Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

“RINGKASAN DAN ANALISIS ARTIKEL”

Untuk memenuhi tugas mata kuliah kriminologi

NAMA : YAN DIMPUDUS

NIM : 18602029

KELAS :C

SEMESTER : IV

FAKULTAS ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI MANADO

2020
Artikel 1

Kejahatan merupakan fenemona sosial yang normal terjadi dalam suatu masyarakat.Beberapa
kejahatan atau perilaku menyimpang dilatarbelakangi kondisi sosial budaya masyarakat
setempat.Kejahatan saat ini bukan lagi sesuatu yang ditakuti atau dihindari, malah digemari
dan didekati.Kejahatan menjadi wacana yang berkembang-luas dalam kenyataan di
masyarakat umum.

Berawal dari pemikiran Paul Ricoeur (1992),kejahatan sebagai wacana (discourse)


berdasarkan pada bahasa yang digunakan sehari-hari.Berbicara kejahatan sebagai discourse
atau discourse tentang kejahatan, terdiri dari beberapaciri berikut: Pertama, kejahatan itu
harus bersifataktual, masa kini, dinamis, Ciri kedua, kejahatan mempunyai subyek
(pelaku) atau pemegang nilai pada masyarakat tertentu, contoh nilai lokal/unik tertentu.
Ketiga,kejahatan mempunyai referensi dunia non linguistik, dan ciri terakhir adalah kejahatan
mengkomunikasikan makna tertentu.kejahatan dapa dilihat sebagai wacana lisan (oral
discourse) dan wacana tulis (written discourse).sifat dan pengertian kejahatan yang seringkali
diartikan merugikan, membuat belajar sosial kejahatan dan perilaku menyimpang menjadi
cenderung tertutup, Sifat dan pengertian kejahatan dan perilaku menyimpang yang relatif,
mendasari deskripsi kejahatan dan perilaku menyimpang dalam kebudayaan Indonesia
menurut tiga pokok bahasan yaitu (1) Wacana kejahatan dalam masa kerajaan di Indonesia
(2) Kejahatan dan perilaku menyimpang dalam sejarah kebudayaan Indonesia, dan (3)
Kejahatan dan perilaku menyimpang dalam kebudayaan lokal saat ini.

Wacana kejahatan pada masa kerajaan sudah lama ada,hal ini dibuktikan dari prasasti dan
undang-undang yang diberikan bagi pelaku kejahatan. Kejahatan dan perilaku menyimpang
dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia mulai diuraikan melalui peran sosial para jagoan,
bandit, kecu, begal, preman, dan seterusnya Dalam konteks kekinian, sebutan preman
dapat bermakna tunggal sekaligus jamak. Jika ditelusuri istilah preman berasal dari bahasa
Belanda yaitu vrijman, digunakan terhadap mereka yang tidak bekerja pada perusahaan
dagang VOC tetapi diizinkan tinggal di wilayah Hindia Belanda, dan melakukan transaksi
perdagangan untuk keuntungan VOC. Tetapi pada masa kolonial Belanda istilah bandit atau
aktivitas yang merugikan kehidupan bermasyarakat sering dicatat pula dengan istilah
bendewezen, roofpartij, roverbende, dan roverij, sementara dalam bahasa Inggris dikenal
dengan sebutan crime, brigand, bandit, robber, decoy,outlaw dan lain sebagainya.Kejahatan
dan perilaku menyimpang merupakan realitas sosial yang berkaitan erat dengan masalah
sosial, ekonomi dan budaya. Tidak hanya di Jawa, tindakan kejahatan dilakukan tolok
(jagoan) dalam aksi perampokan di Sulawesi.Jauh sebelum kolonial Belanda menguasai
Kepulauan Nusantara, perampokan dan perompakan sering terjadi baik di daratan maupun
lautan. Aksi perampokan tidak hanya oleh mereka yang berprofesi sebagai bandit maupun
tolok, namun masyarakat umum juga ikut menjadi perampok sebagai bentuk ketidakpuasan
terhadap pemimpinnya. Para jagoan umumnya menjalin kerjasama dan membuat perjanjian
dengan para pemimpin pemerintahan seperti kepala desa. Jagoan akan melakukan pencurian
di desa lain yang tidak mempunyai jagoan atau orang kuat. Hal ini merupakan tindakan untuk
merahasiakan kejahatan yang dilakukan dan konsukensinya agar kemudian kepala desa
melindungi jagoan tersebut

Kebudayaan lokal,kejahatan dan perilaku menyimpang saat ini,sebagai masyarakat Indonesia


sudah tidak asing lagi dengan penyimpangan atau kejahatan seperti santet,teluh ritual
kejawen hitam,atau corak dan sirih,kejahatan seperti ini menimbulkan kerugian fisik dan
materiiltetapi pelaku yang tertangkap seringkali hanya diidentifikasi sebagai pelaku
pelanggaran hukum pidana seperti penipuan, perampokan ataupun pencurian saja, sedangkan
bentuk kejahatan atau perilaku menyimpang secara lokalnya tidak pernah ditelusuri dan
dikemukakan dalam tuntutan pidana. Beberapa pakar kriminologi berpendapat acuan definisi
beberapa perilaku menyimpang lokal dalam hukum positif masih kabur, sekedar untuk
memenuhi unsurunsur penipuan, perampokan atau pencurian saja, tidak secara mendalam
menelusuri proses dan kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi kejahatan atau perilaku
menyimpang tersebut,sehingga hal ini hanya menjadi konsumsi publik lokal terkait kejahatan
dan perilaku menyimpang sebagai bagian dari budaya masyarakat setempat.

Adapun beberapa jenis kejahatan atau perilaku menyimpang tersebut adalah pertama, budaya
minum di Sulawesi Utara khususnya Manado dan Minahasa. Kedua, fenomena preman dan
duta di Sumatera Selatan khususnya Palembang dan Kayu Agung, dan ketiga, Tajen atau
perjudian yang dikaitkan dengan acara sakral Tabuh Rah di Bali

Budaya minum di Sulawesi Utara (Manado,Minahasa) seringkali dikaitkan dengan perilaku


mabuk-mabukan. Sudah banyak pelaku mabukmabukan di tangkap dan masuk dalam prose
peradilan pidana, tetapi budaya minum tetap saja berlangsung. Budaya minum alkohol di
Manado dan

sekitar mempunyai latar belakang ritual adat pemersatu (Watu Pinawetengan). Budaya
minum ini berbeda dengan perilaku mabuk-mabukan yang dilakukan beberapa orang yang
kemudian mendapat hukuman penjara. Budaya minum ini selalu menjadi kambing hitam
terjadinya mabukmabukan. Budaya minum di Sulawesi Utara merupakan kebiasaan (budaya)
yang seringkali dikaitkan dengan kejahatan dan perilaku menyimpang tanpa menelusuri akar
sosial budaya yang melatarbelakangi.

fenomena preman di Palembang bukanlah spontan dan kebetulan tetapi bagian dari budaya
kejahatan yang berlangsung lama dan “warisan kekerasan” yang dilatarbelakangi proses
sosial budaya setempat, sehingga penanganan model kejahatan dan perilaku menyimpang
seperti ini tidak dapat disamakan dengan penanganan pada umumnya.fenomena
Duta dekat dengan perilaku kekerasan yang dilatarbelakangi kebiasaan lokal dan keterbatasan
sumber daya alam. Duta merupakan fenomena lokal yang selalu dikaitkan dengan kejahatan
atau perilaku menyimpang. Berikut faktor-faktor yang memunculkan kejahatan yang disebut
Duta. Dalam bahasa lokal Duta dikenal dengan kratak.Fenomena preman dan duta di
Palembang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda dengan tempat lain.

Perilaku menyimpang perjudian tampak dalam acara sabung ayam (Tajen),berbedah dengan
Tabuh Rah. Tabuh Rah adalah kegiatan formal dalam prosesi upacara keagamaan di Bali
acara Tabuh Rah dipakai sebagai kedok untuk terhindar dari razia pihak kepolisian yang
jelas-jelas melarang Tajen karena sarat dengan praktik perjudian.Kegiatan tersebut sulit
diberantas karena bagian dari kebiasaan (budaya) masyarakat setempat.

Perilaku kejahatan dan menyimpang pada 3 masa sangat berbeda Makna


kejahatan dan perilaku menyimpang saat ini dapat berbeda dan saling bertentangan di mata
pelaku kejahatan, politisi, peradilan kriminal,pengambil kebijakan kriminal dan media.
kejahatan selalu berubah waktu kewaktu mengikuti kebudaya masyarakat itu sendiri.
Artikel II

Dalam masyarakat industri modern, isi hukum pidana, pertolongan,keadilan, dan penderitaan
hukuman yang, setidaknya sebagian, hasil dari proses politik di mana yang kuat memiliki
pengaruh terbesar. Kejahatan, kemudian, akhirnya berakar pada ketimpangan ekonomi-
politik dengan cara yang mendalam: ketidaksetaraan politik membentuk definisi tentang apa
yang merupakan perilaku kriminal. Ini bukan untuk menyangkal bahwa konsensus yang luas
ada tentang kejahatan berat. Berakar pada tradisi lisan hukum umum
di Eropa selama abad pertengahan, mala en se hukum kemudian diadopsi ke dalam hukum
pidana AS. Sebaliknya, mala prohib- ita kejahatan, seperti pelanggaran lalu lintas atau
undang-undang pajak, dibenarkan bukan atas dasar kemarahan moral, melainkan sebagai
diperlukan untuk masyarakat teratur dan tertib. hukum tersebut biasanya disahkan oleh
legislatif melalui proses politik di mana kelompok yang kuat secara politik berhasil sumber
memobilisasi untuk mewujudkan kepentingan mereka dalam hukum-kadang meskipun
perselisihan populer.

Edwin Sutherland (1949) menciptakan istilah “Kejahatan kerah putih” - “kejahatan yang
dilakukan oleh anak-anak per- kehormatan dan status yang tinggi dalam perjalanan tion
occupa- mereka” -untuk menarik perhatian kelas mala prohibita pelanggaran, besar- ly
diabaikan oleh kriminolog dan warga. Sutherland menunjukkan bahwa pelanggaran ini,
dilakukan oleh anggota dari kelas atas,berbedah dengan kejahatan seperti orang-orang yang
dilakukan oleh kelas bawah, dan hanya berbeda dalam prosedur administratif yang digunakan
dalam berurusan dengan pelaku.Sutherland engemukakan bahwa semua kejahatan dipelajari
melalui asosiasi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi dalam kelompok yang
intim, yang mencakup belajar teknik untuk kejahatan serta definisi yang menguntungkan dan
tidak menguntungkan untuk kejahatan.

.Tannenbaummencatat bahwa pada waktu perilaku anak, yang didefinisikan oleh anak
sebagai kesenangan, kegembiraan, dan bermain, didefinisikan oleh komunitas yang lebih
besar sebagai jahat, buruk, dan tidak bertanggung jawab. Akibatnya, anak tersebut diberi
label sebagai anak nakal, atau pengacau, oleh masyarakat dewasa yang lebih besar dan dipilih
untuk hukuman, atau pengobatan.

Karena banyak teori kriminologi klasik berasal dari sekolah cago Chi-sosiologi, mekanisme
kausal mereka konsisten dengan sudut pandang pragmatis kami. Kami berpendapat bahwa,
dalam banyak kasus, mereka menjadi kasus khusus dari pragmatis model pengambilan
keputusan umum. model sosial-psikologis kita menyiratkan bahwa kelompok-kelompok
terorganisir maupuninformal mengendalikan perilaku individu. Dalam suatu kelompok,
kuncinya adalah apakah, dalam organisasi peran, ada beberapa peran di mana tindak pidana
yang baik diharapkan atau ditoleransi. Organisasi peran tersebut akan mencakup informasi,
sikap, dan identitas untuk perilaku kriminal. Dalam organisasi keuangan, penggelapan
biasanya hasil dari pemecahan individu terisolasi masalah keuangan menggunakan
rasionalisasi. organisasi keuangan lainnya, seperti skema Ponzi, yang diselenggarakan
mantan plicitly untuk membuat uang dengan menipu investor.

Kami membangun pada pekerjaan sebelumnya Sutherland (1947) dan Matsueda (2006a)
untuk menentukan organisasi lingkungan diferensial, di mana organisasi kejahatan adalah
sistem sosial memproduksi khasiat kolektif dan kontrol social informal dan organisasi yang
mendukung kejahatan adalah sistem social memproduksi kode jalan (lihat Matsueda 2013).
Masing-masing sistem social menarik eksplisit dari argumen struktural tesis kelas bawah WJ
Wilson dari tingginya tingkat kekerasan kriminal di lingkungan dalam kota. Para peneliti
telah meneliti mekanisme sebab-akibat lingkungan tingkat dimana kondisi struktural lokal
menghasilkan kejahatan (misalnya, Sampson & Groves 1989).

Dalam studinya lingkungan Latino dalam kota, Horowitz (1983) mengidentifikasi dua kode
budaya yang berbeda. Kode instrumental dari American Dream, yang diselenggarakan
keberhasilan sekitar ekonomi, adalah ekspose oleh anggota masyarakat, namun konflik
dengan realitas pengalaman negatif di sekolah-sekolah kelas bawah dan pekerjaan yang
tersedia, masing-masing gagal warga link ke budaya yang lebih luas. Kode kehormatan,
diselenggarakan di sekitar hormat, kedewasaan, dan rasa hormat,adalah ekspose oleh orang-
orang muda di jalanan; pelanggaran kode dapat menyebabkan kekerasan. Identitas jalan
pemuda dibentuk oleh respon mereka untuk menghina, negosiasi ancaman terhadap
kedewasaan, dan kemampuan untuk mempertahankan kehormatan. Dalam studinya tentang
lingkungan Afrika-Amerika dalam kota di

Philadelphia, Elia Anderson (1999) memberikan gambaran nyata mungkin sebagian kode
budaya jalan. Anderson berpendapat bahwa “kode jalan” berakar pada keadaan setempat
kemiskinan ghetto seperti yang dijelaskan oleh tesis kelas bawah Wilson: kondisi Structural
kemiskinan terkonsentrasi, pengangguran, stigma ras, dan penggunaan narkoba menyebabkan
keterasingan dan rasa putus asa antara laki-laki kulit hitam muda di dalam kota, yang pada
gilirannya, menelurkan budaya oposisi yang terdiri dari norma-norma yang menyerukan
kekerasan. vantages disad structural mencegah laki-laki dalam kota muda hitam dari
mendapatkan rasa hormat dan harga diri dari sekolah dan bekerja, yang menempatkan mereka
pada risiko budaya jalan. Kode mengatur dan mengorganisir kekerasan di jalan-jalan. Sebagai
fitur kelembagaan kehidupan jalanan, itu menghasilkan insentif yang kuat untuk memperoleh
pengetahuan tentang prinsip-prinsip yang tidak hanya untuk “jalan” pemuda-yang
identitasnya terikat dengan jalan-tapi “layak” pemuda-yang identitasnya terikat dengan peran
konvensional -demikian juga. Mereka yang akrab dengan kode akan tahu bagaimana untuk
memproyeksikan citra diri sebagai “tidak akan mengacaukan dengan,” bagaimana mencegah
konfrontasi dengan menghindari kontak mata dengan orang lain, bagaimana berbicara cara
seseorang keluar dari sengketa tanpa kekerasan atau hilangnya rasa hormat. pemuda naif tahu
tentang kode tanpa disadari akan mengundang konfrontasi, tampaknya mangsa mudah, dan
tidak dapat escape altercations terluka. Mereka risiko korban kekerasan.

Tentu saja kehidupan kriminolog menemukan pola yang konsisten dari tingkat kejahatan
di seluruh rentang kehidupan. Secara khusus, dari usia kesalahan (sekitar umur 7),
kejahatan dimulai pada tingkat rendah, meningkat drastis sampai tahun-tahun puncak
sekitar 15-25 (tergantung pada kejahatan), dan kemudian jatuh perlahan di sisa tahun
usia. Kurva usia-kejahatan in variasi cludes di usia onset, ketekunan, dan desistance (lihat
Moffitt 1993). agresi remaja, pelanggaran properti, dan penyalahgunaan sub- sikap yang
sangat positif terkait dengan prilaku kriminal IOR di kemudian hari (Farrington 1986).
Memang, korelasi antara masa kanak-kanak dan agresi dewasa muncul sebagai stabil
seperti yang IQ (misalnya, Caspi, Elder & Bem 1987; Farrington 1991),mencapai setinggi
.63. Gottfredson dan Hirschi (1990) menafsirkan pola ini sebagai kejahatan yang stabil, sifat
relatif tidak berubah harus dijelaskan dengan stabil lainnya, sifat relatif tidak berubah harus
dijelaskan dengan stabil lainnya,sifat relatif tidak berubah. Sebaliknya, Sampson dan Laub
(1993) menafsirkan pola seperti menunjukkan bahwa pertiga hampir dua perubahan temporal
dalam kenakalan ini perlu penjelasan. Pada titik ini, Nagin dan Paternoster (2000)
menunjukkan bahwa kenakalan dapat didekomposisi menjadi dua elemen:menjabat
heterogenitas, yang menangkap perbedaan individu yang stabil, dibandingkan ketergantungan
negara, yang menangkap efek tertinggal berada di negara (misalnya, tunggakan) dalam satu
periode yang tersisa di negara itu pada periode berikutnya. Hasil penelitian deskriptif ini pada
komponen-komponen kurva usia-kejahatan,bersama dengan penelitian tentang masa hidup,
menunjukkan bahwa masa kanak-kanak,remaja, dan dewasa tahapan penting yang kenakalan
dan kejahatan bervariasi selama rentang kehidupan.
Selama masa kanak-kanak, hubungan keluarga dan pengasuhan bentuk lintasan masa depan
kenakalan, dan mungkin bantuan menengahi disposisi pra genetik untuk agresi (Guo,
ROETTGER & Cai 2008). strategi disiplin orangtua yang menekankan kehangatan,
pengawasan yang ketat, dan otonomi psikologis anak berhubungan dengan kurang quency
menggambarkan batasan pada masa remaja, yang,pada gilirannya, berhubungan dengan
kejahatan yang kurang di usia dewasa (Gershoff 2002; Lamborn etal 1991;. Steinberg &
Morris 2001). pengasuhan ini strategi-disebut “pengasuhan otoritatif” oleh Baumrind (1967)
anak -Memberikan dengan menentukan keseimbangan kunci dari dukungan dan struktur,
membangun apresiasi Konsekuensi dari tindakan independen sambil membangun
kepercayaan diri melalui pemikiran independen (Gray & Steinberg 1999). Kebanyakan
pencari kembali menekankan efek pengasuhan praktek sebagai prediktor nous exoge-
perilaku anak. Parenting, bagaimanapun, adalah kemungkinan hasil dari interaksi sosial
antara orangtua dan anak, di mana Dren chil- memainkan peran penting dengan berolahraga
badan (Scarr 1992). Misalnya, pemantauan orangtua memerlukan tidak hanya bagaimana
orang tua accom- pengawasan plish, tetapi juga bagaimana anak-anak mengelola informasi
tentang perilaku pribadi mereka (Stattin & Kerr 2000).

Parenting dan hubungan keluarga dapat melanggengkan ketidaksetaraan dengan


mereproduksi perilaku yang konsisten dengan perpecahan sosial yang ada, seperti ras dan
gender. Misalnya, diferensialisasi sociai orangtua laki-laki dan perempuan telah dikaitkan
dengan pembentukan identitas dered gen-, yang mengarah ke perbedaan hasil perilaku seperti
kejahatan (misalnya, LaGrange & Silverman 1999). Orang tua tradisi yang tionally
menganggap bahwa anak perempuan yang lemah dan membutuhkan perlindungan, dan
karena itu memantau anak perempuan lebih dekat daripada anak laki-laki (misalnya, anak
Svens- 2003). Sementara itu, karena anak laki-laki diasumsikan mereka lebih mungkin untuk
diberi label sebagai anak-anak atau aturan pemutus (Bartusch & Matsueda 1996) yang buruk.

Baru-baru ini, Lareau (2002) menggunakan metode kualitatif untuk mengidentifikasi


beberapa cara bernuansa di mana keuntungan dinikmati oleh kelas menengah orang tua yang
diturunkan kepada anak-anak mereka. Dia menemukan bahwa keluarga kelas dle pertengahan
lebih mahir dan percaya diri dalam mengelola dan menavigasi lembaga konvensional, seperti
sekolah dan organisasi perawatan kesehatan, yang penting untuk anak-anak mereka
kesejahteraan. Kelas menengah orang tua kedua pameran dan mengirimkan anak-anak
mereka kepercayaan,dan ketegasan yang dibutuhkan untuk sukses di lembaga-lembaga
tersebut. Sebaliknya, keluarga kelas miskin dan bekerja kurang pengalaman yang diperlukan,
keterampilan, dan latar belakang untuk sekolah menavigasi, sistem perawatan kesehatan, dan
sistem hukum, yang mengarah ke merasa-ings dari ketidakberdayaan, keterasingan, dan
ketidakpercayaan profesional.

ketimpangan sosial ekonomi dapat diperburuk oleh beberapa membangun struktur


kendala pada aspek dari sistem pendidikan. siswa yang kurang beruntung terasing dari
sekolah gagal untuk menggabungkan organisasi konvensional sekolah, harapan, dan aturan
dalam mereka umum lainnya, yang mengarah ke investasi bawah- di sekolah dan risiko yang
lebih besar untuk kejahatan dan penahanan (misalnya, Hirschi 1969). Willis (1977)
menguraikan proses melalui mana sekolah menjadi situs pusat untuk anak-anak dari latar
belakang oeconomic ologists yang berbeda untuk mulai membentuk identitas kelas. Anak-
anak dari latar belakang miskin dan kelas bekerja belajar “oposisi” script dari orang tua
mereka dan kemudian rekan-rekan mereka. Script ini terdiri dari kecurigaan otoritas,
pembangkangan dan tindakan-tindakan lain quency menggambarkan batasan, dan pandangan
sekolah sebagai tidak perlu dan ketertiban illegitipasangannya. Siswa mereproduksi skrip ini
dengan bertindak keluar, bolos sekolah, tidak menghargai guru, terlibat dalam vandalisme,
dan tidak termasuk conforming siswa dari kelompok sosial mereka,akhirnya menyebabkan
kenakalan.

Ada bukti bahwa efek dari rekan-rekan di kenakalan menurun seiring dengan usia,
mungkin karena mereka mendapatkan lebih tua, individu semakin kebal dari pengaruh teman
sebaya dalam pengambilan keputusan mereka, termasuk keputusan untuk melakukan tindak
pidana. Pandangan lain berpendapat bahwa sebagai usia individu, rekan-rekan dari remaja
menjadi turun, karena mereka digantikan oleh orang lain yang berpengaruh baru, seperti es
spous- dan rekan (Warr 2002). Perubahan tersebut dalam arti penting terkait dengan usia
dinilai transisi peran yang menyertai dewasa. Usia muda menjadi dewasa, mereka
menghadapi beberapa transisi peran usia-dinilai, banyak yang terkait dengan desistance dari
kejahatan, yang berkontribusi terhadap penurunan panjang dalam kurva usia-kejahatan. Satu
transisi kunci, pekerjaan yang stabil, tidak hanya terkait dengan kejahatan Hasilnya adalah
reorganisasi hidup jauh dari kejahatan dan pengembangan identitas non-kriminal tertanam
dalam kelompok non kriminal.

Selama 40 tahun terakhir, respon kebijakan untuk kejahatan telah bergeser jauh dari
rehabilitasi dan pengalihan untuk lebih menekankan pada langkah-langkah hukuman sizing
penahanan. Kebanyakan kriminolog setuju bahwa massa incarcera- tion dengan sendirinya
merupakan kebijakan yang tidak efektif untuk memerangi kejahatan. Namun demikian,
dengan kebijakan seperti “tiga pemogokan,” kalimat wajib minimum, dan perang terhadap
narkoba, kita telah melihat perluasan belum pernah terjadi sebelumnya penahanan dalam
beberapa tahun terakhir.

Kami telah mengeksplorasi hubungan antara ketimpangan dan kejahatan. Sebagian besar
penelitian tentang ketimpangan dan kejahatan berfokus pada konsep tingkat makro dan
memperkirakan model tingkat makro menggunakan data tingkat kejahatan agregat. Untuk
menambah model seperti itu, kami telah mencoba menggabungkan proses psikologis sosial
untuk menyediakan mikrofoundasi bagi hubungan makro antara ketimpangan dan kejahatan.
Secara khusus, kami menyajikan psikologis sosial multi-level yang terintegrasi teori
kejahatan untuk mengidentifikasi mikro-yayasan dan spesifik mekanisme sebab akibat
dimana ketimpangan dapat menghasilkan kejahatan dan penyimpangan. Model kami, yang
berakar pada pragmatisme, menekankan bagaimana partisipasi dalam kelompok yang
terorganisir mendukung atau mencegah kejahatan menghasilkan identitas, preferensi, dan
kebiasaan yang dapat mempromosikan atau menghalangi perilaku criminal. Penelitian di
masa depan diperlukan untuk menyempurnakan dasar psikologis sosial ketidaksetaraan dan
kejahatan. Pertama, penelitian tentang cara-cara kompleks di mana tindakan individu, baik
terhadap memfasilitasi kejahatan atau mengendalikan kejahatan, menciptakan aksi kolektif
dan hasil yang makro, diperlukan. Kedua, penelitian cara konkret di Indonesia dimana sistem
hukum menghasilkan perbedaan rasial dalam penangkapan, hukuman, dan penahanan
diperlukan untuk melampaui apa yang pada dasarnya kotak hitam. Ketiga, penelitian harus
mengarah pada kejahatan di baju putih kerahasiaan dan kejahatan korporasi untuk
mendapatkan pemahaman penuh tentang ketidaksetaraan dan cakupan penuh perilaku
kriminal.

Anda mungkin juga menyukai