Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio (Fockema Andrea, 1951) atau
corruptus (Webster Student Dictionary, 1960). Selanjutnya, disebutkan pula bahwa corruptio
berasal dari kata corrumpere—satu kata dari bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
tersebut, kemudian dikenal istilah corruption, corrupt (Inggris), corruption (Perancis), dan
“corruptic/korruptie” (Belanda). Indonesia kemudian memungut kata ini menjadi korupsi.
Arti kata korupsi secara harfiah adalah “sesuatu yang busuk, jahat, dan merusakkan (Dikti,
2011). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, korupsi didefinisikan lebih
spesifik lagi yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan,
organisasi, yayasan, dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius, yang tentu melarang tindak korupsi
dalam bentuk apa pun. Agama apa pun melarang tindakan korupsi seperti agama Islam yang
juga mengecam praktik korupsi. Istilah riswah terdapat dalam Islam yang bermakna suap,
lalu di Malaysia diadopsi menjadi rasuah yang bermakna lebih luas menjadi korupsi.
Apa yang dikecam Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga setiap pihak yang
ikut terlibat dalam tindakan korupsi itu. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa korupsi
masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradoks ini menandakan bahwa ajaran
agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

1.2 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui konsep korupsi dan korupsi dalam perspektif agama
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Korupsi
Korupsi diturunkan dari kata korup yang bermakna 1) buruk; rusak; busuk; 2) suka
memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Selain itu, ada kata koruptif yang bermakna
bersifat korupsi dan pelakunya disebut koruptor.
Syed Hussein Alatas menyebutkan adanya benang merah yang menjelujur dalam
aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan
pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, diikuti
dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan kemasabodohan yang luar biasa akan
akibat yang diderita oleh masyarakat.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, korupsi dikategorikan sebagai tindakan setiap orang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menguntungkan
diri sendiri dan orang lain yang bersifat busuk, jahat, dan merusakkan karena merugikan
negara dan masyarakat luas. Pelaku korupsi dianggap telah melakukan penyelewengan dalam
hal keuangan atau kekuasaan, pengkhianatan amanat terkait pada tanggung jawab dan
wewenang yang diberikan kepadanya, serta pelanggaran hukum.
Permasalahan korupsi dapat dilihat dalam berbagai perspektif yang meliputi
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, serta pertahanan keamanan nasional. Pada
subbab ini akan dibahas korupsi dalam aspek budaya, agama dan hukum.

2.2 Korupsi dalam perspektif agama


Menerapkan nilai-nilai agama dan etika menjadi filter bagi setiap individu. Manusia
menyadari ada kehidupan setelah kematian, dan setiap orang akan mempertanggungjawabkan
setiap perbuatan yang dilakukan. Perbuatan korupsi adalah dosa, harta hasil korupsi adalah
barang haram, yang akan membawa akibat yang tidak baik bagi diri sendiri, keluarga, dan
masyarakat.
Akibat tersebut bisa langsung terasa di dunia, atau mungkin nanti berupa siksa di
neraka. Kesadaran akan hal ini, membuat setiap orang lebih berhati-hati, dan tidak terjebak ke
dalam perilaku korupsi.
Dalam konteks perilaku korup, agama sebagai dasar dari segala kepercayaan dan
keyakinan tiap individu berperan penting. Dalam semua ajaran agama, tidak ada yang
mengajarkan umatnya untuk berlaku atau melakukan tindakan korupsi. Namun, pada
kenyataannya praktik korupsi sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan orang-orang
beragama.
Agama memang mengajarkan dan mengarahkan para penganutnya untuk hidup jujur,
lurus, dan benar. Korupsi termasuk kategori perilaku mencuri yang diharamkan agama dan
tindakan pendosa. Logikanya seseorang yang beragama atau memegang teguh ajaran
agamanya tidak akan melakukan korupsi.
Mengapa terjadi demikian? Penyebabnya tentu dapat dilihat dari berbagai perspektif.
Harus disadari bahwa kelakuan seseorang tidak hanya ditentukan oleh agamanya. Ada
banyak faktor yang memengaruhi orang untuk bertindak atau berperilaku koruptif, antara lain
faktor genetik, faktor neurologis, factor psikologis, faktor sosiologis, faktor pendidikan dan
pengasuhan.
Agama berperan dalam proses pendidikan dan pengasuhan manusia untuk membentuk
jati diri, watak, dan perilaku manusia yang saleh dan beriman. Ada faktor-faktor lain yang
bisa mengalahkan pengaruh ajaran agama sebagai godaan manusiawi, yaitu nilai-nilai agama
tidak menjadi pedoman dalam tindak perilaku di masyarakat, ketiadaan apresiasi terhadap
nilai-nilai kemuliaan disertai dengan lemahnya disiplin diri dan etika dalam bekerja, serta
adanya sifat tamak dan egois yang hanya mementingkan diri sendiri.
Tindakan yang dilakukan itu merupakan tindakan tercela. Padahal semua agama tidak
ada yang mengajarkan umatnya untuk berlaku atau melakukan tindakan korupsi. Namun,
kurangnya pengalaman terhadap nilai-nilai agama menjadikan para penganut agama tetap
melakukan korupsi. Sebaiknya kita sebagai warga Negara Indonesia yang beragama tidak
mencontoh perbuatan tersebut karena kita telah mendapat pendidikan sejak dini untuk
menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, mulai dari diri sendiri kita
dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Sebagai gaya hidup modern, orang dapat dengan mudah melupakan atau dengan
sengaja mengabaikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya, lalu melakukan tindak pidana
korupsi. Ada kalanya uang hasil tindak pidana korupsi itu digunakan untuk hal-hal yang
berbau religi. Jika dalam suatu Negara seluruh penduduknya tercatat beragama dan
menjalankan ritual keagamaan, tetapi korupsi tetap ada dan bahkan meningkat, kenyataan ini
menunjukkan bahwa peran agama dalam negara itu tidak optimal membentuk jati diri, watak,
dan perilaku warga masyarakatnya. Dalam hal ini tentu harus ada introspeksi diri dari kita
semua, termasuk dari para pemuka agama. Selain itu, diperlukan perangkat lain untuk
mencegah dan memberantasnya seperti penegakan hukum pada suatu negara karena tidak
semata tugas pencegahan ini diserahkan dalam perspektif pendidikan agama.
Jadi, peran agama tetaplah penting dan bersamaan dengan itu hukum positif harus
ditegakkan tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi harus menjadi kegiatan serius negara
yang dilakukan secara berkesinambungan.
Para pemuka agama harus menjadi teladan dan figur yang menunjukkan sikap berintegritas
serta antikorupsi.
Pada kenyataannya praktik korupsi sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan orang-
orang beragama. Orang yang beragama tentunya sudah mengetahui mengenai apa yang
diperbolehkan dan apa yang dilarang oleh agamanya. Pada kasus ini, apabila seseorang yang
melakukan korupsi adalah orang yang memahami agama dan mengetahui bahwa korupsi itu
diharamkan, maka berarti orang tersebut telah menyalahi ajaran agamanya. Sebaiknya sikap
kita apabila menjumpai orang seperti itu dalam kehidupan sehari-hari adalah menasehatinya,
selain itu sebagai masyarakat dapat memberikan hukum sosial bagi pelakunya untuk
memberikan efek jera terhadap tindakannya dan jika hal tersebut tidak memberikan efek jera
kepada pelakunya dan tetap melakukan tindakan korupsi kita serahkan kepada yang berwajib.

a. Korupsi dalam agama hindu dan budha


Selain Sloka dalam kitab Sarasamuscaya sebagaimana tersurat dalam kutipan di atas,
salah satu Sloka dalam kitab Menawa Dharmasastra (VIII,14—15) juga dapat
diinterpretasikan sebagai pendidikan anti kuropsi. Adapun sloka dimaksud berbunyi:
Ytra dharmo hyadharmena Satyam yatranrtena ca,
Hanyate preksa mananam Hastastatra sabhasadhah
Dharmo ewa hasto hati Dharmo raksati raksatah
Tasmaddharmo na hantawyo mano Dharmo hato wadhit
Artinya:
Di mana keadilan itu dirusak oleh ketidakadilan atau kebenaran dirusak oleh kebohongan,
sedangkan hakim melihatnya, maka ia akan dihancurkan, oleh karena itu keadilan jangan
dilanggar, sebab melanggar keadilan akan menghancurkan kita sendiri.
Nilai pendidikan yang paling mencerminkan konsep pendidikan anti korupsi dalam
ajaran Hindu adalah Asteya (yakni larangan mencuri) seperti yang disebutkan dalam Sloka
149 Kitab Sarasamuscaya sebagai berikut.
Yapwan mangke kraman ikang wwang, angalap maasning mamaas, makapanghada
kasaktinya, kwehning hambanya, tatan mas nika juga inalap nika, apa pwa dharma, artha,
kama nika milu kaalap denika.
Artinya:
Jika ada orang yang merampas kekayaan orang lain dengan berpegang pada kekuatannya dan
banyak pengikutnya, malahan bukan harga kekayaan hasil curiannya saja yang terampas
darinya, tetapi juga dharma, artha, dan kamanya itu turut oleh karena perbuatannya.
Meski larangan untuk mencuri dan merampas hak orang lain demikian eksplisitnya
ditegaskan dalam kitab suci Veda, namun dalam kenyataannya sebagaimana disinggung
dalam uraian di atas, bahwa Agama Pasar yang telah menyediakan barang secara melimpah
tidak saja mengakibatkan manusia menotemkan barang, tetapi juga melahirkan pula manusia
yang hedonis dan konsumtif.
Dalam agama budha : tujuan hidup yaitu nirwana (puncak), manusia korup akan tak
bahagia.

Dalam kasus-kasus korupsi, sesungguhnya para pelakunya tak hanya mengkorupsi uang,
tetapi lebih dari itu ia telah melakukan korupsi moral. Sebab, dengan perilaku korupnya, ia
sesungguhnya telah melakukan destruksi dan kontaminasi atas keluhuran nilai-nilai moral
dan hati nurani yang diwariskan para pendahulu yang luhur budi.

b. Korupsi dalam agama islam


Korupsi juga merupakan wujud prahara sosial. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Fajr/89:
15-20, disinyalir bahwa masalah sosial disebabkan oleh empat hal yakni: Pertama, sikap
ahumanis, yakni tidak memuliakan anak yatim. Kedua, asosial, yakni tidak memberi makan
orang miskin. Ketiga, monopolistik, yaitu memakan warisan (kekayaan) alam dengan rakus.
Keempat, sikap hedonis, mencintai harta benda secara berlebihan. Dilihat dari empat hal
tersebut, korupsi masuk dalam setiap sendi itu.
Dalam fiqih atau literatur islam secara umum tidak ditemukan sebuah istilah yang
mengandung makna korupsi secara menyeluruh, namun demikian, berdasarkan tindakan-
tindakan yang dikategorikan korupsi dalam hukum positif indonesia berdasarkan konsep-
konsep kejahatan- maliyyah dalam fiqih, terdapat tiga unsur utama :
1. Adanya tasharruf, yaitu perbuatan yang bisa berarti menerima,memberi, dan
mengambil.
2. Adanya penghianatan terhadap amanat kekuasaan.
3. Adanya kerugian yang di tanggung oleh masyarakat luas atau publik.
Berdasarkan unsur-unsur diatas, maka ada tawaran definisi korupsi menurut
pandangan islam, yaitu:
a. korupsi adalah suatu bentuk tasyaruf yang merupakan penghianatan atas amanah yang
di emban dan dapat merugikan publik secara finansial, moral maupun sosial.
b. korupsi adalah sebuah tindakan yang menyalahi hukum dan merupakan penghianatan
atas amanah serta dapat meninglkan kerugian publik.
Allah Berfirman:
Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
(162). Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali
membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali. (163) (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah,
dan Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan. (164) sungguh Allah telah memberi
karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. Dan
Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.

Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan alsuht


adalah harta haram. Ibn Khuzaim Andad, seperti yang dikuti oleh Al-Qurthubi, menjelaskan,
bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah bila seseorang makan karena kekuasaanya. Itu
lantaran dia memiliki jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu
keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali dengan adanya suap (risywah)
yang dapat diambilnya. Jika kembali dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi
seperti yang terjadi pada konteks kekinian.

Adapun Isyarat pendidikan anti korupsi dari ayat tersebut adalah:


a. Pentingnya mengetahui indikasi kebohongan yang dilakukan para koruptor untuk
mengamankan perkara mereka. Seperti upaya orang-orang Yahudi dalam
mempermainkan hukum sesuai kepentingan mereka, bahkan memojokkan Rasulullah
sebagai hakim sebagaimana dalam ayat tersebut.
b. Pentingnya menumbuhkan rasa percaya diri dan keimanan kepada Allah (spiritual
question) kecerdasan spiritual.
...jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudharat
kepadamu sedikitpun... (Q.S. al-Maidah : 42)
Meyakini tidak akan hancur dan jatuh apabila meninggalkan korupsi. Biasanya ketika
seseorang sudah merasa ketakutan akan kehilangan jabatan ataupun pengaruhnya,
selalu berusaha menutupinya walaupun harus menyuap mahal untuk.
c. Membiasakan adil dalam memutuskan perkara.
d. Menumbuhkan motivasi untuk kebaikan. Sebagaimana Allah berfirman :
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (Q.S. al- Maidah : 42)
Allah Swt. Juga berfirman dalam Q.S. al-Maidah : 38 :
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

c. Korupsi dalam agama Kristen


Perkataan korupsi memang tidak sekalipun muncul di Alkitab. Namun itu tidak
berarti, korupsi boleh dilaksanakan. Kasus Ananias-Safira (Kisah 5), Yudas sang Bendahara
adalah contoh riil betapa nasib malang menghadang jika mereka bermain api dengan
kejujuran. Timotius tentu bukan sebagai anggota ‘Gereja/Church Corruption Watch” ketika ia
berteriak nyaring bahwa permulaan kejahatan adalah cinta akan uang. (I Tim 6:10). Tetapi ia
sadari kalau akar dari segala kejahatan bermula dari sana.
Jauh sebelum Timotius, Yitro mertua Musa pun sudah mengingatkan agar keadilan
dan kejujuran ditegakan jangan berdasarkan uang. Para penegak 7igur harus kredibel dan
berkarakter. Itu sebabnya tatkala Musa harus memilih para hakim untuk membantunya
mengadili perkara, nasehat Yitro adalah pilih yang cakap dan takut akan Tuhan, dapat
dipercaya serta tidak mudah disuap (Kel 18:21). Artinya iman, intelektual dan moralitas
menjadi harga mati.
“Jangan Mencuri”(Kel 20:15) yang merupakan salah satu dari Sepuluh Hukum, juga
amat terang untuk dimengerti dan tidak perlu tafsir apa-apa. Itu artinya, firman Tuhan dengan
segala konsekuensinya sungguh amat jelas. Pilihannya terserah kita. Dasar-dasar
implementasi kehidupan dalam segala aspek sudah ditetapkan Alkitab. Terang dan tidak
rumit. Lalu jika kita dengan sengaja membelokan, tentu kita juga tahu resikonya.
Perspektif iman kristiani dalam merespon segala bentuk deviasi 8igure adalah tegas, tidak
kompromi dan tidak toleransi. Ketaatan dan kepatuhan akan nilai-nilai kehidupan, tidak igure
serta merta. Ia tumbuh dalam internalisasi nilai-nilai yang cukup lama melalui proses
pendadaran yang disebut pendidikan.
Pendidikan menjadi poros utama proses produksi sumber daya 8igure baik untuk
kepentingan 8igure, gereja maupun masyarakat. Mereka adalah stakeholder, yang menjadi
cermin terdepan terhadap buram dan terangnya lulusan yang dihasilkan institusi pendidikan
igure.
Itu sebabnya tanggung jawab lembaga pendidikan 8igure8 sungguh tidak ringan.
Gelombang demoralisasi yang mengepung dimana kita mengayunkan biduk di tengah
samudra pembelajaran, luar biasa beratnya. Salah ayun sedikit saja 8igu-bisa kita terbawa
arus. Itulah kata lain,mengapa tidak adanya toleransi dan kompromi atas segala manifestasi
deviasi 8igure secara tegas harus menjadi sikap utama. Ibarat apalah artinya garam jika sudah
kehilangan rasa asinnya.
Lembaga pendadaran kristiani tidak punya banyak pilihan. Ikut arus, terbawa arus
atau teguh berdiri menentang arus. Moralitas adalah ‘character building’ yang membutuhkan
igure dan sinergi kekuatan ekstra besar secara 8igure8us8v. Dapat dipastikan jika diantara
lembaga yang sangat 8igure8us8ve berjalan sendiri-sendiri, cepat atau lambat akan tergulung.
Ombak besar mestinya semakin menyatukan langkah ayunan dengan tidak lagi
menoleh kanan-kiri kepentingan altar masing-masing. Ingat ketika perahu murid-murid
hendak karam? Meskipun satu tim perjalanan, rupanya diantara anggota sudah sangat berpikir
bagaimana menyelamatkan diri duluan. Maka lembaga pendidikan 8igure8 mestinya kembali
ke 8igur utama. Bagaimana 8igu sampai tujuan dengan mengibarkan panji Kristus tanpa
kehilangan jatidiri sebagai pelita yang bias menerangi sekeliling.
Lembaga pendidikan 8igure8 sekalipun kecil harus terlibat aktif dalam mencegah-
tangkal semakin maraknya perilaku koruptif. Perang antikorupsi ibarat melakukan
perlawanan kepada proyek megaskandal. Tidak mudah memang, tapi kita mesti ambil peran.
Bukankah kesuksesan Daud mengampaskan Goliath 8igu menjadi inspirasi sesuatu itu 8igu
kita lakukan dari yang kecil?
Penyakit-penyakit moral seperti korupsi, ketidaktaatan warga 9igure atas pemerintah
karena pemerintahnya juga tidak 9igu menjadi teladan, kemalasan anak-anak sekolah untuk
belajar, kerusakan 9igure di sekolah-sekolah yang menyebabkan pendidikan tidak berjalan
dengan baik, budaya pungli, tergesa-gesa dalam beberapa urusan, dan kemalasan-kemalasan
lain yang menyelimuti kehidupan umat beragama merupakan bagian tak terpisahkan yang
harus direspons agama-agama jika agama tidak ingin kehilangan “elan vitalnya” di tengah
kehidupan riil umatnya.
Tentu saja tidak sederhana memberikan beban berat penyakit-penyakit social yang
terus bertumpuk pada agama. Tetapi membiarkan penyakit-penyakit social tersebut terus
menggelinding di tengah masyarakat juga sama artinya dengan meninggalkan tanggung
jawab agama pada masalah 9igure yang di hadapan umatnya. Jelas harus ada pembagian
peran antara agama dan kekuasaan. Persoalannya, kekuasaan acapkali tidak peka dengan
persoalan kemanusiaan yang terus bertumpuk, sementara agama juga dikonstruksikan
sebagaimana rezim kekuasaan berjalan. Ini adalah problem internal agama itu sendiri
berhadapan dengan masalah kemanusiaan yang bertumpuk.
Jika kita perhatikan soal penyakit 9igure seperti korupsi misalnya. Korupsi di negeri
penduduk mayoritas beragama ini berada dalam posisi yang mengerikan. Indonesia selalu
menjadi juara Asia dan peringkat lima dunia dalam korupsi. Hal ini berarti bahwa korupsi
benar-benar menjadi problem serius dalam masyarakat 9igure9us. Korupsi di negeri
9igure9us ini dilakukan dari tingkatan paling rendah sampai paling tinggi. Dari kelurahan
sampai lembaga kepresidenan. Dari dewan perwakilan rakyat daerah sampai birokrasi
pemerintahan. Bahkan korupsi juga dilakukan dari rumah ibadah sampai kamar mandi, dari
orang yang agak alergi agama sampai yang bergelar keagamaan seperti kiai haji (dalam
Islam) dan pendeta dalam Kristen atau pengkotbah.
Berita-berita bahwa perilaku korupsi sudah menggurita merupakan fenomena yang
sudah lama tumbuh di negeri ini. Tentu saja menjadi persoalan tersendiri tatkala umat
beragama sudah tidak merasa bersalah atau pun berdosa dalam melakukan pekerjaan yang
merugikan banyak orang, sekedar menguntungkan diri, keluarga dan kelompoknya. Korupsi
benar-benar telah menjadi habitus sehingga menjadi ritus 9igure di semua level kehidupan
penduduk. Korupsi jelas menciderai kesucian ajaran agama apa pun. Kesucian
agama dirobek-robek karena perilaku korup yang demikian hebat oleh orang-orang
beragama.
Disitulah tulisan ini ingin ditempatkan. Agama harus diperhadapkan secara langsung
dengan masalah-masalah riil kemanusiaan yang membelitnya, sebab hanya disitulah “elan
vital” profetik agama-agama akan bermakna, bukan pada kutbah-kutbah yang tidak 10igu
bersentuhan dengan realitas kemanusiaan. Misi profetik agama harus diarahkan pada
pemberantasan masalah-masalah social kemanusiaan tanpa pandang agama, suku, jenis
kelamin ataupun kelompok etnis mana pun. Pembelaan agama harus semakin jelas diarahkan
pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Agama harus digerakkan untuk memberantas
kedzaliman, kemungkaran 10igure, seperti korupsi, agama harus digerakkan untuk
mendorong umatnya menjadi umat yang rajin bekerja dengan benar, tidak menabrak aturan,
agama harus digerakkan agar umatnya giat bekerja, tidak menjadi pemalas, dan agama harus
digerakkan menjadi manusia yang saling percaya dan bersaudara. Persaudaraan 10igure harus
digerakkan segera sebab perpecahan umat agama dengan gampang muncul akibat tidak
adanya kepercayaan antar 10igure umat beragama di muka bumi.
Sifat manusia yang tidak pernah puas terhadap apa yang dimilikinya membuat
munculnya sifat serakah, suka dengan jalan pintas tanpa kerja keras dan budaya diIndonesia
sendiri yang masih money oriented menyebabkan banyak orang berlomba-lomba untuk
mendapatkan uang tanpa memikirkan halal haramnya. Sehingga dilihat dari hal tersebut dapat
melunturkan nilai-nilai agama yang tertanam dalam dirinya. Selain itu jabatan yang diduduki
menjadi salah satu factor penyebab terjadinya korupsi karena adanya kesempatan seperti
pengelolaan proyek yang dapat dimanipulasi.
Jadi, peran agama tetaplah penting dan bersamaan dengan itu 10igur positif harus
ditegakkan tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi harus menjadi kegiatan serius
10igure yang dilakukan secara berkesinambungan. Para pemuka agama harus menjadi teladan
dan 10igure yang menunjukkan sikap berintegritas serta antikorupsi

CONTOH KASUS KORUPSI

KOMPAS.com
Penetapan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap kuota
impor daging oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (30/1), sungguh mengejutkan.
Bagaimana mungkin presiden partai yang mengusung jargon citra bersih ternyata diduga
melakukan perbuatan yang dilarang agama. Bagaimana menjelaskannya?
Jika mau menengok ke beberapa tahun ke belakang, sebenarnya kita tak perlu ”kaget-kaget
amat”. Soalnya, kasus-kasus korupsi yang dianggap bersentuhan dengan ranah agama justru
banyak menyeret sejumlah tokoh.
Dana Abadi Umat (DAU) menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al
Munawar (Kabinet Gotong Royong 2001-2004), yang divonis hukuman lima tahun penjara
dan membayar denda Rp 200 juta serta uang pengganti Rp 2 miliar di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Februari 2006. Hampir bersamaan, DAU juga menyeret Dirjen Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Departemen Agama Taufik Kamil, yang divonis empat
tahun penjara.
Juni 2012, KPK menyidik dugaan korupsi dalam pengadaan Al Quran di Direktorat
Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama tahun anggaran 2010-2011. Anggota Badan
Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Jabbar, dan anaknya, Dendy Prasetya,
ditetapkan menjadi tersangka. Selain pengadaan Al Quran, Zulkarnaen juga terlibat korupsi
pengadaan laboratorium komputer madrasah tsanawiyah di Ditjen Pendidikan Islam.
Belakangan, pejabat pembuat komitmen di Ditjen Bimas Islam, Ahmad Jauhari, juga
ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam kasus Luthfi, beberapa alat bukti menunjukkan, suap dari PT Indoguna Utama
tersebut mengarah kepada anggota DPR itu. Namun, PKS pun membela diri. M Anis Matta,
yang menggantikan Luthfi sebagai presiden partai, bahkan menuding ada konspirasi untuk
menghancurkan partai tersebut. Namun, tampaknya publik percaya dengan KPK sebagai
lembaga profesional dan kredibel. Siapa pun yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh
komisi itu biasanya dapat dibuktikan kejahatannya di pengadilan.
Moralitas
Kita semua sepakat, korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena tak hanya
merugikan orang per orang, tetapi juga publik luas. Kejahatan ini menggerogoti dana negara
yang semestinya untuk pembangunan bagi rakyat. Semua agama jelas-jelas melarang keras
praktik korupsi (rasuah). Ajaran Islam bahkan menegaskan, penyuap (al-rosyi) dan penerima
suap (al-murtasyi) bakal masuk neraka dan menerima siksaan pedih.
Namun, mengapa banyak tokoh bisa terjerumus? Direktur Pusat Studi Agama dan
Demokrasi Yayasan Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi, membuat pesan berseri yang menarik di
laman Twitter lewat akun @ihsan_AF. Dia mengingatkan, kita jangan kaget oleh adanya
agamawan yang tak kuat menahan godaan korupsi.
Agama, kata Ihsan, bukanlah yang terpenting untuk menentukan perilaku. Lidah
seseorang boleh mengucapkan kalimat-kalimat bijak agama, tetapi bisa jadi perilakunya
menyimpang. Apalagi, ada dorongan kebutuhan material tinggi, konsumerisme menggila.
”Faktanya, negara-negara dengan tingkat ketaatan beragama tinggi juga adalah negara-negara
terparah korupsinya. Misalnya, Pakistan, India, Banglades, juga Indonesia. Politisi, sekuler
atau religius, bisa korup. Itu menyangkut agama apa saja,” catatnya.
Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Ali Munhanif menilai, agama tak bisa
sendirian melawan praktik korupsi. Batasan-batasan moral agama tidak cukup kuat untuk
mendorong seseorang tetap bermoral ketika memperoleh peluang dan punya kekuasaan. Perlu
batasan-batasan legal yang bisa memaksa siapa pun untuk mematuhi larangan korupsi.
”Kita memerlukan penegakan hukum tegas dan adil serta memperkuat lembaga
pemberantasan korupsi,” katanya.
Menurut Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, nilai-nilai
agama tetap relevan untuk memperkuat moralitas antikorupsi di masyarakat dan
pemerintahan. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesalehan sosial dapat terus
dikembangkan lewat pendidikan dan lembaga agama. Penting juga keteladanan dari para
pemimpin, pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab, serta publik yang kritis.
Tokoh-tokoh agama juga perlu menjadi contoh melawan korupsi dan mencegah lembaga
agama sebagai tempat pencucian uang hasil korupsi. (Ilham Khoiri)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan tentang korupsi diatas kami dapat mengambil kesimpulan bahwa
korupsi merupakan perilaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk memperkaya
diri dan mengesampingkan kepentingan umum. Korupsi ini terjadi bukan hanya karena
seseorang mempunyai penghasilan rendah dan harus memenuhi kebutuhannya saja namun
ternyata seseorang dengan penghasilan tinggi pun melakukan korupsi. Ini membuktikan
bahwa kegiatan korupsi juga terjadi karena dorongan kerakusan, seseorang dengan pekerjaan
yang bagus namun tidak memiliki profesionalitas yang tinggi atas pekerjaannya.
Korupsi di dalam hokum merupakan suatu tindak pidana, dimana di dalam hokum ada
undang-undang yang mengaturnya. Namun bukan di dalam hokum saja korupsi itu dilarang,
menurut agama korupsi juga suatu tindakan yang melanggar hokum Tuhan. Dimana
disebutkan di dalam agama bahwa kegiatan korupsi adalah kegiatan mencuri dan zhalim.

3.2 Saran
Maka dari itu bersama samalah kita mempunyai kesadaran diri untuk menghindari
kegiatan korupsi yang berdampak buruk bagi ekonomi, kesejahteraan bersama, bahkan untuk
demokrasi kita. Sikap anti korupsi ini harus ditanamkan sejak dini mulai dari hal yang kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Buku ajar pendidikan dan budaya antikorupsi (PBAK).Hak cipta 2014 pusat pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan.pdf
Pendidikan antikorupsi dalam perspektif hindu. I Ketut Suda. PDF
Pendidikan antikorupsi dan nilai-nilai korupsi dalam pendidikan islam . PDF
Karya tulis ilmiah. Pembahasan budaya anti korupsi.PDF
Mariani,nina.2015. etika dan religiousitas anti korupsi. Globetehics.

Anda mungkin juga menyukai