A. SEJARAH PSIKOPATOLOGI
Psikopatologi adalah suatu ilmu yang mempelajari proses dan perkembangan gangguan
mental
Demonology Awal
Penjelasan fisiologis awal terhadap gangguan mental pada masa Roma dan Yunani
Kuno.
Abad 5 SM, Hippocrates (Bapak Kedokteran; penemu ilmu medis modern)
memisahkan ilmu medis dari agama, magic dan takhyul. Ia menolak keyakinan yang
berkembang pada masa Yunani itu bahwa Tuhan (dewa) mengirimkan penyakit fisik
dan gangguan mental sebagai bentuk hukuman.
Hippocrates menjelaskan tentang pentingnya otak dalam mempengaruhi pikiran,
perilaku dan emosi manusia. Menurutnya, otak adalah pusat kesadaran, pusat
intelektual dan emosi. Sehingga jika cara berpikir dan perilaku seseorang
menyimpang atau terganggu berarti ada suatu masalah pada otaknya (otaknya
terganggu).
Hippocrates merupakan pelopor somatogenesis – suatu ide yang menyebutkan
bahwa kondisi soma (tubuh) mempengaruhi pikiran dan perilaku individu. Jika soma
(tubuh) seseorang terganggu, maka pikiran dan perilakunya juga akan terganggu.
Kebalikannya, yaitu psychogenesis – suatu keyakinan bahwa segala sesuatu
tergantung kepada kondisi psikis individu.
Hippocrates mengklasifikasikan gangguan mental ke dalam tiga kategori yaitu
mania, melancholia dan phrentis (demam otak). Ia yang lebih percaya pada hal-hal
yang bersifat natural daripada supranatural percaya bahwa suatu pola hidup tertentu
akan mempengaruhi kesehatan otak dan tubuh.
Selain Hippocrates, ada juga dokter dari Roma yang mencoba memberikan
penjelasan naturalistik tentang gangguan psikotik. Mereka adalah Asclepiades dan
Galen.
Disamping itu, keduanya mendukung perlakuan yang lebih manusiawi dan
perawatan di rumah sakit bagi para penderita gangguan mental.
Kematian Galen (130 – 200 M), sebagai dokter terakhir pada masa klasik Yunani
menandai dimulainya Jaman Kegelapan bagi dunia medis dan bagi perawatan serta
studi tentang perilaku abnormal. Setelah runtuhnya Roma dan Yunani, peradaban
manusia mengalami kemunduran.
Pada Jaman Pertengahan dan Renaissance (400 – 1500 M), kalangan gereja dan
Kristen meluaskan pengaruhnya melalui dunia pendidikan dan misionaris agama
menggantikan budaya klasik kala itu. Termasuk dalam hal menangani penderita
gangguan mental. Saat itu gangguan mental kembali dihubungkan dengan pengaruh
spiritual dan supranatural.
Para pastur menangani penderita gangguan mental dengan berdoa atau
menyentuhnya dengan menggunakan benda- benda yang dianggap keramat atau juga
memberinya ramuan yang harus diminum pada saat fase bulan mulai mengecil.
Sedangkan keluarga penderita percaya dan membawanya ke pastur karena takut dan
mempunyai takhyul bahwa penderita terkena pengaruh setan.
Penderita gangguan mental dianggap sebagai tukang sihir. Mereka dianggap
bersekutu dengan setan dan menentang Tuhan.
Tahun 1484, Pope Innocent VIII meminta kepada para pendeta di Eropa untuk
mencari para tukang sihir. Kemudian dua tahun kemudian setelah dia mengirim dua
pendeta ke Jerman, akhirnya dikeluarkan buku petunjuk yang diberi nama Malleus
Maleficarum untuk melakukan perburuan tukang sihir (witch hunts).
Buku ini berisi tentang berbagai tanda untuk mendeteksi tukang sihir seperti bercak
merah atau daerah rawan pada kulit tukang sihir. Bercak tersebut menurut buku
panduan itu, diduga dibuat oleh setan dengan cakarnya sebagai tanda perjanjian
antara tukang sihir itu dengan setan.
Para tukang sihir yang tertangkap dan tidak mengaku akan disiksa dan dipenjara
seumur hidup bahkan sampai menjalani eksekusi mati.
Witch hunting mulai mereda pada abad 17 dan 18. Di Spanyol pada tahun 1610,
berbagai tuduhan terhadap tukang sihir yang ditangkap dinyatakan batal. Tuduhan
tersebut harus disertai dengan bukti-bukti yang independen, tidak dibenarkan adanya
penyiksaan serta barang-barang milik tukang sihir tersebut tidak akan disita.
Di Swedia, pada tahun 1649, Queen Christina memerintahkan untuk membebaskan
semua tukang sihir kecuali mereka yang benar-benar terbukti melakukan
pembunuhan.
Di Perancis, tahun 1682, Raja Louis XIV mengeluarkan dekrit tentang pembebasan
tukang sihir.
Eksekusi terakhir terhadap tukang sihir dilakukan di Swiss pada tahun 1782.
Sampai akhir Jaman Pertengahan, semua penderita gangguan mental dianggap
sebagai tukang sihir. Dalam pengakuannya beberapa dari mereka mengaku
mempunyai hubungan dengan setan, melakukan hubungan seksual dan sering
berkumpul dengan kelompok roh atau setan. Hal itu dalam pandangan abnormal
diinterpretasi mungkin para tukang sihir tersebut mengalami halusinasi atau delusi
dan beberapa dari mereka didiagnosis mempunyai gangguan psikosis.
Pada abad 15 dan 16, di Eropa mulai dilakukan pemisahan dengan serius antara
penderita gangguan mental dari kehidupan sosialnya. Disana dibangun suatu tempat
penampungan yang disebut Asylums. Di asylums itu ditampung dan dirawat
penderita gangguan mental dan para gelandangan. Mereka dibiarkan untuk tetap
bekerja dan tidak diberi suatu aturan hidup yang jelas.
Tahun 1547, Henry VIII membangun London’s Hospital of St. Mary of Bethlehem
(kemudian terkenal dengan nama Bedlam), sebagai rumah sakit pasien gangguan
mental. Kondisi di Bedlam saat itu cukup menyedihkan dimana disana suasananya
sangat bising dan membingungkan serta kemudian Bedlam berkembang menjadi
hiburan masyarakat untuk mencela dan menonton tingkah laku orang sakit jiwa
tersebut. Bedlam sendiri kemudian menyediakan tiket untuk dijual kepada
masyarakat.
Konsep baru tentang gangguan dan penyakit mental muncul dalam Revolusi
Amerika dan Perancis sebagai bagian dari proses pencerahan (renaisans) bidang
rasionalisme, humanisme dan demokrasi politik. Orang gila (insane) kemudian
dianggap sebagai orang sakit.
Tokoh di Eropa kemudian ikut menyuarakan hal itu. Misalnya Chiarugi di Italia dan
Muller di Jerman menyuarakan tentang treatment rumah sakit yang lebih humanis.
Tetapi perwujudan konsep baru dalam bidang ini dipelopori oleh Phillipe Pinel
(1745 – 1826).
Pinel kemudian memulai pekerjaannya dari asylums di Paris yang bernama La
Bicetre. Pinel merupakan figur yang mempelopori gerakan treatment yang lebih
humanis (manusiawi) terhadap penderita gangguan mental. Ia membebaskan pasien
di La Bicetre dari ikatan rantai dan pasung kemudian memperlakukannya sebagai
seorang yang sakit dan tidak diperlakukan seperti seekor hewan sebagaimana
dilakukan di La Bicetre.
Beberapa pasien yang awalnya tidak terawat kemudian dapat terlihat lebih tenang.
Mereka juga bebas berjalan- jalan di rumah sakit tanpa ada kecenderungan untuk
menyakiti orang lain. Selain itu, di ruangan mereka di bawah tanah, dipasang
penerangan dan sistem peredaran udara (ventilasi). Setelah beberapa tahun menjalani
perawatan yang lebih manusiawi, beberapa pasien dapat pulih kembali dan keluar
dari La Bicetre.
Pinel berpendapat bahwa rumah sakit seharusnya merupakan tempat untuk treatment
bukan untuk mengurung. Menurutnya, pasien gangguan mental pada dasarnya adalah
orang normal yang selayaknya didekati dengan perasaan iba, memahami mereka
serta diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai individu. Pinel juga
menentang adanya hukuman dan pengusiran bagi para penderita gangguan mental.
Pinel kemudian juga mengajukan studi ilmiah dan kategorisasi penyakit mental,
melakukan pencatatan kasus, riwayat hidup dan studi terhadap metode treatment. Ia
kemudian menyebutkan bahwa beberapa kondisi psikosis mungkin merupakan faktor
psikogenesis.
Semangat Pinel diteruskan oleh British Quakers yang membangun ‘asylums for the
insane’ yang pada waktu itu berkonotasi sebagai tempat pengungsian dan tempat
istirahat. Pada awal abad 19, rumah sakit di Amerika dan Inggris menekankan
‘moral treatment’ untuk memulihkan kesehatan mental melalui inspirasi spiritual,
studi dan perhatian yang penuh kebajikan (benevolent care).
Pertengahan abad 20, perhatian diarahkan dalam pengembangan ‘therapeutic
millieus’ dan merubah rumah sakit dari custodial (model tahanan) menjadi
therapeutic agency. Tetapi terjadi kemunduran dalam masalah perawatan dalam
rumah sakit pada keadaan dehumanisasi seperti yang ditentang Pinel. Kondisi yang
buruk tersebut diungkap oleh Dorothy Dix dan Clifford Beers pada awal abad 20 dan
oleh Deutcsh (1949) yang menunjukkan bagaimana masyarakat menolak orang sakit
jiwa dan memperlakukan orang sakit jiwa secara tidak layak. Pada berbagai rumah
sakit pemerintah, ‘Bedlam’ terus hidup hingga sekarang. Demikian juga pandangan
masyarakat yang walaupun secara eksplisit mengatakan ‘insane as sick’ tapi
seringkali perlakuan yang ditampakkan justru menunjukkan ‘insane as
subhuman/possessed (kesurupan)’.
I. Psikosis
a) Psikosis Berhubungan denan Sindroma Otak Organik
1. Dementia senilis dan presenilis
2. Psikosis alkoholik
3. Psikosis berhubungan dengan infeksi intracranial
4. Psikosis berhubungan dengan kondisi serebral lain
5. Psikosis berhubungan dengan kondisi fisik lain
b) Psikosis Fungsional
1. Skizofrenia
2. Psikosis afektif
3. Psikosis paranoid
4. Psikosis lain
5. Psikosis tak tergolongkan
III.Retardasi Mental
IV. Keadaan Tanpa Gangguan Psikiatrik yang Nyata dan Kondisi (Keadaan) Non-
spesifik
o Diam seperti patung: Ibarat seseorang yang berada dalam sikap tubuh yang
kaku dan menolak untuk digerakkan, atau bahkan melakukan gerakan yang
tidak bermanfaat
Ada asumsi bahwa (mungkin) ada hubungan antara ide-ide paranoid dan kekerasan,
dan bahwa korban kekerasan serangan seringkali orang-orang yang digambarkan
dalam delusi para penderita skizofrenia ini. 74% dari tersangka dengan kasus
pembunuhan di Inggris yang menderita/mengidap schizophrenia Membunuh
ibunya.
Diduga ibunya menjadi objek delusi pelaku yang berakibat timbulnya pelaku
kejahatankebencian, dendam terhadap ibu, pengalama masa kecil
Jika tidak membunuh ibunya, tersangka akan membunuh seseorang sebagai
pengalihan sasaran kemarahan terhadap ibu (yang tidak dibenarkan dalam norma
sosial) kepada pihak (objek) lain yang dianggap lebih layak dijadikan sasaran
kemarahan Displacement
2. DEPRESI
Psikis: Ditandai oleh suasana hati sangat sedih, rasa bersalah, dan tidak
berharga, kehilangan motivasi
Fisik: gangguan nafsu makan, kelelahan, dan periode tidur yang panjang,
kelesuan, murung
Untuk depresi yang berkepanjangan, akan diikuti dengan pikiran berulang
tentang kematian dan bunuh diri.
Kriminolog dan Psikolog Forensik masih sering berdebat dengan ahli hukum
terkait kejahatan yang dilakukan oleh penderita depresi yang berkepanjangan
Kejahatan mungkin telah dilakukan karena pelaku tertekan
Atau pelaku menjadi depresi setelah kejahatan yang dilakukannya, baik karena
rasa bersalah atau keadaan didalam penjara
Tetapi penelitian masih berusaha membuktikan bahwa depresi itu berperan
dalam menyebabkan kejahatan.
Untuk kasus-kasus pembunuhan dan bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang yang
diduga depresi:
▪ Seorang yang tidak melihat adanya harapan untuk hidup, memutuskan untuk
bunuh diri, sebelum bunuh diri, dia terlebih dulu membunuh anggota keluarga
yang lain.
▪ West (1965) mempelajari 78 kasus pembunuhan diikuti oleh bunuh diri dan
menemukan bahwa 28 dari pelaku mengalami depresi pada saat melakukan
kejahatannya, dan juga memiliki riwayat depresi.
3. MENTAL HANDICAP AND CRIME
Gangguan mental vs cacat mental?
-
Gangguan: Individu atau Kelompok yang terlahir dalam keadaan normal,
tanpa gangguan, kemudian pd proses kehidupannya mengalami hambatan
atau gangguan perkembangan.
- Cacat: Kelompok yang berada pada batas rendah rentang IQ Kelainan
genetik-kromosom, down syndrome, virus, keracunan zat kimia yang
semua terjadi pada masa prenatal
Kenakalan apakah selalu dikaitkan dengan IQ yang rendah?
Tingkat kecerdasan dan Mental handicap
4. PSIKOPAT
Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial
dan merugikan orang-orang terdekatnya. Psikopat tak sama dengan gila karena
seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Pengidapnya seringkali
disebut orang gila tanpa gangguan mental.
Ciri-ciri psikopat :
Jenis gangguan mental yang terkait dengan kejahatan, meliputi Skizofrenia (gangguan
kejiwaan dan kondisi medis yang memengaruhi fungsi otak, fungsi normal kognitif,
emosional dan tingkah laku manusia), Depresi (terkait dengan Psikis dan Fisik, apabila
berkepanjangan biasanya diikuti dengan pikiran berulang tentang kematian dan bunuh diri),
Mental Handicap And Crime, Psikopat (perilakunya biasanya merugikan orang-orang
terdekatnya, namun psikopat tak sama dengan gila karena seorang psikopat sadar sepenuhnya
atas perbuatannya)
EVALUASI
Abnormal Psychology, Thomas F. Oltmanns & Robert E. Emery, New Jersey: Prentice Hall, 2001, ch. 1
& 2 (p. 2-69)
Hagan, F.E. (2013). Pengantar kriminologi: Teori, metode, dan perilaku kriminal, Edisi
ketujuh. Jakarta : Kencana Prenamedia Group.