Anda di halaman 1dari 12

Nama : Gesang Wijayanti E. P.

Kelas : Pendidikan Sosiologi A

Gender, Intimasi, dan Keluarga

Kesetaraan Gender Perempuan Karir Dalam Keluarga

Pendahuluan

Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri dari
atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga adalah
sub sistem dari masyarakat yang memiliki sistem dan struktur sosial, keluarga
memiliki fungsi strategis untuk menanamkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap
aktivitas serta pola relasi antar anggota keluarga karena dalam keluargalah semua
struktur, peran dan fungsi sebuah sistem berada (Widianingsih, 2014: 1). Adanya
perkembangan zaman membuat perubahan dalam masyarakat, sehingga
menimbulkan keresahan karena nilai-nilai lama yang biasanya digunakan mulai
kurang dimanfaatkan lagi. Hal ini sangat berpengaruh pada perubahan peran yang
dimainkan oleh suami istri dan berdampak pada relasi antar suami istri. Keluarga
seharusnya menjadi tempat berlindung yang aman dan harmonis, tapi masih
banyak sekali ketidakadilan dalam keluarga seperti peran dan pembagian kerja
gender, sehingga menimbulkan beban ganda pada wanita, persoalan yang terjadi
disebebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh
masyarakat tidak didasari oleh kesetaraan gender. Mayarakat biasanya
memposisikan laki-laki merupakan kaum kelas pertama yang mendapat hak-hak
istimewa, sedangkan perempuan merupakan kaum kelas dua. Meskipun begitu
sudah sebagian kelompok masyarakat tertentu sudah membangun relasi yang baik
antara perempuan dan laki-laki.

Permasalahan karir dalam keluarga merupakan suatu isu baru yang


berkaitan dengan karakteristik personal dan relationship pasangan. Masalah yang
muncul dalam keluarga karir ganda adalah adanya ideologi gender dalam
masyarakat, terutama yang berkaitan dengan stereotip kerja (gender stereotype of
work) dan pembagian kerja gender (gender distribution of labor) (Nohong, 2009 :
27). Prinsipnya bekerja merupakan keharusan bagi semua orang yang mana tidak
memandang jenis kelamin perempuan atau laki-laki. Paradigma yang masih
berkembang di tengah masyarakat di mana laki-laki harus di luar yaitu sektor
publik, sedangkan perempuan harus sektor domestik seperti mengasuh anak,
mengurus rumah tangga, menunggu suami, dan lain sebagainya. Perbedaan ini
dianggap bahwa laki-laki sebagai superior (leaders) atau pemimpin rumah tangga
dan perempuan sebagai inferior. Mayoritas masyarakat masih mengenal
pembagian tugas dan struktur peran dalam sebuah keluarga bahwa pembagian
peran dalam keluarga berdasarkan jenis gender (gender role). Peran gender
(gender role) dan struktur peran dalam keluarga harusnya menjadi peran dan
tanggung jawab bersama baik suami maupun istri dari sektor domestic hingga
tingkat publik.

Dalam pembahasan ini, permasalahan difokuskan dengan adanya


perkembagan zaman sosok perempuan banyak yang memiliki profesi dan
perannya sebagai perempuan dalam rumah tangga. Hal inilah yang menjadi tolak
ukur bahwa perempuan juga memiliki kemampuan yang cukup untuk menujukkan
karyanya meskipun juga harus memiliki peran ganda (double burden) di dalam
rumah dengan membangun kemitraan gender yang setara dan berkeadilan gender
dengan pembagian peran dan kerja dilingkup domestik, publik, dan sosial
kemasyarakatan. Fenomena ini terjadi karena adanya beberapa faktor seperti
kurangnya maksimal suami dalam pendapatan ekonomi, sehingga istri harus ikut
membantu demi ekonomi keluarga

Pembahasan

1. Konsep gender dan kesetaraan gender

Gender adalah tindakan berulang dalam peraturan yang dibentuk secara


sosial untuk menghasilkan sebuah penampilan yang dianggap alami dan
serangkaian karakteristik yang terikat dan membedakan maskulinitas dan
feminisme. Konsep gender menurut (Fakih, 1999: 8) sebagai suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
dan kultural. Perempuan sering dikenal dengan istilah feminim seperti lemah
lembut, emosional, keibuan, cantik, dan lain sebagainya, sedangkan laki-laki
sering dikenal dengan istilah maskulin seperti kuat, rasional, jantan, perkasa, dan
lain sebagainya. Pengertian jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua
jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu seperti laki-laki memiliki penis, sperma, dan memiliki jakun, sedangkan
perempuan memiliki vagina, rahim, dan alat menyususi. Alat tersebut melekat
secara biologis dan permanen serta tidak dapat ditukarkan karena sudah ketentuan
Tuhan atau kodrat.

Gender juga melihat perbedaan peran laki-laki dan perempuan oleh


masyarakat yang dengan latar belakang dan struktur sosial yang berbeda, definisi
gender juga membicarakan relasi perempuan dan laki-laki serta cara untuk
membangun dan mendapat dukungan dari masyarakat. Hambatan untuk mendapat
kesetaran gender bagi perempuan disebabkan oleh kesenjangan perempuan dan
laki-laki yang dikonstruksi (dibangun) oleh masyarakat, kesejangan ini
dipengaruhi dari factor budaya, sejarah, ekonomi, dan agama yang mengakar
secara kuat yang turun temurun di tengah masyarakat. Diskriminasi bagi
perempuan yang terus terjadi merupakan cerminan bahwa usaha untuk
menyetarakan gender masih dihadapkan pada berbagai kendala yang ada. Untuk
itu dibutuhkan strategi perubahan yang diperlukan mewujudkan kesetaran gender
bagi perempuan dan membangun relasi antara perempuan dan laki-laki.

1. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender


Perbedaan gender telah memberikan ketidakadilan atau penyimpangan baik bagi
laki-laki dan terutama bagi perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan
dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotype, violence,
dan double burden.
a. Marginalisasi (proses peminggiran atau pemiskinan ekonomi)
Marginalisasi merupakan proses peminggiran yang mengakibatkan kemiskinan
secara ekonomi bagi perempuan. Ada beberapa mekanisme proses marginalisasi
kaum perempuan karena perbedaan gender. Dilihat dari segi sumbernya, bisa
berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tasfiran agama, keyakinan tradisi
dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan (Fakih, 1999: 14),
marginalisasi dalam keluarga terjadi dalam bentuk diskriminasi atas anggota
keluarga yang laki-laki dan perempuan misalnya seperti beberapa suku di
Indonesia yang tidak memberikan hak waris kepada kaum perempuan sama sekali.
b. Subordinasi
Subordinsi adalah sikap, anggapan atau tindakan masyarakat yang menempatkan
perempuan pada posisi yang lebih rendah (tidak penting) dan sekedar sebagai
pelengkap kepengtingan kaum laki-laki. Dalam relasi sosial, kaum perempuan
tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikontruksikan secara sosial yang
selanjutnya termanifestasikan dalam bentuk diskriminasi seperti dalam pekerjaan.
Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosisal menjadikan perempuan
dianggap tidak cakap dan tidak layak menduduki posisi sebagai pemimpin.
Implikasi dari anggapan ini mengakibatakan posisi pekerja perempuan (buruh)
menjadi lemah, Subordinasi terhadap posisi perempuan dalam dunia kerja pada
perkembangan selanjutnya menjadi terstruktur dan sistemik yang kemudian
dilegalisasikan dalam bentuk berbagai produk regulasi seperti dalam sistem
rekrutmen, penggajian dan fasilitas kerja lainnya. Dalam relasi di tingkat keluarga,
biasanya anak perempuan juga tidak mendapat akses yang sama dalam
memperoleh hak-hak pendidikan dibanding anak laki-laki. Praktik-praktik seperti
itu sebenarnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil (Ridwan, 2006:
27).
c. Stereotype (pelabelan negatif)
Stereotype adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu dengan sikap atau
penilaian negative. Salah satu jenis stereotype itu adalah yang bersumber dari
pandangan gender. Ketidakadilan gender seringkali bersumber dari stereotype
yang dilekatkan kepada jenis kelamin tertentu perempuan misalnya perempuan
bersolek itu adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka
setiap ada kasusu kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan
stereotype ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami perempuan, masyarakat
malah cenderung menyalahkan korban (Fakih, 1999: 16-17).
d. Violence (kekerasan)
Violence (kekerasan) adalah suatu serangan atau invasi (assault) terhadap fisik
maupun integritas mentak psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesame
manusia ini dapat berasal dari berbagai sumber. Namun, terdapat salah satu jenis
kekerasan yang bersumber dari anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan
oleh bias gender ini disebut dengan gender related violence. Praktek kekerasan
tersebut lahir akibat dari pola relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan yang
timpang yang dikonstruksi secara sosial (Ridwan, 2006: 29)
e. Double Burden (Beban ganda)
Adanya anggapan bahwa pekerjaan domestic rumah tangga menjadi tanggung
jawab kaum perempuan, berakibat kaum perempuan harus menanggung semua
beban pekerjaan domestik. Pemberian beban kerja ini dirasakan sangat bera bagi
kaum perempuan, terutama bagi perempuan pekerja (Fakih, 1999: 21). Namun,
seiring perkembangan zaman saat ini bisa dilihat bahwa banyak istri yang bekerja
di luar rumah dan sekarang banyak permpuan yang menyelesaikan pendidikan
tiggi akibatnya banyak istri yang berkarya di luar rumah. Banyak istri yang
bekerja diberbagai instansi, kantor, perusahaan, toko, sekolah, dan lain
sebagainya. Secara umum peran ganda (double burden) perempuan diartikan
sebagai dua atau lebih peran yang harus dimainkan oleh seorang perempuan
dalam waktu bersamaan. Adapun peran-peran tersebut umumnya mengenai peran
domestic sebagai ibu rumah tangga dan peran public dalam urusan kerja.
Ketidakadilan gender (gender inequality) mengakibatkan beban kerja tersebut
diperkuat dna disebabkan dari pandangan atau keyakinan dari masyarakat bahwa
pekerjaan yang dianggap masyarakat pekerjaan domestim yang dilakukan
perempuan dianggap pekerjaan dan nilainya lebih rendah daripada pekerjaan laki-
laki, serta disebut pekerjaan yang tidak produktif. Kedua macam pekerjaan
sebenarnya tugas bersama antara suami dan istri, tetapi dalam kenyataannya ada
konstruksi sosial tertentu yang kemudian memetakan penyelesaian tugas tersebut
baik bagi suami maupun istri. Suami bisa melakukan pekerjaa public, sedangkan
istri melakukan pekerjaan domestic. Peran ganda terlihat pada komunitas terkecil
yaitu keluarga yang lebih banyak dan terjadi pada keluarga yang istrinya bekerja.
Selain, bertanggung jawab pada tugas sektor publik (bekerja), perempuan juga
tetap harus bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan rumah, sehingga
perempuan bekerja lebih berat dan lebih lama dibandingkan laki-laki dalam
mengurus rumah tangga.

Perempuan yang bekerja dituntut untuk bisa menyelesaikan tugas-tugas yang


diberikan, bahkan tugas-tugas tersebut memerlukan perhatian serius, sehigga
membutuhkan waktu tersendiri dan lokasi wanita yang berkerja bukan berada
dalam rumah melainkan berada di luar rumah, sehingga wanita karir yang
merangkap sebagai ibu rumah tangga akan memilki beban yang cukup berat.
Intesitas pelayanan pada suami dan anak-anak menjadi berkurang karena ia
sendiri juga membutuhkan pelayanan bagi diririnya sneidir akibat kelelahan
sehabis bekerja (Ghufron, 2013: 117). Bagi keluarga karir, untuk mengatasi
menumpuknya pekerjaan rumah tangga, biasanya istri dan suami akan
memperkerjakan ART (asisten rumah tangga). Akan tetapi, bukan berarti bahwa
pekerjaan rumah tangga bisa diselesaikan begitu saja, ART hanya bisa melakukan
pekerjaan rutin harian yang cukup banyak menyita waktu seperti menyuci baju,
membersihkan rumah, menyetrika pakaian, memasak, membersihkan kebun, dan
lain sebagainya. Sementara, banyak pekerjaan rumah tangga lain yang
berhubungan dengan pengasuhan dan pendidikan anak tidak bisa diserahkan
kepada pembantu rumah tangga (Supriyantini, 2002: 5-6), untuk itu perempuan
yang bekerja di sektor public akan memiliki peran ganda, proses pembagian kerja
yang tidak seimbangan akan terjadi ketidakseimbangan peran yang didapatkannya
dan bisa memicu berbagai konflik. Menurut Kopelman & Burley (dalam Ghufron,
2013: 118) terdapat enam aspek konflik peran ganda sebagai berikut:

1. Masalah pengasuhan anak. Pada umumnya, mereka mencemaskan


kesehatan jasman dan rohani anak-anaknya sehingga menuntut perhatian,
tenaga, dan pikiran mereka di rumah sewaktu mereka di kantor.
2. Bantuan pekerjaan rumah tangga. Wanita yang berperan ganda
membutuhkan bantuan daari berbagai pihak, baik suami, anak, maupun
pembantu rumah tangga untuk turt serta dalam urusan domestik.
3. Komunikasi dan interkasi dengan keluarga. Komunikasi merupaka sarana
untuk berinteraksi dengan keluarga, komunikasi merupakan sarana untuk
berinteraksi dengan orang lain.
4. Waktu untuk keluarga. Ibu yang bekerja sering merasa kekuarangan waktu
untuk suami, anak-anak, bahkan untuk dirinya sendiri.
5. Penentuan prioritas. Prioritas itu disusun tergantung pada kepentingan
individu yang bersangkutan agar tidak menimbulkan pertentangan antara
kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain.
6. Tekanan karir dan keluarga. Dalam bekerja, akan terdapat banyak masalah
yang menuntut si pekerja untuk menyelesaikannya. Begitu juga di rumah,
akan terdapt banyak pekerjaan rumah yang menuntut untuk diselesaikan.
Tuntutan tersebut dapat menjadi sebuah tekanan bagi seseorang yang
kemudian akan menjadi konflik dalam dirinya.

Diskusi

Keterlibatan suami istri dalam kegiatan rumah tangga merupakan


konsekuensi dari kehidupan pernikahan dan pembagian tugas serta peran suami
istri yang seharusnya biasa dilakukan berdasarkan kompromi dengan pasangannya
seperti bertanggung jawab membersihkan rumah, mencari uang, merawat anak,
memberikan pendidikan yang layak bagi anak, menjalin hubungan dengan orang
lain dengan baik, dan memilki komunikasi yang baik antar anggota keluarga.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan bekerja adalah faktor


utamanya kebutuhan finansial, kebutuhan pokok rumah tangga yang sangat besar
bisa mendorong suami dan istri untuk bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Kemudian, aktualisasi diri, adanya hal ini bekerja bidang digunakan
manusia dalam menemukan makna hidupnya, kebutuhan akan aktualisasi diri
melalui profesi atau pun karir merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil
oleh para perempun di zaman sekarang ini terutama adanya lapangan pekerjaan
yang semakin terbuka dan memeberikan kesempatan yang sama pada perempuan
untuk meraih jenjang karir yang tinggi. Perempuan yang belum menikah memang
sudah banyak yang bekerja karena dilandasi oleh kebutuhan aktualisasi diri yang
tinggi, sehingga perempuan akan cenderung kembali memilih bekerja setelah
menikah dan mempunyai anak. Mereka merasa bahwa bekerja bisa memiliki
manfaat untuk mengembangkan diri, kebanggan diri, memenuhi aktualisasi diri,
dan mendapatakan kemandirian secara finansial. Selain itu, kebutuhan sosial-
relasional, dalam diri perempuan tersimpan adanya kebutuhan akan penerimaan
sosial, identitas sosial, dan faktor psikologis adanya keadaan keluarga yang
memepengaruhi seorang ibu untuk mempertahankan pekerjaannya. Namun, ada
beberapa kasus di mana ibu bekerja memang lebih menyukai dunia kerja
ketimbang dunia rumah tangga, mereka lebih nyaman bekerja daripada berada di
rumah. Hal ini dikarenakan persoalan psikologis yang lebih dalam dan
bersangkutan dengan hubungan antar anggota keluarga.

Manfaat perempuan bekerja memberikan dampak positif seperti


mendukung ekonomi rumah tangga dan sumber pemasukan keuangan keluarga
menjadi dua, sehingga istri dan suami dapat memberikan kualitas hidup bagi
keluarga dengan baik dalam hal makanan, tempat tinggal, pendidikan anak,
kesehatan, liburan hiburan, dan lain sebagainya. Kemudian, meningkatnya harga
diri perempuan yang bekerja dan tempat bagi perempuan mengekspresikan dirinya
sendiri dengan cara yang kreatif dan produktif. Kemudian, relasi yang sehat dan
positif dengan keluarga, perempuan yang bekerja biasanya memiliki pola pikir
yang terbuka dan wawasannya luas, hal tersebut bisa menjadikan partner suami
untuk bertukar pikiran dan saling bertukar pandangan. Selain dampak postifi,
terdapat dampak negative perempuan yang bekerja bagi keluarga yaitu istri lebih
memiliki waktu yang sedikit untuk diri sendiri karena cenderung memperluas
kedua peran sebagai istri dan pekerja publik, untuk dampak yang dirasakan suami
yaitu beberapa suami merasa bahwa jika perempuan bekerja akan terancam dan
tersaingi dalam status bekerja, sedangkan pada dampak bagi anak adalah jika
anak-anak tidak ada yang mengawasi di rumah, ada kemungkinan anak merasa
tidak mendapat perhatian dari orang tua dan kurangnya kasih sayang, kemudian
mencari pelarian ke hal negative seperti melakukan hal terlarang, narkoba, korban
atau pelaku kejahatan. Di sinilah konsekuensi peran dalam keluarga bagi seorang
istri di sektor domestic dan sektor publik.

Kajian pustaka

a. Wanita atau perempuan karier


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “wanita” berarti perempuan
dewasa, sedangkan karier berate wanita yang berkecimpung dalam kegiatan
profesi (usaha, perkantoran, dan lain sebagainya), definisi wanita karier telah
banyak ditemukan dari berbagai dikusi dan literatur, seperti menurut Omas
Ihromi, wanita pekerja ialah mereka yang hasil karyanya akan mendaoat imbalan
uang. Meskipun imbalan tersebut tidak langsung diterimanya, ciri-ciri wanita
karier lebih ditekankan pada hasil yang berupa imbalan ke keuangan, bekerja
terikat kepada orang lain atau perusahaan dan kantor yang terpenting dari hasil
pekerjaannya adalah menghasilakan uang dan kedudukannya bisa lebih tinggi atau
lebih rendah suatu hari nanti. Menurut E. Sumaryono wanita pekerja ialah mereka
yang dengan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki mampu mengoptimalkan
peran serta dan keterlibatannya, dan mempunyai kemampuan merealisasikan
teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik. Dalam Undang-Undang
Kerja 1984 No. 12 disebutkan bahwa wanita bekerja atau pekerja wanita adalah
seorang wanita yang melakukan aktivitas atau pekerjaaan di luar rumah atau di
luar urusan keluarganya atau wanita yang bekerja disegala macam perusahaan
swasta atau negeri. Wanita karier memilki manfaat yang besar tidak hanya di
rumah tetapi juga di dunia kerja dengan menyalurkan potensi dna bakat. Wanita
karir adalah wanita yang memperoleh atau mengalami perkembangan dan
kemajuan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain sebagainya. Dapat disimpulkan
bahwa wanita karir adalah wanita yang bekerja di luar rumah dan bisa
menghasilkan nafkah, tidak hanya nafkah utama dari suami melainkan mampu
membantu memberikan sumber pemasukan keuangan keluarga, tidak hanya untuk
membantu pendapatan utama, tetapi menyangkut harga diri terutama bagi kaum
terpelajar.
b. Wanita karir dalam hadist
Islam mengatur semua hal dari hal yang kecil sampai besar apalagi soal
harkat dan martabat wanita, dalam islam wanita sangat dimulikan karena sebelum
agama islam ada. Wanita diperlakukan semena-mena pada zaman jahiliyah.
Wanita berbeda dengan laki-laki, karena perempuan dianggap tidak bisa bertindak
seperti laki-laki seperti laki-laki mempunai fisik yang lebih kuat, sehingga mampu
menerima yanyangan keras di luar rumah, sedangkann perempuan adalah orang
yang lemah lembut dan diciptakan untuk berada di rumah, mengurusi rumah
tangga, dan mengurusi anak. Kemudian, perbedaan hormon dan perbedaan
kondisi psikis, perempuan dikenal dengan sifatnya yang mudah tersinggung,
sensitif, temperamental. Selain itu, perbedaan antara laki-laki dnegan perempuan
adalah susunan otak. Terdapat sebuah hadist yang berbunyi “dan seorang
perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya” dari hadist tersubut dapat dilihat bahwa sebenarnya tempat
wanita adalah rumah, di mana segala urusan rumah tangga di urus oleh
perempuan, karena perempuan lebih tahu mana yang terbaik bagi kelangsungan
hidup rumah tangganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarga
yang dipimpinnya

Analisis

Dahulu perempuan untuk mendapat pendidikan sangat dan tidak diizinkan


melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, pekerjaan perempuan hanya berada di
dapur. Masyarakat berpikir bahwa perempuan tidak layak mendapat pendidikan
dan pengajaran karena perempuan dituntut untuk mengurusi rumah tangga dan
merawat tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi, minimal sudah bisa
menulis, membaca sudah cukup menjadi bekal untuk bisa mendidik anak-anaknya
di awal kehidupannya. Namun, dengan adanya perkembangan zaman emansipasi
dan isu gender telah memberikan kekuatan baru serta dorongan kesadaran yang
khas bukan hanya sebatas wacana saja, sehingga isu ini menjadi berkembang
pesat dan progresif bahkan cenderung liberal. Perbedaan gender sebenarnya tidak
menjadi masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan dan
laki-laki. Namun, dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menciptakan
ketidakadlian terutama terhahadap perempuan.

Adanya dorongan untuk mendapatkan kesetaraan gender bagi perempuan,


maka perempuan boleh melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan perempuan
mulai menuntut akan kesetaran gender seperti halnya pada perempuan yang
mengurusi rumah tangga (domestik) dan memiliki pekerjaan (publik), maka
perempuan dihadapakan dnegan peran ganda atau yang disebut dengan double
burden. Proses pembagian peran ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan peran
atau terjadi proses pencampuran peran yang lain apabila tidak ditangani akan
menyebabkan konflik pekerjaan dalam keluarga. Ketika seseorang mengalami
konflik pada pekerjaan dan keluarga cenderung peran yang satun akan menganggu
pemenuhan peran yang lainnya, sehingga akan berdampak pada prestasi kerja,
tetapi dengan adanya keadilan dan kesetaran gender yang telah diperjuangankan
maka dapat merubah posisi seorang ibu rumah tangga bisa menjadi seorang
pemimpin, perempuan bisnis, dan wanita karis dan mampu bersaing di berbagai
sektor. Dalam prespektif gender, perempuan yang memilki karir tidak dapat
dibebankan dengan double burden karena urusan domestik merupakan tanggung
jawab bersama dengan laki-laki yang berarti bahwa laki-laki dapat membantu
istrinya secara bersama-sama dalam menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga.

Kesimpulan

Perempuan karir dalam keluarga memiliki beban ganda (double burden)


yang mengharuskan perempuan memiliki dua peran di sektor domestic dan
publik. Adanya beban ini dapat menimbulkan berbagai konflik pada keluarga.
Perempuan bekerja juga membantu memberikan pemasukan keuangan utama
yang berasal dari suami, perempuan yang memiliki pekerjaan memberikan
dampak postif, negatif pada dirinya sendiri, suami, dan anak. Dengan adanya
prespektif kesetaraan gender perempuan tidak mendapat peran ganda karena
urusan sektor domestik bisa dilakukan bersama oleh suami istri. Terdapat
beberapa cara untuk mengatasi permasalahan peran ganda istri yaitu
meningkatkan kualitas waktu bersama bersama pasangan dan mengkoordinasikan
tanggung jawab bersama urusan domestik agar kebutuhan keluarga tetap
terpenuhi, termasuk urusan pengasuhan dan merawat anak. Namun, hal ini
tergantung dengan bagaimana suami dan istri dapat membagi tugas dan peran
sesuai dnegan proposinya masing-masing sesuai dalam keluarga. Melalui
kesetaraan gender untuk perempuan yang memiliki karir, maka dapat terwujud
kesejahteraan keluarga yang berkesetaraan dan berkeadilan gender dalam
keluarga.

Daftar Pustaka

Anita Rahmawaty. 2015. Harmoni Dalam Keluarga Perempuan Karir: Upaya


Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga. Jurnal
PALASTREN, vol. 8 (1). doi: http://dx.doi.org/10.21043/palastren.v8i1.932
Zayyadi Ahmad. 2012. Perempuan Bekerja (Tinjauan Gender Equality dalam
Peran Keluarga). Jurnal Yinyang: studi Islam, Gender dan Anak, vol. 7 (2).
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/1167,
diakses pada tanggal 30 Oktober 2021, pukul 20.00 WIB

Nurmila & Ratnawaty Fadilah. 2017. Analisis Perhatian Wanita Karir Terhadap
Keberhasilan Pendidikan Anak dalam Keluarga di Dusun Sawagi
Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa. Jurnal Pendidikan Teknologi
Pertanian, vol. 3: 223-227. doi: https://doi.org/10.26858/jptp.v3i2.5711

Hj. Sunuwati & Rahmawati. 2017. Transformasi Wanita Karir Prespektifgender


dalam hukum Islam (Tuntutan dan Tantangan pada Era Modern). An
Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak, vol.12: 107-120. Dalam
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa/article/view/1782/1460,
diakses pada tanggal 30 Oktober 2021, pukul 19.45.

Anda mungkin juga menyukai