Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MANDIRI

HUKUM PIDANA

DOSEN PENGAMPU:

Claudia Yuni Pramita, S.H., M.H.

Nama : Gabriell Tukas Buntang

NIM : 223020601134

Kelas : C

Resume Materi Webinar

Judul Webinar : Pidana Mati dalam Hukum Positif Indonesia

Hari/Tanggal : Rabu, 5 April 2023

Waktu : 14.00 – 16.00 WIB

Bukti Mengikuti Kegiatan Webinar


Materi Webinar

I. Pidana Mati dalam Agama


a. Alkitab
Kejadian (Genesis) 9:6 dan Roma (Romeinen) 13:4
"Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh
manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambarNya sendiri, "; dan

"Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau
berbuat jahat takutlah akan Dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang
pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas
mereka yang berbuat jahat."

b. Manu Dharma Sastra atau Weda Smrti


Buku VIII Pasal 34
"Barang milik yang hilang dan kemudian didapatkan kembali oleh pegawai
pemerintah akan ditaruh dalam simpanan pejabat-pejabat khusus; ia yang dapat
dibuktikan bersalah mencuri dapat dihukum mati dengan seekor gajah".

c. Al Maidah QS 5:45
"Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka- luka (pun) ada qishaasnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak qishaas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barang siapa yang tidak memutus perkara menurut apa yang diturunkan
Allah maka mereka itu orang-orang yang zalim".

II. Pidana Mati dalam HAM

DUHAM (1948)
DUHAM (1948): Merupakan kependekan dari "Universal Declaration of Human
Rights" atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dokumen ini disahkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, dan menjadi dasar
hukum internasional mengenai hak asasi manusia. Artikel 3 DUHAM menyatakan
bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan diri.

Article 3: Everyone has the right to life, liberty and security of person
Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, tidak boleh diambil
oleh siapapun tanpa alasan yang jelas dan dibenarkan oleh hukum. Selain itu,
setiap orang juga berhak atas kebebasan dan keamanan diri, sehingga tindakan
yang mengancam atau menghilangkan kebebasan atau keamanan seseorang juga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

UUD 1945 Pasal 28A; Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Merupakan Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal ini menjadikan hak untuk hidup
sebagai hak asasi manusia yang paling fundamental di Indonesia.

UU 39/1999 Tentang HAM


Merupakan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang
hak asasi manusia yang diakui dan dilindungi di Indonesia. Pasal 4 Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi.

UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM


Merupakan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
mengatur tentang proses peradilan bagi pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 36: Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan
paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 37: Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a,b,d,e,dan j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun atau paling singkat 10
tahun.

III. Pidana Mati dalam Hukum Positif (KUHP)


Pidana mati dalam hukum positif dapat ditemukan dalam Pasal 10 dalam Pidana
Pokok di tempatkan dipaling atas nomor 1 tentang pidana mati. Detail tentang
teknisnya diatur dalam Pasal 11 KUHP . Pidana mati dijalankan oleh algojo pada
tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher
terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Dalam praktiknya,
pidana mati di Indonesia dahulu dilakukan dengan cara digantung, namun sekarang
diatur oleh UU No. 5 Tahun 1969 tentang Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang
menyatakan bahwa hukuman pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati
(Dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut UU a quo) juga mengenai
pelaksanaan pidana mati di setiap negara dapat berbeda-beda, tergantung dari mana
yang lebih manusiawi, efektif dan tidak menyakitkan.
a. TP diancam Pidana Mati dalam KUHP
 Pasal 104 (Makar)
 Pasal 111 (2) (Hubungan dengan negara asing untuk maksud permusuhan atau
perang)
 Pasal 124 (3) (spionase dalam perang)
 Pasal 140 (3) (makar terhadap nyawa raja/kepala negara sahabat)
 Pasal 340 (Pembunuhan berencana)
 Pasal 365 Pencurian dengan kekerasan menimbulkan luka berat atau mati,
dilakukan dua orang atau lebih)
 Pasal 444 (nahkoda turut serta sebagai addressat, pembajakan mengakibatkan
kematian)
 Pasal 479k dan Pasal 479o (menyebabkan kematian atau hancurnya pesawat
udara)

b. Pidana Mati dalam UU luar KUHP


 Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999 Tipikor (Pasal 603 KUHP baru, non CP)
 Pasal 1 ayat (1) UU 12/1951 Senjata Api dan Bahan Peledak
 Pasal 36 dan 37 UU 26/2000 Pengadilan HAM
 UU 113 ayat (2); 116 ayat (2); 118 ayat (2); 119 ayat(2); 121 ayat(2); 133 ayat
(1); UU 35/2009 Narkotika
 Pasal 59 ayat (2) UU 5/1997 Psikotropika
 Pasal 6; 9; 10A; 14 UU 1/2002; UU 15/2003; UU 5/2018 Terorisme Dll.

c. Pengecualian Pidana Mati


 Pasal 47 KUHP (dicabut UU 3/1997 yang dicabut UU 11/2012)
 Pasal 3 huruf f; Pasal 81 ayat (6) UU No 11/2012
 (Note Cf. Takayuki Fukuda case)
 Pasal 13 UU 1/1979 Ekstradisi (Cf. Pasal 8 ayat (5) UU 1/2023 KUHP
 (nasional aktif, ekstradisi))
 Pasal 19 Perppu 1/2002; UU 15/2003; UU 5/2018 (<18 tahun)
 Grasi Presiden UU 22/2002 diubah UU 5/2010

d. Pelaksanaan Pidana Mati


Perkap 12/2010 Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Pasal 15

Pada pasal ini terdapat beberapa poin penting, di antaranya:

 Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk


mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata
api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir
peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru,
disaksikan oleh Jaksa Eksekutor.

Artinya, Komandan Pelaksana adalah orang yang bertanggung jawab dalam


pelaksanaan pidana mati. Dia memerintahkan kepada Komandan Regu penembak
untuk menyiapkan senjata api yang akan digunakan untuk pelaksanaan hukuman
mati. Ada 12 senjata api yang akan disiapkan, masing-masing dengan 3 butir
peluru tajam dan 9 butir peluru hampa. Jaksa Eksekutor juga hadir dalam tahap
ini;

 Setelah senjata api disiapkan, Komandan Regu penembak memberikan senjata


api kepada anggota regu penembak dengan urutan undian.

Artinya, setelah senjata api disiapkan, anggota regu penembak akan mendapatkan
senjata api dengan urutan undian;

 Komandan Pelaksana memberikan perintah untuk membidikkan senjata api ke


tubuh terpidana, dengan jarak tembak antara 5 (lima) meter sampai dengan 10
(sepuluh) meter.

Artinya, Komandan Pelaksana memberikan perintah untuk menembakkan senjata


api ke tubuh terpidana dalam jarak tembak 5-10 meter;

 Jika terpidana masih hidup setelah tembakan pertama, Komandan Pelaksana


memberikan perintah untuk tembakan lanjutan dengan senjata api yang sama.

Artinya, jika terpidana masih hidup setelah tembakan pertama, maka akan
ditembakkan lagi dengan senjata api yang sama;

 Setelah terpidana dinyatakan meninggal dunia oleh tim medis, Komandan


Pelaksana membuat laporan dan melaporkan kepada Jaksa Eksekutor.

Artinya, setelah terpidana dinyatakan meninggal dunia oleh tim medis, Komandan
Pelaksana membuat laporan dan melaporkan kepada Jaksa Eksekutor tentang
pelaksanaan hukuman mati.
IV. Pidana Mati dalam KUHP Baru (UU 1/2023)
Pada Pasal 64 KUHP terbaru mengatur tentang hukuman pidana khusus. Pidana mati
tidak langsung ditemukan di dalam pasal ini, melainkan hanya diatur dalam huruf C
dari pasal tersebut. Oleh karena itu, dalam pidana pokok KUHP tidak secara langsung
terdapat ketentuan mengenai pidana mati. Hal ini berbeda dengan pidana mati dalam
undang-undang lain seperti UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang secara
tegas mengatur pidana mati sebagai hukuman bagi pelaku tindak pidana tertentu.
Pasal 67 dalam KUHP baru menyatakan bahwa pidana mati merupakan jenis pidana
yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif. Hal ini mengacu pada
Pasal 64 huruf C yang memuat ketentuan mengenai pidana mati. Dengan demikian,
meskipun tidak secara langsung disebutkan dalam Pidana Pokok, pidana mati tetap
diatur dan dapat dijatuhkan sebagai hukuman dalam kasus-kasus tertentu. Pasal 67 ini
menegaskan bahwa pidana mati merupakan jenis pidana khusus yang diancamkan
sebagai pilihan alternatif dalam kasus-kasus yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam ketentuan ini, Tindak Pidana yang dapat diancam dengan pidana yang bersifat
khusus adalah Tindak Pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara lain,
Tindak Pidana narkotika, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, dan
Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia. Untuk itu, pidana mati dicantumkan
dalam bagian tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar
bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati
merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan.
secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Dirumuskan Alternatif dan pelaksanaannya

Pasal 98
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah
dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.
Pasal 99
(1) Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak
Presiden.
(2) Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan Di Muka
Umum.
(3) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu
tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang
(4) Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang
menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut
melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit
jiwa tersebut sembuh

Pasal 100
(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh)
tahun dengan memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dicantumkan dalam putusan pengadilan.
(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi
pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan
pertimbangan Mahkamah Agung.
(5) Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak
Keputusan Presiden ditetapkan.
(6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk
diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung
Pasal 101
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan
selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri,
pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan
Presiden

Pasal 142 (kewenangan gugurnya pelaksanaan pidana)


(3) Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kedaluwarsa
(4) Jika pidana mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101, kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena
kedaluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa
kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) huruf e
ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu kedaluwarsa tersebut. (20 tahun +
1/3)

Pidana Mati dalam KUHP Baru

Pasal 191 (makar thd Pres/Wapres)


Pasal 192 (Makar thd NKRI)
Pasal 212 ayat (3) (berkhianat dlm situasi perang)
Pasal 459 Pembunuhan Berencana
Pasal 479 ayat (4) Pencurian dengan kekerasan
Pasal 588 ayat (2) menyebabkan matinya orang atau hancurnya pesawat
Pasal 598 Genosida
Pasal 599 huruf a Tindak Pidana Kemanusiaan
Pasal 600 Terorisme
Pasal 610 ayat (2)huruf a dan b Narkotika
Pasal 62
(1) Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi
terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Permufakatan Jahat, Persiapan, Percobaan, dan Pembantuan

Pasal 13 ayat (4)


Permufakatan jahat melakukan Findak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun.

Pasal 15 ayat (4)


Persiapan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.

Pasal 17 ayat (4)


Percobaan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.

Pasal 21 ayat (4)


Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.

V. Pidana Mati dalam Putusan MK


Putusan MK Nomor 2/PUU-V/2007
Menolak permohonan uij materil beberapa pasal terkait pidana mati dalam UU
22/1997 Tentang Narkotika yang diajukan Myuran Sukumaran, Andrew Chan, Rani
Andriani, Edith Yunita Sianturi
"Dan dengan ini pula saudara-saudara tepat hampir pukul 14.00 kita mulai pukul
09.30 berarti hampir 4 ½ jam saya menghargai saudara-saudara semua menyimak
dengan baik pembacaan putusan ini dan kami juga Sembilan orang sesudah putusan
ini selesai akan rekonsiliasi, karena golongan abolisionis dan non-abolisionis sudah
satu bulan tidak bertegur sapa”

Hakim MK dalam memutus ini terbelah berbeda opini 5 banding 4, 5 menyatakan


pidana mati itu tetap konstitusional artinya tidak bertentangan dengan UUD, yang 4
menyatakan bertentangan dengan UUD. Karena 5 suara mayoritas maka pidana mati
tetap ada dan tetap berlaku dan dipandang tidak bertentangan dengan UUD.

VI. An Eternal Debate (Perdebatan yang Abadi)


Perdebatan antara Abolitionist dengan Retentionist.
Abolitionist dan retentionist adalah dua posisi yang berkaitan dengan pidana mati.
Abolitionist adalah orang atau kelompok yang mendukung penghapusan atau abolisi
pidana mati, sehingga menolak penggunaannya sebagai hukuman dalam sistem
peradilan pidana. Abolitionist berkeyakinan bahwa pidana mati tidak etis dan tidak
manusiawi, dan bahwa setiap individu, bahkan yang melakukan kejahatan paling
mengerikan, memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh dihukum mati.

Sementara itu, retentionist adalah orang atau kelompok yang mendukung penggunaan
pidana mati sebagai hukuman dalam sistem peradilan pidana. Retentionist
berkeyakinan bahwa pidana mati dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan
keadilan kepada korban dan masyarakat, serta sebagai upaya untuk mencegah
kejahatan yang serius.

Namun, perlu diketahui bahwa pandangan terhadap pidana mati tidaklah hitam atau
putih, dan seringkali terdapat posisi yang lebih kompleks dan menengah antara
abolitionist dan retentionist. Beberapa orang mungkin mendukung penggunaan
pidana mati dalam kasus-kasus tertentu, tetapi tidak secara umum, atau mungkin
mendukung penggunaannya dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti dalam kasus-
kasus terorisme atau kejahatan terhadap anak-anak.

Abolitionist:
 Hak untuk mematikan hanya milik Tuhan
 Uncivilized (tidak beradab)
 Tidak memberikan efek jera

Retentionist:

 Kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan yang membahayakan


 Dianggap tidak dapat diperbaiki
 Memberikan efek jera

Catatan Prof Barda Nawawi Arif

Pidana Mati dan Seumur Hidup- Absolute punishment

Sifat pidana yang demkian didasarkan pada asumsi dasar yang absolut pada diri
pelaku ada unsur/sifat kemutlakan yaitu:

1. Sudah melakukan kejahatan yang sangat absolut sangat


membahayakan/merugikan masyarakat
2. Ada kesalahan absolut ("paling top"); dan
3. Si pelaku dianggap secara absolut/mutlak tidak dapat berubah/diperbaiki

Dilihat dari sudut kebijakan penal, pandangan/asumsi absolut patut dipermasalahkan:

- sulit menetapkan adanya kesalahan absolut (100% bersalah) pada diri seseorang,
terlebih karena faktor "kausa dan kondisi" yang menyebabkan terjadinya
kejahatan cukup banyak, tidak dapat 100% dibebankan pada kesalahan si pelaku.
- Tidak ada orang yang secara absolut tidak bisa berubah atau tidak bisa
diperbaiki/memperbaiki diri.
- Kurang bijaksana apabila tidak ada pengampunan/kesempata pada pelaku.
VII. Efektivitas Pidana Mati
Murder Rate in US 1940-1955 (per 100,000) Riset Selama 15 Tahun Angka
Pembunuhan Berencana
Midwest
-Michigan 3.5
-Indiana (D) 3.5
-Ohio (D) 3.5
-Minnesota 1.4
-Wisconsin 1.2
- lowa (D) 1.4
-North Dakota 1.0
-South Dakota (D) 1.5
-Nebraska (D) 1.6

New England
-Maine 1.5
-New Hampshire (D) 0.9
-Vermont (D) 0.1
-Connecticut (D) 1.7
- Rhode Island 1.3
-Massachusetts (D) 1.2
-Connecticut (D) 1.7

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Midwest memiliki angka


pembunuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan New England. Negara bagian
dengan angka pembunuhan tertinggi di Midwest adalah Michigan, Indiana, dan Ohio,
yang semuanya memiliki angka pembunuhan 3,5 per 100.000 penduduk. Di sisi lain,
negara bagian dengan angka pembunuhan terendah di Midwest adalah North Dakota
dengan 1,0 per 100.000 penduduk.

Sementara itu, New England memiliki angka pembunuhan yang lebih rendah
dibandingkan dengan Midwest. Negara bagian dengan angka pembunuhan tertinggi di
New England adalah Connecticut dengan 1,7 per 100.000 penduduk, sedangkan
negara bagian dengan angka pembunuhan terendah di New England adalah Vermont
dengan 0,1 per 100.000 penduduk.

Efektivitas hukuman pidana mati masih menjadi topik yang kontroversial dan diperselisihkan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa hukuman pidana mati tidak secara signifikan mengurangi
tingkat kejahatan dan pembunuhan, dan bahkan ada bukti bahwa negara-negara yang tidak
memberlakukan hukuman mati cenderung memiliki tingkat kejahatan yang lebih rendah.

Di sisi lain, beberapa orang berpendapat bahwa hukuman pidana mati dapat menjadi deteren bagi
orang lain untuk tidak melakukan kejahatan yang serupa. Namun, argumen ini juga
diperselisihkan, karena tidak semua orang yang melakukan kejahatan memiliki pertimbangan
rasional tentang risiko hukuman pidana mati sebelum melakukan tindakan kriminal.

Selain itu, ada banyak kasus di mana orang yang tidak bersalah telah dihukum mati karena
kesalahan sistematis dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, banyak organisasi hak asasi
manusia mengkritik hukuman pidana mati dan memperjuangkan penghapusan hukuman ini.

Secara keseluruhan, efektivitas hukuman pidana mati masih diperselisihkan, dan ada banyak
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam diskusi ini.

Anda mungkin juga menyukai