Anda di halaman 1dari 17

Topik debat: Legalisasi hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual

Kunci debat:

1. Penjelasan Mosi

Menurut Roeslan Salah dalam Stelsel Pidana Indonesia (1987) menjelaskan, hukuman mati
adalah jenis pidana terberat menurut hukum positif Indonesia atau dirinci sedikit yaitu
hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan atau tanpa pengadilan sebagai bentuk
hukuman terberat untuk seseorang akibat perbuatanny.. Menurut Pasal 11 KUHP” pidana
hukuman mati dijalankan oleh pelaku di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang
terikat di tiang gantungan pada leher terpidana.Kemudian, menjatuhkan papan tempat
terpidana tersebut berdiri.

Kendati demikian, ketentuan Pasal 11 KUHP diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor
02/Pnps/1964” Hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil dan dilakukan dengan cara
menembak mati.” Pasal 1 UU tersebut mengatur, pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan
Peradilan Umum maupun Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati. Dalam
pasal 10 KUHP, hukuman mati tergolong ke dalam salah satu pidana pokok.

Selanjutnya, ketentuan UU Nomor 02/Pnps/1964 ini disempurnakan dengan Peraturan


Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Adapun dilansir dari Jurnal Syiar Hukum (2007), berikut beberapa hukuman mati di Indonesia
yang diatur dalam KUHP:

Pasal 104: makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden
Pasal 111 ayat (2): melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang
Pasal 124 ayat (3): pengkhianatan memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh di
waktu perang, serta menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara atau pemberontakan
di kalangan angkatan perang
Pasal 340: pembunuhan berencana
Pasal 365 ayat (4): pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat
atau mati
Pasal 444: pembajakan di laut yang menyebabkan kematian
Pasal 149 K ayat (2) dan Pasal 149 O ayat (2): kejahatan penerbangan dan saranan
penerbangan.

Berdasarkan UU Nomor 02/Pnps/1964, tiga kali 24 jam sebelum eksekusi, jaksa


memberitahukan terpidana tentang rencana hukuman mati.

Apabila terpidana hamil, maka hukuman mati dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya
dilahirkan.

tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, seperti diatur dalam Peraturan Kapolri
Nomor 12 Tahun 2010:

 Terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum
dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati.
 Pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat
didampingi oleh seorang rohaniawan.
 Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 jam sebelum waktu
pelaksanaan pidana mati.
 Regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 jam sebelum
pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan.
 Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang
di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 meter sampai 10 meter dan
kembali ke daerah persiapan.
 Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada jaksa eksekutor dengan
ucapan, "Lapor, pelaksanaan pidana mati siap."
 Jaksa eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan
persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati.
 Setelah pemeriksaan selesai, jaksa eksekutor kembali ke tempat semula dan
memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan, "Laksanakan."
Kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan, "Laksanakan."
 Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu Penembak untuk mengisi
amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan 3
butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1
butir peluru, disaksikan oleh jaksa eksekutor.
 Jaksa eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk
membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat
kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan
posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh jaksa.
 Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 menit
dengan didampingi seorang rohaniawan.
 Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana
menolak.
 Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung
sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari
terpidana.
 Komandan Regu 2 melaporkan kepada jaksa eksekutor bahwa terpidana telah siap
untuk dilaksanakan pidana mati.
 Jaksa eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera
melaksanakan penembakan terhadap terpidana.
 Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu Penembak
untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan
posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana.
 Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk
membidik sasaran ke arah jantung terpidana.
 Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat
kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata.
 Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang
sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara
serentak.
 Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai
isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata.
 Setelah penembakan, Komandan Pelaksana, jaksa eksekutor, dan dokter memeriksa
kondisi terpidana.

 Apabila dokter mengatakan terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan,


maka jaksa memerintahkan Komandan Pelaksana untuk melakukan penembakan
pengakhir.

 Pelaksanaan hukuman mati dinyatakan selesai saat dokter tidak lagi menemukan
tanda-tanda kehidupan pada terpidana.

 Kemudian, Komandan Pelaksana pun melaporkan hasil penembakan kepada jaksa


eksekutor dengan mengucapkan, "Pelaksanaan pidana mati selesai".

Hukuman mati menurut putusan MK

Menimbulkan pro dan kontra, hukuman mati di Indonesia menurut Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin
UUD 1945.

Putusan MK tertanggal 27 Oktober 2007 tersebut menolak uji materi hukuman mati dalam UU
Narkotika.

Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi harus digunakan untuk menghargai dan menghormati
hak asasi orang lain.
Dengan demikian, hak asasi manusia (HAM) harus dibatasi dengan instrumen undang-undang.
Seperti, hak untuk hidup tidak boleh dikurangi kecuali telah diputuskan oleh pengadilan.

Selain itu, Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 juga mengatakan, cara pelaksanaan pidana
mati dengan ditembak seperti diatur dalam UU Nomor 02/Pnps/1964 tidak bertentangan
dengan UUD 1945.

Oleh karena itu, pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati tidak melanggar
HAM, khusus hak untuk tidak disiksa seperti dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Beliau menegaskan
“hak untuk hidup” masuk ke dalam kelompok hak nonderogalbe, berdasarkan asas lex
superior derogate legi inferior.
Dan sesuai dengan adanya isu RUU KUHP maka terdapat beberapa pasal di RUU KUHP tentang
hukuman mati tersebut pasal tersebut antara lain :

Pasal 67

Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana
mati yang selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 98

Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah
dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Pasal 99

(1) Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
(2) Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
(3) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak
atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.
(4) Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui
bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan,
perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Pasal 100

(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun
dengan memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana; atau
c. ada alasan yang meringankan.

(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur
hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki,
pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10
(sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat
diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Pasal 102

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang-
Undang.

Keterangan:
RUU KUHP telah mengatur bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa
percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan: rasa penyesalan terdakwa
dan ada harapan untuk memperbaiki diri; peran terdakwa dalam Tindak Pidana; atau ada
alasan yang meringankan (Pasal 100 ayat 1).
Ketentuan ini sudah sesuai dengan pertimbangan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, yang
menyatakan bahwa perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia hendaknya dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama
sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.

Kemudian kekerasan seksual Menurut Mashudi (2015), kekerasan seksual adalah penyalah
gunaan terhadap anak yang digunakan untuk menjadi objek pelampiasan kesenangan seksual
yang perilakunya kurang dipahami oleh anak itu sendiri sehingga tidak ada kemampuan anak
dalam menceritakan hal tersebut kepada orang lain. Dimana terdapat UU tentang kekerasan
seksual yaitu Pasal 1 Angka 1 UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
yang didefenisikan sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya
sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini.

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui ahwa yang dimaksud dengan tindak pidana
kekerasan seksual adalah segala bentuk tindak pidana baik yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 maupun tindak pidana lain yang dinyatakan sebagai tindak pidana
kekerasan seksual yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Bab II tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual. Berdasarkan ketentuan tersebut, jenis-jenis tindak pidana
kekerasan seksual adalah sebagai berikut:
a. Pelecehan seksual nonfisik;
b. Pelecehan seksual fisik;
c. Pemaksaan kontrasepsi;
d. Pemaksaan sterilisasi;
e. Pemaksaan perkawinan;
f. Penyiksaan seksual;
g. Eksploitasi seksual;
h. Perbudakan seksual; dan
i. Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain itu, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang terdapat dalam Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, yaitu:
a. Perkosaan;
b. Perbuatan cabul;
c. Persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual
terhadap anak;
d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan
dan eksploitasi seksual;
f. pemaksaan pelacuran;
g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana
Kekerasan Seksual; dan
j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual di atas, di atur dengan tegas dan jelas
dengan tujuan:
a. untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual;
b. untuk menangani, melindungi dan memulihkan korban;
c. untuk melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku;
d. untuk mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan
e. untuk menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual

2. Latar belakang mosi


Syahputra (2018) menjelaskan beberapa faktor yang melatarbelakangi kekerasan seksual
adalah faktor internal yang terdiri dari faktor kejiwaan, faktor biologis, moral dan faktor
eksternal adalah faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor media massa dan putusan
hakim,dan isu tentang kekerasan seksual sudah banyak yang terjadi di Indonesia dan yang
paling tinggi atau berkembang kasusnya ialah kekerasa seksual Berdasarkan data Komisi
Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sampai akhir tahun 2009 di
Indonesia telah dilakukan eksekusi hukuman mati terhadap 63 orang[2]. Dari 63 terpidana
tersebut, 6 orang karena terlibat terorisme, 23 orang karena terlibat pembunuhan yang
direncanakan, 6 orang karena terlibat narkotika, 25 orang karena terlibat kejahatan politik dan
3 orang karena hal lain dan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
mencatat bahwa terdapat 3.339 kasus pelecehan anak dan sebanyak 58% dari laporan
tersebut merupakan kejahatan seksual. Anak diberi tayangan pornografi yang membuat anak
termotivasi untuk melakukan tindak seksual yang menyimpang saat sebelum masa puber dan
setelah puber (dalam Arsyati dkk, 2017). KPAI Jasra Putra menjelaskan pihaknya menemui 218
kasus kekeradan seksual di tahun 2015.

Sedangkan di tahun 2016, KPAI mencatat ada 120 kasus kekerasan seksual pada anak-anak.
Lalu pada tahun 2017, terdapat sebanyak 116 kasus. Dilihat dari segi umur pelaku, pelaku
dimulai dari kalangan anak-anak sampai kakek-kakek (dalam Syahputra, 2018).
Pengaduan kasus kekerasan anak yang masuk ke Komnas PA mayoritas adalah kejahatan
seksual yaitu dari tahun 2010 sampai 2014 angka sekitar 42- 62%. Data tersebut hanya
sebagian kecil dari kasus yang terjadi pada anak-anak di Indonesia, karena menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 adalah 237.641.326 jiwa, angka tersebut berada di
peringkat ke empat dengan jumlah penduduk terbesar di dunia di bawah RRC, India dan
Amerika Serikat (dalam Hidaayah,2015). Data dari Yayasan Kakak, organisasi yang bergerak di
bidang perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual di Jawa Tengah,
memperlihatkan hasil bahwa sejak 2013, terdapat kurang lebih 55 persen korban yang
yayasan tangani adalah anak usia di bawah 15 tahun. Sedangkan sebelumnya usia korban
mayoritas korban adalah di atas 16 tahun atau usia SMA.
Sementara itu, Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) di Sragen, yang telah menangani
222 pada kasus kekerasan seksual anak –pencabulan, perkosaan, pornoaksi, dan trafficking –
sejak 2005, juga mencatat tren pergeseran usia korban yang semakin muda. Apabila
sebelumnya rata-rata usia pencabulan dan pemerkosaan (kehamilan) dialami anak usia
SMA/SMK, namun sekarang banyak dari kalangan usia SMP, SD, dan bahkan usia pra-sekolah.
Untuk pelakunya sendiri semakin hari semakin muda usianya. “Baru April lalu, kami
menangani dua kasus kekerasan seksual, korbannya anak TK 6 tahun dan anak PAUD 4 tahun,”
ujar koordinator APPS Sugiarsi, Susanto (dalam Rakhmawati dkk, 2017).

Setelah penjelasan data tersebut bisa dikatakan mengapa mosi ini harus diusut karena latar
belakang dari mosi ini sudah terlihat bagaimana maraknya kasus tentang kekerasan seksual
dari data data yang disampaikan dan jelasnya tentang mosi ini ialah dengan 2 pertanyaan yaitu
bagaimana hukumannya bagi si pelaku dan bagaimana solusinya untuk si korban?

3. Landasan Filosofis
Abstrak Pancasila merupakan filosofi dan ideologi negara Indonesia yang seharusnya menjiwai
setiap peraturan perundang- undangan dalam sistem hukum Indonesia. Salah satu sila dalam
Pancasila berbunyi "kemanusiaan yang adil dan beradab", dalam sila tersebut terkandung
penghargaan atas nilai- nilai kemanusiaan. Nilai- nilai kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari
konsep "hak untuk hidup" sebagai bagian dari hak asasi manusia. Amandemen kedua
konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun", Walaupun hak untuk hidup dilindungi oleh konstitusi yang dijiwai oleh nilai
kemanusiaan dalam Pancasila tetapi sampai saat ini dalam sistem hukum di Indonesia masih
berlaku hukuman mati. Hal tersebut sepertinya kontradiktif dengan konsep kemanusiaan
dalam Pancasila.Walaupun hukuman mati sangat tidak mungkin dilaksanakan karena kontras
dengan Pancasila. Namun kalau kita lihat dari perilakunya yang dalam konteks disini yaitu
kekerasan seksual disini tidak mungkin hanya memikirkan tentang si terpidanantapi juga
korban bagaimana traumanya atau psikisnya dan itu berpacu pada sila kelima pancasila yang
bunyinya ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”terkandung di dalam butir sila kelima
yang menyebutkan bahwa ”Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau
merugikan kepentingan umum.”

Pandangan pro : dari landasan filosofia sebenernya terdapat teori teori yang dapat dijadikan
dasar untuk mendukung hukuman mati, antara lain: teori Absolut, teori Relatif dan teori
Gabungan. Menurut teori Absolut, syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup
dalam kejahatan itu sendiri, siapa yang mengakibatkan penderitaan, maka ia pun harus
menderita. Hal tersebut tampak dalam pendapat Immanuel Kant: "Di dalam hukum, pidana
tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan umum.
Hukuman atau pidana hanya dapat dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan
kejahatan." Teori kedua adalah teori Relatif. Menurut teori Relatif, penjatuhan pidana
tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang
tidak mengulangi perbuatannya. Hal tersebut tampak dalam pendapat Feuerbach dalam
teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana
dalam perundang-undangan.Teori ketiga adalah teori Gabungan. Thomas Aquinas
membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Ketika negara
menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi
khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa
aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat,
termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai
pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari
penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk
menegakkan tertib hukum.
Pandangan kontra : Hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang
paling asasi, yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup adalah hak yang paling fundamental,
merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan
apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi
narapidana. Hak untuk hidup dijamin oleh Pasal 28 Undang- Undang Dasar 1945 yang selaras
dengan sila kedua Pancasila yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Secara
sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah bahwa hukuman mati akan mengurangi tindak pidana
tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan
efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan
hukuman dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan bahwa
hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari
hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba,
terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati,
namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat huku/negara yang
korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang
menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi
ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. Berdasarkan data
Amnesty International sekitar 92 negara dari seluruh wilayah di dunia telah menghapuskan
hukuman mati bagi semua jenis tindak kejahatan. Sementara itu, 10 negara juga telah
menghapuskan hukuman mati kecuali bagi tindak kejahatan tertentu. Negara- negara
tersebut sudah jelas tidak menganut Pancasila sebagai filosofi dalam membentuk produk-
produk hukumnya tetapi mereka sudah selangkah lebih maju dalam penghargaan hak untuk
hidup sebagai hak asasi yang paling asasi.
MOSI : LEGALISASI HUKUMAN MATI BAGI PELAKU KEKERASAN
SEKSUAL
KONTRA
Kekerasan seksual merupakan suatu Tindakan yang merugikan satu pihak
baik berupa ucapan ataupun Tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman,
intimidasi, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau
dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang atas seseorang yang tidak
mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya merupakan suatu tindak
criminal yang harus di tindak.
Pidana mati ini merupakan terapi kejutan terutama bagi penjahat yang di
tidak lagi diharapkan untuk bisa berubah.
Menurut pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan algojo di tempat
gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher
terpidana. Kemudian, menjatuhkan papan tempat terpidana tersebut berdiri.
Namun ketentuan pasal 11 KUHP diubah dengan Undang-Undang (UU)
Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan
oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer.
Pasal 1 UU tersebut mengatur, pelaksaan hukuman mati yang dijatuhkan
Peradilan Umum maupun Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai
mati.
(Hukuman mati di Indonesia menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 2-3/PUU-V/2007 tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD
1945) (argument yang masih ragu maksudnya apa)
Ancaman hukuman mati tidak menyelesaikan masalah utama terkait
kejahatan kekerasan seksual.
Hukuman mati bukan cara terakhir untuk menghapus kasus kekerasan
seksual sampai keakarnya
Kekerasan seksual adalah kejahatan mengerikan yang sejelas melanggar
HAM. Hukuman mati, sebagai gejala kekerasan, tidak menyasar masalah utama
kekerasan seksual.
Pendidikan seks dan Kesehatan reproduksi yang komprehensif, perumusan
aturan hukum untuk kekerasan seksual yang menyeluruh beserta pengawasan
implementasinya, bisa jadi solusi efektif untuk memberantas kekerasan seksual.
Pemenuhan hak-hak korban, sanksi pidana maksimal dan rehabilitasi untuk
mengubah perilaku pelaku yang terbukti bersalah, dan mencegah terjadinya
kekerasan seksual juga penting untuk menghapus kekerasan seksual
Hukuman mati juga tidak bisa ditarik Kembali. Jika terduga pelaku terbukti
tidak bersalah, hukuman mati bisa sangat merugikan. Kasus central park five yang
diangkat ke serial When They See Us Lima orang anak laki-laki di bawah 18 tahun
dituduh memerkosa seorang perempuan. Walaupun mereka tidak divonis hukuman
mati, donal trump, sebelum menjabat menjadi presiden AS, pernah secara terbuka
meminta mereka dihukum mati. Setelah bertahun-tahun dipenjara, akhirnya mereka
dinyatakan tidak bersalah.
Pengurangan kekerasan seksual dan perbaikan system yang abai terhadap
kejahatan, dan abai terhadap kurangnya pemenuhan hak-hak dasar, bukan
menyebabkan lebih banyak kematian.
Jika terbukti bersalah, kebijakan komutasi (perubahan hukuman bagi
terpidana mati) bisa menjadi solusi alternatif. Dalam hal hukuman seumur hiudp,
pembebasan bersyarat juga harus menjadi pilihan saat hukuman seumur hidup
diterapkan (argument ngambang, belum paham maksud komutasi)
Saat ini, 142 negara sudah menghapus praktik hukuman mati, (cari
datanya). Selama seorang narapidana tetap hidup, mereka bisa melalui rehabilittasi
untuk memperbaiki perilaku supaya tidak mengulang kejahatan di kemudian hari.
Hukuman mati adalah gejala budaya kekerasan, bukan solusi untuk sebuah
kasus. Hukuman, selain bertujuan memberi efek jera dan memberi rasa keadilan,
juga harus efektif mengurangi resiko keberulangan dengan tetap menghormati
HAM
Seperti yang telah dilakukan oleh pihak media apabila seorang public figure
telah melakukan kekerasan seksual maka akan dilarangn untuk tampil di beberapa
flatform media dan akan diasingkan dari dunia hiburan tersebut sehingga
memberikan efek jera kepada pelaku tersebut untuk mengubah dirinya dan tidak
mengulangi kasus yang sudah dilakukannya tersebut.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menolak pelaksanaan
hukuman mati di Indonesia. Pertama, Peneliti ELSAM Wahyudi Djafar
menegaskan, hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan hukum
internasional HAM. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional khususnya
UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi, serta UU No 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. “menyatakan secara tegas bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Indonesia juga telah
meratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui
UU No 12/2005 Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan hak hidup adalah hak yang melekat
kepada individu, tanpa memandang perbedaan status dan kewarganegaraan,”
Alasan selanjutnya mengapa hukuman mati tak relevan di Indonesia karena
eksekusi mati dianggap sebagai bentuk penghukuman yang kejam dan tak
manusiawi. Selanjutnya, hukum internasional hak asasi manusia, termasuk
yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan Kawasan telah berulang kali
menegaskan bahwa praktik eksekusi mati adalah suatu Tindakan hukuman yang
kejam dan tidak manusiawi serta merendahkan derajat martabat seseorang.
Konstitusi tetang legalisasi pidana mati bagi pelaku kekerasan seksual :

1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

2. Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 ( UU HAM )“Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak
tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

3. Hukuman pidana itu sendiri diatur dalam Pasal 10 KUHP, sebagai berikut: Hukuman-
hukuman ialah:
1. Hukuman-hukuman pokok: a. Hukuman mati b. Hukuman penjara c. Hukuman
kurungan d. Hukuman denda
2. Hukuman-hukuman tambahan: a. Pencabutan beberapa hak tertentu b. Perampasan
barang yang tertentu c. Pengumuman putusan hakim. Pidana terberat dari semua
pidana diatas adalah Hukuman Mati.

( kontra ) Pasalnya, sebaliknya, hukuman mati itu sendiri melanggar hak asasi manusia.
Kebebasan untuk hidup sendiri diatur dalam Pasal 28A UUD 1945 . Hak untuk hidup dan
mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).

4. Selain melalui konstitusi, Indonesia sangat menjunjung tinggi hak untuk hidup dengan
meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang 1 Pasal 1 ayat 1 point 1 Undang-undang No 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha
Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara
hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia”. Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.

Yuridis tentang legalisasi pidana mati bagi pelaku kekerasan seksual :

1. Beccaria dalam tulisannya pada paruh kedua abad ke-18 yang berjudul “Dei Deliti e delle
Pene” dengan keras menentang pidana mati. Dalam tulisannya tersebut beliau
menganjurkan agar penerapan pidana mati seyogyanya juga mempertimbangkan
kemanusiaan. Dia meragukan hak negara untuk menjatuhkan pidana mati. Keraguannya
didasarkan pada teori perjanjian sosial bahwa satu-satunya alasan untuk menghukum
adalah menjamin keberlansungan kehidupan masyarakat dan mencegah orang untuk
melakukan kejahatan. Pidana mati tidak dapat mencegah kejahatan dan bahkan
merupakan kebrutalan. Menurut Beccaria pidana mati tidak menghargai sumber daya
manusia yang merupakan modal utama Negara (Syamsul Hidayat, 2010: 41-42).

2. Sanksi Pidana terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak ditinjau dari Undang-
undang Nomor Tahun 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas undang-
Undang Noor 23 Tahun 2002. Tentang Perlindungan Anak, yang terdapat di dalam Pasal
81 serta pasal 81 A, merupakan dasar hukum kebiri dapat diberlakukan bersamasama
dengan pidana pokok, adapun hukuman kebiri yang dilakukan dapat berupa kebiri fisik
dan kebiri kimia. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
tindakan kebiri dapat diterapkan bagi dan pelaku yang hukuman nya di pidana penjara
seumur hidup atau pidana paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
3.

Teoritis tentang legalisasi pidana mati bagi pelaku kekerasan seksual :

1. menurut para penganjur teori teleologis, sanksi pidana dapat diberikan untuk
memperoleh kemanfaatan. Pemberian sanksi pidana pelaku kejahatan dapat
menjadikannya seorang yang lebih baik dan sekaligus dapat mencegah penjahat
yang petensial agar dunia menjadi tempat yang lebih baik. Kejahatan dianggap
sebagai sakit jiwa dan dapat disembuhkan dengan obat yang tidak menyenangkan,
yaitu sanksi pidana. Para pemikir teori teleologis menyatakan bahwa subyek moral
harus mempunyai pilihan bahwa tindakannya dapat mempunyai kemanfaatan
maksimum. Kemanfaatan suatu tindakan dapat diukur dari keberhasilannya
menciptakan kebahagiaan atau mengurangi penderitaan bagi setiap orang.

2. Pengaturan mengenai kejahatan di Indonesia diatur dalam peraturan yang telah


dikodifikasi dalam KUHP. Terdapat dua jenis tindak pidana perkosaan dalma KUHP
yaitu : a. Pasal 285 diatur mengenai tindka pidana perkosaan untuk bersetubuh. b.
Pasal 289 mengatur mengani tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul. Dalam
Pasal 285 KHUP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan baik itu snegaja
atau alpa. Namun dengan dicantumkannya unsur memaksa dalam rumusan
pasalnya, maka jelas bahwa perkosaan merupakan perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja. Dapat dikatakannya tindakan perkosaan apabila telah terjadi
persetubuhan antara pelaku dan korban. Apabila tidak sampai terjadi persetubuhan
maka perbuatan dimaksud dapat dikualifikasikan dengan tindak pidana percobaan
perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285 Jo Pasal 53 KUHP) dan tindak perkosaan
untuk berbuat cabul (Pasal 289 KUHP).
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS ) diundangkan pada tanggal 9 Mei
2022 oleh Menteri Hukum dan HAM. Salah satu alasan yang melatarbelakangi
hadirnya undang-undang ini adalah karena peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan
pencegahan, perlindungan, akses keadilan, dan pemulihan. Selain itu, peraturan
perundang-undangan yang ada saat ini juga belum memenuhi kebutuhan hak
korban tindak pidana kekerasan seksual, dan belum komprehensif dalam mengatur
mengenai hukum acara.

Anda mungkin juga menyukai