Jika masih ada praktek pelanggaran HAM, seperti
contohnya praktek hukuman bunuh diri, hal ini akan memengaruhi
pandangan suatu negara dalam wilayah internasional. Memang hukum di
tiap negara merupakan otoritas tiap-tiap negara. Namun di era sekarang,

hal tersebut akan memengaruhi berbagai aspek penting karena adanya


praktek pelanggaran HAM di suatu negara, termasuk salah satunya
hukuman mati, dan pengaruh tersebut sebagian besar memberikan
dampak negative bagi negara.
Indonesia akan dianggap sebagai negara yang tidak mengenal
HAM. Hal ini sempat menjadi sorotan public bahkan hingga PBB turun
tangan pada zaman pemerintahan Soeharto. Sebenarnya, bukanlah suatu
masalah jika Indonesia tidak menjunjung tinggi HAM, tetapi Indonesia
merupakan salah satu negara yang ikut menjunjung tinggi HAM dan
tentunya jika masih ada kegiatan yang melanggar HAM, hal ini akan
menjadi suatu pertanyaan besar bagi dunia terhadap suatu negara.
Pandangan negative terhadap suatu negara akibat pelanggaran HAM tadi
jika menjadi sorotan publik, akan menyebabkan penurunan ekonomi dan
juga stabilitas nasional. PBB yang sempat ikut turun tangan dalam
masalah ini, dan tentunya sorotan ini menyebabkan banyak sekali efek
negative yang akan dirasakan Indonesia. Hal tersebut berdampak pada
saham negara dan berbagai kerjasama lainnya yang dapat merugikan
negara. Tidak dipungkiri, semua orang yang bekerjasama pastinya juga
memperhatikan aspek yang dimiliki orang lain, termasuk negara. Ketika
suatu negara melihat efek negatif terhadap suatu negara yang diajak
kerjasama, maka hal ini akan memengaruhi kerjasama tersebut. Salah
satu contohnya adalah kerjasama bilateral Indonesia dengan Australia.
Posisi Indonesia di PBB juga akan bertambah buruk dan kesempatan
Indonesia menjadi salah satu dewan keamanan PBB juga akan berkurang
dan tentunya akan mengurangi pengaruh Indonesia terhadap dunia. Efek
dalam negeri juga menimbulkan protes pada berbagai macam pihak yang
juga mampu memicu timbulnya demonstrasi anarkis terkait dengan
praktek hukuman mati.
Kasus terbaru mengenai praktek bunuh diri yang terjadi pada
Bandar narkoba internasional juga menjadi sorotan, terlebih karena
praktet bunuh diri tersebut dilakukan kepada warga negara asing. Efek
bunuh diri ini terutama akan mengurangi relasi dan diplomasi kerjasama
terhadap negara terkait seperti contohnya Australia. Hal ini akan menjadi

sorotan public yang lebih besar karena Indonesia tidak hanya dianggap
sebagai pelanggar HAM, melainkan juga melanggar diplomasi Indonesia
dengan negara terkait, seperti contohnya Australia yang tidak hanya akan
memengaruhi kerjasama di tingkat diplomasi, tapi juga akan berujung ke
kerjasama di bidang ekonomi, pendidikan, dan berbagai macam. Hal ini
juga lagi-lagi akan memberikan dampak negative kepada negara-negara
lain dan disisi lain mengurangi nilai jual kepada investor, dan juga akan
memperburuk posisi Indonesia di PBB dan dunia internasional.
D. Alasan Kontra Hukuman Mati
Tidak bisa dipungkiri, bahwa seruan dan protes penghapusan hukuman
mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan diawali dan diprakarsai oleh kaum
abolisionis dengan gerakan kemanusiaan global. Gerakan yang bersumber
dari aliran social defence radikal yang dikembangkan oleh F. Gramatika lewat
tulisannya berjudul The fightagainst punishment. Kemudian dilanjutkan
oleh ahli hukum pidana Universitas Erasmus, Rotterdam, Louk Hulsman.
Pada pokoknya menghendaki penghapusan hukum pidana atau abolisionisme.
Abolisionisme menawarkan penggunaan metode alternatif berupa
perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Konkritnya seperti yang
diterapkan di beberapa negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia dan
Swedia. Para terpidana dihukum dengan pidana denda yang dikenal dengan
istilah day fine atau denda harian. Denda harian merupakan pembayaran
sejumlah denda sebesar pendapatannya dalam satu hari. Dalam konteks ini,
pengikut abolisionisme di beberapa negara Skandinavia menyoal seluruh
hukuman pidana badan termasuk pidana mati.
Kaum abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan.
Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan
martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar
argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam
sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara
menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang
menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental
Rights of the European Union tahun 2000.

Majelis Umum PBB pada 2007, 2008, dan 2010 mengadopsi resolusi
tidak mengikat (non-binding resolutions) yang mengimbau moratorium
global terhadap hukuman mati. Protokol Opsional II International Covenant
on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang penggunaan
hukuman mati pada negara-negara pihak terkait. Dasar argumen selanjutnya
yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas hukuman
mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman
mati karena hukuman ini bertentangan dengan Amendemen VIII Konstitusi
Amerika Serikat.
Dasar argumentasi konstitusional juga telah digunakan oleh kaum
abolisionis di Indonesia. Pada 2007, dua WNI terpidana mati kasus narkoba,
yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta tiga warga Australia anggota
Bali Nine, yakni Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Rush,
mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi
atas pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika.
Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati UU No.
22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan II Undang-Undang Dasar
1945. Namun permohonan para pemohon ditolak oleh majelis hakim
Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan hukuman mati terhadap
kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia.
Kelompok abolisionis juga membantah alasan kaum retensionis yang
meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera dan, karena itu, akan
menurunkan tingkat kejahatan khususnya kejahatan terkait narkoba. Belum
ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi positif antara
hukuman mati dan penurunan tingkat kejahatan narkoba.
Selain itu, segala keputusan yang diambil pasti ada konsekuensinya.
Karena itulah Negara Indonesia harus siap menerima konsekuensi apabila
Negara yang bersangkutan yaitu Negara yang warga negaranya dihukum mati
di Indonesia ada yang mengancam akan menghapus kerjasama dengan
Indonesia dibidang ekonomi dan hubungan bilateral. Banyak sorotan dan
kritikan dari Internasional yang menyatakan Indonesia mundur ke belakang
karena dianggap tidak menghormati HAM dan bertentangan dengan aspirasi

masyarakat Internasional yang hampir sebagai besar sudah menghapuskan


pidana mati dalam KUHPnya.
Banyak para ahli yang menentang adanya hukuman mati. Salah satunya
yaitu Beccaria mengatakan bahwa hidup adalah suatu yang tak dapat
dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela, oleh karena itu pidana
mati adalah immoral dan makanya tidak sah.
Joseph von Sonnefels juga menentang pidana mati, karena dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Protokol Opsional kedua Kovenan
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yang ditujukan untuk
menghapuskan hukum mati menyebutkan di dalam pasal 1 nya. Pertama,
tidak seorangpun dalam wilayah hukum dan negara pihak pada protokol ini
dapat dihukum mati. Kedua, setiap negara pihak yang meratifikasi kovenan
wajib mengambil langkah-langkah yang dipergunakan untuk menghapuskan
hukuman mati di dalam wilayah hukumnya.
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam Pasal 10 Kitab Hukum Pidana
(KUHP), yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan
hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman
penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri
dari: Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman
keputusan hakim (KUHP, 2001). Didalam perkembangan kemudian, terdapat
beberapa Undang-Undang yang memuat ancaman hukuman mati, 19 yaitu
Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang undang No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan Undang-undang No.
1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam hukuman mati ini, manusia seolah-olah mengambil peran
sebagai Tuhan dengan menjadi penentu hidup atau mati seseorang, setiap
manusia sebenarnya memiliki hak untuk hidup sehingga pemberlakuan
hukuman mati banyak yang menentang (KUHP, 2001). Penjatuhan hukuman
mati diatur di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan
diatur di dalam undang-undang lainnya yang merupakan hukum positif

artinya hukum yang berlaku sekarang di Negara Indonesia, hukuman mati


bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang undang Dasar 1945 dan
melanggar Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM). Seharusnya pertimbangan tidak menjatuhkan hukuman mati
dengan tidak membandingkannya dengan UUD, karena Indonesia hingga saat
ini masih mempertahankan pidana mati. Selain itu, MK juga menyatakan
hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Maka untuk itu, tingkat
konsistensi penegak hukum dan pemerintah agar serius untuk menyikapi serta
tanggap terhadap putusan dan/atau kebijakan yang dilakukan oleh majelis
hakim dalam memutuskan perkara khususnya kasus narkoba baik, pengadilan
tingkat pertama, tinggi, Kasasi maupun tingkat Peninjauan Kembali (PK).
Agar, putusan tersebut benar-benar dapat diterima dan dilaksanakan dengan
baik tanpa ada unsur-unsur yang dapat melemahkan penegakan hukum di
Indonesia serta memperhatikan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Hak Asasi Manusia (HAM).

Beberapa hal di bawah ini adalah alasan mengapa hukuman mati harus
di hapuskan di Indonesia, antara lain:
1

Tidak Ada Peradilan Yang Sempurna


Alasan utama menolak hukuman mati adalah karena yang
namanya peradilan oleh manusia tidak mungkin bisa sempurna. Selalu
ada kemungkinan orang baik dinyatakan bersalah. Misalnya ada orang
jahat yang masukkan narkoba ke tas seseorang sehingga orang itu
disangka sebagai pengedar narkoba, atau dengan rencana yang rapi
seseorang bisa difitnah sehingga seolah-olah dia telah melakukan
pembunuhan berencana, dan tentu saja hal itu semakin mudah
dilakukan ketika polisi dan lembaga peradilan mudah disuap seperti di
Indonesia.
Faktanya ada banyak kasus dimana seseorang dinyatakan tidak
bersalah setelah mereka dieksekusi mati, sebut saja kasus yang
menimpa Carlos de Luna, Ellis Wayne Felker, atau Jesse Tafero.

Bahkan Amnesty Internasional mencatat bahwa untuk di wilayah


Amerika Serikat saja sejak tahun 1973 telah terjadi 130 kasus orang
tidak bersalah yang divonis mati. Bandingkan dengan kasus yang
dialami oleh David Ranta dan Iwao Hakamada, dimana mereka
dinyatakan tidak bersalah setelah divonis penjara selama puluhan tahun.
Mereka akhirnya dibebaskan, nama baiknya dipulihkan, pengadilan
meminta maaf, negara bisa memberi ganti rugi.
Terdapat istilah, bahwa Membebaskan 100 penjahat lebih baik
daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Saya pikir hukum
seharusnya memang seperti itu, prioritas utamanya adalah melindungi
orang baik, menghukum orang jahat adalah urusan kedua.
Itu jika pengadilan tidak sengaja menjatuhkan vonis yang salah.
Bagaimana penguasa negara secara aktif memanfaatkan hukuman mati
untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya?. Penguasa yang melakukan
pembunuhan langsung pasti akan menimbulkan gejolak protes di
masyarakat, tapi ketika lawan politiknya dibunuh sebagai penjahat,
masyarakat tidak akan protes, malah pemerintah dianggap sebagai
pahlawan yang tegas memberantas kejahatan.
Peradilan tidak sempurna, karena kejahatan bisa direkayasa,
karena nyawa orang baik begitu berharga, karena kita tidak ingin orang
baik tidak mendapatkan ketidakadilan hingga akhir hayatnya, maka
hukuman

mati

menjadi

tidak

layak.

Menurut

Soe

Tjen

Marching, hukuman mati adalah sebuah pernyataan kecongkakan


bahwa tidak akan ada kesalahan atau hal yang perlu direvisi dalam
keputusannya. Sebuah bentuk kekerasan tersendiri yang seharusnya
2

ditiadakan dalam zaman modern.


Hukuman Mati Bukan Solusi
Secara umum hukuman

pada

penjahat

bertujuan

untuk

menciptakan dan menjaga keamanan, memberikan rasa keadilan pada


korban, serta memperbaiki individu dari penjahat tersebut. Salah satu
tujuan pemberian sanksi pada pelaku kejahatan adalah untuk
memberikan efek jera, agar pelaku kejahatan tidak mengulangi aksinya,
agar calon penjahat berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.

Untuk itu, maka pelaku kejahatan perlu diperlakukan secara tidak


nyaman atau buat mereka tidak bahagia.
Cara agar mereka tidak bahagia tentu banyak, mulai dari
membatasi hak mereka (memenjarakan), menyiksa mereka seperti
pemberian hukum cambuk, dan tentu saja membunuh mereka. Asumsi
sebagian orang yang setuju hukuman mati adalah bahwa semua orang
takut mati, semua orang tidak ingin mati. Mereka beranggapan bahwa
kematian adalah hal buruk yang paling dihindari semua manusia.
Namun faktanya sebagian pelaku kejahatan melakukan aksinya
karena frustasi akan hidup, yang ada di kepala mereka adalah pilihan
antara melakukan kejahatan atau mati, mereka tidak punya solusi untuk
hidup bahagia tanpa melakukan kejahatan. Orang yang sudah tidak niat
hidup ya tidak takut pada kematian, mungkin mereka berharap
menemukan kehidupan yang lebih baik setelah mati (jika mereka
percaya after life atau reinkarnasi).
Selain itu tentang efek jera (detterent effect). Eksekusi mati
bertujuan sebagai peringatan pada calon penjahat lain di luar sana,
namun eksekusi terpidana mati di Indonesia dilakukan secara tertutup,
tidak ada masyarakat yang menyaksikan secara langsung, pun tidak
disiarkan media. Masyarakat hanya tau bahwa pelakunya sudah mati,
itu saja.
Pilihan eksekusi tertutup tentu saja berdasarkan pertimbangan
etika. Mempertontonkan aksi pembunuhan dianggap hal yang tidak
pantas, kejam, dan berpengaruh buruk pada mental masyarakat. Tapi hal
ini kan tidak sejalan efek jera yang ingin didengungkan.
Ada banyak penelitian yang membandingkan antara negara yang
menerapkan hukuman mati dengan negara yang menghapus hukuman
mati, dan dari hasil perbandingan tersebut diketahui bahwa penerapan
hukuman mati tidak lebih efektif dibanding hukuman penjara, bahkan
negara dengan hukuman mati angka kriminalitasnya secara signifikan
lebih tinggi dibanding negara yang menghapus hukuman mati.
Di Amerika misalnya, pernah dilakukan perbandingan antara
negara bagian yang masih menerapkan hukuman mati untuk kasus
pembunuhan dengan negara bagian yang tidak menerapkan hukuman

mati. Hasilnya negara bagian yang masih menerapkan hukuman mati


justru kasus pembunuhannya lebih banyak dibanding negara bagian
yang sudah menghapus hukuman mati, dan nilai perbedaan ini
signifikan. Atas dasar ini maka tidak salah jika kemudian muncul
pandangan bahwa hukuman mati hanya menghilangkan nyawa, bukan
menghilangkan kejahatan itu sendiri.Ternyata hukuman mati tidak
membuat jera pelaku kriminal. Sebaliknya, justru angka pembunuhan di
negara yang mengenal hukuman mati lebih tinggi dibanding negara
yang tidak mengenal hukuman mati.
Undang-undang kan buatan manusia, hasil kesepakatan manusia.
Apa yang dipikirkan pembuat undang-undang belum tentu sama dengan
apa yang saya pikirkan. Tapi jika anda fanatik pada undang-udang,
menganggap bahwa undang-undang sebagai hukum absolut yang harus
ditaati maka sepantasnya anda menolak hukuman mati, karena
pada pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas mengatakan
bahwa Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
Oleh karena menggunakan kata setiap orang, maka hal itu juga
berlaku pada terdakwa kasus kejahatan, bahkan berlaku bagi mereka
yang bukan warna negara Indonesia. Hal tersebut kemudian diperjelas
pada Undang-undang tentang HAM nomor 39 tahun 1999 dimana pada
pasal 9 ayat 1 dikatakan bahwa Setiap orang berhak untuk hidup,
3

mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.


Pandangan Hak Asasi Manusia mengenai Hak untuk Hidup Manusia
Dewasa ini pemikiran tentang pidana mati tidak akan dapat
dipisahkan dari persoalan Hak Asasi Manusia. Dalam konteks Hak
AsasiManusia dimana hak hidup (rights to life) merupakan hak yang
tidak dapat dikesampingkan. Hak untuk hidup merupakan hak yang
sangat dilindungi. Pasal 3 Deklarasi Hak Asasi Manusia 10 Desember
1948 merumuskan setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan
dan keselamatan individu. Rumusan ini menggariskan suatu prinsip
utama dalam Hak Asasi Manusia yaitu bahwa tidak seorang pun dapat
dicabut hak atas kehidupannya (nyawanya) secara sewenang-wenang.

Pernyataan tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan dan argumentasi


apakah hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
3 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut?.
Ketentuan dalam Pasal 6 dari konvenan Internasional Hak-hak
Sipil dan Politik merumuskan bahwa (Eva, 2011):
a. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada
dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun
dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
b. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati,
putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa
kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku
pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan
dengan ketentuan konvenan dan kenvensi tentang pencegahan dan
hukum

kejahatan

genosida.

Hukuman

ini

hanya

dapat

dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh


suatu pengadilan yang berwenang.
c. Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan
genosida, harus dipahami bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini
yang memberikan kewenangan pada negara yang menjadi pihak
dalam konvenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang
telah dibebankan oleh ketentuan dalam konvensi tentang
Pencegahan dan hukuman bagi kejahatan genosida.
d. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak memohon
pengampunan

atau

penggantian

hukuman.

Amnesti,

pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan


dalam semua kasus.
e. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang
dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas (18)
tahundan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang
tengah mengandung.
f. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk
menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara
yang menjadi pihak dalam konvenan ini.

Dari ketentuan ini, posisi hukuman mati dalam pandangan hukum


Hak Asasi Manusia tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak, dan
hanya dapat dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang sangat serius
antara lain genosida. Berdasarkan Resolusi 2857 tahun 1971 dan
Resolusi 32/61 tahun 1977 dimana PBB mengambil langkah
mengumumkan penghapusan pidana mati sebagai tujuan universal yang
ingin dicapai, meskipun secara terbatas diberlakukan untuk beberapa
kejahatan. Beberapa konvensi regional yang juga mendorong upaya
penghapusan pidana mati antara lain (Eva, 2011):
1. Konvensi Eropa tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Kebebasan Dasar, Pasal (2): a. Hak setiap orang untuk hidup harus
dilindungi dengan Undang-undang. Tidak seorangpun boleh
dirampas kehidupannya, kecuali dalam pelaksanaan hukuman oleh
pengadilan setelah ia diadili untuk suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman yang demikian menurut Undangundang.
2. Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia Pasal 4: a.
Setiap orang mempunyai hak untuk dihormati kehidupannya. Hak
ini dilindungi oleh Undang-undang dan pada umumnya, dari suatu
pembunuhan. Tidak seorang pun dapat dirampas kehidupannya
dengan sewenang-wenang. b. Di negara-negara yang belum dapat
menghapuskan hukuman mati, hukuman ini hanya dapat dikenakan
untuk kejahatan-kejahatan yang paling berat dan sesuai dengan
putusan terakhir yang disampaikan oleh pengadilan yang
berwenang dan berdasarkan Undang-undang yang menentukan
hukuman tersebut, yang diberlakukan sebelum dilakukannya
kejahatan tersebut. Penerapannya tidak bolehdiperluas pada
kejahatan-kejahatan yang terhadapnya hukuman itu sekarang ini
tidak berlaku.
3. Hukuman mati tidak akan diberlakukan lagi di negara-negara yang
telah menghapuskannya.
4. Dalam perkara apapun hukuman mati harus tidak bolah dikenakan
untuk pelanggaran-pelanggaran politik atau kejahatankejahatan
biasa yang terkait.

5. Hukuman mati tidak boleh dikenakan pada orang yang pada waktu
kejahatan dilakukan dibawah umur 18 (delapan belas) tahun atau
diatas tujuh puluh tahun dan juga tidak boleh diberlakukan
terhadap wanita yang sedang hamil.
6. Setiap orang yang dihukum mati mempunyai hak untuk memohon
amnesti, pengampunan atau peringanan hukuman yang mungkin
diberikan dalam semua perkara. Hukuman mati tidak boleh
dikenakan selama petisi semacam itu sedang menunggu putusan
oleh penguasa yang berwenang.
Dalam Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of
Those Facing the death Penaly (Resolusi PBB.1984/50) dirumuskan
hal-hal sebagai berikut (Eva, 2011):
1. Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman
mati hendaknya hanya diancamkan kepada kejahatankejahatan
yang paling serius, dimana dapat dipahami bahwa kejahatankejahatan tersebut merupakan kejahatan dengan menggunakan
senjata api atau kejahatan yang menimbulkan ancaman kerusakan
yang berat.
2. Hukuman mati telah diancam sebelum perbuatan tersebut
dilakukan. Bila terjadi perubahan setelah perbuatan dilakukan
hendaknya pelaku mendapat keuntungan dari perubahan tersebut.
3. Seseorang yang usianya dibawah 18 tahun pada saat perbuatan
dilakukan tidak dapat dijatuhkan hukuman mati, tidak juga dapat
dijatuhkan bagi wanita hamil atau yang baru melahirkan atau
orang-orang yang menderita kelainan jiwa.
4. Hukuman mati mungkin diancamkan kepada orang yang terbukti
bersalah berdasarkan proses pembuktian yang jelas dan tidak
dimungkinkan adanya penjelasan lain selain atas fakta yang ada.
5. Hukuman mati hanya dapat dijatuhkan berdasarkan vonis hakim
yang dikeluarkan oleh pengadilan yang berwenang setelah melalui
proses persidangan yang adil dan tidak memihak sesuai dengan
ketentuan pasal 14 Konvenan hak-hak sipil dan politik, termasuk

hak tersangka untuk mendapat pendampingan penasihat hukum


disemua tingkat peradilan.
6. Seseorang yang telah divonis dengan pidana mati memiliki hak
untuk melakukan upaya hukum ketingkat pengadilan yang lebih
tinggi, dan dalam setiap upaya hukum yang dilalui harus
diyakinkan bahwa telah diperiksa secara memadai dan oleh
lembaga yang berwenang.
7. Setiap orang yang dijatuhi pidana mati berhak meminta
pengampunan atau peringanan hukuman, pemanfaatan atau
perubahan hukuman dijaminkan dalam setiap kasus dimana
hukuman mati dijatuhkan.
8. Hukuman mati tidak dapat dijalankan ketika upaya hukum banding
atau upaya hukum lainnya sebagai sarana untuk mendapatkan
pemaafan atau pengurangan hukuman tengah dilakukan.
9. Eksekusi terhadap hukuman mati selayaknya dilakukan dengan
cara yang dapat mengurangi penderitaan yang timbul karenanya.
Konsep perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia itu sendiri
dapat dilihat dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hal
tersebut juga termaktub pula dalam pembukaan UUD 1945 alinea
keempat, antara lain sebagai berikut:

.kemudian

dari

pada

itu

untuk

membentuk

suatu

pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa


Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia.
Dari kutipan pembukaan UUD 1945 tersebut dapat dipahami
bahwa prinsip Hak Asasi Manusia di Indonesia telah dijamin
keberlangsungannya. penjaminan tersebut dapat dikategorikan dalam
tatanan social defence dan socialwelfare yang hendak diwujudkan oleh
negara, namun dapat dilihat pula bahwa konsep pelaksanaan Hak Asasi
Manusia di Indonesia itu tentunya memiliki ciri yang berbeda dengan
negara lainnya. Perbedaan tersebut tentunya terletak pada kearifan

nasional Indonesia yang tergambar dalam Pancasila dan tujuan negara


tersebut.
Hak untuk hidup itu sendiri dijamin keberlangsungnnya dalam
UUD 1945, dimana dalam pelaksanaanya tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan Undang-undang, sehingga tidak serta merta hak
untuk hidup tersebut dapat mengangkangi hak orang lain, terutama
dalam skala besar hak dari masyarakat. Inilah yang menjadi alasan
dasar bahwa pembatasan hak untuk hidup adalah terletak pada
kewajiban untuk menghormati hak untuk hidup yang dimiliki oleh
orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai