Anda di halaman 1dari 3

Alfian Rokhmansyah (2013) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Gender serta

Feminisme, patriarki adalah struktur yang menempatkan kedudukan pria selaku penguasa
tunggal, sentral, dan segala- galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan warga
menimbulkan terdapatnya kesenjangan serta ketidakadilan gender yang pengaruhi hingga ke
berbagai aspek kegiatan manusia. Pria mempunyai kedudukan selaku kontrol utama di dalam
warga, sebaliknya perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak
memiliki hak pada wilayah- wilayah universal dalam warga, baik secara ekonomi, sosial, politik,
serta psikologi, apalagi tercantum di dalamnya institusi perkawinan. Perihal ini menimbulkan
perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Pembatasan- pembatasan kedudukan
wanita oleh budaya patriarki membuat wanita jadi terbelenggu serta memperoleh perlakuan
diskriminasi. Ketidaksetaraan antara kedudukan pria serta perempuan Ini menjadi salah satu
hambatan structural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang
sama. Selain itu, produk dari kebijakan pemerintah yang sepanjang ini tidak sensitif terhadap
kebutuhan wanita sudah membuat perempuan seringkali menjadi korban dari kebijakan tersebut.
Lemahnya proteksi hukum terhadap kalangan wanita, secara tidak langsung pula sudah
menempatkan posisi wanita jadi termarjinalisasikan. Aspek historis serta budaya menempatkan
perempuan sebagai pihak yang ditundukkan lewat ikatan kekuasaan bertabiat patriarkat, baik
secara personal ataupun lewat pengaturan negeri.
Contoh Masalah Sosial Akibat Belenggu Budaya Patriarki
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Seperti yang dilansir berdasarkan kompasiana.com, Komnas Perempuan
mendokumentasikan 259.150 masalah kekerasan terhadap wanita terjadi sepanjang tahun
2016, menggunakan rincian sebanyak 245.548 masalah diperoleh menurut 358 Pengadilan
Agama & 13.602 masalah yg ditangani sang 233 lembaga mitra pengadaan layanan.Data ini
tersebar ke 34 provinsi pada Indonesia. Berbagai masalah kekerasan pada tempat tinggal
tangga nir tanggal menurut masih ajegnya budaya patriarki yg masih inheren menjadi pola pikir
sampai sebagai faktor penyebab. Termasuk jua memberi legitimasi dalam tindakan kekerasan
yg dilakukan pria pada pasangannya. Budaya patriarki yg menaruh imbas bahwa pria itu
lebih kuat & berkuasa daripada wanita , sebagai akibatnya istri mempunyai keterbatasan pada
memilih pilihan atau asa & mempunyai kesamaan buat menuruti seluruh asa suami, bahkan asa
yg tidak baik sekalipun. Terdapat sebuah empiris sosial yg kerap terjadi pada rakyat jika
kekerasan. Dominasi menurut pihak pria sangat terlihat dalam bagian ini lantaran budaya
patriarki tersebut yg membangun sebuah konstruksi sosial bahwa wanita merupakan pihak
yg lemah & mampu disakiti, baik hati atau fisiknya. Dalam relasinya menggunakan pria ,
pemaknaan sosial menurut disparitas biologis tadi menyebabkan memantapnya mitos,
streotipe, aturan, praktik yg merendahkan wanita & memudahkan terjadinya kekerasan.
Kekerasan dapat berlangsung pada famili & relasi personal, mampu pula pada tempat
kerja atau melalui praktik-praktik budaya. 46Laporan masalah KDRT pun nir semuanya
terungkap lantaran sebagian akbar korban nir berani buat membuka bunyi pada pihak berwajib,
dan penyebab lain yg terjadi merupakan sebagian akbar pihak wanita adalah bunda tempat
tinggal tangga & nir mempunyai penghasilan, sebagai akibatnya jika ia melaporkan suaminya
ke pihak berwajib maka terdapat kekhawatiran jika ia & anak-anaknya akan kehilangan
seorang buat menaruh nafkah. Potret budaya bangsa Indonesia yg masih patriarki sangat nir
menguntungkan posisi wanita korban kekerasan. Seringkali wanita korban kekerasan
disalahkan (atau ikut disalahkan) atas kekerasan yg dilakukan pelaku (pria ). Misalnya, isteri
korban KDRT sang suaminya disalahkan menggunakan anggapan bahwa KDRT yg dilakukan
suami korban merupakan dampak perlakuannya yg keliru pada suaminya. Stigma korban
terkait perlakuan (atau pelayanan) pada suami ini sudah menempatkan korban seolah seburuk
pelaku kejahatan itu sendiri. (Kania:2015)
2. Kasus Pelecehan Seksual
Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (Catahu) tahun 2016 menggunakan
temuan masih ada 16.217 perkara pemerkosaan yg berhasil didokumentasikan.Budaya patriarki
memposisikan pria menjadi pihak yg gagah & cenderung mempunyai keleluasaan buat
melakukan apapun terhadap wanita . Ini yg mengakibatkan tingginya nomor pemerkosaan
pada Indonesia. Budaya ini jua menaruh konstruksi & pola pikir bila pria berkaitan erat
menggunakan ego maskulinitas ad interim femininitas sendiri diabaikan & dipercaya menjadi
sesuatu yg lemah. Masyarakat misalnya membiarkan apabila terdapat pria bersiul & menggoda
kaum wanita yg melintas pada jalan, tindakan mereka seolah-olah sebagai hal yg masuk akal &
wajar karena menjadi pria , mereka wajib berani menghadapi wanita , pria dipercaya
menjadi kaum penggoda ad interim kaum hawa merupakan objek atau makhluk yg pantas
digoda & tubuh wanita dijadikan karena menurut tindakan kekerasan itu sendiri. Terdapat pula
yg disebut menggunakan victimblaming, atau suatu syarat dimana pihak korban yg justru
sebagai objek atau sasaran kesalahan menurut sebuah peristiwa. Pada perkara pemerkosaan,
wanita justru sebagai pihak yg disalahkan, entah itu berkaitan menggunakan cara berpakaian,
tingkah laku, ketika peristiwa pelecehan, atau justifikasi yg nir menempatkan pria menjadi
pelakuf. Dasar menurut justifikasi tersebut merupakan merupakan sesuatu yg normal buat
pria melakukan pemerkosaan lantaran mereka mempunyai libido atau syahwat yg tinggi,
letak permasalahannya justru masih ada menggunakan baik atau terhormat. Para korban
pun akhirnya diberi label oleh lingkungan sosial menggunakan label yg tidak baik atau
bahkan hina.

3. Angka Pernikahan Dini


Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender & Seksualitas Universitas Indonesia
tahun 2015, nomor pernikahan dini pada Indonesia peringkat kedua pada kawasan Asia
Tenggara. Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender & Seksualitas Universitas
Indonesia tahun 2015, nomor pernikahan dini pada Indonesia peringkat kedua pada kawasan
Asia Tenggara. Ada kurang lebih dua juta menurut 7,tiga wanita Indonesia pada bawah umur
15 tahun telah menikah & putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi tiga
juta orang pada tahun 2030. Dari poly kasus yg berhasil dihimpun oleh Komnas Perempuan,
hampir 50% pernikahan dini dilakukan antara wanita berusia dibawah 18 tahun
menggunakan laki-laki berusia diatas 30 tahun & terjadi dibawah tekanan atau paksaan.
Terdapat imbas menurut budaya patriarki & konstruksi sosial yg dibuat oleh rakyat
mengenai pernikahan dini, misalnya wanita merupakan penerima nafkah & hanya beranjak
pada sektor domestik. Implikasinya merupakan kebebasan mereka sahih-sahih dibatasi
menggunakan status seseorang istri, misalnya contohnya mereka nir diberi kesempatan buat
meneruskan pendidikan sampai ke jenjang yg lebih tinggi atau membuatkan talenta dan
kemampuan yg mereka miliki. Sebagian besar menurut mereka berstatus menjadi bunda
tempat tinggal tangga & cenderung nir produktif sama sekali. Pekerjaan mereka hanya
berkutat pada mencuci, memasak, menyapu, & membersihkan tempat tinggal . Di kitab
Dinamika Gender & Pengelolaan Kekayaan Alam karangan E.Linda Yuliani dijelaskan bahwa
budaya patriarki yg masih terjadi pada rakyat membuat posisi wanita menjadi terpojok dalam
kasus pernikahan dini. Mereka nir mempunyai kebebasan buat melakukan penolakan lantaran
pada beberapa adat, wanita yang menolak buat dinikahi merupakan wanita yang memahami
diri. Maka, meskipun realitas sosial yg terjadi bahwa poly menurut mereka yang belum
siap secara mental buat menikah, tetapi sayangnya keterangan tadi masih diabaikan.
4. Stigma Mengenai Perceraian
Badan Kependudukan & Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 3 tahun merilis data
bahwa nomor perceraian pada Indonesia sebagai yg tertinggi pada Asia Pasifik menggunakan
jumlah terlapor sebesar 212.400 masalah perceraian & 75% pihak penggugat tiba menurut pihak
perempuan.

Daftar Pustaka
Sakina, A.I., 2017. Menyoroti budaya patriarki di Indonesia. Share: Social Work Journal,
7(1), pp.71-80.

Anda mungkin juga menyukai