PENDAHULUAN
Istilah hukum identik dengan istilah law dalam bahasa Inggris, droit dalam
bahasa Perancis, recht dalam bahasa Jerman, recht dalam bahasa Belanda, atau
dirito dalam bahasa Italia. Hukum dalam arti luas dapat disamakan dengan aturan,
kaidah, norma, atau ugeran, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang pada
dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam
kehidupan bermasyarakat dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.
Salah satu hukum yang berlaku di negara Indonesia adalah hukum publik
(dalam hal ini hukum pidana) dimana hukum pidana itu sendiri dibagi menjadi
hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pidana materil (hukum
pidana). Dimana hukum pidana formil adalah aturan-aturan tentang cara
pelaksanaan penegakan hukum materil. Sedangkan hukum pidana materil
merupakan aturan yang merumuskan tentang pelaku, perbuatan yang dilarang dan
sanksinya.
Penegakan hukum di Indonesia pada saat ini tidak terlepas dari aspek
pelindungan hukum terhadap anak Upaya-uapaya perlindungan anak harus telah
dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi
pembangunan bangsa dan negara. dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan
bahwa : “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa
1
kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-
perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”. Kedua ayat tersebut memberikan
dasar pemikiran bahwa perlindungan anak bermaksud untuk mengupayakan
perlakuan yang benar dan adil untuk mencapai kesejahteraan anak.
1
Menurut Pasal 1 butir 2 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak - haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
2
Menurut Pasal 1 butir 1 huruf a UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
anak, Kesejahteraan anak adalah suatu tatanan kehidupan dan penghidupan yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun social.
2
pada pasal 14c Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada intinya
menyatakan : dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat, hakim dapat
menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti kerugian, baik semua
atau sebagian yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan.
Salah satu bentuk tindak pidana yang berupa kejahatan terhadap kesusilaan
diantaranya adalah tindak pidana perkosaan, khususnya tindak pidana perkosaan
terhadap anak di bawah umur. Kriteria anak berdasarkan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Mengenai tindak pidana
perkosaan terhadap anak sudah diatur dalam KUHP yaitu terdapat didalam Pasal
285 KUHP. Tindak pidana perkosaan merupakan salah satu dari tindak pidana
kesusilaan. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1990) , Perkosaan adalah sebagai
terjemahan dari kualifikasi aslinya (Belanda), yakni verkrachting, yakni perkosaan
untuk bersetubuh. Perkosaan merupakan nama kelompok berbagai jenis perbuatan
yang melanggar kesopanan atau kesusilaan juga termasuk perbuatan persetubuhan
di luar perkawinan
3
Fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada anak – anak di Indonesia mulai
menuai sorotan keras dari berbagai kalangan pada saat banyak stasiun televisi
swasta menayangkannya secara vulgar pada program kriminal, seperti: kasus
perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang – orang dekat korban,
kasus sodomi, perdagangan anak untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersil
hingga pembunuhan. Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia
dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak.
Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat
membutuhkan orang – orang sebagai tempat berlindung. Rendahnya kualitas
perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai elemen
masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah
telah berupaya memberikan perlindungan (hukum) pada anak sehingga anak dapat
memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian
dari hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan Pasal 20 Undang – Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggungjawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Berdasarkan data Polda NTB terkait jumlah kekerasan seksual terhadap anak,
yang ada di NTB 2020 telah terjadi 89 kasus, dan Kasus kekerasan seksual
terhadap anak di Kota Bima, meningkat. Hingga Agustus 2020 ini, tercatat sudah
12 kasus yang terjadi.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPA)
Kota Bima. Tahun 2017 kasus kekerasan seksual pada anak hanya ada 7. Angkanya
naik pada tahun 2018 dengan 14 kasus, dan Tahun 2019, angkanya turun menjadi
11 kasus hingga Agustus 2020, kasus kekerasan seksual pada anak kembali naik
menjadi 12.
4
yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi, bahwa
Negara menjamin setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati, sebagai kepentingan terbaik bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kita semua selalu berupaya
agar jangan sampai anak menjadi korban kekerasan, maupun anak terjerumus
melakukan perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan tidak terpuji lainnya.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
5
D. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Kegunaan Akademis
Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kebulatan studi sarjana (S1)
program studi Sekolah Tinggi Ilmu hukum (STIH) Bima.
2. Kegunaan Praktis
2) Sebagai referensi bagi peneliti lain untuk pengembangan ilmu lebih lanjut,
yang terkait dengan bidang ilmu hokum pidana tentang kejahatan seksual
pada anak.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Yang dimaksud dengan Anak dalam Undang-Undang ini yaitu orang yang
dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak Nakal
adalah Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi Anak, baik
menurut peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan Hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Anak Didik
Pemasyarakatan, balai pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien
pemasyarakatan adalah Anak Didik pemasyarakatan, Balai pemasyarakatan, Tim
Pengamat Pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Sedangkan
Dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana Anak,
pengertian anak
7
Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan
dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha
perlindungan anak yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak
dilaksanakan rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan
suatu usaha yang efektif dan efisien. Perlindunganan anak tidak boleh
mengakibatkan matinya inisiatif, kerativitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan
ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak
tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan
melaksanakan kewajibannya.
8
diberikan kepada anak yang menjadi korban tindak pidana, saksi dan pelaku tindak
pidana.
Mengenai perlindungan khusus terhadap anak korban tindak kekerasan diatur
dalam Pasal 69 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang
menyatakan bahwa perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan
melalui upaya ;
1) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan perundangundnagan yang
melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
2) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
1) Dalam pengertian luas, hukum perlindungan anak adalah segala aturan hidup
yang memberikan perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan
memberikan kewajiban bagi mereka untuk berkembang.
2) Dalam pengertian sempit, hukum perlindungan anak meliputi perlindungan
hukum yang terdapat dalam ketentuan hukum perdata, ketentuan hukum
pidana dan ketentuan hukum acara.
9
2)Larangan Bersetubuh dengan Orang yang Belum Dewasa Pasal 287 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana melarang orang bersetubuh dengan perempuan yang
belum genap berusia 15 (lima belas) tahun. Baik persetubuan itu dilakukan
atas dasar suka sama suka antara pelakunya.
3)Larangan Berbuat Cabul dengan Anak
Hal ini diatur dalam Pasal 290, Pasal 294, Pasal 295 dan Pasal 297 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 290 dijelaskan tentang larangan berbuat
cabul dengan orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya. Pasal 294 tentang larangan orang berbuat
cabul dengan anaknya sendiri atau anak peliharaan atau orang yang belum
dewasa, anak pungut, anak pelihara yang berada di bawah pengawasannya.
10
Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah sebagai berikut :
1) Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis
pelaksanaan pelindungana anak.
2) Dasar Etis; Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi
yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimoang dalam pelaksanaan
kewenangan,
kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
3) Dasar Yuridis; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada Undang-
Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku.
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, pada Pasal 36, memuat prinsip-
prinsip yang menyatakan bahwa ;
“Seorang anak tidak dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya
yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabak; pidana mati
maupun pidana penjara seumur hidup tanpa memperoleh
pelepasan/pembebsan tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia
dibawah 18 tahun; tidak seorang anak pun akan diramoas kemerdekaannya
secar melawan hukum atau sewenag-wenang; penangkapan,
11
penahanan, dan pidana penjara hanya akan sangat singkat/pendek; setiap
anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan dengan manusiawi
dan
dengan menghormati martabaknya sebagai manusia; anak yang rampas
haknya akan dipisahkan dari orang dewasa dan berhak melakukan
hubungan/kontak dengan keluarganya; setiap anak yang dirampas
kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak
melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di
muka pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta
berhak untuk mendapat keputusan yang cepat/tepat atas tindakan terhadap
dirinya”.
12
anak dengan memberikan jamian terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasin dan untuk melakukan perlindungan dan kesejahteraan
anak diperlukan dukungan lembaga dan peraturan perundang-undangan yang dapat
menjamin pelaksanaanya.
13
tanpa
membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atas
status lain, baik yang ada pada dirinya maupun pada keluarganya.
b. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh
kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya
mampu untuk mengembangkan diri secara efektif, kejiwaan, moral, spritual,
dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan
kebebasan.
c. dan harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam hukum, kepentingan terbaik
atas diri anak harus merupakan pertimbangan utama.
d. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.
e. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh
kembang secara sehat. Untuk ini baik sebelum maupun setelah kelahirannya
harus ada perawatan dan perlindungan khusus bagi anak dan ibunya. Anak
berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan, rekreasi, dan pelayanan
kesehatan.
f. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat keadaan
tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan, dan perlakuan khusus.
g. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan
kasih sayang dan pengertian, sedapat mungkin ia harus dibebaskan di bawah
asuhan
dan tanggungjawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus
diusahakan agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang, sehat
jasmani
dan rohani. Anak di bawah usia 1 (lima) tahun tidak dibenarkan berpisah
dengan ibunya. Masyarakat dan pemerintah yang berwenang dan
berkewajiban memberikan perawatan khusus kepada anak yang tidak memiliki
keluarga dan kepada anak yang tidak mampu. Diharapkan agar pemerintah
14
atau pihak lain memberikan bantuan pembiayaan bagi anak-anak yang berasal
dari keluarga besar
h. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cumacuma sekurang-
kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan
yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, dan yang memungkinkan,
atas dasar kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya,
pendapat pribadinya, dan perasaan tanggungjawab moral dan sosilanya,
seehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Kepentingan anak haruslah dijadikan pedoman oleh mereka yang
bertanggungjawab terhadap pendidikan dan bimbingan anak yang
bersangkutan.
i. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima
perlindungan dan pertolongan.
j. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan.
Ia tidak boleh dijadikan subjek perdagangan. Anak tidak boleh bekerja
sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam keperjaan
mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa dan akhlaknya.
k. Anak harus dilindungai dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk
diskriminasi sosial, agama maupun bentukbentuk diskriminasi lainnya. Mereka
harus dibebaskan di dalam semangat penuh pengertian, toleransi, dan
persahabatan antarbangsa, perdamaian serta persaudaraan semesta dengan
penuh kesadaran bahwa tenaga dan bakatnya harus diabadikan kepada
sesame manusia.
“Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik
15
secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah
uasaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya
kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak”.
Hak-hak anak diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang
telah mengalami perubahan menjadi UndangUndang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Hak-hak anak termuat dalam Pasal 4 sampai Pasal 18.
3. Pengertian Korban
Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1
Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, menyatakan bahwa;
“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Korban juga didefinisikan oleh Van Boven yang merujuk kepada Deklarasi
Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan
adalah sebagai berikut;
Terdapat beberapa pendapat menganai korban yang bersumber dari para ahli,
pakar hukum, maupun dari konvensikonvensi Internasional, antara lain sebagai
berikut:
a. Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah; “Mereka yang
menderita jamaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari
16
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentimgan hak asasi manusia”.
b. Muladi berpendapat bahwa; “Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik
secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian
fisik
atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-
haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar
hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan
kekuasaan”.
Secara luas pengertian korban diartikan hanya sekedar korban yang menderita
langsnung, akan tetapi korban tidak langsnung pun juga mengalami penderitaan
yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud dengan korban tidak
langsung adalah, istri kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua
yang kehilangan anaknya.
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang
perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan
hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk
kehidupan lainnya, seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam
ini lazim kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.
17
Dengan memperhatikan nasib korban, maka ruang lingkup hukum pidana
mencakup empat hal, yakni perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana,
pertanggungjawaban pidana dan korban tindak pidana.
18
tersebut, diantaranya termuat dalam berbagai peraturan perundang-undnagan,
pendapat para ahli dan pakar hukum.
19
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasian korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Adapun hak-hak para korban menurut Van Boven adalah hak untuk tahu, hak
atas keadilan dan hak atas reparasi (pemulihan), yakni hak yang menunjuk kepada
semua tipe pemulihan baik materil maupun nonmateril bagi para korban pelanggaran
hak asasi manusia.
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, mulai dari
hak atas bantuan keuangan (finansial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan
hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena
melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat
dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban
kejahatan, antara lain, sebagai berikut;
20
C. Bentuk – Bentuk Perlindungan Korban Kejahatan
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya
preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah
(melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan
dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian
bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan
yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu
perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang
21
perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, diantaranya sebagai
berikut:
a. Teori Utilitas
“Teori ini menitikberatkanpada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang
terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat
diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang besar dibandingkan
dengan tidak diterapkannya konsep tersebut. Tidak saja bagi korban kejahatan,
tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secar keseluruhan;
b. Teori Tanggungjawab
“pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun Kelompok) bertanggungjawab
terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila
seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain
harus menderita kerugian, orang tersebut harus bertanggungjawab atas
kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya;
c. Teori Ganti Rugi
sebagai perwujudan tanggungjawab karena kesalahannya terhadap orang lain,
pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian
pada korban atau ahli warisnya.
22
Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan
tidak bersiat mutlak karena hal ini di batasi pula oleh rasa keadilan yang harus
juga diberikan pada pelaku kejahatan
c. Asas Keseimbangan
Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan
terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat, asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam
upaya pemulihan hak-hak korban.
d. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat
penegak hukum pada saat melaksanakan tugas-tugas dalam upaya
memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.
D. Kejahatan
1. Pengertian Kejahatan
Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan
dengan moral kemanusia. Kejahatan meruapakan suatu perbuatn atau tingkah laku
yang sangat ditentang oleh masyarakat dan paling tidak disukai oleh rakyat.
Berdasarkan sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view)maka
batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang melanggar
hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu
tidak dilarang di dalan perundang-undang pidana, perbuatan itu tetap sebagai
perbuatan yang bukan kejahatan.
23
Dari sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological pont of view).
Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap perbuatan yang melanggar
norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat. Contohnya seperti seorang
muslim meminum minuman keras samapai mabuk, perbuatan itu merupakan dosa
(kejahatan) dari sudut pandang masyarakatn Islam, namun dari sudut pandang
hokum bukan kejahatan.
Van Bemmelen merumuskan bahwa kejahatan adalah tiap kelakuan yang tidak
bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidak tenangan
dalam suatu masyarakat tertentu sehingga masyarakat itu berhak untk mencelanya
dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dan
menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja
diberikan karena kelakuan tersebut.
24
diartikan sebagai sebuah peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.
Kejahatan dalam konsep yuridis juga berarti tingkah laku manusia yang dapat
dihukum berdasarkan hukum pidana. Sejalan dengan pengertian tersebut, Wirjono
mengatakan bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenai hukuman pidana.
25
Salah satu bentuk praktis seks yang dinilai menyimpang adalah kejahatan
seksual. Kejahatan seksual merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan
seksual, komentar yang tidak diinginkan, perdagangan seks dengan menggunakan
ancaman dan paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan dengan
korban, dalam situasi apa saja, termasuk tapi tidak terbatas pada rumah dan
pekerjaan. Kejahatan seksual dapat dalam berbagai bentuk termasuk perkosaan,
pencabulan, pelecahan seksual, prostitusi paksa, perdagangan perempuan untuk
tujuan seksual, perbudakan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual, eksploitasi
seksual dan atau penyalahgunaan seks dan aborsi.
Kejahatan seksual sering dikaitan dengan kekerasan seksual itu sendiri. Istilah
kekerasan seksual berasal dari bahsa Inggris SexualHardness, dalam kata Hardness
mempunyai arti kekerasan, tidak menyenangkan, dan tidak bebas. Sementara kata
sexualmempunyai arti sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas. Sehingga istilah
SexualHardness berarti perbuatan seksual yang tidak diinginkan oleh si penerima
atau korban, dimana di dalamnya terdapat ancaman, tekanan, tidak menyenangkan
dan tidak bebas.
Pengertian kekerasan seksual dapat pula ditemui dalam Pasal 285 dan Pasal
289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, di dalam Pasal 285 ditentukan bahwa
barang siapa dengan kekersan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang
bukan istrinya berhubungan seksual. Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan
barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul.
26
Bentuk-bentuk kekerasan dapat digelongkan menjadi 3 (tiga), yakni
pemerkosaan yang biasanaya terjadi pada suatu saat dimana pelaku (biasanya) lebih
dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya, Incest, hubungan seksual
atau aktivitas seksual anatara individu yang mempunyai hubungan kerabat, yang
perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur, dan eksploitasi
seksual meliputi prostitusi dan pornografi.
27
9) Kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum
waktunya kawin dan menimbulkan akibat luka-luka (Pasal 288);
10) Kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan (Pasal 289);
11) Kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang
umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya dikawin (Pasal 290);
12) Kejahatan perbuatan cabul sesama kelamin, pada orang yang belum dewasa
(Pasal 292);
13) Kejahatan menggerakkan orang untuk berbuat cabul dengan orang yang belum
dewasa (Pasal 293);
14) Kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah pengawasannya dan
lain-lain yang belum dewasa (Pasal 294);
15) Kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan lain-lain
yang belum dewasa (Pasal 295);
16) Kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan
(Pasal 296);
17) Kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa
(Pasal 297);
18) Kejahatan mengobati wanita dengan menimbulkan harapan bahwa hamilnya
dapat digugurkan (Pasal 299).
28
2) Kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul (Pasal 76 E)
3) Eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 76 I).
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
30
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dan bersumber dari penelaan
studi kepustakaan berupa literatur-literatur, karya ilmiah (hasil penelitian),
peraturan perundang-undangan dokumen dari instansi yang terkait juga
bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan penelitian ini.
C. Metode Penelitian
Sehubungan dengan penelitian ini, maka penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian lapangan merupakan sesuatu yang dilakukan dengan menggunakan
pengamatan secara langsung di lapangan yang berhubungan langsung dengan
materi yang akan dibahas dan interview yang bersifat terbuka dengan pihak
terkait.
2. Penelitian kepustakaan merupakan penelitian kepustakaan yang dilaksanakan
untuk mengumpulkan sejumlah data meliputi bahan pustaka yang bersumber
dari buku-buku, dokumen-dokumen perkara serta peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan penelitian ini.
D.Analisis Data
Data yang diperoleh penulis kelak akan dituangkan dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif
dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan secara keseluruhan data
yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan
hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab
permasalahan atau rumusan masalah yang di teliti.
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
32
tentang perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:
a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan
b. Rehabilitasi social
c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan
mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di siding
pengadilan.
Dalam Undang-undang Perlindungan Anak, bagi setiap anak yang menjadi
korban kejahatan seksual wajib di lindungi. Terdapat beberapa Pasal yang
membahas mengenai perlindungan bagi anak korban kejahatan seksual.
33
c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat,
dan Masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi
dan/atau seksual.
peraturan perundang-undangan.
Pasal 71 D
1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan
ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku
kejahatan.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
34
2. Undang-undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Setiap anak yang menjadi korban kejahatan seksual berhak untuk memperoleh
perlindungan, dalam memperoleh perlindungan tersebut, dapat di realisasikan
dengan memenuhi hak-hak korban. Dalam Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Saksi dan Korban, bahwa:
1) Saksi dan Korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
n. Mendapat nasihat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan
berakhir; dan/atau
p. Mendapat pendampingan.
35
2) Hak sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksidan/atau
Korban tindak pidanadalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus
tertentusebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi
Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan
keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia
dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang
keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
36
Dalam Pasal 23 setiap anak yang menjadi korban kejahatan seksual wajib di lindungi
:
1) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan
didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib
didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban
dan/atau
Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.
3) Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang
diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
orang tua.
Bantuan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual sangat diperlukan
karena seorang anak yang berhadapan dengan penegak hukum misalnya penyidik,
jaksa ataupun hakim kemungkinan akan merasa takut mengemukan semua hal yang
dialaminya. Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah
diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Bantuan hukum yang
diberikan adalah berupa pendampingan baik dalam proses penyidikan sampai
dipersidangan.
Pasal 10
Korban Berhak Mendapatkan :
37
1) Perlindungan dari pihak keluarga , kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; Pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
2) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
3) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
dan
4) Pebimbingan rohani.
Pasal 22
1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban;
b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban.
2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib :
a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak
korban dan proses peradilan;
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam siding pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
38
c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping,
dan pekerja social agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib
memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk
menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
1. Polres Bima
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tempat yang pertama di Polres
Bantaeng, penulis memperoleh data mengenai kejahatan seksual terhadap anak
yang terjadi di Kota Bima dalam kurun waktu tahun 2019-2020, seperti terlampir
pada table dibawah ini:
39
Tabel 1
Kasus Kejahatan Seksual di Polres Bima
Tahun 2019 sampai 2020
2020 1) Pencabulan 7
2) Pemerkosaan 5
Total 23 kasus
Sumber Data : Sat reskrim unit pemberdayaan perempuan dan anak polres bima
Polres Bima
Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2019
sampai dengan tahun 2020 kasus kejahatan seksual terhadap anak terjadi tiap
tahunnya. Masalah kejahatan seksual di Kota Bima mengalami peningkatan disetiap
tahunnya. Tercatat bahwa ditahun 2019 ada 11 (sebelas) kasus yang dimana terinci
dalam table diatas bahwa ada 9 kasus pencabulan dan 2 kasus pemerkosaan dan
tahun 2020 ada 12 ( dua belas ) kasus kejahatan seksual yang dimana kasus
40
pencabulan ada 7 dan kasus pemerkosaan ada 5 kasus yang terlapor di Unit PPA
Polres Bima.
Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap Unit Perlindungan Perempuan
dan Anak Polres Bima yang rabangodu utara pada hari senin tanggal 7 september
2020, Iptu Hilmi Manossoh proyugo yang menjabat sebagaikasat reskim menjelaskan
mengenai proses pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak kejahatan seksual
dilaksanakan berdasar pada peraturan perundang-undangan. Beliau mengatakan
bahwa:
Segala bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual
dilaksnakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam proses
pelaksanaannya melipatkan berbagai pihak. Anak korban kejahtan seksual
mendapatkan segala hak-haknya dan memperoleh perlindungan sesuai
kebutuhan anak korban.
41
2. Dinas Sosisal Kota Bima
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di Dinas Sosial, proses pelaksanaan
perlindungan hukum dilakukan mulai dari tahap pencegahan sampai tahap
rehabilitasi terhadap korban. Penulis melakukan wawancara dengan salah satu
Kepala Bidang yang menangani mengenai kasus anak dan pekerja sosial yang ada di
Dinas Sosial Kota Bima, Menurut keterangan Dra. HJ. FATIMAH selaku Kepala Bidang
perlindungan dan jaminan social, beliau menerangkan bahwa:
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh pihak Dinas sosial adalah dengan
melakukan sosialisasi mengenai Undang - undang No. 11 tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, pemberian bantuan medis berupa psikiater dan
melakukan rehabilitasi bagi korban yang membutuhkan.
42
Psikolog untuk menangani korban dan membawa korban ke pusat rehabilitasi untuk
dapat memulihkan kejiwaan korban atas truma yang dialaminya.
43
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual pada
(DPPPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dilaksanakan
berdasar pada peraturan perundang-undangan.
44
melakukan pendampingan dan Bantuan medis serta bantuan hukum untuk anak
korban kejahatan seksual.
45
kurung waktu tahun 2019 sampai dengan tahun 2020, seperti yang terlampir pada
tabel dibawah ini:
Tabel 2
Dengan melihat tabel di atas (Tabel 2.), maka dapat disimpulkan bahwa ada 3
perkara pidana telah masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Bima sepanjang
tahun 2020.
Tabel 3
46
Jumlah Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Bima
Dengan melihat tabel di atas (Tabel 3.), maka dapat disimpulkan bahwa ada 2
perkara pidana telah masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Bima sepanjang
tahun 2020. Dari tahun 2019 sampai tahun 2020 jumlah kasus yang masuk dan
diselsaikan di Pengadilan Negeri Bima mengalami peningkatan karena pada tahun
2019 hanya ada 2 (dua) kasus dan meningkat di tahun berikutnya yakni pada tahun
2020.
Jumlah perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disetiap
tahunnya terus mengalami peningkatan, kasus kejahatan seksual yang terjadi
terhadap anak terus mengalami peningkatan. Sehingga jumlah korbanpun semakin
meningkat di setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Anggi Junanda, SH., beliau
menyapaikan bahwa bantuk perlindungan yang diberikan terhadap korban kejahatan
seksual adalah sebagai berikut:
47
Kota Bima, melipatkan berbagai pihak didalamnya, mulai dari pihak kepolisian, Dinas
Sosial, Pekerja Sosial, Bidang Pemberdayaan perempuan dan Perlinduangan Anak
serta Pengadilan Negeri Bima
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan
seksual diatur dalam:
a. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
b. Undang-undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
c. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentangPenghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
d. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
48
fisik, mental, spiritual, dan sosial sebagai upaya pemulihan terhadap kondisi anak
sebagai korban kejahatan seksual yang memiliki trauma jangka panjang. Anak
korban kejahatan seksual mendapatkan perlindungan hukum dalam hal memberikan
bantuan hukum, rehabilitasi dan pencegahan.
2. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual di
Kota Bima, dilaksanakan berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya. Dalam proses pelaksanaannya, segala pihak berperan aktif
dalam melaksanakan berbagai tugas dan tanggung jawabnya untuk dapat
memberikan perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual. Kota Bima
yang merupakan Kota Layak Anak, berupaya semaksimal mungkin agar segala
hak-hak anak korban kejahatan seksual dapat terpenuhi.
B. Saran
1. Segala bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan harus ada hubungan
korehensi antara setiap peraturan perundang - undangan yang mengatur
mengani perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual.
korehensi antara setiap peraturan perundangundangan yang mengatur mengani
perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual.
2. Agar pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual
dapat berjalan secara maksimal, maka perlu adanya pemantauan khusus
terhadap para penegak hukum dan aparatur sipil negara terkait serta
penegasan kedudukan dan peran serta lembaga perlindungan anak. Instrumen
hukum yang mengatur mengenai pelindungan hukum terhadap anak korban
kejahatan seksual lebih di tingkatkan lagi guna menjamin terpenuhinya hak-hak
anak yang menjadi korban kejahatan seksual.
49
Daftar pustaka
Dudu Duswara Machmudin 2003, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika
Aditama,
Bandung:, hlm.7.
Kartika Vina ( 2013). Tinjauan Yuridis Tentang Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perkosaan,
Wirjono Prodjodikoro 1990. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Eresco:
Jakarta.. Hlm. 123
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Refika Aditama: Bandung. 2001. Hlm. 7
Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Arifah (2013). Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pelecehan seksual
( Studi Kasus Di Polda DIY).
Maidin Gultom 2008, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,: hlm. 33-34.
Maulana hasan Wadong 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,
Jakarta, , hlm. 4
Arif Gosita 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dan konvensi Hak Anak-Anak, Era
Hukum, Jakarta:, hlm. 4
50
Dikdik M. Arief Mansur 2003, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Rajawali Pers,
Jakarta:, hlm. 47-48.
Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, Elsam, Jakarta:2002, hlm. 13
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung:2007, hlm. 78.
Rena Yulia 2010, VIKTIMOLOGI Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
Graha
Ilmu, Yogyakarta:, hlm. 55.
Arig Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta:1993, hlm. 50.
Abdul Wahid 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama,
Bandung:, hlm. 31.
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia PustakaUtama,
Jakarta, 1997, hlm. 517.
Peraturan Perundang-undangan
51
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Konvensi Hak-Hak Anak yang disahkan dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990
tanggal 25 Agustus 1990.
52