Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 1

KRIMINOLOGI

Disusun Oleh:

RESTU DHIELISTO NANDA PRATAMA


NIM : 042554677

UPBJJ JAKARTA
FHISIP HUKUM

2019
1. Kisah Robin Hood, yang menurut legenda, ia mencuri harta dari penindas yang kaya
raya untuk dibagikan kepada orang miskin.
Menurut anda, apakah perbuatan Robin Hood merupakan kejahatan? dan apakah ia
seorang penjahat ?. Jelaskan konsep yang anda gunakan untuk menjelaskan pendapat
anda.
2. Jelaskan bentuk-bentuk viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan
yang dilakukan oleh media dan sistem peradilan pidana

Jawab :

1. Sebelum menentukan Robin Hood penjahat atau bukan. Baiknya kita ketahui terlebih
dahulu apa itu mencuri atau pencurian. Menurut Pasal 362 KUHP disebutkan bahwa “Barang
siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Sementara Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-
Undang Hukum. Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” (1985, Penerbit
Politeia) membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang
secara yuridis sudut pandang sosiologis.
Dilihat dari sudut pandang yuridis, menurut R. Soesilo, pengertian kejahatan adalah suatu
perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.

Dilihat dari sudut pandang sosiologis, pengertian kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku
yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Demikian menurut R. Soesilo.

Maka menurut penulis tindakan yang dilakukan oleh Robin Hood adalah kejahatan dan dapat
dikatakan sebagai penjahat karena telah melanggar hukum dan jelas melanggar Pasal 362
KUHP. Namun berdasarkan modul Teori Kriminologi, kejahatan dibagi dalam beberapa
klasifikasi, diantaranya yaitu:

A. Menurut status sosial pelaku kejahatan

Ditinjau dari aspek status sosial pelaku kejahatan maka kita akan memperoleh klasifikasi
penjahat menurut kelas sosialnya, antara lain sebagai berikut:

1. a) White Collar Criminal atau Elite Criminal, yaitu pelaku kejahatan yang tergolong
mempunyai status sosial tinggi dan kedudukan terhormat dalam suatu masyarakat. Pada
umumnya mereka melakukan kejahatannya dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya. Mereka
ini antara lain para pejabat, para pengusaha, para cendikiawan ataupun para ahli dalam
berbagai bidang pekerjaan. Para pelaku kejahatan yang mempunyai status sosial yang tinggi ini
juga dinamakan the upper class criminal atau penjahat tingkat atas. Praktek atau kejahatan yang
mereka lakukan biasanya berupa penyalahgunaan jabatan atau wewenang, penyalahgunaan
kedudukan dan profesi, atau penyalahgunaan keahlian, dan sebagainya.
2. b) Lower-class Criminal, yakni para pelaku kejahatan yang tidak mempunyai status sosial
tinggi di masyarakat. Pada umumnya jenis kejahatan yang dilakukan oleh mereka adalah yang
terkait dengan motif ekonomi. Lower-class criminal ini biasanya meliputi kejahatan jalanan
(street crimes), seperti pencopetan, perampasan, penodongan, penjambretan, penganiayaan,
dan sebagainya. Kejahatan juga biasanya termasuk jenis kejahatan yang tidak direncanakan
atau bersifat spontan. Karena sifatnya yang spontan itu, bisa saja penjahat jalanan ini
melakukan hal-hal diluar perkiraan, seperti menusuk korbannya, bahkan juga dapat membunuh
korbannya.

Sumber: Walker, Samuel. 1994, Sense and Non Sense About Crime and Drugs, A Policy Guide, Third
Edition, California: Wadsworth Publishing Company.

B. Menurut Tingkat Kerapihan Organisasi

Ditinjau dari sudut terorganisir atau tidaknya pelaku kejahatan dalam melakukan aktivitas
kejahatannya, maka akan diperoleh klasifikasi sebagai berikut :

1. a) Organized Criminals, yaitu para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan
terorganisasi. Mereka melakukan tindak kejahatannya dengan menggunakan dan menerapkan
prinsip-prinsip manajemen, seperti adanya perencanaan, koordinasi, pengarahan, dan
pengawasan yang dikendalikan oleh kelompok mereka.
2. b) Non-Organized Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang dalam aktivitasnya bersifat
individual dan tidak terorganisasi.

C. Menurut Kepentingan Pencarian Nafkah

Ditinjau dari sudut atau kepentingan mata pencahariannya, maka dapat diperoleh klasifikasi
yang merujuk kepada:

1. a) Professional Criminals, yaitu para pelaku kejahatan yang telah menjadikan kejahatan
sebagai profesinya, sebagai mata pencaharian pokoknya.
2. b) Non-Professional Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan secara
insidental saja. Dengan kata lain, mereka melakukan kejahatan tidak sebagai mata pencaharian
tetapi hanya didorong oleh situasi dan kondisi tertentu pada suatu waktu, tempat, dan keadaan
tertentu.

D. Menurut Aspek Kejiwaan Dari Pelaku Kejahatan

Ditinjau dari aspek kejiwaan pelaku kejahatan maka akan diperoleh klasifikasi sebagai berikut:

1. a) Episodic Criminals, yakni pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya sebagai akibat
dorongan perasaan/emosi yang mendadak tak terkendali. Misalnya, seorang ayah yang
membunuh seorang laki-laki sewaktu ia melihat perempuannya diperkosa oleh laki-laki
tersebut.
2. b) Mentally Abnormal Criminals, yakni pelaku kejahatan yang jiwanya abnormal, misalnya
orang yang psikopatis.
3. c) Non Malicious Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan karena
menurut keyakinan mereka perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan. Misalnya seorang
pengikut aliran sesat dari kepercayaan tertentu yang melakukan hubungan seks bebas sesama
anggota aliran itu karena mereka percaya bahwa mereka harus saling mengasihi meskipun
tidak terikat oleh perkawinan.

E. Menurut Aspek Kebiasaan Dilakukannya Kejahatan


Ditinjau dari segi kebiasaan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan maka dapat diperoleh
klasifikasi sebagai berikut:

1. a) Habitual Criminals, yakni orang yang melakukan kejahatan, baik dalam arti yuridis
maupun dalam arti kriminologis, secara terus-menerus sebagai kebiasaan. Misalnya seorang
pelacur, pemabok, penjudi, dan sebagainya.
2. b) Non-Habitual Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan bukan
karena kebiasaannya tetapi ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu.

F. Menurut Aspek Tertentu Dari Sifat Perbuatannya

Ditinjau dari beberapa aspek yang terkait dengan sifat perbuatan jahat yang dilakukan oleh
pelaku atau penjahat maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut:

1. a) Casual Offenders, yakni orang-orang yang melanggar ketertiban masyarakat. Misalnya


orang yang melanggar jam malam, mengadakan pesta tanpa ijin dan sebagainya. Sebenarnya
perbuatan-perbuatan semacam ini ditinjau dari sudut yuridis bukanlah termasuk sebagai
kejahatan.
2. b) Occasional Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan ringan.
Misalnya, mengendarai kendaraan bermotor dan menabrak orang yang mengakibatkan luka
ringan, atau melanggar lampu lalu lintas.
3. c) Smuggler, yaitu penyelundup. Penyelundup ialah orang yang memasukkan atau
mengeluarkan sesuatu (biasanya barang, tetapi dapat juga orang/manusia) dari atau ke luar
negeri tanpa ijin dari pemerintah/yang berwajib (illegal importer dan Illegal exporter).

G. Menurut Umur Dari Pelaku Kejahatan

Ditinjau dari segi umur pelaku kejahatan maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut:

1. a) Adult Offenders atau Adult Criminal, yakni para pelaku kejahatan yang berdasarkan
ketentuan hukum dari suatu masyarakat termasuk golongan orang-orang yang telah
dikategorikan sebagai orang dewasa.
2. b) Juvenile Delinquent atau Juvenile Offenders, yakni para pelaku yang melakukan kejahatan
atau perbuatan-perbuatan anti sosial lainnya yang berdasarkan ketentuan hukum dari suatu
masyarakat termasuk golongan anak-anak atau remaja.

Ukuran orang yang dianggap dewasa atau masih tergolong anak-anak dan atau remaja dalam
aturan hukum di berbagai negara tidaklah sama. Di Indonesia, ukuran usia atau umur pelaku
kejahatan diatur pada Pasal 45 KUHP yang menyatakan bahwa orang yang belum dewasa
adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Sedangkan mereka yang telah berumur 17 ke
atas dikategorikan sebagai orang dewasa, sehingga apabila orang yang dikategorikan sebagai
orang dewasa ini melakukan pelanggaran hukum, maka sanksi yang akan diberikan itu
didasarkan pada hukum atau ketentuan untuk orang dewasa.
2. Kekerasan terhadapa perempuan diartikan sebagai tindakan apapun yang
mengakibatkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian atau penderitaan secara fisik, seksual
atau psikis, termasuk juga tindakan-tindakan yang mengancam, pemaksaan atau perampasan
kebebasan, yang berlaku tidak hana di ranah public tetapi juga pada kehidupan pribadi.
Perempuan korban kekerasan, terutama dalam kasus perkosaan atau pelecahan seksual
akan mengalami dampak yang berkepanjanan dan timbulnya tidak selalu cepat setelah
kejahatan terjadi. Kerugian atau penderitaan yang paling berpotensi besar terjadi adalah
penderitaan pskilogogis, sehigga membutuhkan penangan yang lebih khusus.
Banyak korban perempuan kasus kekerasan cenderung tidak ingin berinteraksi dengan
sistem peradilan pidana. Beberapa alasan mendasar adalah karena banyak kasus yang tidak
ditangani dengan baik atau bahkan diabaikan, sehingga luput dari meja hijau dan mencontoh
dari beberapa kasus agar berusaha menghindari pengalaman buruk yang pernah dialami
korban-korban sebelumnya. Selama ini hukum lebih sering focus ke bagaimana cara untuk
menghilangkan gagasan tentang pelanggaran atau kejahatan. Padahal kita juga harus
membangun pemahaman yang jelas mengenai korban yang tidak bersalah dan mengalami
kerugian, sehingga sangat diperlukan pelayanan dari pekerja professional perempuan.
Pengalaman buruk lainnya yang membuat korban malas berinteraksi dengan aparat hukum
adalah pengabaian laporan atau polisi tidak terlalu menganggap serius kasus yang dilaporkan
korban, bahkan tidak jarang polisi menyalahkan korban (victim blaming) dan menganggap
bahwa korban yang menyebabkan kejahatan ini terjadi. Dalam kasus pelecahan seksual di
tempat umum, seperti di tempat kerja, lebih sulit untuk diproses secara hukum dikarenakan
kurang jelasnya bukti-bukti. Dengan begitu banyak perempuan korban kekerasan yang enggan
melaporkan pengalaman viktimisasinya karena krisis kepercayaan terhadap aparat hukum.
Derita-derita yang dialami pada saat proses peradilan pidana, seperti penanganan yang
tidak sensitive dan kurangnya pengertian terhadap kebutuhan-kebutuhan perempuan korban
kekerasan, membuat korban stress dan gelisah berkepanjangan. Hal-hal tersebut sering terjadi
pada saat pengumpulan bukti untuk korban pemerkosaan dan kekerasan domestic. Prosedur
pengumpulan bukti, seperti visum, membuat korban harus merelakan tubuhnya menjadi barang
bukti dan menjadi konsumsi public tanpa adanya privasi. Dengan begitu, korban secara tidak
langsung mengalami viktimisasi kembali atau viktimisasi sekunder selama proses peradilan
pidana.
Contoh bentuk-bentuk viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan dalam hal
ini mengenai sistem peradilan pidana:
a. Dalam melakukan pendampingan terhadap korban di tingkat kepolisian, masih
ditemukan Aparat Penegak Hukum (APH) yang menyudutkan korban sehingga
korban tidak merasa nyaman dan juga masih ada APH yang tidak kooperatif dengan
pihak pendamping dan juga keluarga korban
b. Tidak ditahannya pelaku, sehingga kasus akhirnya tidak berlanjut dan terpaksa
pihak mitra mencabutnya karena proses hukum yang terlalu lama yang menyita
waktu dan juga finansial mitra.
c. Dalam proses persidangan, APH sering tidak menepati jadwal persdingan sehingga
korban dan pendamping menunggu terlalu lama.
d. Jaksa Penuntut Umum (JPU) kadang tidak memberitahukan agenda persidangan
sehingga pendamping tidak dapat memantau persidangan dan pendamping juga
kesulitan dalam berkoordinasi dengan JPU.
e. Majelis Hakim yang tidak kooperatif dan meminta supaya pendamping tidak boleh
ikut memantau pada saat korban akan dimintai keterangan, pada persidangan yang
tertutup untuk umum.
f. Dalam kasus kekerasan seksual masih ada hakim yang tidak berperspektif korban.
Hakim menertawakan korban dan mengatakan kalau korban juga sangat menikmati
hubungan tersebut. Sehingga korban menjadi tertekan, menangis dan merasa
disudutkan.
g. APH masih tetap menggunakan KUHP dalam penanganan kasus KDRT. Padahal
sudah ada ada undang-undang khusus.
h. Sulitnya perempuan korban kekerasan untuk memperoleh penetapan perlindungan
dari pengadilan.
i. Dalam kasus pelecehan seksual, laporan korban tidak diproses karena tidak ada
bukti yang cukup untuk membuktikan kasus tersebut.

Contoh bentuk-bentuk viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan dalam hal
ini mengenai pemberitaan oleh media:
a. Masih banyaknya media yang memberitakan kasus perempuan korban kekerasan
dengan vulgar, tanpa mementingkan privasi korban.
b. Masih terdapat media yang menyalahkan korban perempuan korban pelecehan
seksual dari segi penampilan.
c. Media malah menyoroti kasus pelecehan seksualnya untuk dijadikan berita tanpa
memerhatikan perempuan korban kasus tersebut.
d. Sering media tidak memberikan sensor terhadap korban.
e. Pertanyaan media seringkali menyinggung si korban.
SUMBER PUSTAKA
https://uu.direktorimu.com/kuhp/buku-kedua/bab-22-pencurian/ Bab 22 – Pencurian

Pasal 362

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl294/definisi-kejahatan-dan-jenis-jenis-
kejahatan-internet/

Modul 2 SOSI4302 Teori Kriminologi KB 1 dan 3

Modul 3 Teori Kriminologi KB 2


Viktimisasi Sekunder oleh sistem peradilan pidana terhadap perempuan korban kekerasan oleh
Karina Triananda UI

Anda mungkin juga menyukai