Anda di halaman 1dari 7

Nama : Andreas Manalu

NIM : 042346536

TUGAS 1

1. Kisah Robin Hood, yang menurut legenda, ia mencuri harta dari penindas yang kaya raya
untuk dibagikan kepada orang miskin. Menurut anda, apakah perbuatan Robin Hood
merupakan kejahatan? dan apakah ia seorang penjahat ? Jelaskan konsep yang anda
gunakan untuk menjelaskan pendapat anda.

 Jawab :

Apakah yang dilakukan Robin Hood dikatakan kejahatan?


Berdasarkan kisah Robin Hood yang terkenal pada saat itu, kisah tersebut dapat
dijelaskan tergantung sudut pandang yang digunakan. Sebagai contoh jika ditelaah
menurut sudut pandang yuridis, kejahatan adalah perbuatan yang mencakup beberapa
unsur, yang meliputi :
1. Perbuatan antisosial yang melanggar hukum pidana / undang-undang pada suatu
waktu tertentu.
2. Perbuatan yang dilakukan, baik dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja.
3. Perbuatan yang merugikan masyarakat, baik secara ekonomi, fisik, jiwa dan
sebagainya.
4. Perbuatan yang diancam dengan hukuman oleh negara.
Jika dilihat dari aspek yuridis, Robin Hood telah melanggar unsur kejahatan
nomor 1 (perbuatan antisosial yang melanggar hukum pidana / Undang – Undang pada
suatu waktu tertentu), nomor 2 (perbuatan yang dilakukan, baik dengan sengaja maupun
tidak dengan sengaja) dan nomor 3 (perbuatan yang diancam dengan hukuman oleh
negara). Namun, sering sekali masyarakat menafsirkan bahwa apa yang telah
dilakukan Robin Hood merupakan perilaku yang mulia dikarenakan ia membagikan
hasil jarahannya kepada rakyat miskin, yang mana kondisi pada saat itu ialah orang
kaya menindas rakyat miskin.
Lalu jika ditelaah menurut sudut pandang sosiologi, kejahatan berkaitan
dengan kondisi diorganisasi sosial, karena penjahat bergerak dalam aktivitas-aktivitas
yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum / Undang – Undang,
ketertiban dan kesejahteraan sosial. Dalam hal ini, apa yang dilakukan Robin Hood
dikatakan “kejahatan” karena ia membahayakan bagi orang-orang kaya pada masa itu,
serta perbuatan Robin Hood tersebut dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara
golongan orang kaya dan miskin yang secara gak langsung juga mempengaruhi /
membahayakan ketertiban dan kesejahteraan sosial.
Tetapi, jika ditelaah menurut sudut pandang psikologi yang berkaitan dengan
kondisi kejiwaan individu yang tidak selaras dengan norma – norma masyarakat,
perbuatan Robin Hood tersebut tidak dikategorikan sebuah “kejahatan”. Hal itu
dikarenakan kondisi kejiwaan, emosional, dan sikap Robin Hood dikatakan “normal”
dalam sudut pandang psikologi.
Apakah Robin Hood dikatakan penjahat?
Kisah Robin Hood telah menjadi legenda terkenal yang berasal dari Inggris.
Kisahnya yang menceritakan perjuangan heroik membentuk dualisme diantara kelompok,
yang mempercayainya ia adalah seorang penjarah (penjarah) dan pahlawan. Dalam
ceritanya, Robin Hood sering melakukan aksi perampokan terhadap para orang kaya dan
kemudian membagikan hasil jarahannya tersebut kepada rakyat miskin. Kondisi orang
kaya pada saat itu adalah penindas rakyat kecil, sehingga ada dua pendapat yang menjadi
respon terhadap Robin Hood. Menurut pemerintah ia adalah penjahat, sedangkan menurut
rakyat kecil ia adalah seorang pahlawan.
Tentulah tidak relevan jika menilai cerita masa lalu yang belum jelas kebenaran
nya dengan menjustifikasi apakah ia (Robin Hood) seorang penjahat atau bukan. Namun
untuk masa saat ini, seseorang dikatakan penjahat jika dilihat dari keenam aspek (aspek
yuridis, aspek intelegentia, aspek ekonomi, aspek religious, aspek sosial dan aspek
filsafat). Serta terdapat beberapa klasifikasi penjahat diantaranya; status sosial dan pelaku
kejahatan, tingkat kerapihan organisasi, kepentingan pencarian nafkah, aspek kejiwaan
pelaku kejahatan, aspek kebiasaan, aspek tertentu dari sifat perbuatannya dan umur dari
pelaku kejahatan. Seseorang yang mengerti hukum, tidaklah elok menilai bahkan
melabelling seseorang tanpa kebenaran yang mendasarinya. Terutama untuk kisah Robin
Hood yang masih abu-abu.
2. Jelaskan bentuk-bentuk viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan yang
dilakukan oleh media dan sistem peradilan pidana.
 Jawab :
Pada media
Adanya keberadaan media terutama media massa di tengah masyarakat merupakan suatu
bentuk hubungan saling bergantungan antara media dan masyarakat. Media massa membutuhkan
masyarakat untuk tolak ukur (rating) keberhasilan dari media tersebut dan begitupun sebaliknya.
Masyarakat juga membutuhkan media massa untuk mendapatkan sumber – sumber informasi
dan berita yang terpercaya.
Tingginya angka kompetisi di antara industri media, membuat pemberitaan yang di
sajikan semata-mata hanya untuk mendapatkan perhatian lebih di masyarakat dan seakan-akan
didesain semenarik mungkin. Hal ini mendorong berbagai macam adanya pemberitaan yang
sensasional dan artikel – artikel yang ‘pedas’. Tak jarang bahkan media terlalu mendramatisir
kenyataan yang ada di lapangan demi meningkatkan rating pembaca.
Lalu, banyaknya berbagai macam topik berita yang ada, mulai dari topik ekonomi, sosial,
politik, hukum hingga ke masalah kejahatan. Meningkatnya angka kejahatan yang terjadi
membuat masyarakat tertarik untuk mencari tau informasi mengenai hal tersebut. Bukannya
memberi informasi akurat bagi masyarakat justru pemberitaan tersebut merugikan subjek
pemberitaannya yang tak jarang bahkan berujung pada korban kejahatan. Tentu saja apa yang
dilakukan media tersebut merupakan salah satu bentuk kerugian yang dialami oleh subjek
pemberitaan, khususnya pada perempuan. Perempuan merupakan salah satu kategori dari 11
macam korban kejahatan yang dikemukakan oleh Hans Von Hertig. Hal tersebut dikarenakan
perempuan dianggap lemah. Hal ini bisa dikatakan sebagai bentuk dari viktimisasi sekunder
yang dilakukan oleh media.
Berita kejahatan sekarang ini tidak memikirkan lagi keadaan korban yang dijadikan
subjek pemberitaannya, sehingga konten yang ada lebih mengarah pada distorsi realitas dan
warna pemberitaan yang cenderung bias terhadap korban perempuan [CITATION Cas \l 1033 ].
Dalam konsep Newsmaking Criminology yang dicetuskan oleh Gregg Barak ada 6
indikator kode etik jurnalistik dan juga kajian literatur internasional dalam konteks analisis isi
berita kejahatan yaitu :
1. Adanya pencantuman identitas lengkap korban perempuan yang mencakup nama
lengkap, ras, agama, nama keluarga dan alamat lengkap korban perempuan.
2. Eksploitasi foto korban dan dokumentasi keadaan korban saat ditemukan. Eksploitasi
foto korban ini mencakup bagaimana pemberitaan menyertakan foto korban kejahatan
dengan keadaan yang mengenaskan.
3. Penggunaan kata-kata yang berbeda dengan berita yang korbannya adalah laki-laki.
Pemberitaan cenderung menggunakan kata-kata sifat tertentu yang berubungan
dengan fisik, psikis dari korban perempuan, yang di mana kata-kata tersebut tidak
sesuai kronologis kejahatan sebenarnya.
4. Adanya kemungkinan korban perempuan mengalami victim blaming (pesan tersirat
bahwa itu merupakan kesalahan korban) atas kejahatan yang menimpanya.
5. Objektifikasi pemberitaan terhadap perempuan yang mengeksploitasi semua aspek
kehidupan korban, dengan contoh media memberikan informasi menarik yang jauh
lebih menjual dibandingkan berita kejahatan itu sendiri. Sedangkan substansi
kejahatan jauh lebih penting untuk dibahas dan hak korban lebih penting untuk
dilindungi daripada diberitakan secara besar-besaran.
6. Pemberitaan terhadap korban perempuan mengandung stereotype. Stereotype ini
muncul karena adanya padangan patriarki yang bersarang kuat di dalam badan
industri surat kabar.

Dalam prakteknya kejahatan-kejahatan yang dilakukan yang mana perempuan


sebagai korban sudah lama berlangsung, namun secara kuantitas belum diketahui
jumlahnya. Seperti contohnya mulai dari isu domestik seperti Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT), pemerkosaan, hingga kasus pelecehan yang dianggap ‘ringan’.
Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Againts
Women Survey terhadap perempuan korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
Hasilnya adalah bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual lebih sedikit
melaporkan pengalamannya ke polisi dibandingkan perempuan korban kekerasan fisik.
Hal tersebut menunjukkan ditemukannya 4 alasan mendasar mengapa mereka enggan
melaporkannya pada polisi, yaitu :
1. Merasa malu
2. Korban merasa takut akan adanya dendam dari pelaku
3. Korban berpikir bahwa polisi tidak akan mempercayai mereka
4. Korban memiliki keyakinan bahwa polisi tidak akan memproses kasus mereka
dengan benar karena kasus pelecehan seksual dianggap sebagai kasus yang ringan

Pada akhirnya, dampak yang ditimbulkan ialah akan banyaknya korban yang
diam/menutup mulut, karena penanganan dari segi hukum, sosial maupun kebijakan
institusi untuk kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai korban belum terjalin
dengan baik [ CITATION Cat10 \l 1033 ].

Pada Sistem Peradilan Pidana


Secara komprehensif, sistem peradilan pidana dapat dipahami sebagai sebuah
sistem administratif yang di dalamnya terdapat apparat resmi penegak hukum, yaitu polisi
dan agen penegakan hukum lainnya, otoritas penuntutan (jaksa), pengadilan, serta
fasilitas penghukuman dan koreksional (lembaga pemasyarakatan) [ CITATION San83 \l
1033 ].
Di dalam proses peradilan pidana masih terlihat adanya dominasi laki – laki atau
budaya patriarki yang melekat, seperti pada kasus pemerkosaan. Adanya guncangan
psikis pada korban bisa semakin bertambah akibat proses peradilan pidana. Hal tersebut
ditemukan pada saat pembuktian, yang hampir selalu mengalami kesulitan. Yang mana
hukum lebih banyak berpihak pada pelaku pemerkosaan dibandingkan korban. Semua ini
terjadi dikarenakan budaya patriarki yang terbentuk yang mana secara sadar orang
mempercayai bahwa perempuan diperkosa adalah perempuan yang pasti ada unsur –
unsur perempuan bukan baik – baik[ CITATION Ari06 \l 1033 ].
Pada sebuah peristiwa kejahatan, korban mengalami dua kali penderitaan yaitu
pertama ditangan pelaku kejahatan dan kedua di tangan sistem peradilan pidana. Kontak
pertama korban dengan sistem peradilan pidana adalah polisi. Pada saat itu korban
berharap polisi menerima penjelasan kejadian berdasarkan versinya. Korban tidak
menyadari bahwa hal pertama yang penting bagi polisi di tempat kejadian adalah menilai
apakah terjadi kejahatan atau tidak. Jika dinilai terjadi kejahatan, polisi masih
memerlukan pembuktian guna menilai apakah korban benar – benar korban atau justru
pelakunya. Jika korban dinilai sebagai korban sebenarnya, kejahatan yang terjadi masih
akan diklasifikasikan lagi apakah termasuk kejahatan berat atau ringan. Dan disini, polisi
lebih memprioritaskan kejahatan – kejahatan yang tergolong berat. Proses penangangan
oleh polisi ini sedikit banyak akan menimbulkan frustasi dan penderitaan sendiri bagi
korban.
Setelah penanganan oleh polisi, penderitaan berikutnya dialami oleh korban di
kejaksaan. Tak jarang kejaksaan gagal melakukan penuntutan terhadap pelaku atau
bahkan tidak melakukan penuntutan dengan berbagai alasan. Hal ini tentu saja
menimbulkan kekecewaan baik pada korban dan polisi. Dalam hal ini, korban akan
merasa bahwa pelaku ‘dibiarkan’ mencurangi sistem yang ada. Namun keberhasilan jaksa
memenangkan tuntutan terhadap pelaku ditentukan oleh banyak hal.
Kalaupun penuntutan dilakukan, masih ada prosedur plea-bergaining antara jaksa
dan pelaku kejahatan. Prosedur ini memungkinkan pelaku berkesempatan mendapatkan
fasilitas kemudahan ataupun dituntut seringan mungkin dengan imbalan pengakuan
bersalahnya di pengadilan. Korban merasa sistem peradilan pidana mengabaikan adanya
korban dalam kejahatan. Sistem peradilan pidana hanya menghukum pelaku karena
pelanggaran hukum yang dilakukannya, bukan karena telah membuatnya menjadi korban.
Hal itulah yang membuat frustasi korban kejahatan karena harapannya terhadap tuntutan
pelaku kejahatan di pengadilan tidak terpenuhi. Selanjutnya, bagian yang paling
menyakitkan ialah sistem yang dirasakan sangat tidak bersahabat bagi korban adalah
pembelaan. Disini, pembela bekerja dengan tujuan agar pelaku (sebagai kliennya)
terbukti tidak bersalah dalam siding pengadilan. Kalaupun terbukti bersalah, ia akan
mengusahakan agar pelaku mendapatkan hukuman seringan mungkin.
Paparan tersebut adalah bentuk gambaran penderitaan korban dalam prosedur
berjalannya sistem peradilan pidana.
Bila Sistem Peradilan Pidana tidak berjalan dengan baik akan menghilangkan
kepercayaan masyarakat terhadap suatu sistem pemberi keadilan. Penurunan kepercayaan
masyarakat terjadi pada perempuan korban kekerasan yang termasuk kelompok rentan.
Budaya patriarki yang masih melekat pada sistem peradilan membuat perempuan sebagai
korban kekerasan semakin terpuruk kondisinya. Bentuk-bentuk viktimisasi yang terjadi
adalah intimidasi, kebijakan diskriminatif, atau pengabaian yang dilakukan oleh negara,
dalam beragam bentuknya ada penyiksaan atau pelecehan oleh aparat dan bentuk
kekerasan lainnya.[CITATION Kom11 \l 1033 ].

Daftar Pustaka :

Arivia, G. (2006). Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Casper, J. M., & Funk, T. M. (1994). Media, Process, and the Social Construction of Crime :
Studies in Newsmaking Criminology edited by Gregg Barak.
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2011: Teror dan Kekerasan Terhadap
Perempuan: Hilangnya Kendali Negara. (2011). Jakarta: Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan.
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan: Tak Hanya di Rumah: Pengalaman
Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang. (2010). Jakarta:
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Sanford, H. K. (1983). Encyclopedia of Crime and Justice . New York: The Free Press.

Anda mungkin juga menyukai