Anda di halaman 1dari 10

BAB V

PROSES PSIKOLOGIS DALAM KEJAHATAN

A. Definisi kejahatan

Ketika berbicara tentang kejahatan, sebenarnya banyak hal yang dapat diulas. Paling
tidak dimulai dengan definisi kejahatan. Kejahatan sering diartikan sebagai perilaku
pelanggaran aturan hukum akibatnya seseorang dapat dijerat hukuman. Kejahatan terjadi
ketika seseorang melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak langsung, atau
bentuk kelalaian yang dapat berakibat pada hukuman. Dalam perspektif hukum ini,
perilaku kejahatan terkesan aktif, manusia berbuat kejahatan. Namun sebenarnya “tidak
berperilaku” pun bisa menjadi suatu bentuk kejahatan, contohnya: penelantaran anak
atau tidak melapor pada pihak berwenang ketika mengetahui terjadi tindakan kekerasan
pada anak di sekitar kita.

Adapula perspektif moral. Perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki
2 faktor: 1) mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2) actus reus (perilaku
terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut kejahatan
ketika pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan
pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari orang lain.
Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar
kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat tidur atau tidak sadar, maka faktor
mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai
kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).

Kesalahan berpikir juga dapat mengakibatkan munculnya sebuah tindakan kejahatan.


Penyimpangan perilaku didasari oleh pemahaman yang keliru tentang cara memenuhi
kebutuhan dasar dan nalurinya Ga ada uang, ya tinggal menjambret, aku miskin, dia
kaya, boleh dong aku mengambil sedikit miliknya dia..

Pemahaman yang keliru tersebut merupakan hasil proses berpikir berdasarkan informasi
dari lingkungan yang burukpenerapan nilai yang keliru dalam keluarga, pengaruh
lingkungan (teman), kesulitan hidup yang terus menerus, modelling. Pemikiran yang
irrasional dan desktruktif dapat mendorong timbulnya gangguan emosi-tingkah laku.
Kriminalitas merupakan hasil dari kebiasaan buruk dari pikirannya. Akan tetapi,
kontroversi seputar sumber penyebab munculnya kesalahan berpikir masih diperdebatkan
oleh para ilmuwan Mengapa ada yang berpikir kriminal, ditanamkan, lingkungan,
tergantung situasi. Oleh karena itu, program psikologi yang terkait dengan aplikasinya
didalam bidang hukum diharapkan lebih diarahkan pada pendekatan berbasis perspektif
kognitif Restrukturisasi kognitif (memperbaiki cara berpikir yang keliru)

B. Bentuk kejahatan

Selanjutnya, ketika membicarakan kejahatan kita juga perlu mengidentifikasi pelaku dan
korban. Pelaku adalah orang yang melakukan tindakan melanggar hak dan kesejahteraan
hidup seseorang, sedangkan korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraan
hidupnya. Pada kasus pidana, identifikasi akan berkaitan dengan pembuatan tuntutan dan
pertanggungjwaban hukum. Walaupun begitu, terkadang tidak mudah mengidentifikasi
pelaku dan korban, terutama pada kasus dimana pelaku adalah korbannya juga,
contohnya: pelaku prostitusi sebenarnya juga adalah korban dari perilakunya.

Kejahatan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa macam: kejahatan personal
(pelaku dan korban kejahatan adalah sama), interpersonal (ada pelaku yang merugikan
orang lain), dan kejahatan sosial masyarakat (efek kejahatan pelaku merugikan
kehidupan orang banyak di masyarakat). Dari segi pelaksanaannya kejahatan juga bisa
dibagi menjadi kejahatan terorganisir (sering disebut kejahatan “kerah putih” yang
memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan) dan tidak
teroganisir (kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan dilakukan oleh orang yang
belum punya keahlian khusus atau amatir). Secara pidana, ada beberapa contoh perilaku
kejahatan: pembunuhan, tindak kekerasan, pemerkosaan, pencurian, perampokan,
perampasan, penipuan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lagi
yang lain.

C. Teori kejahatan

Begitu banyaknya bentuk dan macam kejahatan, maka menarik untuk mengetahui apa
hal yang menyebabkan orang bisa melakukan tindak kejahatan. Sebenarnya sejak dulu
manusia berusaha menjelaskan mengapa beberapa orang menjadi penjahat. Penjelasan
paling awal adalah Model Demonologi. Dulu dianggap bahwa perilaku kriminal adalah
hasil dari pengaruh roh jahat. Maka cara untuk menyembuhkan gangguan mental dan
perilaku jahat adalah mengusir roh kejahatan, biasanya dilakukan dengan beberapa cara
menyiksa, mengeluarkan bagian tubuh yang dianggap jahat (misalkan darah, atau bagian
organ tubuh lainnya).

Namun dalam kajian Psikologi Forensik, dikenal beberapa pendekatan teoritis yang
digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan: Kriminologi awal (Cesare Lombroso),
Psikoanalisa (Sigmund Freud), dan Teori Bioekologi-Sosial.

Cesare Lombroso adalah seorang kriminolog Italia yang pada tahun 1876 menjelaskan
teori ‘determinisme antropologi’ yang menyatakan kriminalitas adalah ciri yang
diwariskan atau dengan kata lain seseorang dapat dilahirkan sebagai “kriminal”. Ciri
kriminal dapat diidentifikasi dengan ciri fisik seseorang, contohnya: rahang besar, dagu
condong maju, dahi sempit, tulang pipi tinggi, hidung pipih atau lebar terbalik, dagu
besar, sangat menonjol dalam penampilan, hidung bengkok atau bibir tebal, mata licik,
jenggot minim atau kebotakan dan ketidakpekaan terhadap nyeri, serta memiliki lengan
panjang. Ia menyimpulkan juga kebanyakan kejahatan dilakukan oleh laki-laki.
Perempuan yang melakukan kejahatan artinya terjadi degenarasi atau kemunduran. Ia
berpandangan harusnya sikap pasif, kurangnya inisiatif dan intelektualitas perempuan
membuatnya sulit melakukan kejahatan.

Sigmund Freud dalam perspektif Psikoanalisa memiliki pandangan sendiri tentang apa
yang menjadikan seorang kriminal. Ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan
Superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku
menyimpang atau kejahatan. Freud menyatakan bahwa penyimpangan dihasilkan dari
rasa bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari superego berlebihan. Orang dengan
superego yang berlebihan akan dapat merasa bersalah tanpa alasan dan ingin dihukum;
cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah justru dengan melakukan
kejahatan. Kejahatan dilakukan untuk meredakan superego karena mereka secara tidak
sadar sebenarnya menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalah.

Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip “kesenangan”. Manusia
memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan
(prinsip kesenangan). Di dalamnya termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan
kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Freud percaya bahwa jika ini tidak bisa
diperoleh secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka orang secara naluriah akan
mencoba untuk melakukannya secara ilegal. Sebenarnya pemahaman moral tentang
benar dan salah yang telah ditanamkan sejak masa kanak harusnya bisa bekerja sebagai
superego yang mengimbangi dan mengontrol Id. Namun jika pemahaman moral kurang
dan superego tidak berkembang dengan sempurna, akibatnya anak dapat tumbuh menjadi
menjadi individu yang kurang mampu mengontrol dorongan Id, serta mau melakukan
apa saja untuk meraih apa yang dibutuhkannya. Menurut pandangan ini, kejahatan
bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan ego. Ego yang tidak
mampu menjembatani kebutuhan superego dan id akan lemah dan membuat manusia
rentan melakukan penyimpangan.

Dari perspektif Belajar Sosial, Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku kejahatan
adalah hasil proses belajar psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan
pada perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang di sekitarnya, lalu terjadi
pengulangan paparan yang disertai dengan penguatan atau reward; sehingga semakin
mendukung orang untuk mau meniru perilaku kejahatan yang mereka lihat. Contohnya:
jika anak mengamati orang tuanya mencuri dan memahami bahwa mencuri uang
menimbulkan reward positif (punya uang banyak untuk bersenang-senang); maka anak
akan mau meniru perilaku mencuri. Di sisi lain, perilaku yang tidak diikuti
dengan reward atau menghasilkan reaksi negatif maka anak belajar untuk tidak
melakukan; atau dengan kata lain meniru untuk tidak mengulangi agar menghindari efek
negatif. Dalam perspektif ini, Bandura percaya bahwa manusia memiliki kapasitas
berpikir aktif yang mampu memutuskan apakah akan meniru atau tidak mengadopsi
perilaku yang mereka amati dari lingkungan sosial mereka.

Teori Sosial menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil kerusakan sistem dan
struktur sosial. Seorang penjahat dari keluarga yang bercerai, mengalami masa kecil
yang sulit, hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran
hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan
berbagai kesulitan psikososial lainnya. Dalam perspektif ini, kesannya individu dilihat
sebagai pasif bentukan sistem di sekelilingnya. Namun sebenarnya pada pendekatan
Bioekologis oleh Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal (si individu itu
sendiri, termasuk di dalamnya aspek kepribadian, trauma, aspek biologis) dengan faktor
sistem sosial di sekelilingnya. Artinya perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi
antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Contohnya:
seseorang yang memiliki gangguan kepribadian, pernah mengalami pola pengasuhan
traumatis dan saat ini hidup di lingkungan yang tidak peduli hukum dapat membuatnya
lebih mudah melakukan kejahatan.

Apakah semua kejahatan harus diperlakukan sama?

Kejahatan memiliki bentuk yang berbeda-beda. Bahkan perilaku kejahatan yang sama
dapat didasari oleh alasan yang berbeda. Misalkan perlaku mencuri, seorang
melakukannya untuk bertahan hidup, sedang yang lain untuk mencari uang sebanyak
mungkin agar bisa menghindari pekerjaan sesedikit mungkin. Berbagai penjelasan teori
kejahatan di atas dapat digunakan untuk memahami kasus-kasus kejahatan. Mengapa dan
bagaimana perilaku kejahatan dapat muncul dalam suatu kasus kejahatan. Kepekaan dan
keahlian dalam memilah-milah perspektif teori dalam menjelaskan kejahatan sangat
dibutuhkan dalam mencari titik terang suatu kasus kejahatan. Dengan pemahaman
tersebut, harapannya, juga bisa dipahami bagaimana masing-masing harus diperlakukan
dan diberikan konsekuensi hukum serta rehabilitasi psikologisnya. Proses koreksi dan
rehabilitasi perilaku kejahatan sebaiknya dilakukan berdasarkan penjelasan perilaku
kejahatan yang akurat dan tepat.

D. Psikologi Perilaku Kriminal


Yochelson dan Samenow (Blackburn, 1993-2003) mengemukakan perilaku kriminal
yang didasari oleh pola pikir criminal. Pola pikir yang keliru atau cenderung kriminil,
mendorong memunculkan prilaku kriminal dengan serangkaian pilihan. Pelaku kriminal
tidak bisa disalahkan begitu saja atas kesalahan yang diperbuatnya. Ada pertimbangan
psikologis yang harus disertakan sebagai alasan terbentuknya pemikiran yang keliru pada
pelaku kejahatanLingkungan sosial, pendidikan, ekonomi, adanya kesempatan
Yochelson dan Samenow Mengidentifikasi 10 kesalahan cara berpikir pada pelaku
kriminal:
1. Berpikiran tertutup gitu ya harus gitu

2. Menganggap diri benar Ah tidak apa-apa lah, dia orang kaya kok
3. Menganggap dirinya adalah korbandia kaya, aku miskin,

4. Menyerah saja Ya aku ini bisa apa, ga sekolah, tatto-an

5. Pamrih Aku Cuma disuruh njualin, biar dapat duit, salah?

6. Tidak berpikir panjang

7. Ketakutan pada diri sendiriDaripada besok ga makan

8. Percaya hukum rimbakalau ga nodong, tar ditodong

9. Merasa diri istimewa kami ini ya dah gini dari dulu

10. KepemilikanDia punya 3 HP, aku Cuma ambil 1, salah?

E. Proses Psikologis

Memahami cara berpikir pelaku kejahatan:

Kesalahan berpikir yang dominan dari subjek adalah menganggap dirinya adalah
korban, terutama dari kondisi ekonomi yang sulit. Hal tersebut yang kemudian
‘memaksa’ pelaku untuk melakukan tindak kejahatan. Segala sesuatu baik orang
maupun barang adalah sesuatu yang pantas untuk dimiliki. Materi/uang adalah adalah
jaminan untuk hidup layak sehingga apapun akan mereka lakukan untuk mendapatkan
jaminan tersebut walaupun harus dengan melakukan tindak kejahatan. Pelaku kejahatan
ternyata bertindak kriminal setelah melalui sebuah proses psikologis

Teori subjective utilities menjelaskan, kejahatan sekecil apapun yang dilakukan oleh
seseorang, telah melalui sebuah proses mental dan pertimbangan yang sempurna dan
sangat baik (dari kacamata pelaku), yaitu sebagai berikut:

1. Probability of successKemungkinan untuk sukses

2. Gain Besar kecilnya keuntungan yang akan diperoleh

3. Probability of Failure Kemungkinan gagal

4. Loss Besar kecilnya kerugian yang ditanggung

Menurut Teori subjective utilities:

1. Pelaku dikatakan sukses apabila berhasil dengan sempurna dalam melaksanakan


kejahatan yang telah direncanakannya dengan matang maupun kejahatan yang
dilakukannya secara spontan
2. Keuntungan apabila pelaku dapat memperoleh apa yang diinginkannya: barang
atau materi, kepuasan seksual, perasaan lega, terjaminnya masa depan
3. Disebut gagal apabila kejahatan yang dilakukannya gagal, ketahuan, tidak
mendapatkan keuntungan apapun
4. Disebut kehilangan apabila pelaku kejahatan dijatuhi hukuman, harus mendekam
dipenjara, nama baiknya hancur, ganti rugi, berpisah dari orang yang dicintainya.
Kontroversi:

 Bagaimana dengan kejahatan yang ‘katanya’ dilakukan tanpa ada perencanaan


 Karena adanya kesempatan Lewat gang sempit sendirian, korban tertidur
pulas, sehingga terpikir untuk memperkosanya dulu
 Terjadi karena terpaksamelawan, disekap terlalu keras, sampai kehabisan
nafas

F. Peran Psikologi dalam Mengurangi Angka Kejahatan


Restrukturisasi kognitif CBT
Terkait usaha untuk meluruskan cara berpikir para pelaku kejahatan yang ‘terlanjur’
keliru. Terapis hanya membantu membukakan celah, dan kemungkinan- kemungkinan
cara lain, selain cara yang selama ini dijalani klien. Membantu klien/pelaku dalam
memunculkan insight. Merangsang klien untuk dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
korbannya. Contoh: “Sampai kapan mau begini, keluar masuk penjara, tidak ingin
melihat anak gadismu tumbuh besar?”, “Sebagai seorang bapak, bayangkan suatu saat
anak perempuanmu diperkosa oleh orang lain?”, “Pernah membayangkan hal yang
paling berharga darimu dirampas orang lain?
”Pernah membayangkan hidup diluar penjara”

Biasanya kendala yang dihadapi adalah para napi berusaha untuk defense sebagai usaha
untuk membenarkan apa yang selama ini mereka lakukan ya itu urusan mereka, ya
mereka kan kaya
KESIMPULAN

Kejahatan terjadi ketika seseorang melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak
langsung, atau bentuk kelalaian yang dapat berakibat pada hukuman. Kesalahan berpikir juga
dapat mengakibatkan munculnya sebuah tindakan kejahatan. Penyimpangan perilaku didasari
oleh pemahaman yang keliru tentang cara memenuhi kebutuhan dasar dan nalurinya.
Pemikiran yang irrasional dan desktruktif dapat mendorong timbulnya gangguan emosi-
tingkah laku. Akan tetapi, kontroversi seputar sumber penyebab munculnya kesalahan
berpikir masih diperdebatkan oleh para ilmuwan. Oleh karena itu, program psikologi yang
terkait dengan aplikasinya didalam bidang hukum berperan melakukan Restrukturisasi
kognitif (memperbaiki cara berpikir yang keliru).
EVALUASI

1. Perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika?


2. Sebutkan dan jelaskan macam macam kejahatan secara umum!
3. Sebutkan pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan!
4. Sebutkan dan berikan contoh 10 kesalahan cara berfikir pelaku kriminal!
5. kejahatan sekecil apapun yang dilakukan oleh seseorang, telah melalui sebuah
proses mental dan pertimbangan yang sempurna dan sangat baik (dari kacamata
pelaku). Penjelasan dari....
DAFTAR PUSTAKA

Davies, G., Hollin, C., & Bull, R. (2008). Forensic Psychology. John Wiley; Sussex.

Hagan, F.E. (2013). Pengantar kriminologi: Teori, metode, dan perilaku kriminal, Edisi
ketujuh. Jakarta : Kencana Prenamedia Group.

Anda mungkin juga menyukai