2. Bagi Keluarga
Eksekusi mati yang dilakukan terhadap terpidana kasus narkoba di
Indonesia juga dapat memberikan dampak tersendiri bagi keluarganya.
Keluarga pelaku tentu dapat merasa terbebani dan terpukul karena harus
kehilangan salah satu anggota keluarga mereka. Hal tersebut juga dapat
140
negara
yang
tergabung
dalam
PBB
sudah
bahwa
belum
ada
bukti
ilmiah
konklusif
yang
diterapkan sehingga menunjukkan bahwa efek jera atau efek cegah dari
hukuman mati itu tidak terbukti.
Di Amerika pernah dilakukan perbandingan antara negara bagian
yang masih menerapkan hukuman mati untuk kasus pembunuhan dengan
negara bagian yang tidak menerpakan hukuman mati. Hasil perbandingan
tersebut menunjukkan bahwa negara bagian yang masih menerapkan
hukuman mati justru kasus pembunuhannya lebih banyak dibanding
negara bagian yang sudah menghapus hukuman mati. Perbedaan nilainya
cukup signifikan seperti yang tergambar dalam grafik di bawah ini.
Sumber: http://www.debate.org
Atas dasar ini, maka tidak salah jika kemudian muncul pandangan
bahwa
hukuman
mati
hanya
menghilangkan
nyawa,
bukan
hilang. Terlebih di era sekarang yang menjunjung tinggi HAM, hal ini
menjadi sorotan dunia.
HAM tetap menjadi sorotan utama dunia, dan minimnya efek jera
masih memberikan pertanyaan terkait dengan praktek hukuman bunuh
diri. Era yang menjunjung tinggi HAM merupakan sebuah era yang
menghargai setiap kehidupan manusia yang ada di seluruh muka bumi,
salah satunya adalah hak untuk hidup yang merupakan salah satu dari
tiga poin utama HAM. Jika masih ada praktek pelanggaran HAM, seperti
contohnya praktek hukuman bunuh diri, hal ini akan memengaruhi
pandangan suatu negara dalam wilayah internasional. Memang hukum di
tiap negara merupakan otoritas tiap-tiap negara. Namun di era sekarang,
sorotan public yang lebih besar karena Indonesia tidak hanya dianggap
sebagai pelanggar HAM, melainkan juga melanggar diplomasi Indonesia
dengan negara terkait, seperti contohnya Australia yang tidak hanya akan
memengaruhi kerjasama di tingkat diplomasi, tapi juga akan berujung ke
kerjasama di bidang ekonomi, pendidikan, dan berbagai macam. Hal ini
juga lagi-lagi akan memberikan dampak negative kepada negara-negara
lain dan disisi lain mengurangi nilai jual kepada investor, dan juga akan
memperburuk posisi Indonesia di PBB dan dunia internasional.
D. Alasan Kontra Hukuman Mati
Tidak bisa dipungkiri, bahwa seruan dan protes penghapusan hukuman
mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan diawali dan diprakarsai oleh kaum
abolisionis dengan gerakan kemanusiaan global. Gerakan yang bersumber
dari aliran social defence radikal yang dikembangkan oleh F. Gramatika lewat
tulisannya berjudul The fightagainst punishment. Kemudian dilanjutkan
oleh ahli hukum pidana Universitas Erasmus, Rotterdam, Louk Hulsman.
Pada pokoknya menghendaki penghapusan hukum pidana atau abolisionisme.
Abolisionisme menawarkan penggunaan metode alternatif berupa
perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Konkritnya seperti yang
diterapkan di beberapa negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia dan
Swedia. Para terpidana dihukum dengan pidana denda yang dikenal dengan
istilah day fine atau denda harian. Denda harian merupakan pembayaran
sejumlah denda sebesar pendapatannya dalam satu hari. Dalam konteks ini,
pengikut abolisionisme di beberapa negara Skandinavia menyoal seluruh
hukuman pidana badan termasuk pidana mati.
Kaum abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan.
Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan
martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar
argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam
sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara
menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang
menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental
Rights of the European Union tahun 2000.
Majelis Umum PBB pada 2007, 2008, dan 2010 mengadopsi resolusi
tidak mengikat (non-binding resolutions) yang mengimbau moratorium
global terhadap hukuman mati. Protokol Opsional II International Covenant
on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang penggunaan
hukuman mati pada negara-negara pihak terkait. Dasar argumen selanjutnya
yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas hukuman
mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman
mati karena hukuman ini bertentangan dengan Amendemen VIII Konstitusi
Amerika Serikat.
Dasar argumentasi konstitusional juga telah digunakan oleh kaum
abolisionis di Indonesia. Pada 2007, dua WNI terpidana mati kasus narkoba,
yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta tiga warga Australia anggota
Bali Nine, yakni Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Rush,
mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi
atas pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika.
Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati UU No.
22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan II Undang-Undang Dasar
1945. Namun permohonan para pemohon ditolak oleh majelis hakim
Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan hukuman mati terhadap
kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia.
Kelompok abolisionis juga membantah alasan kaum retensionis yang
meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera dan, karena itu, akan
menurunkan tingkat kejahatan khususnya kejahatan terkait narkoba. Belum
ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi positif antara
hukuman mati dan penurunan tingkat kejahatan narkoba.
Selain itu, segala keputusan yang diambil pasti ada konsekuensinya.
Karena itulah Negara Indonesia harus siap menerima konsekuensi apabila
Negara yang bersangkutan yaitu Negara yang warga negaranya dihukum mati
di Indonesia ada yang mengancam akan menghapus kerjasama dengan
Indonesia dibidang ekonomi dan hubungan bilateral. Banyak sorotan dan
kritikan dari Internasional yang menyatakan Indonesia mundur ke belakang
karena dianggap tidak menghormati HAM dan bertentangan dengan aspirasi
Beberapa hal di bawah ini adalah alasan mengapa hukuman mati harus
di hapuskan di Indonesia, antara lain:
1
mati
menjadi
tidak
layak.
Menurut
Soe
Tjen
pada
penjahat
bertujuan
untuk
kejahatan
genosida.
Hukuman
ini
hanya
dapat
atau
penggantian
hukuman.
Amnesti,
5. Hukuman mati tidak boleh dikenakan pada orang yang pada waktu
kejahatan dilakukan dibawah umur 18 (delapan belas) tahun atau
diatas tujuh puluh tahun dan juga tidak boleh diberlakukan
terhadap wanita yang sedang hamil.
6. Setiap orang yang dihukum mati mempunyai hak untuk memohon
amnesti, pengampunan atau peringanan hukuman yang mungkin
diberikan dalam semua perkara. Hukuman mati tidak boleh
dikenakan selama petisi semacam itu sedang menunggu putusan
oleh penguasa yang berwenang.
Dalam Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of
Those Facing the death Penaly (Resolusi PBB.1984/50) dirumuskan
hal-hal sebagai berikut (Eva, 2011):
1. Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman
mati hendaknya hanya diancamkan kepada kejahatankejahatan
yang paling serius, dimana dapat dipahami bahwa kejahatankejahatan tersebut merupakan kejahatan dengan menggunakan
senjata api atau kejahatan yang menimbulkan ancaman kerusakan
yang berat.
2. Hukuman mati telah diancam sebelum perbuatan tersebut
dilakukan. Bila terjadi perubahan setelah perbuatan dilakukan
hendaknya pelaku mendapat keuntungan dari perubahan tersebut.
3. Seseorang yang usianya dibawah 18 tahun pada saat perbuatan
dilakukan tidak dapat dijatuhkan hukuman mati, tidak juga dapat
dijatuhkan bagi wanita hamil atau yang baru melahirkan atau
orang-orang yang menderita kelainan jiwa.
4. Hukuman mati mungkin diancamkan kepada orang yang terbukti
bersalah berdasarkan proses pembuktian yang jelas dan tidak
dimungkinkan adanya penjelasan lain selain atas fakta yang ada.
5. Hukuman mati hanya dapat dijatuhkan berdasarkan vonis hakim
yang dikeluarkan oleh pengadilan yang berwenang setelah melalui
proses persidangan yang adil dan tidak memihak sesuai dengan
ketentuan pasal 14 Konvenan hak-hak sipil dan politik, termasuk
.kemudian
dari
pada
itu
untuk
membentuk
suatu