Anda di halaman 1dari 7

BENTUK-BENTUK KETIDAKADILAN GENDER

Muhammad Afiq Zamzami Mawardi


afiqzamzami@gamail.com
Farhan Agung Alpama
farhanagung0610@gmail.com

Abstrak

Ketidakadilan gender bukan suatu hal yang baru diperbincangkan di masyarakat. Ketidakadilan
gender masih cukup banyak terjadi terutama pada perempuan. Ketidakadilan gender dalam
kehidupan sehari-hari memang tidak dapat dipangkas habis, meski pernyataan tentang feminisme,
kesetaraan gender dan berbagai hal yang menjelaskan bahwa perbedaan gender tidak menjadi
persoalan. Bahasan tentang gender memang tidak lagi mudah ketika menemukan di berbagai
bidang kehidupan masih samar-samar. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut beragam,
salah satunya adalah kekerasan. Isu mengenai ketidakadilan gender juga sering terjadi
dimasyarakat adapun bentuk bentuk ketidakadilan gender ada 5 yaitu; Stereotip, Subordinasi,
Marginalisasi, Beban ganda, dan Kekerasan berbasis gender. Tujuan dari penelitian ini
menunjukkan bagaimana bentuk-benruk ketidakadilan gender yang sering terjadi contohnya dalam
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tersebut dibagi menjadi empat, pertama
kekerasan fisik dalam bentuk tamparan oleh suami terhadap istrinya. Kedua, kekerasan psikologis
yang ditunjukkan dengan pelecehan secara verbal atau hinaan. Ketiga, kekerasan seksual dalam
bentuk perkosaan. Terakhir, kekerasan finansial yang dapat dilihat dengan adanya perampokan.

Kata kunci : Bentuk-bentuk Ketidakadilan, Gender, dan Kekerasan.

Pendahuluan

Gender pada dasarnya menuntut adanya kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan.
Hal tersebut sebenarnya tanpa dasar, karena secara formal perempuan mempunyai kewargaan yang
sama dengan laki-laki dalam sistem demokrasi. Mengikuti perkembangan isi kesetaraan gender
tersebut, keinginan perempuan untuk tampil dalam ranah politik semakin meningkat. Sejak tahun

1
2002, wacana peningkatan jumlah perempuan di panggung politik sudah mulai terdengar
Ketidakadilan gender dalam kehidupan sehari-hari memang tidak dapat dipangkas habis, meski
pernyataan tentang feminisme, kesetaraan gender dan berbagai hal yang menjelaskan bahwa
perbedaan gender tidak menjadi persoalan. Bahasan tentang gender memang tidak lagi mudah
ketika menemukan di berbagai bidang kehidupan masih samar-samar.

Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal
dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang
perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau ketidakadilan.1 Patokan atau ukuran
sederhana yang dapat digunakan untukmengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan
ketidakadilan atau tidak. Berdasarkan data KPPA (2018), disebutkan bahwa ketimpangan gender
yang masih umum terjadi ada di bidang ekonomi dan tenaga kerja. Perempuan masih terbelenggu
dengan budaya-budaya yang menekankan pada pekerjaan domestik dibandingkan pekerjaan
publik. Kemudian didapatkan hasil Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari Badan Pusat
Statistik (BPS) di tahun 2017 menunjukkan bahwa TPAK perempuan berada di angka 50,89
sedangkan TPAK laki-laki berada di angka 82,51. Hasil TPAK di atas menunjukkan bahwa
capaian perempuan masih jauh di bawah capaian laki- laki dan tidak berubah dalam kurun waktu
20 tahun terakhir. Tidak berakhir begitu saja, ketika perempuan akhirnya memutuskan untuk
memasuki sektor publik, mereka kembali berhadapan dengan kebijakan-kebijakan di dunia kerja
yang tidak responsif gender. Diskriminasi dalam proses perekrutan pegawai hingga perbedaan
upah antara pekerja laki-laki dan perempuan masih terlihat (KPPA, 2018). Tujuan dari penelitian
ini menunjukkan bagaimana bentuk-benruk ketidakadilan gender yang sering terjadi.

Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender

1. Subordinasi

Subordinasi ialah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu
jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,
telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan
dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi,
sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.

1
Abdullah, J. 2009. Kesetaraan Gender Dalam Islam. Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009: 107- 114.

2
Subordinasi adalah dibatasinya perempuan hanya pada aktivitas tertentu dan dibatasinya
mereka dengan orang lain yang lebih rendah diletakkan pada tugas serta posisi sosial yang lain;
anggapan-anggapan yang muncul dalam masyarakat, misalnya anggapan bahwa perempuan itu
irrasional dan emosional sehingga tidak dapat memimpin dan berakibat munculnya sikap yang
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting; dan dibatasinya perempuan dalam
aktivitas tertentu dan dinilai rendah (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007:225).

Anggapan-anggapan lain yang sering berkembang di tengah masyarakat bahwa perempuan


tidak perlu bersekolah tinggi karena perempuan pada akhirnya hanya akan melayani suami dan
anak-anaknya di rumah. Alasan lain, apabila perempuan memiliki pendidikan lebih tinggi, akan
susah mendapatkan jodoh karena tidak banyak laki-laki yang mau dengan perempuan tersebut.
Perempuan yang berpendidikan lebih tinggi dianggap akan menguasai kehidupan laki-laki.

2. Stereotipe

Stereotip sebagai pelabelan atau penandaan negatif terhadap jenis kelamin tertentu yang
mengakibatkan diskriminasi serta berbagai ketidakadilan. Konstruksi yang diciptakan masyarakat
tersebut memosisikan perempuan sebagai esensi yang tidak dapat diubah. Sugihastuti dan Wibowo
mengemukakan bahwa kebudayaan patriarki dalam masyarakat mengonstruksi stereotipe gender
perempuan sebagai kodrat Tuhan sehingga dianggap tidak dapat berubah. Kebudayaan patriarki
menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki. Kebudayaan mendikte bagaimana seharusnya
menjadi perempuan dan bagaimana perempuan harus berperilaku di dalam masyarakat.

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan
yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.2 Stereotype itu sendiri berarti
pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu
anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih
dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok
atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau
tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negative
juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan
kepada perempuan. Contoh :

2
Esje, G. 1997. Ketidakadilan Gender dalam Diskursus Kekuasaan. Wacana No. 7/ Maret - April 1997.

3
1. Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
2. Perempuan tidak rasional, emosional.
3. Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
4. Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
5. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.

3. Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan
oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis
kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan
dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri
psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan
dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan.
Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan
semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Contoh : 1. Kekerasan fisik maupun non fisik yang
dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga. 2. Pemukulan, penyiksaan dan
perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan. 3. Pelecehan seksual. 4. Eksploitasi
seks terhadap perempuan dan pornografi.3

4. Beban ganda (double burden)

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin
lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali
dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan
yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di
wilayah domestic.4 Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan
tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan

3
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogya- karta: Pustaka Pelajar.
4
Aldianto, et al. 2015. “Kesetaraan Gender Masyarakat Transmigrasi Etnis Jawa”. Jurnal Equilibrium, 3(1): 87-95.

4
lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan.
Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

Pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan dan tanggung jawab perempuan. Akibatnya,
pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, memasak, merawat dan menjaga anak-anak,
membersihkan dan menjaga kerapian rumah, dan lain sebagainya dilakukan oleh perempuan. Di
samping itu, perempuan juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam
hal ini perempuan memikul beban kerja ganda.

Beban kerja ganda dapat dicontohkan dalam novel Padusi mengenai peran wanita. Tokoh ibu
Dinar yang kerap kali mendapatkan perlakuan kekerasan dari suaminya, juga harus bertanggung
jawab menjaga dan merawat anak-anaknya, menjaga kerapian dan kebersihan rumah, serta
menyediakan kebutuhan hidup anggota keluarganya. Ia harus bekerja menjadi buruh cuci pakaian
dan kadang memulung ikan-ikan yang terserak dari bagan-bagan milik nelayan. Tanggung jawab
keberlangsungan hidup keluarga yang semestinya bisa dibagi dengan sang suami, tetapi semua itu
terpaksa dipikul oleh ibu.

5. Marjinalisasi

Marjinalisasi ialah suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang
mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang
atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan
anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka
bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut
terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Contoh : 1.
Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja
rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima. 2. Masih banyaknya pekerja
perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari
perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan,
pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan
menyusui. 3. Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan
menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan.

5
Penutup

Bentuk- bentuk ketidakadilan gender ada 5 yaitu: Stereotip, Subordinasi, Marginalisasi, Beban
ganda, dan Kekerasan berbasis gender. Ketidakadilan gender ini disebabkan budaya patriarki yang
sudah melekat dalam kehidupan masyarakat. Budaya patriarki tidak saja diperankan kaum laki-
laki, tetapi juga dimainkan oleh perempuan. Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan
perempuan atau yang lebih tinggi dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat
tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi
atau ketidakadilan. Jadi perlu dipahami bahwa pentingnya pemahaman kita terhadap pembelajaran
ini agar tidak lagi terjadinya ketidakadilan gender dalam masyarakat.

6
Daftar Pustaka

Abdullah, J. 2009. Kesetaraan Gender Dalam Islam. Musawa, Vol. 1.

Aldianto, et al. 2015. “Kesetaraan Gender Masyarakat Transmigrasi Etnis Jawa”. Jurnal
Equilibrium, 3(1).

Esje, G. 1997. Ketidakadilan Gender dalam Diskursus Kekuasaan. Wacana No. 7/ Maret
- April 1997.

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogya- karta: Pustaka
Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai