PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio (Fockema Andrea, 1951) atau
corruptus (Webster Student Dictionary, 1960). Selanjutnya, disebutkan pula bahwa corruptio
berasal dari kata corrumpere—satu kata dari bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
tersebut, kemudian dikenal istilah corruption, corrupt (Inggris), corruption (Perancis), dan
“corruptic/korruptie” (Belanda). Indonesia kemudian memungut kata ini menjadi korupsi.
Arti kata korupsi secara harfiah adalah “sesuatu yang busuk, jahat, dan merusakkan (Dikti,
2011). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, korupsi didefinisikan lebih
spesifik lagi yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan,
organisasi, yayasan, dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius, yang tentu melarang tindak korupsi
dalam bentuk apa pun. Agama apa pun melarang tindakan korupsi seperti agama Islam yang
juga mengecam praktik korupsi. Istilah riswah terdapat dalam Islam yang bermakna suap,
lalu di Malaysia diadopsi menjadi rasuah yang bermakna lebih luas menjadi korupsi.
Apa yang dikecam Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga setiap pihak yang
ikut terlibat dalam tindakan korupsi itu. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa korupsi
masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradoks ini menandakan bahwa ajaran
agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
Dalam kasus-kasus korupsi, sesungguhnya para pelakunya tak hanya mengkorupsi uang,
tetapi lebih dari itu ia telah melakukan korupsi moral. Sebab, dengan perilaku korupnya, ia
sesungguhnya telah melakukan destruksi dan kontaminasi atas keluhuran nilai-nilai moral
dan hati nurani yang diwariskan para pendahulu yang luhur budi.
KOMPAS.com
Penetapan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap kuota
impor daging oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (30/1), sungguh mengejutkan.
Bagaimana mungkin presiden partai yang mengusung jargon citra bersih ternyata diduga
melakukan perbuatan yang dilarang agama. Bagaimana menjelaskannya?
Jika mau menengok ke beberapa tahun ke belakang, sebenarnya kita tak perlu ”kaget-kaget
amat”. Soalnya, kasus-kasus korupsi yang dianggap bersentuhan dengan ranah agama justru
banyak menyeret sejumlah tokoh.
Dana Abadi Umat (DAU) menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al
Munawar (Kabinet Gotong Royong 2001-2004), yang divonis hukuman lima tahun penjara
dan membayar denda Rp 200 juta serta uang pengganti Rp 2 miliar di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Februari 2006. Hampir bersamaan, DAU juga menyeret Dirjen Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Departemen Agama Taufik Kamil, yang divonis empat
tahun penjara.
Juni 2012, KPK menyidik dugaan korupsi dalam pengadaan Al Quran di Direktorat
Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama tahun anggaran 2010-2011. Anggota Badan
Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Jabbar, dan anaknya, Dendy Prasetya,
ditetapkan menjadi tersangka. Selain pengadaan Al Quran, Zulkarnaen juga terlibat korupsi
pengadaan laboratorium komputer madrasah tsanawiyah di Ditjen Pendidikan Islam.
Belakangan, pejabat pembuat komitmen di Ditjen Bimas Islam, Ahmad Jauhari, juga
ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam kasus Luthfi, beberapa alat bukti menunjukkan, suap dari PT Indoguna Utama
tersebut mengarah kepada anggota DPR itu. Namun, PKS pun membela diri. M Anis Matta,
yang menggantikan Luthfi sebagai presiden partai, bahkan menuding ada konspirasi untuk
menghancurkan partai tersebut. Namun, tampaknya publik percaya dengan KPK sebagai
lembaga profesional dan kredibel. Siapa pun yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh
komisi itu biasanya dapat dibuktikan kejahatannya di pengadilan.
Moralitas
Kita semua sepakat, korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena tak hanya
merugikan orang per orang, tetapi juga publik luas. Kejahatan ini menggerogoti dana negara
yang semestinya untuk pembangunan bagi rakyat. Semua agama jelas-jelas melarang keras
praktik korupsi (rasuah). Ajaran Islam bahkan menegaskan, penyuap (al-rosyi) dan penerima
suap (al-murtasyi) bakal masuk neraka dan menerima siksaan pedih.
Namun, mengapa banyak tokoh bisa terjerumus? Direktur Pusat Studi Agama dan
Demokrasi Yayasan Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi, membuat pesan berseri yang menarik di
laman Twitter lewat akun @ihsan_AF. Dia mengingatkan, kita jangan kaget oleh adanya
agamawan yang tak kuat menahan godaan korupsi.
Agama, kata Ihsan, bukanlah yang terpenting untuk menentukan perilaku. Lidah
seseorang boleh mengucapkan kalimat-kalimat bijak agama, tetapi bisa jadi perilakunya
menyimpang. Apalagi, ada dorongan kebutuhan material tinggi, konsumerisme menggila.
”Faktanya, negara-negara dengan tingkat ketaatan beragama tinggi juga adalah negara-negara
terparah korupsinya. Misalnya, Pakistan, India, Banglades, juga Indonesia. Politisi, sekuler
atau religius, bisa korup. Itu menyangkut agama apa saja,” catatnya.
Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Ali Munhanif menilai, agama tak bisa
sendirian melawan praktik korupsi. Batasan-batasan moral agama tidak cukup kuat untuk
mendorong seseorang tetap bermoral ketika memperoleh peluang dan punya kekuasaan. Perlu
batasan-batasan legal yang bisa memaksa siapa pun untuk mematuhi larangan korupsi.
”Kita memerlukan penegakan hukum tegas dan adil serta memperkuat lembaga
pemberantasan korupsi,” katanya.
Menurut Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, nilai-nilai
agama tetap relevan untuk memperkuat moralitas antikorupsi di masyarakat dan
pemerintahan. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesalehan sosial dapat terus
dikembangkan lewat pendidikan dan lembaga agama. Penting juga keteladanan dari para
pemimpin, pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab, serta publik yang kritis.
Tokoh-tokoh agama juga perlu menjadi contoh melawan korupsi dan mencegah lembaga
agama sebagai tempat pencucian uang hasil korupsi. (Ilham Khoiri)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan tentang korupsi diatas kami dapat mengambil kesimpulan bahwa
korupsi merupakan perilaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk memperkaya
diri dan mengesampingkan kepentingan umum. Korupsi ini terjadi bukan hanya karena
seseorang mempunyai penghasilan rendah dan harus memenuhi kebutuhannya saja namun
ternyata seseorang dengan penghasilan tinggi pun melakukan korupsi. Ini membuktikan
bahwa kegiatan korupsi juga terjadi karena dorongan kerakusan, seseorang dengan pekerjaan
yang bagus namun tidak memiliki profesionalitas yang tinggi atas pekerjaannya.
Korupsi di dalam hokum merupakan suatu tindak pidana, dimana di dalam hokum ada
undang-undang yang mengaturnya. Namun bukan di dalam hokum saja korupsi itu dilarang,
menurut agama korupsi juga suatu tindakan yang melanggar hokum Tuhan. Dimana
disebutkan di dalam agama bahwa kegiatan korupsi adalah kegiatan mencuri dan zhalim.
3.2 Saran
Maka dari itu bersama samalah kita mempunyai kesadaran diri untuk menghindari
kegiatan korupsi yang berdampak buruk bagi ekonomi, kesejahteraan bersama, bahkan untuk
demokrasi kita. Sikap anti korupsi ini harus ditanamkan sejak dini mulai dari hal yang kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Buku ajar pendidikan dan budaya antikorupsi (PBAK).Hak cipta 2014 pusat pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan.pdf
Pendidikan antikorupsi dalam perspektif hindu. I Ketut Suda. PDF
Pendidikan antikorupsi dan nilai-nilai korupsi dalam pendidikan islam . PDF
Karya tulis ilmiah. Pembahasan budaya anti korupsi.PDF
Mariani,nina.2015. etika dan religiousitas anti korupsi. Globetehics.