Anda di halaman 1dari 21

(Rumusan masalah)

Hukuman mati terhadap bandar dan pengedar narkotika di Indonesia, rupanya tidak membuat
terpidana jera. Hal itu diungkapkan Kombes Pol Sundari, Dir Pengawasan Tahanan Barang
Bukti dan Aset Deputi Bidang Pemberantasan BNN. Ia mengaku, hal itu disebabkan karena
eksekusi terhadap terpidana mati di Indonesia sangat lambat. Badan Narkotika Nasional,
katanya, ingin eksekusi segera dilakukan. Namun, sistem hukum yang terdapat di Indonesia,
yang membuat tim eksekutor lambat untuk menjalankan tugasnya. Bertitik tolak dari hal
tersebut,hukuman mati bagi pengedar narkoba perlu dihilangkan.

Argumen Kontra

Kaum abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan. Pertama, hukuman mati
merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan
hak asasi manusia. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan
hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara
menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan
hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European
Union tahun 2000. Majelis Umum PBB pada 2007, 2008, dan 2010 mengadopsi resolusi tidak
mengikat (non-binding resolutions) yang mengimbau moratorium global terhadap hukuman
mati. Protokol Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR
akhirnya melarang penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak terkait. Dasar
argumen selanjutnya yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas
hukuman mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman mati
karena hukuman ini bertentangan dengan Amendemen VIII Konstitusi Amerika Serikat.

Dasar argumentasi konstitusional juga telah digunakan oleh kaum abolisionis di Indonesia.
Pada 2007, dua WNI terpidana mati kasus narkoba, yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani,
serta tiga warga Australia anggota “Bali Nine”, yakni Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan
Scott Rush, mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi atas
pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati UU No. 22/1997 bertentangan
dengan Pasal 28A Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945. Namun permohonan para
pemohon ditolak oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan
hukuman mati terhadap kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi
manusia.

Kelompok abolisionis juga membantah alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati
akan menimbulkan efek jera dan, karena itu, akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya
kejahatan terkait narkoba. Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi positif
antara hukuman mati dan penurunan tingkat kejahatan narkoba.

Argumen 2

Sebagian Anda tidak setuju hukuman mati untuk para koruptor, dengan berbagai alasan.

Melalui Facebook, Martin Skb tidak mendukung hukuman mati untuk para pelaku korupsi. "Itu
'kan baru wacana. Aplikasinya? Saya tidak setuju. Yang perlu dibenahi adalah akhlak dan
agama di ajarkan dengan mantap," kata Martin.
Erickson Kevin Jr berpendapat hukuman mati bagi koruptor tidak akan berdampak. Ia
mengatakan, "Sebenarnya hukuman mati dilarang oleh semua agama. Sudah ada beberapa
negara di Eropa yang telah menghapus hukuman mati karena negara mereka sudah bebas dari
masalah kesenjangan sosial. Tidak ada cerita negara melakukan hukum mati kemudian akan
berdampak yang positif terhadap negaranya. Saya yakin hukuman mati tidak akan mengubah
apa-apa."

Rosi Sugiarto di Salatiga mengatakan lewat email BBCIndonesia.com, klik forum, "Hukuman
mati bagi koruptor terlalu enak. Setelah korupsi langsung dihukum mati. Lebih baik hukuman
pemiskinan, seluruh aset koruptor diambil untuk kepentingan rakyat. Dengan begitu koruptor
akan merasakan derita kemiskinan seumur hidup dan di lain pihak juga bisa menyelamatkan
uang rakyat."

Melalui email juga, Satrio Boediono di Yogyakarta menulis, "Hukuman mati? Enggaklah,
meskipun republik ini padat penduduk --lebih dari 240juta. Pertama, bongkar saja setiap
korupsi, adili secara tegas, terbuka, dan tuntas setiap kali terjadi korupsi. Ketegasan,
keterbukaan dan ketuntasan ini akan membuka hati dan akal setiap orang untuk tidak
berpetualangan mencoba korupsi. Kedua, mudahkan untuk membuka dan mencari kerja."

Dari Tangerang, Locodian menulis, "Sebelum menerapkan hukuman mati terhadap para
koruptor perlu satu pemutihan nasional tentang korupsi kalau tidak keinginan penerapan
hukuman mati hanyalah sebuah mimpi. Kenapa? Tidak perlu saya jelaskan disini nanti diminta
pembuktian bisa konyol Aku."

Koe Soelistijo di Depok menyarankan agar para koruptor tidak dihukum mati melainkan
disuruh kerja sosial sepanjang hidup. "Saya tidak setuju hukuman mati atas koruptor. Yang
lebih tepat, para koruptor dinistakan seumur hidup dengan kerja sosial di tempat-tempat
fasilitas umum seperti membersihkan peturasan di stasiun kereta api, stasiun bus, dsb.
Sebaiknya dilakukan di kota tempat koruptor bermasyarakat. Bila pejabat, disuruh
membersihkan peturasan di kantor dia dulunya pernah bekerja. Saya kira hukuman seperti ini
akan jauh lebih efektif."

Penolakan juga diutarakan dengan jernih oleh Rangon Eltobor atau Kang Tobor di Kebumen,
Jawa Tengah. Dia menulis, "Saya menolak. Dan, saya semakin mengerti bahwa bangsa (baca:
pemimpin) Indonesia tidak memiliki semangat berfikir. Wacana pemberlakuan hukuman mati
bagi koruptor kakap, lebih mengesankan sikap latah pada negara lain seperti China."

Rangon menambahkan, "Kita sama-sama mengerti, orang Indonesia tidak lagi takut mati. Lagi
pula, korupsi itu sudah merambah ke semua lapisan masyarakat. Ulama dan siswa sekolah pun
korupsi," kata Rangon.

Kami mohon maaf karena kami tidak memuat semua komentar Anda melalui Facebook BBC
Indonesia.

Argumen 3:
1. Tidak Ada Peradilan Yang Sempurna
Alasan utama menolak hukuman mati adalah karena yang namanya peradilan oleh manusia
tidak mungkin bisa sempurna. Selalu ada kemungkinan orang baik dinyatakan
bersalah. Misalnya ada orang jahat yang masukkan narkoba ke tas seseorang sehingga orang
itu disangka sebagai pengedar narkoba, atau dengan rencana yang rapi seseorang bisa difitnah
sehingga seolah-olah dia telah melakukan pembunuhan berencana, dan tentu saja hal itu
semakin mudah dilakukan ketika polisi dan lembaga peradilan mudah disuap seperti di
Indonesia.

Faktanya ada banyak kasus dimana seseorang dinyatakan tidak bersalah setelah mereka
dieksekusi mati, sebut saja kasus yang menimpa Carlos de Luna, Ellis Wayne Felker, atau Jesse
Tafero. Bahkan Amnesty Internasional mencatatbahwa untuk di wilayah Amerika Serikat saja
sejak tahun 1973 telah terjadi 130 kasus orang tidak bersalah yang divonis mati. Bayangkan
anda atau keluarga anda yang mengalami nasib sial itu, apa yang bisa negara lakukan atas
ketidakadilan tersebut?
Bandingkan dengan kasus yang dialami oleh David Ranta dan Iwao Hakamada, dimana mereka
dinyatakan tidak bersalah setelah divonis penjara selama puluhan tahun. Mereka akhirnya
dibebaskan, nama baiknya dipulihkan, pengadilan meminta maaf, negara bisa memberi ganti
rugi. Walaupun hal itu mungkin tidak sebanding dengan penderitaan mereka selama dipenjara,
tapi setidaknya mereka bisa merasakan kebahagiaan. Bagaimana dengan orang yang sudah
mati? Bisa dihidupin lagi?
Saya pernah mendengar istilah, bahwa “Membebaskan 100 penjahat lebih baik daripada
menghukum 1 orang yang tidak bersalah”. Saya pikir hukum seharusnya memang seperti itu,
prioritas utamanya adalah melindungi orang baik, menghukum orang jahat adalah urusan
kedua.
Itu jika pengadilan tidak sengaja menjatuhkan vonis yang salah. Bagaimana penguasa negara
secara aktif memanfaatkan hukuman mati untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya?
Penguasa yang melakukan pembunuhan langsung pasti akan menimbulkan gejolak protes di
masyarakat, tapi ketika lawan politiknya dibunuh sebagai penjahat, masyarakat tidak akan
protes, malah pemerintah dianggap sebagai pahlawan yang tegas memberantas kejahatan.
Bayangkan jika Nelson Mandela dulu dieksekusi mati, bukan dipenjara, maka Afrika Selatan
tidak akan bisa seperti sekarang.
Anda bisa mengatakan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi jika hukuman mati diterapkan
untuk kasus tertentu saja, misalnya untuk kasus narkoba, dan tidak boleh diterapkan pada kasus
yang terkait politik. Tapi coba pikirkan, kasus apa sih yang tidak bisa direkayasa? Hakim
negara mana yang tidak bisa disuap? Bukan hal yang mustahil membuat seorang Mandela
tampak sebagai seorang bandar narkoba kelas kakap, atau tuduh saja dia bekerjasama dengan
Al Qaeda untuk melakukan pemberontakan, jadilah dia teroris.
Karena peradilan tidak sempurna, karena kejahatan bisa direkayasa, karena nyawa orang baik
begitu berharga, karena kita tidak ingin orang baik tidak mendapatkan ketidakadilan hingga
akhir hayatnya, maka hukuman mati menjadi tidak layak. Kalau kata Soe Tjen
Marching, hukuman mati adalah sebuah pernyataan kecongkakan bahwa tidak akan ada
kesalahan atau hal yang perlu direvisi dalam keputusannya. Sebuah bentuk kekerasan tersendiri
yang seharusnya ditiadakan dalam zaman modern.
2. Hukuman Mati Bukan Solusi
Secara umum hukuman pada penjahat bertujuan untuk menciptakan dan menjaga keamanan,
memberikan rasa keadilan pada korban, serta memperbaiki individu dari penjahat tersebut.
Tapi dalam kasus hukuman mati, tujuan mana yang ingin dicapai? Benarkah hukuman mati
merupakan metode yang efektif untuk mencapai tujuan tersebut?
Tidak semua orang takut mati
Salah satu tujuan pemberian sanksi pada pelaku kejahatan adalah untuk memberikan efek jera,
agar pelaku kejahatan tidak mengulangi aksinya, agar calon penjahat berpikir dua kali sebelum
melakukan kejahatan. Untuk itu, maka pelaku kejahatan perlu diperlakukan secara tidak
nyaman atau buat mereka tidak bahagia.
Cara agar mereka tidak bahagia tentu banyak, mulai dari membatasi hak mereka
(memenjarakan), menyiksa mereka seperti pemberian hukum cambuk, dan tentu
saja membunuh mereka. Asumsi sebagian orang yang setuju hukuman mati adalah bahwa
semua orang takut mati, semua orang tidak ingin mati. Mereka beranggapan bahwa kematian
adalah hal buruk yang paling dihindari semua manusia. Benarkah?
Sayangnya tidak. Sebagian pelaku kejahatan melakukan aksinya karena frustasi akan hidup,
yang ada di kepala mereka adalah pilihan antara melakukan kejahatan atau mati, mereka tidak
punya solusi untuk hidup bahagia tanpa melakukan kejahatan. Orang yang sudah tidak niat
hidup ya tidak takut pada kematian, mungkin mereka berharap menemukan kehidupan yang
lebih baik setelah mati (jika mereka percaya after life atau reinkarnasi).
Beda lagi dengan teroris yang mengatasnamakan agama. Mereka pada dasarnya memang cari
mati, sukses atau gagal melakukan aksi karena tertangkap Densus 88 mereka ujung-ujungnya
akan mati juga, sehingga kematian dianggap jalan atau bagian dari proses perjuangan. Lha,
orang yang pada dasarnya ingin mati dan siap mati, kok ditakut-takuti dengan kematian, ya
tidak mempan. Ibarat menghukum cambuk para masochist, ya tambah senang mereka.
Kalau mau bikin jera teroris, saya pikir ada lebih banyak hal yang bisa membuat mereka takut
dan tersiksa. Contoh, karena mereka terlalu fanatik pada agama saya yakin mereka akan
tersiksa ketika disuruh tidur di kandang babi atau karena mereka terobsesi bertemu bidadari
surga maka kebiri saja mereka. Walau bagi masyarakat umum hal tersebut terkesan konyol,
tapi tidak bagi mereka. Lihat saja bagaimana kelompok radikal di timur tengah ketakutan
ketika mereka dihadapkan pada tentara perempuankarena mereka percaya mereka tidak akan
mendapat surga ketika dibunuh oleh perempuan, atau lihat foto umat radikal di samping dimana
mereka lebih mementingkan untuk mengamankan kelaminnya dibanding jantungnya karena
percaya bahwa jika kelaminnya rusak maka perjuangan mereka untuk bertemu bidadari surga
akan sia-sia.
Efek jera kok eksekusinya tertutup?
Lagi soal efek jera (detterent effect). Katanya eksekusi mati bertujuan sebagai peringatan pada
calon penjahat lain di luar sana, bahwa “Ini lho akibat yang kalian dapatkan jika melakukan
kejahatan”. Sayangnya eksekusi terpidana mati di Indonesia dilakukan secara tertutup, tidak
ada masyarakat yang menyaksikan secara langsung, pun tidak disiarkan media. Masyarakat
hanya tau bahwa pelakunya sudah mati, itu saja.
Pilihan eksekusi tertutup tentu saja berdasarkan pertimbangan etika. Mempertontonkan aksi
pembunuhan dianggap hal yang tidak pantas, kejam, dan berpengaruh buruk pada mental
masyarakat. Tapi hal ini kan tidak sejalan efek jera yang ingin didengungkan. Bagaimana
caranya memberi peringatan kepada calon kriminal akan sakitnya penderitaan ditembak ketika
eksekusi penembakan itu tidak pernah ditunjukkan pada mereka? Hal ini tentu sulit dan tidak
efektif.
Vonis maksimal jarang dijatuhkan
Si A terdakwa korupsi, hukumannya hanya 2 tahun penjara. Si B terdakwa kasus terorisme,
hukumannya hanya 5 tahun penjara. Pelaku korupsi tidak jera, teroris masih ada, masyarakat
tidak mendapatkan rasa keadilan. Atas kejadian tersebut lantas diusulkan lah agar pelaku
korupsi dan terorisme sebaiknya dihukum mati saja.
Yang membuat saya heran adalah, mengapa masyarakat berpikirnya langsung loncat ke
hukuman mati? Mengapa masyarakat yang tidak puas akan vonis peradilan beranggapan bahwa
keberadaan hukuman mati bisa menjadi solusi ketidakpuasan mereka? Memangnya vonis
ringan yang diberikan para penjahat itu terjadi karena ketidakadaan hukuman mati? Ini
logikanya gimana coba.
Ini ibarat orang bawa motor ke bengkel, tapi ketika di bengkel yang dibenerin cuma saringan
udaranya, kita tidak puas, lantas kita menuntut agar motornya diganti saja dengan yang baru,
padahal menurut buku tata cara perawatan motor, tuh motor bisa di full service dengan ganti
oli dan membersihkan mesin bagian dalam. Hal yang tidak pernah dilakukan Sang Bengkel
yang kita juga tidak pernah menuntutnya.
Maaf jika analoginya sulit ditangkap, tapi intinya dengan atau tanpa adanya hukuman mati,
ketika peradilan itu buruk, maka vonis yang tidak adil akan tetap terjadi. Sebelum beranjak ke
hukuman mati, seharusnya kita menuntut agar pelaku divonis maksimal dulu, atau
setidaknya kita bisa menuntut vonis maksimalnya ditambah, misalnya dari 20 tahun penjara
menjadi penjara sumur hidup. Ketika vonis itu sudah sering dijatuhkan pada para penjahat,
namun kejahatan masih tetap marak, barulah seharusnya kita memikirkan solusi yang lebih
ekstrim dan berisiko seperti hukuman mati.
Tidak efektif mengurangi kejahatan
Ada banyak penelitian yang membandingkan antara negara yang menerapkan hukuman mati
dengan negara yang menghapus hukuman mati, dan dari hasil perbandingan tersebut diketahui
bahwa penerapan hukuman mati tidak lebih efektif dibanding hukuman penjara, bahkan negara
dengan hukuman mati angka kriminalitasnya secara signifikan lebih tinggi dibanding negara
yang menghapus hukuman mati.
Di Amerika misalnya, pernah dilakukan perbandingan antara negara bagian yang masih
menerapkan hukuman mati untuk kasus pembunuhan dengan negara bagian yang tidak
menerapkan hukuman mati. Hasilnya negara bagian yang masih menerapkan hukuman mati
justru kasus pembunuhannya lebih banyak dibanding negara bagian yang sudah menghapus
hukuman mati, dan nilai perbedaan ini signifikan. Atas dasar ini maka tidak salah jika
kemudian muncul pandangan bahwa hukuman mati hanya menghilangkan nyawa, bukan
menghilangkan kejahatan itu sendiri.

Ternyata hukuman mati tidak membuat jera pelaku kriminal. Sebaliknya, justru angka
pembunuhan di negara yang mengenal hukuman mati lebih tinggi dibanding negara yang tidak
mengenal hukuman mati.

Catatan:
Banyak yang berkomentar bahwa hasil ini tidak bisa digunakan untuk membandingkan
Amerika yang merupakan negara maju dengan Indonesia yang masih berkembang. Hal tersebut
tidak benar karena dalam kasus tersebut yang dibandingkan adalah 2 negara bagian Amerika
yang memiliki nilai sosial, tingkat pengetahuan masyarakat, serta kemampuan ekonomi yang
sama, artinya ketiga faktor sudah diperhitungkan dan hasil ini tidak akan berubah sekalipun
penelitiannya dilakukan di negara dengan tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat yang
berbeda.
Sama seperti membandingkan antara perokok gendut dan non perokok yang juga sama-sama
gendut, maka ketika hasilnya perokok gendut lebih cenderung terkena kanker maka itu artinya
baik orang gendut maupun orang kurus yang merokok akan lebih cenderung menderita kanker
dibanding non perokok.

Manusia hidup lebih berharga daripada mayat


Saya tidak setuju bahwa membiarkan penjahat hidup di lapas hanya membebani negara.
Memang betul bahwa biaya hidup mereka akan ditanggung negara, masalahnya kita tidak
pernah berpikir untuk memanfaatkan napi tersebut untuk bekerja? Jadi tukang sapu jalanan
misalnya, atau tempatkan lapas di samping TPA kemudian suruh mereka memilah sampah
organik dan anorganik, membuat kompos dan kerajinan tangan, yang nanti hasilnya dibagikan
pada masyarakat. Mirip kerja rodi, tapi tentu tidak sekejam zaman penjajahan, yang tidak mau
bekerja paling porsi makanannya dikurangi, sedang yang giat bisa diberi kompensasi berupa
kamar lapas yang lebih baik.
Bandingkan jika mereka ditembak, yang ada cuma jadi mayat. Untungnya apa selain
memuaskan nafsu balas dendam korban kejahatan yang sifatnya sementara? Tidak bisa
dimanfaatkan, yang ada negara cuma beban menanggung biaya pemakamannya.
Penjahat bisa tobat, amarah bisa berlalu
Seperti yang saya katakan sebelumnya, mengharap penjahat untuk tobat bagi saya terlalu naif,
bahwa mengubah pandangan penjahat itu sangat sulit, namun saya tidak memungkiri bahwa
kemungkinan itu selalu ada. Ketika penjahat baru tobat setelah vonis mati dijatuhkan, apa yang
bisa dia lakukan untuk menebus kesalahannya? Dia tidak mendapat kesempatan itu selain
minta maaf. Tapi dengan membiarkannya hidup, maka kita telah memberikan dia kesempatan
untuk berbuat lebih banyak, baik terhadap keluarga korban secara langsung, atau kepada negara
seperti memberikan informasi mengenai jaringan organisasinya. Jika penjahat hidup saja bisa
lebih berguna dibanding mayat, apalagi mantan penjahat (yang telah tobat), pastinya akan lebih
bermanfaat, tidak hanya bagi negara, bagi korban, tapi juga bagi dirinya sendiri.
Soal rasa keadilan yang dialami korban. Ah, tidak semua korban ingin pelaku kejahatan itu
mati. Ingat kasus pembunuhan Ade Sara dimana ibu korban dengan mudah memaafkan kedua
pelaku pembunuh anaknya, marah tidak ada artinya toh anaknya sudah meninggal. Mungkin
sebagai ibu dia tidak ingin ibu pelaku merasakan kehilangan anak seperti dirinya. Walau
kesannya Ibu Ade Sara ini aneh dan terlalu baik, tapi ya model orang seperti ini memang
ada. Lagi pula saya percaya bahwa waktu bisa hampir menyembuhkan segala luka. Orang
boleh marah saat ini, tapi 10 tahun kemudian apakah dendam itu masih ada? Saya tidak yakin,
karena saya tahu marah dan dendam itu melelahkan dan tidak ada gunanya.
Soal kontrol lapas yang masih lemah
Ini memang ada hubungannya dengan menjaga keamanan, mencegah agar pelaku tetap
melakukan aksi kejahatan selama hidup dalam tahanan. Tapi saya itu bukan alasan yang tepat
untuk membenarkan hukuman mati. Membenarkan hukuman mati dengan alasan seperti ini
kesannya terlalu menyederhanakan masalah dan tidak menghargai nyawa manusia.
Sebagai perbandingan, bagaimana jika kasusnya adalah lapas yang mudah diterobos kabur oleh
napi, apa itu bisa menjadi alasan untuk menghukum mati pencuri singkong dengan alasan untuk
mencegahnya meloloskan diri? Tidak kan. Jika yang bermasalah adalah lapasnya, maka
lapasnya yang perlu diperbaiki, bukan napinya yang dibunuh.
3. Memperburuk Citra Negara
Untuk menjaga hubungan internasional dengan negara lain, Indonesia harus menyesuaikan diri
dengan standar moral dan hukum yang berlaku di negara lain. Saat ini, negara-negara maju
telah banyak menghapus hukuman mati, mereka beranggapan bahwa hal tersebut merupakan
pelanggaran HAM yang tidak layak diterapkan di zaman sekarang. Ketika Indonesia masih
menerapkan hukuman mati, tentu negara lain akan berpandangan bahwa pemikiran masyarakat
Indonesia masih terbelakang, belum siap untuk maju, pengawasan di lapas masih kurang, serta
menunjukkan bahwa Indonesia lebih suka mengambil jalan pintas sekalipun tidak efektif.
Walau tidak sampai dikecam dan dikeluarkan dari keanggotaan PBB tapi filosofinya yang
berbeda akan membuat negara tersebut enggan bekerjasama dengan Indonesia. Hal ini tentu
merugikan karena kebanyakan negara yang menentang hukuman mati tersebut adalah negara
maju dan berpengaruh. Indonesia sendiri pernah beberapa kali diprotes oleh negara lain atas
vonis mati. Australia misalnya, pada tahun 2008 menolak hukuman mati pada Amrozi dan
kelompoknya sekalipun korban bom Bali paling banyak adalah dari warga negara mereka,
begitu pula untuk eksekusi mati kali ini Belanda dan Brazil sampai ingin menarik duta
besarnya.
4. Bertentangan Dengan Undang Undang Dasar
Ini argumen tambahan saja, karena saya sendiri bukan orang yang suka menilai benar salah
berdasarkan undang-undang. Undang-undang kan buatan manusia, hasil kesepakatan manusia.
Apa yang dipikirkan pembuat undang-undang belum tentu sama dengan apa yang saya
pikirkan. Tapi jika anda fanatik pada undang-udang, menganggap bahwa undang-undang
sebagai hukum absolut yang harus ditaati maka sepantasnya anda menolak hukuman mati,
karena pada pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas mengatakan bahwa “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Karena menggunakan kata setiap orang, maka hal itu juga berlaku pada terdakwa kasus
kejahatan, bahkan berlaku bagi mereka yang bukan warna negara Indonesia. Hal tersebut
kemudian diperjelas pada Undang-undang tentang HAM nomor 39 tahun 1999 dimana pada
pasal 9 ayat 1 dikatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya”.
Jadi jelas, bahwa negara memandang bahwa semua orang berhak untuk hidup, bahwa
membunuh adalah tidak pantas, siapapun pelakunya, termasuk jika jika dilakukan oleh negara.
Jadi ketika negara melaksanakan eksekusi mati, maka sejatinya negara telah melanggar hukum
buatannya sendiri.
Kesimpulan
Intinya, bagi saya hukuman mati adalah bentuk hukuman yang sudah tidak layak diterapkan
di zaman sekarang, selain karena sebagai bentuk pelanggaran HAM dan ketidakkonsistenan
negara dalam menjalankan undang-undang, ada kemungkinan kesalahan vonis dalam
pengadilan, tidak solusitatif (bahasanya Vicky Prasetyo), tidak sesuai dengan cara pandang
negara maju, juga karena hukuman mati tidak lebih efektif dalam menekan angka kejahatan
sehingga hukuman mati lebih banyak merugikan negara dibanding manfaatnya.

Argumentasi Moral Menolak Hukuman Mati


Banyak negara yang sudah melakukan kajian panjang akhirnya menganggap bahwa hukuman
mati adalah tindakan yang biadab dan tidak berperikemanusiaan, tulis Gadis Arivia.
Tulisan ini sama sekali tidak ingin membahas hubungan
buruk antara Presiden Joko Widodo dan PM Australia
Tony Abbott yang belakangan ini saling ngotot-
ngototan soal hukuman mati. Keduanya adalah politisi
yang bertindak atas kepentingan citra politik masing-
masing. Kekuasaan cendrung mereduksi orang untuk hanya berpikir tentang popularitas dan
tidak sungguh-sungguh peduli tentang substansi masalah. Politikus bersikap reaksioner
ketimbang reflektif, mengumbar nafsu ketimbang menahan diri, dan narsis ketimbang memiliki
rasa kepedulian. Paling tidak inilah yang dipertontonkan politikus kepada publik akhir-akhir
ini dalam hampir semua hal, termasuk hukuman mati. Padahal hukuman mati bukan soal siapa
yang paling kuasa, benar dan nasionalis. Ia menyangkut nyawa manusia.
Hukuman mati adalah hukuman yang dilakukan oleh negara kepada individu sebagai bentuk
hukuman atas tindakan kriminal yang dilakukannya. Sepanjang sejarah, hukuman mati
dijatuhkan pada tindakan kejahatan yang bermacam-macam. Pada abad ke-18 SM, Raja
Hammurabi dari Babilonia membuat perintah hukuman mati untuk 25 jenis tindakan kriminal.

Gadis Arivia, Dosen Etika dan Etika Terapan,


Universitas Indonesia, Jakarta
Hukuman mati juga tercatat di abad ke-16 SM di Mesir,
dijatuhkan kepada seorang bangsawan yang dituduh
telah melakukan kegiatan perdukunan.
Di Inggris pada zaman dahulu kala, hukuman mati pernah diberlakukan untuk mereka yang
mengembala kambing di atas jembatan Westminister Bridge. Di bawah kekuasaan Raja Henry
VIII, mereka yang dihukum mati mencapai 72.000 orang, dan pada tahun 1531 hukuman mati
dilakukan dengan cara merebus orang dengan air mendidih. Hukuman mati pun di abad ke-17
menjadi tontonan menarik masyarakat dan seringkali dirayakan dengan minum-minum, pesta
pora.
Menghapus hukuman mati
Penghapusan hukuman mati secara serius dilakukan sejak tahun 1977 dan pada saat itu hanya
9 negara yang menghapus hukuman mati. Kini, 140 negara telah menghapus hukuman mati,
artinya hampir dua pertiga negara di seluruh dunia. Hingga bulan Desember 2014, 98 negara
telah menghapus hukuman mati dengan semua bentuk kejahatan.
Mengapa mereka menghapus hukuman mati? Studi menunjukkan bahwa ternyata hukuman
mati tidak menurunkan angka kejahatan (Studi Michael Radelet dan Traci Lacock, 2009), dan
bahwa mereka yang dihukum mati kebanyakan adalah orang-orang yang termarjinal, miskin,
dan tidak memiliki akses pelayanan hukum (Website Amnesty Internasional).
Saya berpendapat hukuman mati tidak dapat dibenarkan secara moral. Alasan dasar hukuman
mati adalah pembalasan dendam atau anggapan bahwa hukuman harus setimpal dengan
perbuatannya. Ini yang disebut dengan teori retributivism. Teori ini melihat kebelakang
(perbuatan yang telah dilakukan) dan hukuman yang diterima harus sesuai dengan perbuatan
tersebut.
Akan tetapi hukuman apakah yang dapat dianggap setimpal atau sesuai? Setiap perbuatan
memiliki kasus yang berbeda yang tidak dapat disamaratakan. Misalnya kasus Rodrigo Gularte,
warga negara Brazil yang akan dihukum mati dalam waktu dekat karena membawa 6kg cocaine
ke Indonesia. Rodrigo telah didiagnosa dokter menderita paranoid schizophrenic, mengalami
gangguan jiwa. Namun tanpa melihat kekhususan kasus Rodrigo, pemerintah RI tetap akan
menghukum mati orang yang berpenyakit mental.
Tidak ada efek jera
Teori moral lain yang mendukung hukuman mati adalah teori utilitarian. Teori ini melihat
kedepan dengan tujuan untuk membuat orang jera.

NE GARA DE NG AN
H UKUM AN MAT I
T E RB ANYAK
Cina
Negeri tirai bambu, Cina, termasuk yang
paling getol menjalankan eksekusi mati.
Tahun 2013 saja tercatat sebanyak 2400
tahanan menemui ajal di tangan algojo.
Kendati mayoritas penduduk mendukung
hukuman mati, suara-suara yang
menentang mulai bermunculan. Kekhawatiran terbesar adalah lembaga yudikatif yang tidak
jarang menghukum individu yang tak bersalah.

Padahal penelitian secara konsisten menunjukkan tidak demikian halnya (lihat penelitian Hans
Zeisel, 1982). Banyak faktor yang menyebabkan orang membunuh atau menjadi kurir/bandar
narkoba. Alasan utama adalah penegakan hukum yang lemah, negara korup, miskin, dan
tiadanya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Argumentasi lainnya yang sering dilontarkan adalah penghematan biaya. Kaum utilitarian
menganggap bahwa membunuh lebih menghemat uang daripada memenjarakan orang seumur
hidup. Sekali lagi studi menunjukkan bahwa menghukum mati orang justru mengeluarkan
biaya yang lebih besar daripada memenjarakan orang. Surat kabar Miami Herald menulis
bahwa pembayar pajak di Florida, AS, menghabiskan $3,200.000 untuk satu kali eksekusi
ketimbang $515.964 untuk memenjarakan orang selama 40 tahun dengan pengamanan yang
terbaik (lihat laporan Conway dan Nakell).
Indonesia sendiri menghabiskan Rp.200.000.000,- untuk satu orang yang dihukum mati.
Mereka yang menembak/membunuh mendapatkan uang sebesar Rp.1.000.000,- per orang
(Berita Metro TV, 23 Februari 2015). Menyimak laporan Metro TV, acara hukuman mati
layaknya event yang diselenggarakan oleh departemen di pemerintahan dengan uang transport,
makan, venue, dan sebagainya untuk panitia.
Argumentasi moral
Bagi saya pertanyaan moral yang sesungguhnya adalah, apakah hukuman mati berkeadilan dan
berguna? Jadi pertanyaan tidak hanya melulu bertumpu pada alasan hukum yang berlaku.
Hukum yang berlaku tidak memastikan adanya keadilan.
Apakah adil mereka yang menyelundupkan 3 kilogram narkoba dihukum mati sedangkan
mereka yang korupsi triliunan rupiah bebas melenggang di depan mata? Bukankah korupsi
uang rakyat sama kejinya dan juga mematikan rakyat miskin karena merampok hak-hak
pelayanan fasilitas mereka? Bagaimana yang memerkosa anak di bawah umur bebas dalam
kurun waktu 5 tahun? Lalu, bagaimana dengan kasus-kasus yang ternyata salah, tidak akurat,
hakim disuap atau terjadi kriminalisasi, sengaja dijebloskan dalam penjara karena kepentingan-
kepentingan agenda politik tertentu?
Sudah saatnya Indonesia menghentikan hukuman mati. Sebab hukuman mati adalah tindakan
yang barbar dan sangat kejam. Berbagai laporan tentang perempuan yang dihukum rajam
memilukan hati, bagaimana mereka memohon untuk diampuni. Termasuk kasus-kasus TKI
yang dihukum mati di luar negeri.
Kasus Marco Archer Cardoso Moreira yang dihukum mati di Nusakambangan pada tanggal 18
Januari 2015 setelah 11 tahun dipenjara menyedihkan. Marco diseret dari selnya, meski dia
berteriak, menangis dan membuang air besar di celananya karena ketakutan. Ia tetap ditembak
mati tanpa ditenangkan atau didampingi pasturnya terlebih dahulu agar dapat melaksanakan
doa untuk ketenangan batinnya.
Tidak berperikemanusiaan
Banyak negara melalui kajian yang panjang menganggap hukuman mati adalah tindakan yang
biadab dan tidak berperikemanusiaan. Bukan saja saat dieksekusi menimbulkan sakit yang luar
biasa (apalagi ketika tidak segera mati). Membuat orang menunggu bertahun-tahun lamanya
untuk menantikan kepastian kematiannya menimbulkan siksaan batin yang luar biasa.
Sebagai negara yang memegang teguh prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, apakah manusia
berhak mengambil nyawa orang lain secara kejam? Apakah manusia yang menentukan besar
kecilnya dosa seseorang? Apakah ada manusia yang tidak pernah membuat kesalahan?
Tuhan maha besar dan maha mengampuni, bukankah itu yang dibisikan orang tua kita sejak
kita di dalam kandungan? Cukup seseorang dipenjara hingga seumur hidup bila ia bersalah.
Tolak hukuman mati!

Perdebatan pelaksanaan pidana mati di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama terjadi, namun
baru-baru ini perdebatan pelaksanaan hukuman mati kembali ramai diperbincangkan oleh
publik Indonesia dan bahkan internasional. Hal tersebut dipengaruhi oleh rencana pemerintah
Indonesia yang akan mengeksekusi terpidana mati tahap dua yang umumnya terpidana kasus
narkoba, rencana tersebut kemudian terlaksana pada 21 April 2015 pada dinihari di
Nusakambangan.

Masyarakat Indonesia khususnya para yuris terbelah dalam menyikapi pelaksanaan hukuman
mati di Indonesia, sebagian mendukung pelakasanaan hukuman mati dan sebagian lagi
menentangnya. Pada umumnya masyarakat yang menolak pemberlakuan hukuman mati
berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusi (HAM) seperti yang
selalu disuarakan oleh Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan)
dalam menentang pemberlakuan hukuman mati.

Untuk menilai secara objektif tentang pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, ada baiknya
untuk mencermati pertanyaan yang dilontarkan oleh Sahetapy tentang pelaksanaan hukuman
mati Indonesia, beliau mengatakan, dapatkah secara ilmiah dijalin suatu hubungan timbale
balik antara pidana mati dan pancasila dan apakah kesadaran hukum dari bangsa Indonesia
masih dapat mengizinkan dan atau mempertahankan pidana mati (baca: hukuman mati dalam
Negara pancasila). Roeslan Saleh, berpendapat tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia
karena beberapa alasan, pertama, putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi kalau ada
kekeliruan, kedua, mendasarkan landasan falsafah Negara pancasila, maka pidana mati itu
bertentangan dengan perikemanusiaan. Sebagaimana Roeslan Saleh, Sahetapy, juga
mempunyai pendapat yang sama, beliau menyatakan, hukuman mati bertentangan dengan
Pancasila (baca: Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007).

Sejalan dengan pendapatnya Roeslan Saleh tersebut, Arief Sidharta, juga menolak
pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, beliau mendasarkan pendaptnya terhadap Pasal 28I
UUD 1945 yang menyatakan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun,
beliau menegaskan “hak untuk hidup” masuk ke dalam kelompok hak nonderogalbe,
berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior. (baca: hukuman mati dalam polemik).

Pendapat Arif Sidharta, menurut pandangan penulis sangat lemah, karena dalam redaksi Pasal
28I tersebut bukan hanya “hak untuk hidup” yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,
namun juga “hak untuk tidak disiksa” masuk dalam rumusan Pasal 28I UUD 1945tersebut,
sedangkan hukuman dalam bentuk apapun merupakan penyiksaan seprti yang tercantum dalam
Pasal 10 KUHP. Kemudian pertanyaannya bagaimana dengan hukuman penjara dan lain-lainya
seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, apakah kemudian setiap pelaku kejahatan tidak
dapat dihukum karena setiap orang berhak untuk tidak disiksa sebagaiman Pasal 28I UUD
1945. Kalau kita mengacu kepada Pasal 28J UUD 1945 dimana Negara diberikan hak untuk
memberikan pembatasan-pembatas dengan undang-undang terhadap hak asasi manusia,
termasuk hak untuk hidup, maka hukuman mati adalah konstitusional karena tidak
bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, pemberian hukuman mati terhadap tidak dapat dilihat dari satu aspek saja yaitu
terpidana, namun juga dari aspek yang lain yaitu dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan
terpidana, sebagaimana pendapat A Muhammad Asrun, beliau menyatakan pemahaman yang
benar terhadap pemberlakuan hukuman mati terkait kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
seperti kejahatan narkotika harus dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap hak hidup (the
right to life) banyak orang (Baca: Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007).

Sejalan dengan pendapat A Muhammad Asrun, menurut Didik Endro Purwo Laksono, Fungsi
secara khusus dari hukum pidana yaitu secara khusus ialah melindungi kepentinqan hukum
terhadap perbuatan, tindakan atau aktivitas atau kegiatan yang membahayakan. Yang dimaksud
dengan Kepentingan Hukum itu sendiri, yaitu : kepentingan hukum terhadap nyawa manusia.
Maknanya di sini yaitu bahwa siapapun tidak boleh melakukan perbuatan, kegiatan, aktivitas
yang membahayakan atau melanggar kepentingan hukum yang berupa nyawa manusia. Bagi
siapa saja yang membahayakan atau melanggar kepentingan hukum terhadap nyawa manusia,
dapat dijerat dengan ketentuan KUHP, misainya 340 KUHP, 338 KUHP, 359 KUHP.

Bagaimana dengan sosiologis masyarakat Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan hukuman


mati. Dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia sebelum dan pasca pelaksanaan eksekusi mati
yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas
masyarakat Indonesia setuju dengan adanya hukuman mati, khususnya terpidana kasus
Narkotika. Karena tidak ada gerakan masyarakat yang menolak terhadap eksekusi mati tahap
II tersebut, kecuali hanya sebagian kecil dari elemen masyarakat yang menolak hukuman mati.

Selain itu dari factor kesejarahan, hukuman mati telah eksis atau diterapkan di bumi Nusantara
sejak sebelum kemerdekaan Indonesia untuk kasus kejahatan yang dapat merusak tatanan
sosial dan keseimbangan masyarakat sebagaimana yang diungkapkan Soepomo (baca: pidana
mati dalam Negara pancasila). Sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan dunia
internasional bahwa kejahatan Narkotika masuk kedalam kategori white color crime (kejahatan
kerah putih) sehingga penjatuhan pidana mati terhadap kejahatan tersebut sangat wajar, karena
Narkoba dan sejenisnya dapat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat dan dapat
mengancam keseimbangan masyarakat.

Argumen 4

Salah-satu kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa dari dalam dirinya, manusia memiliki
dorongan untuk menghargai kehidupan. Penulis berkeyakinan, apapun agama, budaya, ras,
etnis, ataupun warna kulitnya, tidak akan bisa menyangkal kenyataan ini. Kita menyadari
bahwa kehidupan (nyawa) seseorang bernilai secara intrinsik. Artinya, kita tidak perlu mencari
alasan eksternal kenapa kita harus menghargai kehidupan.

Selain itu, nyawa manusia tidak dapat diperlakukan seperti barang atau makhluk lain. Dalam
arti lain, nyawa manusia memiliki kedudukan tertinggi di hadapan ciptaan lain. Kiranya, semua
kita sependapat dengan hal ini. Implikasinya, kita tidak dapat menjadikan nyawa manusia
sebagai obyek tetapi memanfaatkan alam ini secara bijaksana demi keberlangsungan
kehidupan manusia.

Dalam uraian singkat ini, akan ditujukan beberapa fakta bahwa memang dari dalam dirinya,
manusia memiliki kesadaran untuk menghargai kehidupan (nyawa) baik dirinya maupun orang
lain. Kenyataan itu akan ditunjukan melalui sejarah kehidupan manusia terutama dalam melihat
hak dan martabat seseorang. Walaupun melalui sebuah proses panjang tetapi setidaknya
menunjukan betapa kuatnya dorongan untuk menghargai kehidupan.

Kita dapat melihat apakah kesadaran itu semakin meningkat atau malah menurun terutama
penghormatan terhadap kehidupan manusia. Selain itu, penulis akan menunjukkan beberapa
alasan mengapa kita harus menolak hukuman mati. Alasan-alasan itu sebenarnya diambil dari
hukum itu sendiri selain dari alasan kesadaran moral terhadap kehidupan manusia.

Sejarah Perkembangan Hukum

Hamurabi merupakan salah-satu sistem hukum kuno dan menjadi “sumber” bagi sistem hukum
Mesopotamia dan daerah Timur Tengah lainnya pada masa itu. Secara implisit, hukum
Hamurabi memiliki jejaknya dalam Hukum Musa (Taurat).

Secara singkat, hukuman Hamurabi dijatuhkan akan sama persis dengan perbuatannya.
Misalnya, jika seorang telah mematahkan kaki sesama maka hal yang sama akan dilakukan
padanya. Ada banyak bentuk dan kompleksitasnya. Namun, satu gagasan penting adalah jejak
Hamurabi itu tidak diteruskan begitu saja khusus dalam Taurat, sejauh penulis memahami.

Artinya, muncul kesadaran akan martabat manusia. Dalam Hamurabi, “mematahkan kaki
seseorang maka akan diperlakukan hal yang sama pada pelaku”. Sedangkan dalam Taurat,
prakteknya tidak lagi demikian walaupun masih menerapkan hukum rajam bagi seorang
pezinah.

Selain itu, kedudukan budak dan tuannya sama di hadapan hukum. Jika seorang mematahkan
kaki budaknya maka orang itu mesti merawatnya atau bahkan mengangkat statusnya bukan
lagi seorang budak”. Demikianpun halnya, dalam masyarakat umum, sanksi tidak lagi seperti
sistem balas dendam. Hal penting yang mau ditujukan adalah bertumbuhnya kesadaran
manusia akan martabat kehidupan yang tidak dapat diperlakukan sebagai “obyek”.

Uraian ini tentu tidak lengkap karena penulis hanya mengambil dari sudut pandang
Taurat. Penulis mengakui kekurangan itu. Tetapi sebagai sebuah kesadaran sebagai manusia
kiranya hal yang sama terjadi dalam budaya lain. Hal ini kiranya terbukti melalui deklarasi
HAM oleh PBB beberapa dekade lalu.
Dalam HAM, penerapan hukuman mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan
tidak manusiawi, di samping melanggar Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights).

Jaminan ini dipertegas pula dengan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7 Kesepakatan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR)
sekaligus dikuatkan lagi oleh Protokol Opsional Kedua (Second optional Protocol) atas
perjanjian Internasional mengenai hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan
Hukuman Mati.

Kenyataan ini menunjukan bahwa dorongan manusia untuk menghargai kehidupan (nyawa)
manusia tidak perlu dipertanyakan lagi. PBB sebagai sebuah lembaga Internasional, di
dalamnya mencakup berbagai budaya, etnis, agama, ataupun warna kulitnya. Artinya, PBB
tidak hanya mewakili paham dari budaya, agama, ataupun etnis tertentu tetapi merupakan
sebuah kesadaran yang dimiliki manusia secara universal.

Pandangan dalam agama-agama

Kiranya, kita sepakat bahwa agama apapun memiliki paham yang sama terhadap kehidupan
manusia terutama soal luhurnya kehidupan itu. Kehidupan adalah pemberian dari Yang Maha
Kuasa sehingga manusia tidak memiliki hak untuk mencabut nyawanya ataupun orang lain.
Penulis tertarik dengan beberapa ide kemanusiaan dalam beberapa agama berikut ini yang
dapat mewakili agama-agama di Indonesia.

Dalam agama Hindu misalnya, Ahimsa. Ini merupakan suatu ajaran yang menentang tindak
kekerasan. Selain itu, terdapat pemahaman bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibunuh dan
kematian hanya dibatasi pada kematian fisik. Tentu sangat jelas, hukuman mati akan ditolak
karena menghalangi seorang untuk berkarya demi mencapai nirwana.

Demikian pun halnya dalam Budha. Harus diakui ajaran Budha tidak banyak bicara soal hukum
dalam kaitannya hidup bersama karena ajarannya lebih sebagai sebuah jalan menuju “Budha”.
Ajaran Sang Buddha bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kejahatan secara
perorangan.

Kemudian, lebih dari pada itu, ajaran Sang Buddha bertujuan untuk membebaskan manusia
dari segala bentuk penderitaan, baik di dunia ini maupun di alam lain. Maka dari pemahaman
ini, hukuman mati berarti bertentangan dengan ajakan Sang Budha bagi setiap pengikutnya
untuk menjadi Budha kelak. Selain itu, ajaran Budha sangat lekat dengan Cinta Kasih. Berarti
pengampunan tanpa batas dan tanpa syarat sangat dijujung tinggi.

Dua agama besar lainnya; Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik), kiranya memiliki
pandangan yang sama dengan agama-agama sebelumnya. Sebagai agama abrahamik, yang
memiliki paham monoteis, memahami kehidupan sebagai anugerah dari Allah. Manusia tidak
memiliki hak atas nyawa manusia karena itu merupakan pemberian dari Allah. Secara
eksplisit, penulis tidak mengkaji seperti apa persisnya hukuman mati dalam Islam.

Keyakinan Islam, Allah adalah Pencipta. Dengan demikian Allah saja yang memiliki hak atas
nyawa manusia. Hal ini menyakinkan penulis untuk membuktikan ajaran Islam pro terhadap
kehidupan (pro-life). Mengakui Allah sebagai pencipta berarti sekaligus mengakui bahwa
hanya Dialah yang memiliki hak atas kehidupan (nyawa) manusia.

Harus diakui bahwa agama Kristen pra reformasi (dalam konteks ini Katolik dan Protestan)
telah melukiskan sebuah sejarah kelam dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Dalam abad-
abad pertengahan (sekitar VI-XIV) banyak terjadi kisah-kisah tragis seperti pemenggalan
kepala dan pembakaran manusia. Mulai dari pelanggaran sederhana sampai pada pelanggaran
berat seperti murtad ataupun memberontak terhadap hirearki Gereja.

Setelah melewati abad kelam itu, Gereja khususnya Katolik, dalam beberapa dekade
lalu, masih menerima praktek hukuman mati terhadap kasus-kasus berat. Tentu ini secara
prinsipiil bertentangan dengan ajaran Kristus yang mengedepankan Hukum Cinta Kasih,
seperti dalam perumpamaannya, “Jika saudaramu melemparimu dengan batu balasah dia
dengan kapas”.

Secara singkat pandangan Gereja Katolik terbaru, menolak hukuman mati apapun alasannya.
Dalam ensiklik Evangelium Vitae (EV) yang diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II
menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati dan menyatakan
bahwa dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati tidak dapat didukung keberadaannya.

Dengan demikian Gereja Katolik, berdasarkan dokumen EV, tidak mendukung hukuman
mati. Penulis mau menunjukkan setidaknya kesadaran akan martabat luhur manusia
membutuhkan proses panjang sekalipun ajaran pembaruan Yesus Kristus sangat jelas menolak
cara ini seperti yang telah ditunjukan melalui kesaksian hidup-Nya yaitu mengampuni musuh
sekalipun mereka yang telah menyalibkan-Nya.

Sejumlah alasan untuk menolak.

Tentu alasan pertama adalah, “apakah kita rela menyangkal dorongan dari dalam hati untuk
menghargai kehidupan (nyawa) manusia itu?”. Seperti yang telah diuraikan di atas, kiranya
semua kita sepakat bahwa nyawa seseorang tidak dapat dijadikan obyek apalagi
menghilangkannya. Seorang ateis sekalipun tetap memiliki pandangan yang sama karena
bagaimanapun setidaknya dia memiliki dorongan yang sama untuk mempertahankan
kehidupan.
Kedua, secara prinsipiil, praktek hukuman mati sangat kontradiktif. Hukum itu sendiri
melanggar apa yang menjadi prinsipnya yaitu setiap kita dilarang untuk mencabut nyawa orang
lain. Hukum melalui undang-undang mengatur sanksi setiap bentuk kejahatan termasuk
menghilangkan nyawa orang lain. Namun demi alasan kemanusiaan, hukum melakukan hal
yang bertentangan dan sangat kontradiktif dengan prinsipnya.

Ketiga, praktek hukuman mati telah mencabut hak bagi terpidana yaitu kesempatan untuk
merubah diri. Bukankah tujuan moral dari sanksi adalah merubah sikap pelaku? Dengan
demikian, hukum telah bertindak tidak adil terhadap pidana mati karena tidak diperlakukan
secara sama di hadapan hukum.

Keempat, hukuman mati bukanlah sarana mencapai efek jerah. Sebenarnya, terpidana mati itu
sendirilah yang mesti mencapai hal tersebut bukan untuk orang lain. Tetapi dia tidak memiliki
kesempatan untuk itu. Ini pun terbukti tidak berhasil. Misalnya, dalam kasus pengedar
Narkoba. Hukum sudah bertindak secara tidak adil bagi mereka, apalagi dalam kasus Narkoba
terbukti para aparatpun terlibat di dalamnya.

Artinya, hukum sudah salah secara prosedural. Narkoba bukanlah kasus dalam skala nasional
tetapi internasional. Pemerintah mesti menyelesaikan akar permasalahan secara bijak. Sebuah
pohon tidak akan tumbang kalau kita hanya menebang rantingnya saja. Dalam kenyataan,
jumlah pengedar narkoba itu masih banyak yang belum tertangkap. Itu berarti negara siap
melakukan sebuah pembunuhan masal? Bukankah itu sebuah kejahatan kemanusiaan?

Kelima, hukum cenderung cacat. Setiap keputusan yang diambil sangat rentan dengan cacat
hukum. Apakah kita berani mengatakan bahwa hukuman mati bebas dari cacat hukum? Dan
jika terbukti cacat di kemudian hari, apakah kita dapat menghidupkan lagi terpidana mati?
Secara sistematik hukum kita sudah cacat terbukti melalui keterlibatan (Narkoba) beberapa
aparat kita.

Sebuah Pertanyaan Refleksi?

Lalu, untuk apa hukuman mati dilaksanakan? Bukan untuk tujuan efek jerah atau kesempatan
untuk mengubah diri. Apakah itu bertujuan untuk menebus kesalahan? Tentu tidak! Penebusan
terjadi kalau ada salah-satu yang diselamatkan. Dan siapa yang menerima tebusan itu?
Kenyataannya baik pelaku maupun korban tidak ada yang diselamatkan. Bukankah hal itu
berarti kita kembali ke sistem Hamurabi atau zaman rimba?

Kenyataan ini menunjukan bahwa kita mengalami kemunduran secara moral terutama dalam
kaitannya dengan akan Hak Asasi Manusia. Hak yang diturunkan secara lahiriah dan tidak
satupun yang dapat merebutnya termasuk orang tuanya. Salah-satu hak itu adalah hak untuk
hidup. Dengan demikian, hukuman mati telah mencaplok bahkan mencabut hak asasi
seseorang.

Dengan mempertimbangkan perkembangan kesadaran moral dan beberapa penolakan terhadap


hukuman mati maka sejauh ini, kiranya kita belum dapat menemukan satu alasan sehingga
hukuman mati itu dapat diterima baik secara hukum maupun moral. #LombaEsaiKemanusiaan.

Argumen 5

Akhir-Akhir ini muncul polemik tentang Hukuman Mati. Penolakan Pemberian Grasi Oleh
Presiden Jokowi kepada 64 terpidana mati (kasus narkoba) memunculkan pro dan kontra.
Banyak pihak yang mengecam hal tersebut, namun tidak sedikit pula yang mendukung langkah
Presiden Jokowi tersebut.

Mereka yang mendukung langkah Jokowi menggunakan pendapat bahwa kejahatan narkoba
berdampak pada perusakan generasi bangsa, maka sudah sewajarnya jika terpidana mati pada
kasus narkoba ini mendapat hukuman mati. Namun beberapa pihak yang menentang,
berpendapat jika hukuman mati terhadap pengedar narkoba bukanlah sebuah cara yang tepat
untuk memberantas peredaran narkoba, hukuman mati juga dinilai beberapa kalangan, sama
seperti mencabut hak asasi manusia yang fundamental.

Dalam kasus narkoba ini, perdebatan mengenai hukuman mati terhadap pengedar narkoba bisa
dikatakan sangat sengit. Pihak yang mendukung hukuman mati tersebut, berpendapat jika
pengedar narkoba telah merusak kehidupan generasi bangsa dan merusak kehidupan banyak
orang, maka sudah selayaknya jika pengedar narkoba dihukum mati. Hal tersebut diungkapkan
oleh Din Syamsuddin (Ketua Umum MUI dan Ketua Umum Muhammadiyah) dan KH. Said
Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU). Kedua tokoh diatas mendukung hukuman mati terhadap
terpidana kasus narkoba dan membenarkan langkah presiden Jokowi yang menolak
permohonan grasi 64 terpidana mati kasus narkoba.

Berbeda dengan kedua tokoh tersebut, Imam Anshori Saleh (Komisioner KY) dan Haris Azhar
(Kordinator Kontras) menolak ukuman mati. Imam Anshori mengatakan jika hukuman mati
merupakan penghilangan hak asasi yang fundamental dan meskipun hukuman mati dibenarkan
secara agama, namun agama juga menyentuh aspek kemanusiaan, maka hukuman mati tidaklah
mutlak dibenarkan. Haris Azhar sendiri berpendapat bahwa membunuh pengedar narkoba
bukanlah cara yang tepat untuk memberantas peredaran narkoba. Haris Azhar juga mengatakan
kalau Presiden Jokowi tidak mengerti HAM. Seharusnya jika ingin memberantas peredaran
Narkoba, Pemerintah lebih memperketat pengawasan bea cukai yang menjadi jalan masuk
perdagangan narkoba di negeri ini.
Terlepas dari perdebatan tentang hukuman mati yang masih terus berlangsung, saya rasa jika
hukuman mati yang dijatuhkan terhadap pengedar narkoba tidak tepat dan tidak akan
membunuh peredaran narkoba di negeri ini. Masih banyak aspek yang harus dikaji oleh
pemerintah. Karena pengedar bukanlah aktor utama, dalam hal ini masih ada bandar besar
dibelakangnya dan longgarnya pengawasan bea dan cukai di negara ini. Jadi percuma
menghukum mati pengedar tapi tidak memburu bandar besarnya dan tidak memperketat
pengawasan terhadap masuknya narkoba ke negara ini. selain itu, dari aspek kemanusiaan,
meskipun ada dalil agama yang membenarkan hukuman mati, namun dalam agama juga ada
konsepsi tentang ”Taubat” yang memberi kesempatan manusia untuk memperbaiki
kesalahannya.

Kasus 1...
ngka kekerasan terhadap perempuan terus menunjukkan peningkatan. Komnas Perempuan
membeberkan Catatan Tahunan (Catahu) Tahun 2017. Dalam laporan itu disebut ada 259 ribu
kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Ketua Komnas Perempuan,
Azriana, menyampaikan bahwa pelaku kekerasan mayoritas adalah orang terdekat korban,
terutama dalam konteks KDRT dan inses serta berbagai bentuk kekerasan seksualitas lainnya.
Belakangan ini kita dikejutkan oleh kasus pembunuhan dr. Letty (46) oleh suaminya sendiri,
yakni dr. Ryan Helmi (41). Menurut kronologi yang disampaikan pihak kepolisian, dr. Ryan
Helmi tiba di Klinik Azzahra tempat dr. Letty bekerja sekitar pukul 14.00 WIB. Tersangka
meminta untuk bicara empat mata dengan korban, namun korban menolak. Emosi tersangka
memuncak dan menodongkan senjata api untuk menakut-nakuti korban. Korban lantas lari
masuk ke dalam, namun diberondong dengan 6 tembakan oleh tersangka hingga tewas.
Kasubdit Jatantas Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Hendy F. Kurniawan menyatakan
bahwa baru ditemukan 3 butir proyektil yang bersarang dalam tubuh korban dari total 6 butir
yang ditembakkan. 2 butir ditemukan di bagian dada korban (di jantung), dan 1 butir di bagian
paha. Adapun ketiga butir lainnya tidak ditemukan dan diduga terjatuh di TKP (tidak mengenai
tubuh korban).
Terkait motif pembunuhan, diduga tersangka sakit hati karena korban sempat mengajukan
gugatan cerai pada Juli 2017 kepada pihak berwajib. Menurut Yeti Irma, kakak Letty---dulu
pelaku pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap adiknya dengan menyiramkan tiner
ke tubuh adiknya, ketika adiknya sedang berada di kamar.
dr. Ryan Helmi, tersangka---memiliki reputasi yang buruk baik di bidang pekerjaan maupun di
mata keluarga korban. dr. Ryan Helmi dikenal sebagai sosok yang keras dan pemalas, sering
berganti-ganti pekerjaan dan tidak menafkahi sang istri. Kondisi ekonomi dan kekerasan yang
Ia lakukan menjadi faktor pemicu keretakan dalam rumah tangga mereka. Menurut Yeti, dr.
Letty sendiri sempat menahan diri untuk tidak mengajukan gugatan cerai karena masih
berharap sang suami dapat berubah.
Setelah korban mengajukan gugatan cerai pada Juli 2017, tersangka mencari penjual senjata
api di salah satu jejaring sosial dan memesan dua buah senjata api seharga total Rp 45 juta.
Sesuai hukum yang berlaku, dr. Ryan Helmi terjerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan
Berencana dan/atau Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, dengan tuntutan maksimal
hukuman mati atau penjara seumur hidup. Selain itu, tersangka juga terjerat Undang-undang
Darurat terkait Kepemilikan Senjata Api.
Timbulnya kasus pembunuhan ini memicu kembali pro dan kontra hukuman mati, mengetahui
bahwa dr. Ryan Helmi positif mengonsumsi obat penenang jenis Benzodiazepin yang berarti
bahwa pembunuhan terjadi ketika tersangka berada di bawah pengaruh obat-obatan.
Namun kasus menghilangkan nyawa seseorang bukanlah kasus sederhana, bukanlah tindakan
yang bisa ditolerir jika boleh dibilang demikian. Ini termasuk pelanggaran HAM. Di lain sisi,
hukuman mati sendiri juga merupakan tindakan mengambil hak hidup seseorang---yang
merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia.
Lalu, apakah hukuman mati pantas diberikan? Hal ini masih menimbulkan pro-kontra di tengah
masyarakat. Apakah hukuman mati itu sendiri tidak bertentangan dengan ideologi kita
Pancasila?
Dalam penafsirannya, menurut saya hukuman mati tidak bertentangan dengan Pancasila.
Dalam kaitannya dengan Ketuhanan yang Maha Esa, perlu kita pahami maksud dari sila
pertama itu sendiri. Maksud dari sila pertama itu adalah menghormati keberagaman agama
yang diakui di Indonesia, dan bahwa Tuhan itu esa sehingga semua agama yang diakui harus
saling menghormati. Di dalam ajaran Islam dikenal adanya qishash yang oleh T. Moch. Hasbi
Ash-Shiddieqy ditafsirkan sebagai 'perbuatan terhadap seseorang sebanding perbuatannya
terhadap orang lain'. Sedangkan dalam agama Katolik dan Protestan, hukuman mati boleh
digunakan khusus untuk kejahatan terhadap negara.
Dalam kaitannya dengan keadilan, perlu kita ingat bahwa dasar dari keadilan adalah
perikemanusiaan. Keadilan ada karena manusia ingin menjaga rasa kemanusiaan dengan
sesamanya. Pidana mati diberikan untuk memberikan perlindungan dari orang-orang yang
tidak berkeperimanusiaan terhadap sesamanya.
Dalam kaitannya dengan persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, selalu diperlukan alat atau
kaidah hukum yang kuat untuk menjaga keutuhan suatu negara. Untuk itu,diperlukan hukuman
yang tegas bagi para pelanggar HAM dalam kaitannya dengan memperkuat kesatuan.
Namun demikian, penjelasan di atas masih merupakan opini dan bisa saja salah, bergantung
pada sudut pandang orang. Yang bisa kita lakukan saat ini, sebagai warga negara yang baik
adalah turut menghormati hukum yang berlaku. Belajar dari kasus kekerasan terhadap
perempuan yang marak terjadi dan kasus pembunuhan terhadap dr. Letty, alangkah baiknya
bahwa kita sesama manusia janganlah menyimpan dendam satu dengan yang lain, sebaliknya
kita harus saling memaafkan dan menjaga hati supaya tidak mudah dikendalikan emosi dan
digelapkan oleh situasi.

2. menjadi bagian hukum positif di Indonesia, sejak indonesia menggunakan KUHP


peninggalan Belanda. Di masa Orde Lama dan Orde Baru, hukuman mati kerap diberlakukan
untuk terpidana kasus politik.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Jumat (6/3/2015), Kartosuwryo adalah salah
satunya. Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) ini dieksekusi mati pada 5 September 1962 di
Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Belakangan hukuman mati lebih banyak dikenakan untuk kasus-kasus kriminal, seperti
pembunuhan, narkotika hingga terorisme.
Hukuman mati yang sempat menyita perhatian dunia adalah eksekusi mati terhadap terpidana
bom Bali Imam Samudra, Ali Ghufron dan Amrozi.

Sepanjang hukuman mati diberlakukan, kontroversi juga terus mengiringi. Bahkan grup musik
Godbless pernah menyampaikan kritik lewat lagu 'selamat pagi Indonesia' terkait eksekusi mati
terhadap penjahat legendaris Kusni Kasdut.

Kritik terhadap hukuman mati terutama mengacu pada hasil Amandamen UUD 45 pasal 28
ayat 1, yang menyebutkan bahwa hak hidup merupakan bagian dari hak azasi manusia yang
tidak bisa dikurangi.

Namun kalangan pendukung hukuman mati beranggapan, justru hukuman mati diperlukan
untuk melindungi hak hidup masyarakat. Kenyataannya memang Undang-Undang yang
merupakan turunan UUD 45 tetap memberlakukan hukuman mati seperti undang-undang
narkotika, anti terorisme dan KUHP.

Argumen bahwa hukuman mati bisa memberi efek jera selalu ditentang oleh kalangan aktivis
hak asasi manusia. Mereka menganggap tidak ada korelasi antara hukuman mati dan efek jera.

Beda pendapat tentang hukuman mati tak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara.
Belakangan jumlah negara yang memberlakukan hukuman mati terus berkurang.

Menurut laporan Amnesty Internasional, jumlah negara yang memberlakukan hukuman mati
turun dari 37 negara pada 1994, menjadi 22 negara 2013.

Namun ini berbanding terbalik dengan meningkatnya kasus eksekusi mati. Laporan Amnesty
Internasional pada 2013 menyebutkan, jumlah eksekusi mati justru meningkat 15 persen dan
lebih banyak terjadi di negara Tiongkok, Irak dan Iran. (Dan/Ali)

Konflik Indonesia - Australia


Analisis Konflik Indonesia-Australia atas Kasus Bali Nine
Australia berencana menghentikan bantuan dana hibah kepada Indonesia.
Oleh : Desy Pratiwi Irma S
Manajemen Konflik & Konsensus
What is Bali Nine ?
Istilah Bali Nine adalah sebutan yang diberikan media massa kepada sembilan orang Australia
yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali,dalam usaha menyelundupkan heroin seberat 8,2
kg dari Indonesia ke Australia.

Kasus Bali Nine menjadi kian berkepanjangan, setelah diputuskannya perintah eksekusi mati
yang kemudian menciptakan konflik antara Indonesia- Australia.
Pro & Kontra Kebijakan Hukuman Mati Kasus Bali Nine Terhadap Hubungan
Indonesia - Australia
KEBIJAKAN HUKUMAN MATI KASUS ARKOBA
Melakukan boikot untuk tidak mengunjungi Bali dengan dibuatnya jejaring sosial Facebook
bertajuk ''Gerakan Boikot Bali'', Ide itu disukai lebih dari 13.000 warga Australia.
Resiko Konflik
Kecaman dari beberapa pihak pemerintah & masyarakat Australia dan yang terburuk
dihentikannya bantuan dana hibah serta pemutusan hubungan bilateral.
Kecaman dari sekjen PBB
Bila konflik ini diperpanjang dan tidak menemui problem solve, ditambah lagi dengan pers
yang terus merilis berita ini,dikhawatirkan konflik ini akan menjadi konflik yang destruktif.
Pernyataan presiden Jokowi ''Indonesia Darurat Narkoba''
Penolakan presiden Jokowi terhadap grasi terpidana mati kasus bali nine.
Penolakan presiden Jokowi terhadap upaya diplomatik PM Australia Abbot untuk memberikan
pengampunan. dan menolak barter narapidana WNI yang ada di Australia.

Saya menyesalkan eksekusi mati di Indonesia. Tidak ada tempat di abad ke-21 untuk hukuman
mati.

Ban ki moon - sekjen PBB


Keputusan Hukum (Hukuman Mati) = Kedaulatan Indonesia
Australia menganggap ada dugaan korupsi dalam proses hukum tersangka kasus bali nine
untuk pengurangan masa hukuman.
PM Abbot mengungkit dana bantuan yang pernah diberikan Australia untuk Aceh dan meminta
Indonesia balas budi untuk memberikan pengampunan pada terpidana mati kasus bali nine.
No
INTERVENSI
asing untuk kedaulatan RI (tawar menawar terkait sistem hukum Indonesia)
''One Thousand Friend Zero Enemies''
''1 nyawa warga negara asing ditebus dengan 1 buah Hercules versi terbaru atau alutsista
dengan jenis tertentu''
Sifat Politik Luar Negeri ...
kasus bali nine adalah bukti pemerintahan Jokowi untuk berlaku tegas ketika keinginan
Indonesia memang berlainan dengan negara mitranya. karena hal tersebut masih dapat
dinegosiasikan untuk mendapatkan solusi terbaik.
"Berteman dengan semua negara, manfaat sebesar-besarnya harus dirasakan ra0yat. Jangan
banyak teman tapidirugikan,"

Anda mungkin juga menyukai