Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Undang-


undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Berdasarkan bunyi Undang-undang Pasal
tersebut, maka masyarakat Indonesia harus tunduk pada aturan-aturan hukum.

Istilah hukum identik dengan istilah law dalam bahasa Inggris, droit dalam
bahasa Perancis, recht dalam bahasa Jerman, recht dalam bahasa Belanda, atau
dirito dalam bahasa Italia. Hukum dalam arti luas dapat disamakan dengan aturan,
kaidah, norma, atau ugeran, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang pada
dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam
kehidupan bermasyarakat dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.

Salah satu hukum yang berlaku di negara Indonesia adalah hukum publik
(dalam hal ini hukum pidana) dimana hukum pidana itu sendiri dibagi menjadi
hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pidana materil (hukum
pidana). Dimana hukum pidana formil adalah aturan-aturan tentang cara
pelaksanaan penegakan hukum materil. Sedangkan hukum pidana materil
merupakan aturan yang merumuskan tentang pelaku, perbuatan yang dilarang dan
sanksinya.

Penegakan hukum di Indonesia pada saat ini tidak terlepas dari aspek
pelindungan hukum terhadap anak Upaya-uapaya perlindungan anak harus telah
dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi
pembangunan bangsa dan negara. dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan
bahwa : “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa

1
kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-
perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”. Kedua ayat tersebut memberikan
dasar pemikiran bahwa perlindungan anak bermaksud untuk mengupayakan
perlakuan yang benar dan adil untuk mencapai kesejahteraan anak.

Indonesia memiliki Undang-Undang yang mengatur masalah mengenai


anak yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1
Menurut Pasal 1 butir 2 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak - haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
2
Menurut Pasal 1 butir 1 huruf a UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
anak, Kesejahteraan anak adalah suatu tatanan kehidupan dan penghidupan yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun social.

dimana didalam penegakan hukumnya undang-undang inilah yang menjadi


acuan dasar mengenai pengenaan sanksi atau hukuman kepada pelaku tindak
pidana terhadap anak. Namun, selama ini banyak berkembang pemikiran bahwa
dengan telah diadilinya pelaku tindak pidana dan selanjutnya pelaku menjalani
hukuman, maka perlindungan hukum terhadap korban dianggap telah sepenuhnya
diberikan. Akibatnya, ketika korban kemudian menuntut adanya pemberian ganti
rugi, hal tersebut dianggap merupakan tindakan yang berlebihan. Padahal, pelaku
tidak cukup hanya bertanggung jawab secara pidana tetapi juga bertanggung
jawab secara keperdataan supaya semakin menambah efek jera sekaligus
bertanggung jawab secara pribadi kepada korban karena masalah keadilan dan
penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku tindak
pidana saja tetapi juga korban tindak pidana. Adapun ketentuan yang mengatur
tentang perlindungan korban tindak pidana melalui penggantian kerugian dapat
dilihat

2
pada pasal 14c Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada intinya
menyatakan : dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat, hakim dapat
menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti kerugian, baik semua
atau sebagian yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan.

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan


hukuman pidana. Pelaku ini dapat dikatakan merupakan “ subject” tindak pidana.3
Tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat, bertentangan
dengan atau menghambat terlaksananya tata dalam masyarakat yang baik dan
adil, syarat utama adanya tindak pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang
melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan
tersebut. Tindak pidana menurut sistem Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
(KUHP) Indonesia dibagi menjadi kejahatan atau misdrijven (pada pokoknya diatur
dalam Buku II KUHP dan aturan – aturan lain di luar KUHP yang dinyatakan sebagai
kejahatan) dan pelanggaran atau overtredingen (diatur dalam buku III KUHP dan di
luar KUHP yang dinyatakan dalam tiap – tiap peraturan sebagai pelanggaran).

Salah satu bentuk tindak pidana yang berupa kejahatan terhadap kesusilaan
diantaranya adalah tindak pidana perkosaan, khususnya tindak pidana perkosaan
terhadap anak di bawah umur. Kriteria anak berdasarkan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Mengenai tindak pidana
perkosaan terhadap anak sudah diatur dalam KUHP yaitu terdapat didalam Pasal
285 KUHP. Tindak pidana perkosaan merupakan salah satu dari tindak pidana
kesusilaan. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1990) , Perkosaan adalah sebagai
terjemahan dari kualifikasi aslinya (Belanda), yakni verkrachting, yakni perkosaan
untuk bersetubuh. Perkosaan merupakan nama kelompok berbagai jenis perbuatan
yang melanggar kesopanan atau kesusilaan juga termasuk perbuatan persetubuhan
di luar perkawinan

3
Fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada anak – anak di Indonesia mulai
menuai sorotan keras dari berbagai kalangan pada saat banyak stasiun televisi
swasta menayangkannya secara vulgar pada program kriminal, seperti: kasus
perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang – orang dekat korban,
kasus sodomi, perdagangan anak untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersil
hingga pembunuhan. Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia
dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak.
Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat
membutuhkan orang – orang sebagai tempat berlindung. Rendahnya kualitas
perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai elemen
masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah
telah berupaya memberikan perlindungan (hukum) pada anak sehingga anak dapat
memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian
dari hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan Pasal 20 Undang – Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggungjawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua.

Berdasarkan data Polda NTB terkait jumlah kekerasan seksual terhadap anak,
yang ada di NTB 2020 telah terjadi 89 kasus, dan Kasus kekerasan seksual
terhadap anak di Kota Bima, meningkat. Hingga Agustus 2020 ini,  tercatat sudah
12 kasus yang terjadi.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPA)
Kota Bima. Tahun 2017 kasus kekerasan seksual pada anak hanya ada 7.  Angkanya
naik pada tahun 2018 dengan 14 kasus, dan Tahun 2019, angkanya turun menjadi
11 kasus hingga Agustus 2020, kasus kekerasan seksual pada anak kembali naik
menjadi 12.

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup


manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran anak

4
yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi, bahwa
Negara menjamin setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati, sebagai kepentingan terbaik bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kita semua selalu berupaya
agar jangan sampai anak menjadi korban kekerasan, maupun anak terjerumus
melakukan perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan tidak terpuji lainnya.

Berkaitan dengan uraian diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian


tentang ’’ ANALISA YURIDIS NORMATIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA SEKSUAL”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang Telah dikemukakan diatas, maka penulis


merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan


seksual dalam perundang-undangan?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pelindungan hukum terhadap anak korban
kejahatan seksual di Kota Bima?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak


korban kejahatan seksual dalam perundang – undangan .
2. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan pelindungan hukum terhadap
anak korban kejahatan seksual di Kota Bima.

5
D. KEGUNAAN PENELITIAN

Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan


manfaat sebagai berikut:

1. Kegunaan Akademis

Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kebulatan studi sarjana (S1)
program studi Sekolah Tinggi Ilmu hukum (STIH) Bima.

2. Kegunaan Praktis

1) Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan masukan


bagi pihak pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia serta dalam
upaya memberikan perlindungan hukum kepada anak sebagai korban
kejahatan seksual.

2) Sebagai referensi bagi peneliti lain untuk pengembangan ilmu lebih lanjut,
yang terkait dengan bidang ilmu hokum pidana tentang kejahatan seksual
pada anak.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERLINDUNGAN HUKUM PADA ANAK

Yang dimaksud dengan Anak dalam Undang-Undang ini yaitu orang yang
dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak Nakal
adalah Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi Anak, baik
menurut peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan Hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Anak Didik
Pemasyarakatan, balai pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien
pemasyarakatan adalah Anak Didik pemasyarakatan, Balai pemasyarakatan, Tim
Pengamat Pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Sedangkan
Dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana Anak,
pengertian anak

1. Pengertian Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan


kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.
Perlindungan anak merupakan erwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat,
dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat
hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak.

7
Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan
dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha
perlindungan anak yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak
dilaksanakan rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan
suatu usaha yang efektif dan efisien. Perlindunganan anak tidak boleh
mengakibatkan matinya inisiatif, kerativitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan
ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak
tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan
melaksanakan kewajibannya.

Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yakni :

1) Perkindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam


bidang hukum publik dan bidang hukum keperdataan.
2) Perlindungan anak yang bersiat non yuridis, yang meliputi perlindungan dalam
bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.

Selanjutnya pada Pasal 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak mengatur bahwa;

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhnya hak-hak anak


agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabak kemanusian, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.
Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengtaur mengenai
perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan
khusus terhdap anak yang berhadapan dengan hukum dalam ranah hukum pidana

8
diberikan kepada anak yang menjadi korban tindak pidana, saksi dan pelaku tindak
pidana.
Mengenai perlindungan khusus terhadap anak korban tindak kekerasan diatur
dalam Pasal 69 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang
menyatakan bahwa perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan
melalui upaya ;
1) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan perundangundnagan yang
melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
2) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

Perlindungan anak dikelompokkan kedalam dua bagian, yakni sebagai berikut;

1) Dalam pengertian luas, hukum perlindungan anak adalah segala aturan hidup
yang memberikan perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan
memberikan kewajiban bagi mereka untuk berkembang.
2) Dalam pengertian sempit, hukum perlindungan anak meliputi perlindungan
hukum yang terdapat dalam ketentuan hukum perdata, ketentuan hukum
pidana dan ketentuan hukum acara.

Perlindungan hukum terhadap anak yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana adalah sebagai berikut;
1) Menjaga Kesopanan Anak
Pasal 283 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melarang orang untuk
menawarkan, menyewakan buat selamanya atau sementara, menyampaikan di
tangan
atau menunjukkan suatu tulisan, gambar, barang yang menyinggung perasaan
atau kesopanan. Misalnya gambar porno, tulisan-tulisan porno atau alat-alat
kontrasepsi.

9
2)Larangan Bersetubuh dengan Orang yang Belum Dewasa Pasal 287 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana melarang orang bersetubuh dengan perempuan yang
belum genap berusia 15 (lima belas) tahun. Baik persetubuan itu dilakukan
atas dasar suka sama suka antara pelakunya.
3)Larangan Berbuat Cabul dengan Anak
Hal ini diatur dalam Pasal 290, Pasal 294, Pasal 295 dan Pasal 297 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 290 dijelaskan tentang larangan berbuat
cabul dengan orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya. Pasal 294 tentang larangan orang berbuat
cabul dengan anaknya sendiri atau anak peliharaan atau orang yang belum
dewasa, anak pungut, anak pelihara yang berada di bawah pengawasannya.

Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hakhak dan


kewajiban anak, hukum perlindungan anak berupa:hokum Adat, hukum perdata,
hukum pidana, hukum acara perdata, hokum acara pidana, peraturan lain yang
menyangkut tentang anak. Perlindungan anak, menyangkut beberapa aspek
kehidupan dang penghidupan, agar anak benar-benar dapat tumbuh dan
berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya.

Pemerintah sebagaimana amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak telah membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
guna memberikan perlindungan terhadap anak Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang
menyatakan bahwa dalam meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pelindungan
anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang
bersifat Independen.

2. Prinsip – Prinsip Perlindungan Anak

10
Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah sebagai berikut :
1) Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis
pelaksanaan pelindungana anak.
2) Dasar Etis; Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi
yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimoang dalam pelaksanaan
kewenangan,
kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
3) Dasar Yuridis; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada Undang-
Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku.

Pelaksanaan perlindungan anak, harus memenuhi syarat antara lain;


merupakan pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak, harus
mempunyai landasan filsafat, etika dan hukum, secara rasional positif, dapat di
pertanggungjawabkan, bermanfaat untuk yang bersangkutan, tidak bersifat aksidentil
dan komplimenter tetapi harus dilaksanakan secara konsisten.

Prinsip-prinsip perlindungan hukum pidana terhadap anak tercermin dalam


Pasal 37 dan Pasal 40 Konvensi hak-hak anak yang disahkan dengan keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990, tanggal 25 Agustus 1990.

Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, pada Pasal 36, memuat prinsip-
prinsip yang menyatakan bahwa ;

“Seorang anak tidak dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya
yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabak; pidana mati
maupun pidana penjara seumur hidup tanpa memperoleh
pelepasan/pembebsan tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia
dibawah 18 tahun; tidak seorang anak pun akan diramoas kemerdekaannya
secar melawan hukum atau sewenag-wenang; penangkapan,

11
penahanan, dan pidana penjara hanya akan sangat singkat/pendek; setiap
anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan dengan manusiawi
dan
dengan menghormati martabaknya sebagai manusia; anak yang rampas
haknya akan dipisahkan dari orang dewasa dan berhak melakukan
hubungan/kontak dengan keluarganya; setiap anak yang dirampas
kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak
melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di
muka pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta
berhak untuk mendapat keputusan yang cepat/tepat atas tindakan terhadap
dirinya”.

Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa;

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan


bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak
dalam situassi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan perdagangan, anak
korban kekersan bauk fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat
dan anak korban pelakuan salah dan penelantaran”.

B. Anak – Anak Sebagai Korban


1. Pengertian Anak
Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi
yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan
pemegang kendali masa depan suatu negara, tak terkecuali indonesia. Anak sebagai
generasi bangsa perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia,
perlu dilakuka suatu upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan

12
anak dengan memberikan jamian terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasin dan untuk melakukan perlindungan dan kesejahteraan
anak diperlukan dukungan lembaga dan peraturan perundang-undangan yang dapat
menjamin pelaksanaanya.

Pengertian anak menurut Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the


Right of The Child), tidak jauh berbeda dengan pengertian anak menurut beberapa
perundang-undangan lainnya. Anak menurut konvensi hak anak adalah setiap
manusia dibawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut Undang-Undang
berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan


Pidana Anak menjelaskan bahwa anak yang menjadi korban tindak pidana yang
selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh tindak pidana.

2. Hak – Hak Anak


Anak tetaplah anak, dengan segala ketidak mandirian yang ada pada mereka
sangtalah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa
disekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus diimplementasikan dalam
kehidupan dan penghidupan mereka.

Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa


(PBB) telah mensahkan Deklarasi tentang hak-hak anak. Dalam mukadimah Deklarasi
ini, tersirat bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-
anak. Deklarasi ini memuat 10 (sepuluh) asas tentang hak-hak anak, yakni sebagai
berikut :
a. Anak berhak menikmati semua hak-haknya sesuai ketentuan yang terkandung
dalam deklarasi ini. Setiap anak tanpa pengecualian harus dijamin hak-haknya

13
tanpa
membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atas
status lain, baik yang ada pada dirinya maupun pada keluarganya.
b. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh
kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya
mampu untuk mengembangkan diri secara efektif, kejiwaan, moral, spritual,
dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan
kebebasan.
c. dan harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam hukum, kepentingan terbaik
atas diri anak harus merupakan pertimbangan utama.
d. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.
e. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh
kembang secara sehat. Untuk ini baik sebelum maupun setelah kelahirannya
harus ada perawatan dan perlindungan khusus bagi anak dan ibunya. Anak
berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan, rekreasi, dan pelayanan
kesehatan.
f. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat keadaan
tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan, dan perlakuan khusus.
g. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan
kasih sayang dan pengertian, sedapat mungkin ia harus dibebaskan di bawah
asuhan
dan tanggungjawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus
diusahakan agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang, sehat
jasmani
dan rohani. Anak di bawah usia 1 (lima) tahun tidak dibenarkan berpisah
dengan ibunya. Masyarakat dan pemerintah yang berwenang dan
berkewajiban memberikan perawatan khusus kepada anak yang tidak memiliki
keluarga dan kepada anak yang tidak mampu. Diharapkan agar pemerintah

14
atau pihak lain memberikan bantuan pembiayaan bagi anak-anak yang berasal
dari keluarga besar
h. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cumacuma sekurang-
kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan
yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, dan yang memungkinkan,
atas dasar kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya,
pendapat pribadinya, dan perasaan tanggungjawab moral dan sosilanya,
seehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Kepentingan anak haruslah dijadikan pedoman oleh mereka yang
bertanggungjawab terhadap pendidikan dan bimbingan anak yang
bersangkutan.
i. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima
perlindungan dan pertolongan.
j. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan.
Ia tidak boleh dijadikan subjek perdagangan. Anak tidak boleh bekerja
sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam keperjaan
mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa dan akhlaknya.
k. Anak harus dilindungai dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk
diskriminasi sosial, agama maupun bentukbentuk diskriminasi lainnya. Mereka
harus dibebaskan di dalam semangat penuh pengertian, toleransi, dan
persahabatan antarbangsa, perdamaian serta persaudaraan semesta dengan
penuh kesadaran bahwa tenaga dan bakatnya harus diabadikan kepada
sesame manusia.

Di Indonesia pelaksanaan perlindungan hak-hak anak sebagaimana tersebut


dalam Deklarasi PBB tersebut dituangkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 menentukan bahwa ;

“Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik

15
secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah
uasaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya
kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak”.

Hak-hak anak diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang
telah mengalami perubahan menjadi UndangUndang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Hak-hak anak termuat dalam Pasal 4 sampai Pasal 18.

3. Pengertian Korban
Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1
Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, menyatakan bahwa;
“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Korban juga didefinisikan oleh Van Boven yang merujuk kepada Deklarasi
Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan
adalah sebagai berikut;

“Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian,


termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian
ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena
tindakan maupun karena kelalaian”.

Terdapat beberapa pendapat menganai korban yang bersumber dari para ahli,
pakar hukum, maupun dari konvensikonvensi Internasional, antara lain sebagai
berikut:

a. Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah; “Mereka yang
menderita jamaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari

16
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentimgan hak asasi manusia”.
b. Muladi berpendapat bahwa; “Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik
secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian
fisik
atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-
haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar
hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan
kekuasaan”.

Istilah korban tidak hanya mengacu kepada perseorangan saja melainkan


mencakup juga kelompok dan masyarakat. penderitaan yang dialami oleh korban
tidak hanya terbatas pada kerugian ekonomi, cedera fisik maupun mental juga
mencakup pula derita-derita yang dialami secara emosional oleh para korban, seperti
mengalami trauma.

Secara luas pengertian korban diartikan hanya sekedar korban yang menderita
langsnung, akan tetapi korban tidak langsnung pun juga mengalami penderitaan
yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud dengan korban tidak
langsung adalah, istri kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua
yang kehilangan anaknya.

Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang
perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan
hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk
kehidupan lainnya, seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam
ini lazim kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.

17
Dengan memperhatikan nasib korban, maka ruang lingkup hukum pidana
mencakup empat hal, yakni perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana,
pertanggungjawaban pidana dan korban tindak pidana.

Dengan memperhatikan nasib korban, maka ruang lingkup hukum pidana


mencakup empat hal, yakni perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana,
pertanggungjawaban pidana dan korban tindak pidana.
a. Nonparticipating Victims, yakni mereka yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan.
b. Latent Victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga
cenderung menjadi korban
c. Procative Victims, yaktu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya
kejahatan
d. Participating Victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan
dirinya menjadi korban
e. False Victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang
dibuatnya sendiri.
Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe korban,
yakni sebagai berikut :
a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap saja menjadi
korban
b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lian untuk melakukan kejahatan
c. Mereka yang secara biologis dan sosial berpotensi menjadi korban
d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku.

4. Hak – Hak Dan Kewajiban Korban


Setiap pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban
mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak

18
tersebut, diantaranya termuat dalam berbagai peraturan perundang-undnagan,
pendapat para ahli dan pakar hukum.

Hak-hak korban yang termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan bahwa :
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan
keamanan
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan
d. Mendapat penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendapat identitas baru
j. Mendapatkan tempat kediaman baru
k. Memperoleh pengganti biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l. Mendapat nasihat
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhi

Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang


Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak
mendapatkan;

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,


lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasrkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

19
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasian korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani.

Adapun hak-hak para korban menurut Van Boven adalah hak untuk tahu, hak
atas keadilan dan hak atas reparasi (pemulihan), yakni hak yang menunjuk kepada
semua tipe pemulihan baik materil maupun nonmateril bagi para korban pelanggaran
hak asasi manusia.

Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, mulai dari
hak atas bantuan keuangan (finansial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan
hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena
melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat
dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban
kejahatan, antara lain, sebagai berikut;

a. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam


terhadap pelaku (tindakan Pembalasan)
b. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya
tindak pidana
c. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memada mengenai terjadinya
kejahatan kepada pihak yang berwenang
d. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada
pihak lain
e. Kewajiban untuk menajdi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya,
sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya
f. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya
penanggulangan kejahatan
g. Kewajiban untuk bersedia dibina dan membina diri sendiri
untuk tidak menjadi korban lagi.

20
C. Bentuk – Bentuk Perlindungan Korban Kejahatan
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya
preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah
(melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan
dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian
bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan
yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu
perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang

Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan


kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukan oleh Mulyadi
saat menyatakan Korban kejahatan perlu dilindungi karena;
a. Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang
melembaga, kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan
didalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan.
Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem
kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain
yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem
kepercayaan tersebut.
b. Adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh
dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang
tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban
kejahatan, maka negara harus memerhatikan kebutuhan korban dengan cara
peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak.
c. Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik

Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan


sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar dari

21
perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, diantaranya sebagai
berikut:

a. Teori Utilitas
“Teori ini menitikberatkanpada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang
terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat
diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang besar dibandingkan
dengan tidak diterapkannya konsep tersebut. Tidak saja bagi korban kejahatan,
tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secar keseluruhan;
b. Teori Tanggungjawab
“pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun Kelompok) bertanggungjawab
terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila
seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain
harus menderita kerugian, orang tersebut harus bertanggungjawab atas
kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya;
c. Teori Ganti Rugi
sebagai perwujudan tanggungjawab karena kesalahannya terhadap orang lain,
pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian
pada korban atau ahli warisnya.

Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung


pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam
konteks hukum pidana. Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut;
a. Asas Manfaat
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya
kemanfaatan bagi korban secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi
jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.
b. Asas Keadilan

22
Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan
tidak bersiat mutlak karena hal ini di batasi pula oleh rasa keadilan yang harus
juga diberikan pada pelaku kejahatan
c. Asas Keseimbangan
Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan
terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat, asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam
upaya pemulihan hak-hak korban.
d. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat
penegak hukum pada saat melaksanakan tugas-tugas dalam upaya
memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban


kejahatan. Di Indonesia bantuan ini lebih banyak diberikan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).

D. Kejahatan

1. Pengertian Kejahatan
Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan
dengan moral kemanusia. Kejahatan meruapakan suatu perbuatn atau tingkah laku
yang sangat ditentang oleh masyarakat dan paling tidak disukai oleh rakyat.

Berdasarkan sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view)maka
batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang melanggar
hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu
tidak dilarang di dalan perundang-undang pidana, perbuatan itu tetap sebagai
perbuatan yang bukan kejahatan.

23
Dari sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological pont of view).
Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap perbuatan yang melanggar
norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat. Contohnya seperti seorang
muslim meminum minuman keras samapai mabuk, perbuatan itu merupakan dosa
(kejahatan) dari sudut pandang masyarakatn Islam, namun dari sudut pandang
hokum bukan kejahatan.

Menurut Sutherland mengemukakan mengenai kejahatan adalah perilaku yang


melanggar ketentuan hukum pidana. Tidak peduli apakah tingkat moralitas dan
keseponan dari suatu tindakan tersebut bukan merupakan kejahatan kecuali tidak
dilarang oleh hokum pidana.

Van Bemmelen merumuskan bahwa kejahatan adalah tiap kelakuan yang tidak
bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidak tenangan
dalam suatu masyarakat tertentu sehingga masyarakat itu berhak untk mencelanya
dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dan
menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja
diberikan karena kelakuan tersebut.

Jika di kaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab Undang-


undang Hukum Pidana, perumusan kejahatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kejahatan menurut hukum pidana adalah setiap tindakan yang dilakukan


melanggar rumusan kaidah hukum pidana. Dalam artianya memenuhi unsur-unsur
delik, sehingga perbuatan tersebut dapat dihukum, atau perbuatan yang dilanggar
dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Kemudian Utrecht
mengatakan peristiwa pidana sama dengan konsep kejahatan dalam arti yuridis yang

24
diartikan sebagai sebuah peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.

Kejahatan dalam konsep yuridis juga berarti tingkah laku manusia yang dapat
dihukum berdasarkan hukum pidana. Sejalan dengan pengertian tersebut, Wirjono
mengatakan bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenai hukuman pidana.

Pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap” yang diberikan


masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak atau bertentangan
dengan norma-norma ataupun kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
dengan demikian ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan
kejahatan atau bukan adalah apakah masyarakat secara umum akan menderita
kerugian secara ekonmis serta perbuatan tersebut secara psikologis merugikan
sehingga di masyarakat muncul rasa tidak aman dan melukai perasaan.

Sahetapy mempunyai pandangan bahwa kejahatan mengandung konotasi


tertentu, merupakan suatu pengertian dan penanaman yang relatif, mengandung
variabilitas dan dinamika serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik
aktif maupun pasif) yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat
sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial
dan/atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan
waktu.

2. Pengertian Kejahatan Seksual


Berdasarkan Kamus Hukum, “sex dalam bahasa Inggris diartikan dengan jenis
kelamin”. Jenis kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan
(persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan.

25
Salah satu bentuk praktis seks yang dinilai menyimpang adalah kejahatan
seksual. Kejahatan seksual merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan
seksual, komentar yang tidak diinginkan, perdagangan seks dengan menggunakan
ancaman dan paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan dengan
korban, dalam situasi apa saja, termasuk tapi tidak terbatas pada rumah dan
pekerjaan. Kejahatan seksual dapat dalam berbagai bentuk termasuk perkosaan,
pencabulan, pelecahan seksual, prostitusi paksa, perdagangan perempuan untuk
tujuan seksual, perbudakan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual, eksploitasi
seksual dan atau penyalahgunaan seks dan aborsi.

Kejahatan seksual sering dikaitan dengan kekerasan seksual itu sendiri. Istilah
kekerasan seksual berasal dari bahsa Inggris SexualHardness, dalam kata Hardness
mempunyai arti kekerasan, tidak menyenangkan, dan tidak bebas. Sementara kata
sexualmempunyai arti sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas. Sehingga istilah
SexualHardness berarti perbuatan seksual yang tidak diinginkan oleh si penerima
atau korban, dimana di dalamnya terdapat ancaman, tekanan, tidak menyenangkan
dan tidak bebas.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur tentang


kekerasan yaitu pada Pasal 89 yang mendefiniskan kekerasan berarti menggunakan
tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara sah, misalnya menendang, memukul
dengan tangan atau dengan segala macam senjata, dan membuat orang pingsan
dan tidak berdaya.

Pengertian kekerasan seksual dapat pula ditemui dalam Pasal 285 dan Pasal
289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, di dalam Pasal 285 ditentukan bahwa
barang siapa dengan kekersan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang
bukan istrinya berhubungan seksual. Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan
barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul.

26
Bentuk-bentuk kekerasan dapat digelongkan menjadi 3 (tiga), yakni
pemerkosaan yang biasanaya terjadi pada suatu saat dimana pelaku (biasanya) lebih
dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya, Incest, hubungan seksual
atau aktivitas seksual anatara individu yang mempunyai hubungan kerabat, yang
perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur, dan eksploitasi
seksual meliputi prostitusi dan pornografi.

3. Jenis – Jenis Kejahatan Seksual

a. Kitab Undang-Undag Hukum Pidana (KUHP)

Kejahatan di bidang kesusilaan adalah kejahatan mengenai hal yang


berhubungan dengan masalah seksual. Di dalam Kitab Undang - Undang Hukum
Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XVI Buku II dengan titel Kejahatan Terhadap
Kesusilaan.

1) Kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (Pasal 281);


2) Kejahatan pornografi (Pasal 282);
3) Kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (Pasal 283);
4) Kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (Pasal 283 bis);
5) Kejahatan perzinahan (Pasal 284);
6) Kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285);
7) Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286);
8) Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum
15 tahun (Pasal 287);

27
9) Kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum
waktunya kawin dan menimbulkan akibat luka-luka (Pasal 288);
10) Kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan (Pasal 289);
11) Kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang
umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya dikawin (Pasal 290);
12) Kejahatan perbuatan cabul sesama kelamin, pada orang yang belum dewasa
(Pasal 292);
13) Kejahatan menggerakkan orang untuk berbuat cabul dengan orang yang belum
dewasa (Pasal 293);
14) Kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah pengawasannya dan
lain-lain yang belum dewasa (Pasal 294);
15) Kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan lain-lain
yang belum dewasa (Pasal 295);
16) Kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan
(Pasal 296);
17) Kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa
(Pasal 297);
18) Kejahatan mengobati wanita dengan menimbulkan harapan bahwa hamilnya
dapat digugurkan (Pasal 299).

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Jenis-jenis kejahatan seksual dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002


yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014,
jenis kejahatan seksual adalah sebagai berikut :

1) Kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan


(Pasal 76 D).

28
2) Kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul (Pasal 76 E)
3) Eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 76 I).

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga, jenis kejahatan seksual adalah pemaksaan
hubungan seksual yang diatur dalam Pasal 8, menyatakan bahwa Kekerasan seksual
meliputi:
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

29
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan terkait dengan


permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka penulis melakukan
penelitian di Kota Bima. Pengumpulan data dan informasi terkait penelitian ini
dilakukan di Dinas Sosial Kota Bima, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa,
Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, di Pengadilan Negeri Bima dan
Polres Kota Bima.

B. Jenis Dan Sumber Data


Dalam pengumpulan data-data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan
ini, maka data yang diperoleh digolongkan ke dalam dua jenis yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan atau yang diperoleh secara dari
lapangan penelitian berupa putusan pengadilan, dokumen hukum yang terkait,
dan melalui responden yang berkaitan dengan penelitian melalui wawancara.
2. Data Sekunder

30
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dan bersumber dari penelaan
studi kepustakaan berupa literatur-literatur, karya ilmiah (hasil penelitian),
peraturan perundang-undangan dokumen dari instansi yang terkait juga
bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan penelitian ini.

C. Metode Penelitian
Sehubungan dengan penelitian ini, maka penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian lapangan merupakan sesuatu yang dilakukan dengan menggunakan
pengamatan secara langsung di lapangan yang berhubungan langsung dengan
materi yang akan dibahas dan interview yang bersifat terbuka dengan pihak
terkait.
2. Penelitian kepustakaan merupakan penelitian kepustakaan yang dilaksanakan
untuk mengumpulkan sejumlah data meliputi bahan pustaka yang bersumber
dari buku-buku, dokumen-dokumen perkara serta peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan penelitian ini.

D.Analisis Data
Data yang diperoleh penulis kelak akan dituangkan dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif
dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan secara keseluruhan data
yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan
hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab
permasalahan atau rumusan masalah yang di teliti.

31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan


Seksual Dalam Perundang-undangan

Perlindungan terhadap anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan


yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga
dalam memberikan perlindungan hokum terhadapa anak oleh pemerintah harus
didasarkan pada prinsip hak anak dan perlindungan atas hak anak.

Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual diatur dalam


beberapa peraturan perundangn-undangan. Berikut ini adalah peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap anak korban kejahatan
seksual:

1. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-


undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 69 A menyebutkan

32
tentang perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:
a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan
b. Rehabilitasi social
c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan
mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di siding
pengadilan.
Dalam Undang-undang Perlindungan Anak, bagi setiap anak yang menjadi
korban kejahatan seksual wajib di lindungi. Terdapat beberapa Pasal yang
membahas mengenai perlindungan bagi anak korban kejahatan seksual.

Dalam Pasal 59 A yaitu perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara
fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan
lainnya.
b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan
c. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu.
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Dalam Pasal 66 Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi secara


ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d
dilakukan melalui:
a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

33
c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat,
dan Masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi
dan/atau seksual.

Didalam Pasal 64 yaitu perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan


dengan hukum dalam konteks anak sebagai korban, maka terdapat beberapa hal
yang penting untuk diperhatikan, sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2)
huruf b dilakukan dengan melalui:
a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya
b. Pemisahan dari orang dewasa
c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional
e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi serta merendahkan martabak dan derajatnya
f. Pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak
g. Pemberian advokasi social
h. Pemberian aksesibiitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas
i. Pemberian pendidikan
j. Pemberian pelayanan kesehatan dan
k. Pemberian hal lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.
Pasal 71 D
1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan
ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku
kejahatan.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

34
2. Undang-undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Setiap anak yang menjadi korban kejahatan seksual berhak untuk memperoleh
perlindungan, dalam memperoleh perlindungan tersebut, dapat di realisasikan
dengan memenuhi hak-hak korban. Dalam Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Saksi dan Korban, bahwa:
1) Saksi dan Korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
n. Mendapat nasihat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan
berakhir; dan/atau
p. Mendapat pendampingan.

35
2) Hak sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksidan/atau
Korban tindak pidanadalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus
tertentusebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi
Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan
keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia
dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang
keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.

Di dalam pasal 6 di jelaskan bahwa :


1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana
terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana
penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban
penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga
berhak mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bantuan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK.

3. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak
Dalam melaksanakan perlindungan hokum terhadap anak korban kejahatan
seksual berdasar atas peraturan yang mengaturnya. Pasal 19 menengaskan bahwa:
1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam
pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama
Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain
yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.

36
Dalam Pasal 23 setiap anak yang menjadi korban kejahatan seksual wajib di lindungi
:
1) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan
didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib
didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban
dan/atau
Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.
3) Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang
diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
orang tua.
Bantuan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual sangat diperlukan
karena seorang anak yang berhadapan dengan penegak hukum misalnya penyidik,
jaksa ataupun hakim kemungkinan akan merasa takut mengemukan semua hal yang
dialaminya. Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah
diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Bantuan hukum yang
diberikan adalah berupa pendampingan baik dalam proses penyidikan sampai
dipersidangan.

4. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga
Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual bertujuan agar
hak-hak anak dapat terpenuhi. Berikut ini adalah beberpa pasal yang membahas
mengenai perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual, adalah sebagai
berikut:

Pasal 10
Korban Berhak Mendapatkan :

37
1) Perlindungan dari pihak keluarga , kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; Pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
2) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
3) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
dan
4) Pebimbingan rohani.

Pasal 22
1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban;
b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban.
2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib :
a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak
korban dan proses peradilan;
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam siding pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau

38
c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping,
dan pekerja social agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib
memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk
menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.

B.Pelaksanaan Pelindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan


Seksual Di Kota Bima

Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual dapat diartikan


sebagai upaya perlindungan hukum terhadap kebebasan dan hak asasi anak serta
berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Dalam pembahasan ini, penulis akan mengkaji mengenai pelaksanaan


perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual. Sebelum melakukan
pengkajian lebih lanjut, penulis akan memaparkan data kejahatan seksual yang
terjadi dalam kurun waktu tahun 2019 sampai dengan 20120. Penulis melakukan
penelitian pada Polres Bima, Dinas Sosial Kota Bima, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bima dan Pengadilan Negeri Bima. Penulis
melakukan penelitian diberbagai instansi yang berbeda dengan asumsi bahwa data
kejahatan seksual serta informasi-informasi yang dibutuhkan penulis dari keempat
instansi tersebut dapat menunjukkan hasil yang berbeda dan dapat menunjukkan
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual.

1. Polres Bima
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tempat yang pertama di Polres
Bantaeng, penulis memperoleh data mengenai kejahatan seksual terhadap anak
yang terjadi di Kota Bima dalam kurun waktu tahun 2019-2020, seperti terlampir
pada table dibawah ini:

39
Tabel 1
Kasus Kejahatan Seksual di Polres Bima
Tahun 2019 sampai 2020

Tahun Bentuk Kejahatan Jumlah Kasus


Seksual
2019 1) Pencabulan 9
2) Pemerkosaan 2

2020 1) Pencabulan 7
2) Pemerkosaan 5

Total 23 kasus
Sumber Data : Sat reskrim unit pemberdayaan perempuan dan anak polres bima

Polres Bima
Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2019
sampai dengan tahun 2020 kasus kejahatan seksual terhadap anak terjadi tiap
tahunnya. Masalah kejahatan seksual di Kota Bima mengalami peningkatan disetiap
tahunnya. Tercatat bahwa ditahun 2019 ada 11 (sebelas) kasus yang dimana terinci
dalam table diatas bahwa ada 9 kasus pencabulan dan 2 kasus pemerkosaan dan
tahun 2020 ada 12 ( dua belas ) kasus kejahatan seksual yang dimana kasus

40
pencabulan ada 7 dan kasus pemerkosaan ada 5 kasus yang terlapor di Unit PPA
Polres Bima.
Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap Unit Perlindungan Perempuan
dan Anak Polres Bima yang rabangodu utara pada hari senin tanggal 7 september
2020, Iptu Hilmi Manossoh proyugo yang menjabat sebagaikasat reskim menjelaskan
mengenai proses pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak kejahatan seksual
dilaksanakan berdasar pada peraturan perundang-undangan. Beliau mengatakan
bahwa:
Segala bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual
dilaksnakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam proses
pelaksanaannya melipatkan berbagai pihak. Anak korban kejahtan seksual
mendapatkan segala hak-haknya dan memperoleh perlindungan sesuai
kebutuhan anak korban.

Menanggapi hasil wawancara tersebut diatas, menurut Iptu Hilmi Manossoh


proyugo selaku kasat reskim di Polres Bima, menyatakan bahwa bentuk perlindungan
hukum yang diberikan kepada anak korban kejahatan seksualyakni sebagai berikut :
a. Identitas korban dirahasiakan.
b. Dalam proses pemeriksaan, korban tidak di datangkan langsung kekantor polisi,
melainkan korban di datangi langsung di rumahnya.
c. Bantuan medis, dalam hal ini pihak kepolisian mendampingi untuk dilakukan
Visum Et Repertum.
d. Anak korban kejahatan seksual memperoleh segala bentuk perlindungan sesuai
dengan kebutuhannya.

Bentuk Kejahatan Seksual Bentuk Perlindungan


Pencabulan dan  Bantuan medis ( mendampingi
dalam melakukan visum Et
Revertum)
 Merahasiakan Identitas Korban
Pemerkosaan

41
2. Dinas Sosisal Kota Bima
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di Dinas Sosial, proses pelaksanaan
perlindungan hukum dilakukan mulai dari tahap pencegahan sampai tahap
rehabilitasi terhadap korban. Penulis melakukan wawancara dengan salah satu
Kepala Bidang yang menangani mengenai kasus anak dan pekerja sosial yang ada di
Dinas Sosial Kota Bima, Menurut keterangan Dra. HJ. FATIMAH selaku Kepala Bidang
perlindungan dan jaminan social, beliau menerangkan bahwa:
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh pihak Dinas sosial adalah dengan
melakukan sosialisasi mengenai Undang - undang No. 11 tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, pemberian bantuan medis berupa psikiater dan
melakukan rehabilitasi bagi korban yang membutuhkan.

Dalam hal melakukan perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual,


Dinas Sosial melakukan kordinasi dan bekerjasama dengan pihak lain seperti Unit
Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada Polres Bima, Bidang pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bima. Dinas Sosial dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya, tidak terlepas dari laporan yang masuk atas adanya
kejahatan seksual yang dilaporkan di Polres Bima.

Apabila pekerja sosial mendapatkan informasi maupun penyampaian dari pihak


kepolisian ataun dari pihak Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(DPPPA), maka pekerja sosial akan langsung turun ke lapangan untuk menemuai
korban dan melakukan wawancara terhadap korban guna mengetahui kondisi dan
kebutuhan yang korban perlukan.

Apabila korban mengalami trauma ataupun gangguan jiwa yang diakibat


kejahatan seksual yang dialaminya, maka pekerja sosial akan mendatangkan seorang

42
Psikolog untuk menangani korban dan membawa korban ke pusat rehabilitasi untuk
dapat memulihkan kejiwaan korban atas truma yang dialaminya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis di Dinas sosial, penulis


memperoleh informasi bahwa pelindungan hukum terhadap anak korban kejahatan
seksual berupa:
a. Penyampaian mengenai hak-hak korban
b. Sosialisasi Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak
c. Pendampingan mulai dari pemeriksaan sampai proses persidangan
d. Melakukan konseling agar anak dapat merasa aman
e. Pemberian informasi mengenai tugas satuan bakti pekerja sosial (Sakti Peksos)
f. Merahasiakan identitas korban dari pemberitaan mediamassa
g. Mendatangkan psikolog/psikiater bagi korban
h. Mendapat bantuan rehabilitasi

Bentuk Kejahatan Seksual Bentuk Perlinduangan


Pencabulan dan  Pendampingan
Pemerkosanaan  Bantuan rehabilitas
 Pendampingan
 Konseling
 Bantuan psikeater
 Merahasiakan identitas korban
 Penyampaian hak – hak korban
 Pemberian informasi mengenai satuan
pekerja social
 pencegahan

3. Dinas DPPPA dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


Kota Bima

43
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual pada
(DPPPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dilaksanakan
berdasar pada peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis melakukan wawancara


dengan Kepala Kepala Dinas Permerdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada
hari senin tanggal 6 Juli 2020. H. Ahmad selaku Kepala Dinas, memberikan informasi
terkait dengan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap anak korban kejahatan
seksual yang terjadi di Kota Bima.
Dalam penelitian ini, penulis mendapatkan informasi terkait dengan pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual, bentuk perlindungan
hukum yang diberikan adalah sebagai berikut:
a. Merahasiakan identitas korban
b. Pendampingan mulai dari tahap pemeriksaan sampai proses persidangan
c. Bantuan medis, dalam hal korban didampingi pada saat melakukan Visum dan
pemberikan pengobatan bagi korban yang mengalami luka
d. Menempatkan anak di rumah aman apabila anak korban merasa tidak aman dan
tidak nyaman untuk tinggal di rumahnya
e. Menyediakan Rumah Aman bagi anak korban
f. Melakukan konseling terhadap anak korban
g. Pemberian informasi mengenai hak-hak korban
h. Membantu anak untuk mengurus dan mendapatkan restitusi
i. Membantu anak yang memerlukan rehabilitasi
j. Mendatangi dan menjemput korban di rumah korban.

Dalam proses pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban, Kepala


Seksi juga mngemukakan bahwa, beliau sering melakukan kerja sama dengan pihak
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) untuk

44
melakukan pendampingan dan Bantuan medis serta bantuan hukum untuk anak
korban kejahatan seksual.

Dengan melakukan wawancara, penulis juga memperoleh informasi terkait


dengan kasus yang ditangani oleh Bidang PPPA, sekitar tahun 2019 sampai dengan
2020 sebanyak 23 kasus yang ditangani akan tetapi hanya beberap kasus yang
sampai ke tahap persidangan. Kasus yang ditangani berkaitan dengan kasus
pelecehan, pencabula, pemerkosaan dan kekerasan dalam pacaran

Bentuk Kejahatan Seksual Bentuk Perlindiuangan


Pencabulan dan pemerkosaan  Menyediakan rumah aman
 Pendampingan
 Konseling
 Rehabilitasi
 Penyampaian mengenai hak – hak
korban
 Membantu dalam hal memperoleh
resitusi

4. Pengadilan Negri Bima

Selain melakukan penelitian di berbegai Instansi Terkait, penulis juga


melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Bima, untuk mengetahui dan
mendapatkan informasi mengenai jumlah kasus kejahatan seksual yang terjadi
terhadap anak yang masuk di pengadilan dan mendapat putusan, selain itu penelitian
yang dilakukan di Pengadilan Negeri Bima untuk memperoleh informasi tekait
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak Korban kejahatan seksual.

Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap Panitera Muda Pengganti Hukum


Pidana, yakni Bapak Anggi Junanda pada hari kamis tanggal 16 juli 2020, penulis
memperoleh data mengenai jumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak dalam

45
kurung waktu tahun 2019 sampai dengan tahun 2020, seperti yang terlampir pada
tabel dibawah ini:

Tabel 2

Jumlah Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Bima

Pada Tahun 2020

No. Nomor Perkara Tanggal Register Jenis perkara


1 18/pid.sus-anak/2020/PN RBI 02 juli 2020 Perlindungan Anak
2 19/pid.sus-anak/2020/PN RBI 02 juli 2020 Perlindungan Anak
3 2/pid.sus-anak/2020/PN RBI 13 februari 2020 Kejahatan
terhadap
sesusilaan
Sumber Data : Buku Catatan Bagian Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri Bima
dan Sipp.pn-Bima.

Dengan melihat tabel di atas (Tabel 2.), maka dapat disimpulkan bahwa ada 3
perkara pidana telah masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Bima sepanjang
tahun 2020.

Tabel 3

46
Jumlah Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Bima

Pada Tahun 2019

No. Nomor Perkara Tanggal Register Jenis Perkara


1 34/pid.sus-anak/2019/PN RBI 03 desember 2019 Perlindungan Anak
2 21/pid.sus-anak/2019/PN RBI 04 juli 2019 Perlindungan Anak
Sumber Data : Buku Catatan Bagian Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri Bima
dan Sipp.pn-Bima.

Dengan melihat tabel di atas (Tabel 3.), maka dapat disimpulkan bahwa ada 2
perkara pidana telah masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Bima sepanjang
tahun 2020. Dari tahun 2019 sampai tahun 2020 jumlah kasus yang masuk dan
diselsaikan di Pengadilan Negeri Bima mengalami peningkatan karena pada tahun
2019 hanya ada 2 (dua) kasus dan meningkat di tahun berikutnya yakni pada tahun
2020.

Jumlah perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disetiap
tahunnya terus mengalami peningkatan, kasus kejahatan seksual yang terjadi
terhadap anak terus mengalami peningkatan. Sehingga jumlah korbanpun semakin
meningkat di setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Anggi Junanda, SH., beliau
menyapaikan bahwa bantuk perlindungan yang diberikan terhadap korban kejahatan
seksual adalah sebagai berikut:

a. Merahasiakan Identitas Korban


b. Meminta bantuan pekerja sosial untuk dapat melakukan pendampingan pada
saat korban diminta untuk menghadiri persidangan
c. Dalam proses persidangan korban harus didampingi
d. Dalam meminta kesaksian korban, hakim dan Jaksa Penuntut Umum tidak
memberikan tekanan terhadap korban.

Berdasarkan dari keseluruhan hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan


bahwa pelaksaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual di

47
Kota Bima, melipatkan berbagai pihak didalamnya, mulai dari pihak kepolisian, Dinas
Sosial, Pekerja Sosial, Bidang Pemberdayaan perempuan dan Perlinduangan Anak
serta Pengadilan Negeri Bima

Segala bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual


dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dan segala hak-hak korban
diberikan terhadap korban.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan
seksual diatur dalam:
a. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
b. Undang-undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
c. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentangPenghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
d. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual dapat dilakukan


dengan cara memberikan hak-hak anak dalam hal akses terhadap pemenuhan hak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan

48
fisik, mental, spiritual, dan sosial sebagai upaya pemulihan terhadap kondisi anak
sebagai korban kejahatan seksual yang memiliki trauma jangka panjang. Anak
korban kejahatan seksual mendapatkan perlindungan hukum dalam hal memberikan
bantuan hukum, rehabilitasi dan pencegahan.
2. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual di
Kota Bima, dilaksanakan berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya. Dalam proses pelaksanaannya, segala pihak berperan aktif
dalam melaksanakan berbagai tugas dan tanggung jawabnya untuk dapat
memberikan perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual. Kota Bima
yang merupakan Kota Layak Anak, berupaya semaksimal mungkin agar segala
hak-hak anak korban kejahatan seksual dapat terpenuhi.

B. Saran
1. Segala bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan harus ada hubungan
korehensi antara setiap peraturan perundang - undangan yang mengatur
mengani perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual.
korehensi antara setiap peraturan perundangundangan yang mengatur mengani
perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual.
2. Agar pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual
dapat berjalan secara maksimal, maka perlu adanya pemantauan khusus
terhadap para penegak hukum dan aparatur sipil negara terkait serta
penegasan kedudukan dan peran serta lembaga perlindungan anak. Instrumen
hukum yang mengatur mengenai pelindungan hukum terhadap anak korban
kejahatan seksual lebih di tingkatkan lagi guna menjamin terpenuhinya hak-hak
anak yang menjadi korban kejahatan seksual.

49
Daftar pustaka

Dudu Duswara Machmudin 2003, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika
Aditama,
Bandung:, hlm.7.
Kartika Vina ( 2013). Tinjauan Yuridis Tentang Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perkosaan,
Wirjono Prodjodikoro 1990. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Eresco:
Jakarta.. Hlm. 123
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Refika Aditama: Bandung. 2001. Hlm. 7
Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Arifah (2013). Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pelecehan seksual
( Studi Kasus Di Polda DIY).
Maidin Gultom 2008, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,: hlm. 33-34.
Maulana hasan Wadong 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,
Jakarta, , hlm. 4
Arif Gosita 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dan konvensi Hak Anak-Anak, Era
Hukum, Jakarta:, hlm. 4

50
Dikdik M. Arief Mansur 2003, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Rajawali Pers,
Jakarta:, hlm. 47-48.
Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, Elsam, Jakarta:2002, hlm. 13
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung:2007, hlm. 78.
Rena Yulia 2010, VIKTIMOLOGI Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
Graha
Ilmu, Yogyakarta:, hlm. 55.
Arig Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta:1993, hlm. 50.

Abdul Wahid 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama,
Bandung:, hlm. 31.

Dadang Hawari, Psikopatologi Kejahatan Seksual, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, Depok:2011, hlm. 3

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia PustakaUtama,
Jakarta, 1997, hlm. 517.

A. S. Alam 2010, Pengantar Krimonologi. Pustaka Refleksi. Makasar.

Wagiati Soetodjo. 2010. Hukum Pidana Anak. Refika Aditama. Bandung.

R.Soesilo. 1995. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Poletia. Bogor.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

51
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Konvensi Hak-Hak Anak yang disahkan dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990
tanggal 25 Agustus 1990.

52

Anda mungkin juga menyukai