PAPER
“Perubahan Hukuman Mati dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang Undang
Hukum Pidana”
Oleh:
I Made Deni Dwi Nuarthawan
NIM 2014101045
HALAMAN SAMPUL
B. Bentuk dan Konsep Pidana Mati yang Dikategorikan dalam KUHP Baru
Dikeluarkannya pidana mati dari kategori pidana pokok dan pengubahannya
menjadi pidana khusus alternatif (eksepsional), menurut Prof. Dr. Barda Nawawi,
SH, anggota Tim Penyusun UU KUHP No.1 Tahun 2023, didasarkan pada tiga
konsep utama. Pertama, dari perspektif tujuan pemidanaan, pidana mati bukanlah
sarana utama atau inti untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu
atau masyarakat. Pidana mati dianggap sebagai pengecualian, serupa dengan sarana
amputasi atau operasi di bidang kedokteran yang pada dasarnya bukan obat utama
tetapi hanya merupakan tindakan terakhir. Kedua, konsep pidana mati sebagai
pidana khusus berasal dari ide keseimbangan monodualistik. Ide ini berfokus pada
keseimbangan antara kepentingan umum atau perlindungan masyarakat dan
perhatian terhadap kepentingan atau perlindungan individu. Dengan kata lain,
sanksi pidana mati tidak hanya bertujuan untuk melindungi masyarakat, tetapi juga
mempertimbangkan hak-hak individu, seperti penundaan pelaksanaan pidana mati
bagi wanita hamil dan individu yang menderita gangguan jiwa (Pasal 81 ayat (3)).
Contoh lain adalah kemungkinan penundaan pelaksanaan pidana mati, dikenal
sebagai "pidana mati bersyarat," dengan masa percobaan selama 10 tahun (Pasal 82
ayat (1)). Ketiga, keberlanjutan pidana mati, meskipun sebagai pidana khusus, juga
didasarkan pada ide untuk menghindari tanggapan atau reaksi masyarakat yang
bersifat balas dendam atau eksekusi di luar hukum. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pidana mati melalui Undang-Undang dimaksudkan untuk
mencegah reaksi emosional dari masyarakat (AMALIA, 2012).
Pelaksanaan pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang baru melibatkan beberapa tahapan. Tahapan pertama, upaya
dilakukan sejauh mungkin untuk menghindari pidana mati dengan memilih pidana
alternatif seperti pidana seumur hidup atau penjara dengan durasi tertentu,
maksimal 20 tahun. Tahapan kedua, memungkinkan penundaan pelaksanaan pidana
mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Dalam periode penundaan tersebut,
terdapat kemungkinan perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau
penjara dengan batas waktu maksimal 20 tahun. Tahapan ketiga, terpidana memiliki
hak untuk mengajukan grasi. Penerapan pidana mati sendiri hanya dilakukan
setelah Presiden menolak permohonan grasi. Jika grasi ditolak dan pidana mati
tidak dilaksanakan dalam kurun waktu 10 tahun, pidana mati dapat diubah menjadi
pidana seumur hidup (Widyaningrum Hesti, 2016).
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis pada hasil dan pembahasan, dapat
disimpulkan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dirumuskan bahwa
pidana mati masih tetap terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan di luar KUHP karena pemerintah Indonesia, melalui politik
hukumnya, mendukung keberadaan pidana mati ini. Sementara dalam konsep
Undang-Undang No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
pidana mati tetap disertakan meskipun bersifat khusus dengan ancaman pidana
alternatif. Hal ini disebabkan tim perancang KUHP mempertimbangkan pidana
mati sebagai upaya perlindungan masyarakat, dan penerapannya bersifat selektif
dengan berorientasi pada perlindungan atau kepentingan individu, yaitu pelaku
tindak pidana.
B. Saran
Disarankan kepada pemerintah atau pihak berwenang untuk melaksanakan
penyuluhan dan penginformasian kepada masyarakat terkait hukuman pidana mati
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Hal ini
dianggap penting karena dapat memberikan pemahaman yang informatif kepada
masyarakat, sehingga mereka dapat memahami konsep dan implementasi pidana
mati sesuai dengan regulasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Sikap tegas dari
pemerintah dalam menjalankan dan mengimplementasikan ketentuan yang telah
diatur perlu diterapkan untuk memastikan kejelasan dan kepatuhan terhadap
hukuman pidana mati sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyuluhan dan
informasi yang tepat dapat menjadi langkah awal untuk mencegah misinterpretasi
atau ketidakpahaman terkait dengan aspek hukuman pidana mati dalam konteks
hukum positif Indonesia.
Daftar Pustaka
AMALIA, M. (2012). MASALAH PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Jurnal Wawasan
Hukum, 27.
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata-Cara Pelaksanaan Pidana
Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum
Dan Militer.
Peraturan Kapolri No.12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Prakoso, P. (2019). Hukuman Mati Terpidana Terorisme Di Indonesia: Menguji
perspektif stratejik dan hak asasi manusia (ham) (Death Penalty for
Terrorism Offence in Indonesia: Testing Strategic and Human Rights
Perspective). Desember, 10(2), 127–144.
https://doi.org/10.30641/ham.2019.10.127-142
Soge, P. (2012). TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI PIDANA MATI DI
INDONESIA (Vol. 1, Nomor 3).
Sukam, N. (2014). JURNAL ILMIAH EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA. http://e-journal.uajy.ac.id/5236/
Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (2023). Taqiyuddin, M.
(2012). PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN.
widyaningrum hesti. (2016). Ancaman Pidana Mati Yang Bersifat Khusus dan
Alternatif Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kajian Ilmiah
UBJ, 16.