PEREMPUAN
Oleh :
SYAHRUL RAMADHAN
50500118022
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
Equity Theory
Santosa (2001) menjelaskan bahwa dalam equity theory dinyatakan individu akan merasa
termotivasi jika memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain, akibatnya tindakan
dimaksud adalah setiap pembedaan, pengecualian atau pengutamaan atas dasar gender yang
berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan dalam pekerjaan atau jabatan.
Equity theory (teori keadilan) memasukkan dimensi social comparisons dari rasio antara
input-outcomes. Orang, atau disebut sebagai focal person, cenderung membandingkan input-
inputnya dan outcomes yang diterimanya dengan input dari pekerja lainnya, yaitu orang yang
sering disebut sebagai referent persons (Gomes: 2003).Sistem reward yang ada dianggap adil
jika apa yang diterimanya dinilai sama dengan apa yang dimiliki dan diterima oleh referent
person dan dengan sendirinya mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika outcomes yang
diterimanya lebih kecil dibandingkan dengan referent person dan akan menimbulkan
ketidakpuasan.
Konsep Gender
Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk
dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya saling melengkapi. Namun dalam perjalanan
kehidupan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas keduanya, terutama dalam
masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan berdampak
dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran dan status tadi secara sosial dan
budaya.
Diskriminasi Gender
Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda
dengan didasarkan pada gender, ras, agama,umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi juga
terjadi dalam peran gender. Sebenarnya inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda.Akibat
Mosse (2007) menyatakan bahwa kerja perempuan di seluruh dunia dinilai rendah. Kerja
rumah tangga perempuan tidak dimasukkan dalam formulir sensus karena kerja perempuan tidak
diperhitungkan. Kerja perempuan dilukiskan sebagai hal yang tidak tampak karena kerja itu tidak
Robins (2008) menjelaskan salah satu bentuk diskriminasi dalam pemberian imbalan
kerja, wanita biasanya dibayar (upah) lebih sedikit daripada pria dalam pekerjaan-pekerjaan yang
sebanding dan mempunyai harapanharapan imbalan kerja yang lebih rendah daripada pria untuk
beban kerja berlebihan. Marjinalisasi artinya suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis
kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk
memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi
gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah
tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan
anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses
Marjinalisasi ini terjadi dalam berbagai aspek, mulai dan kebijakan pemerintah, ekonomi,
keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, kebiasaan, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
Bidang ekonomi, misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu
bagus, baik dan segi gaji, jaminan kerja ataupun status dan pekerjaan yang didapatkan. Tidak
hanya itu, marjinalisasi perempuan juga terjadi dalam rumah tangga atas posisi anggota keluarga
laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian diperkuat oleh adat istiadat dan tafsir keagamaan
seperti proporsi hak waris antara laki-laki dan perempuan dimana bagian anak lakilaki lebih
Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh
satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan.
Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau
reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. Sementara peran publik dan
peran domestik diberi penghargaan yang berbeda dalam masyarakat, sehingga melanggengkan
ketidakadilan gender.
Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain
sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki. Anggapan bahwa
pendidikan kaum perempuan sebagai sesuatu yang wajar. Semua bentuk ketidakadilan gender
diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotipe gender
Stereotipe itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau
kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya
dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk
membenarkan suatu tindakan dan satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga
menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk
Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali
pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut malam
adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya. Kekerasan (violence) artinya tindak
kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah
institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Perempuan, pihak
paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marjinalisasi, subordinasi
Perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami
perempuan. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan
dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri
psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan
dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
pembedaan itu. Namun temyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan.
Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk
diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Beban ganda (double burden) artinya
beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin
lainnya. Dimana tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terns menerus. Misalnya,
seorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus
menjaga rumah. Di samping itu, kadang is juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen.
Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun
tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya mereka adalah
mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada pembantu rumah tangga atau anggota keluarga
perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak
Masalah Kesetaraan dan Keadilan Gender bukan saja menjadi perhatian kaum
perempuan, tetapi telah menarik perhatian pars ahli dan politisi Sasongko (2009) menegaskan
bahwa Edward Wilson dan Harvard University (1975) membagi perjuangan kaum perempuan
secara sosiologis atas dua kelompok besar, yaitu konsep nurture (konstruksi budaya) dan konsep
nature (alamiah). Selain kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal
perempuan dan laki-laki. Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada
hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang
berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan
kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar "kesamaan" atau
fifty-fifty yang kemudian dikenal dengan istilah kesamaan kuantitas (perfect equality).
Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dan nilai agama maupun
budaya. Karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan
kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri,
reaksi negatif dan kaum laki-laki karena apriori terhadap perjuangan tersebut. Menurut teori
nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga tidak dapat berubah
Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis
tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki,
memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial,
ada pembagian tugas (division of labour), begitu pula dalam kehidupan keluarga karena tidaklah
serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan
pengasuhan anak dalam keluarga. Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang
menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan
(komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga, atau antara perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan masyarakat.
Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan
keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam
hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum
perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan
Karena itu, penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah
kontekstual (yang ada pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai situasi/keadaan),
bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (jumlah/quota) dan tidak bersifat universal.
Secara umum diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan di¬latarbelakangi oleh adanya
keyakinan gender yang keliru di tengah-tengah masyarakat. Peran gender (gender role) sebagai
bentuk ketentuan sosial diyakini sebagai sebuah kodrat sehingga menyebabkan ketim¬pangan
sosial dan hal ini sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosial baik
dalam pendidikan, sosial budaya, politik dan juga ekonomi. Di sektor pekerjaan, ketidakadilan
dalam pekerjaan. Sebagaimana dikutip oleh Saptari menurut Alison Scott, seorang ahli sosiologi
Inggris melihat berbagai bentuk marginalisasi dalam empat bentuk yaitu: (1). Proses pengucilan,
perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja tertentu, (2) Proses pergeseran
perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada
jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dinilai tidak atau kurang
terampil, (3) Proses feminisasi atau segregasi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan
tertentu (feminisasi pekerjaan), atau pemisahan yang semata-mata dilakukan oleh perempuan
saja atau laki-laki saja. (4) Proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk di
perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan akan tetapi juga dapat terjadi dalam rumah
tangga, masyarakat, kultur, dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi
dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan
perempuan.
Peran gender dalam masyarakat ternyata juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap
perempuan terutama dalam pekerjaan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional
menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, dan ini berakibat pada munculnya
sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Subordinat dapat terjadi
dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa
misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya
juga akan ke dapur. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat
terbata, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-lai
akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran
perempuan dalam angkatan bersenjata atau kepolisian. Potensi perempuan sering dinilai secara
tidak fair. Hal ini mengakibatkan perempuan sulit untuk menembus posisi strategis dalam
pedesaan, mayoritas di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama
terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu, kebutuhan rumah tangga, dan
elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha
Di sektor publik, masalah umum yang dihadapi perempuan dalam pekerjaan adalah
kondisi kerja buruk, dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal ini berlaku khusus bagi perempuan
berpendidikan menengah ke bawah. Pekerjaan di kota adalah sebagai buruh pabrik, sedangkan di
pedesaan adalah sebagai buruh tani. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa
disebabkan faktor pendidikan. Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk
mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah
Stereotipe secara umum diartikan sebagai pelabelan atau penandaan terhadap suatu
diskriminasi. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender.
Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang
Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam
rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan
seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh
anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat
wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Demikian pula perempuan adalah
jenis manusia yang lemah fisik maupun intektualnya sehingga tidak layak untuk menjadi
pemimpin. Perempuan sarat dengan keterbatasan, tidak sebagaimana laki-laki. Aktivitas laki-laki
lebih leluasa, bebas, lebih berkualitas, dan produktif. Misalnya laki-laki dianggap sebagai
pencari nafkah utama, perempuan hanya dinilai sebagai suplemen, karena itu perempuan dalam
sistem penggajian atau upah boleh dibayar lebih rendah dari laki-laki. Keterpurukan ini semakin
ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi gender merupakan aturan, nilai, stereotipe yang
mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan
identitas feminin dan maskulin. Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka
pada saat ia masuk ke sektor publik sah-sah saja untuk memberikan upah lebih rendah karena
SMU/MA, SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan PT (Perguruan Tinggi) jumlah perempuan
lebih rendah dibandingkan dengan jumlah laki-laki, namun lebih seimbang pada tingkat SD dan
SMP.
kesenjangan gendernya, proporsi laki-laki yang bersekolah semakin lebih besar dibandingkan
dengan proporsi perempuan yang bersekolah. Kesenjangan ini disebabkan oleh berbagai hal di
antaranya adalah pertimbangan prioritas berdasarkan nilai ekonomi anak, bahwa nilai ekonomi
anak laki-laki lebih mahal dibandingkan dengan nilai ekonomi anak perempuan.
Gejala pemisahan gender (gender segregation) masih banyak tampak dalam pemilahan
jurusan (SMK-Ekonomi untuk perempuan dan SMK-Teknik Industri untuk laki-laki) yang
banyak mempekerjakan perempuan sebagai TKW. Banyak di antara mereka yang hanya
berbicara dalam bahasa daerah saja dan bukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional yang
seorang Staf Ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dalam
sebuah acara Talk Show di Bandung menyatakan bahwa penyebab terjadinya kesenjangan
memperlakukan manusia menurut gendernya. Hal ini didukung oleh Meutia Hatta bahwa
kuatnya budaya patriarki menyebabkan pemikiran bahwa adalah kesiasiaan menyekolahkan anak
tinggiperempuanbersekolah, akhirnya masuk dapur juga. Pemikiran seperti ini tentu merupakan
pemikiran yang sangat picik di era yang sudah semakin berkembang di masa ini. Paham inilah
yang akan menjadikan bangsa kita jalan ditempat atau yang lebih buruk adalah semakin terpuruk
ke dalam ketertinggalan. Lebih jauh Mutia menyatakan beberapa faktor lainnya yang
mengakibatkan seorang anak perempuan memiliki pendidikan yang lebih rendah dibandingkan
1) Adanya tradisi bahwa seorang anak perempuan adalah pengurus rumah tangga
2) Walaupun ada kesempatan namun jika terbentur masalah biaya, maka anak laki-laki
Dari gambaran tersebut, dapat dijelaskan bahwa pendidikan yang rendah merupakan
faktor yang turut menyebabkan diskriminasi dalam pekerjaan. Rendahnya pendidikan dan
keterampilan mempersulit perempuan yang masih gadis untuk mencari pekerjaan lain agar dapat
Banyak dari pekerja-pekerja yang hanya membutuhkan sedikit keterampilan ini menuntut
migrasi ke kota besar atau ke luar negeri, di mana perempuan menjadi target para pelaku
trafficking dan pihak lain yang berniat mengeksploitasi mereka. Dengan rendahnya tingkat
pendidikan serta kurangnya keterampilan kerja yang memadai, para perempuan yang masih gadis
hanya mencari pekerjaan di sektor informal. Pekerjaan di sektor informal bagi perempuan yang
tidak berpendidikan biasanya seperti pramuwisma, atau penjual minuman di kaki lima, pembantu
rumah tangga, penjaja makanan di terminal dan stasiun, yang tidak memperoleh perlindungan
dari pemerintah dan tenaga kerja melalui serikat buruh atau majikan.
Pendidikan yang minim dan tingkat melek huruf yang rendah semakin menyulitkan
perempuan untuk mencari pekerjaan. Jika akhirnya mendapat pekerjaan, diposisikan pada bagian
yang tidak memerlukan keterampilan misalnya buruh, tenaga suruhan, yang memiliki
pengupahan yang sangat rendah, tidak mendapat perlindungan hukum dan juga kesehatan.
Mereka tidak tahu bagaimana mengakses sumber daya yang tersedia, karena tidak dapat
membaca dan menulis untuk mencari bantuan hukum ataupun rumah singgah jika majikan
mereka bertindak eksploitatif atau melakukan kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.
Diskriminasi Perempuan di Media Massa
Persoalan perempuan di media massa menyangkut tiga hal yaitu, gambaran atau
representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan perempuan dalam stuktur
organisasi media yang belum berimbang dibanding dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang
selama ini yang masih memperlihatkan penggambaran yang merugikan perempuan antara lain;
perempuan hanya memiliki peran domestik, perempuan makhluk yang lemah dan perempuan
Gambaran tersebut terlihat dari pemilihan makna yang diberikan pada setiap teks.
Berbicara soal perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara tentang tiga hal.
Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa, baik media cetak, media
elektronik, maupun perbagai bentuk multi media. Yang kedua ialah persoalan perempuan
justru terletak pada masih sedikitnya perempuan yang terlibat dalam kerja jurnalistik
karena memang selama ini kerja jurnalistik dianggap sebagai wilayah kaum pria. Dan hal
ketiga adalah persoalan sejauh mana para pengambil keputusan dalam media massa
Sebuah wacana dapat menjadi sarana sekaligus media bagi satu kelompok yang
memiliki dominasi dibandingkan dengan kelompok lain. Dalam kondisi seperti ini,
representasi menjadi aspek yang penting. Istilah representasi merujuk pada bagaimana
kelompok, seseorang, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam sebuah wacana.
makna, misalnya dikaitkan dengan ilmu pengetahuan yang menganggap bahwa secara
alami perempuan tidak mampu untuk memperbaiki mobil, atau dikaitkan dengan wacana
kesehatan yang mengatakan bahwa perempuan dianggap memiliki lebih banyak masalah
Sampai saat ini, representasi perempuan yang digambarkan oleh media massa
secara konsisten masih sama dan tidak berubah. Perempuan yang diyakini memiliki daya
tarik tersendiri masih sering ditampilkan dalam iklan produk kecantikan. Bahkan,
seringkali antara isi iklan dan juga model iklan tidak saling berkaitan. Contohnya saja iklan
pembersih kaca dengan ikon perempuan cantik nan seksi, menggunakan pakaian serba
mini dan terbuka, membawa alat pembersih kaca dan seekor anjing.
apalagi sifat media yang terus-menerus menerpa sehingga juga dapat menimbulkan stigma
bagi masyarakat. Secara tegas iklan telah membentuk sebuah ideologi tentang makna atau
image gaya hidup dan penampilan, terutama tentang konsep kecantikan bagi perempuan.
Hal ini memperjelas bahwa iklan yang disampaikan melalui media massa memiliki peran
yang sangat besar dalam memproduksi dan membangun arti gaya hidup dengan
Selain iklan, ranah pemberitaan juga menggambarkan hal yang sama. Perempuan
diekspose hingga kadang menimbulkan trauma baru bagi korban. Tidak bisa dipungkiri
bahwa, setiap wartawan mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas suatu
peristiwa. Hal ini dapat dilihat pada cara wartawan mengonstruksi peristiwa dalam
pemberitaannya. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang
riil. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja
menjadi berita, tetapi melalui proses. Di antaranya, proses internalisasi wartawan yang
dilanda oleh realitas yang diamati dan diserap dalam kesadarannya. Kemudian, proses
seringkali menunjukkan perempuan sebagai objek yang lemah oleh masyarakat, di dalam
media semakin dikukuhkan sebagai korban yang tertindas oleh kekuasaan laki-laki. Segala
hal yang digambarkan melalui media secara terusmenerus akan diterima oleh khalayak,
akhirnya terekam dan menjadi suatu hal yang dianggap wajar oleh masyarakat. Dari
banyak pembahasan tentang media dan gender, ditemukan bahwa memang perempuanlah
yang paling dominan dibanding laki-laki baik dalam masalah pemberitaan maupun dalam
Beberapa asumsi yang dipercaya ikut mempengaruhi hal tersebut adalah karena
media massa cenderung dikuasai oleh laki-laki. Mulai dari fotografer, reporter, editor,
layouter dan dewan redaksi. Dengan kata lain keindahan produksi dihasilkan dari
pandangan dan selera laki-laki. Oleh sebab itu, diperlukan pekerja media yang paham akan
sensitivitas gender. Hal tersebut lebih dikenal dengan jurnalisme perspektif gender, yaitu
kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan dan menyebarkan ide-ide
mengenai kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan melalui media.
Praktik jurnalisme sendiri dipahami sebagai keseluruhan proses yang terjadi pada
industri media mulai dari rapat untuk menentukan tema informasi sampai dengan
penayangan agar bisa disaksikan oleh khalayak luas. Pengembangan praktik ini dapat
dilihat melalui tiga tingkatan yakni tataran kognitif meliputi kesadaran gender seorang
membentuk pola kerja yang berspektif gender dan teknik jurnalistik meliputi kesensitifan
akan persoalan gender, pilihan fakta sosial, teknik penulisan sampai teknik reportase yang
Orientasi media dapat diketahui dari komposisi laki-laki dan perempuan dalam
didominasi perempuan juga tidak menjamin keberadaan wacana konten yang sensitif
gender. Kebutuhan media akan pekerjanya yang peka dengan gender sangatlah penting
dan relevan terhadap upaya pembentukan setiap karya, walaupun untuk mendorong
lahirnya paham ini masih sulit sebab jumlah pekerja media perempuan yang masih kurang.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia adalah salah satu lembaga yang
mencoba melakukan paham tersebut. Pada 2012 AJI sebagai aparat otoritatif dalam urusan
Media: Kerangka Indikator Mengukur Sensitivitas Gender pada Organisasi dan Konten
Media”. Argumen yang berusaha dibangun ialah bahwa persepsi umum masyarakat
Indonedia, tak terkecuali media massa, sering kali menempatkan posisi perempuan pada
urusan pekerjaan domestik, sebagai sosok yang lemah, pekerja sampingan hingga
yang perlu mendapat perhatian dalam aktivitas jurnalisme. Untuk itulah, paham ini
menjadi penting diterapkan mengingat persoalan gender dalam media massa yang semakin
mengemuka membutuhkan suatu solusi. Jurnalisme dengan perspektif gender tidak saja
menjadi alat penyadaran bagi masyarakat, namun sesungguhnya juga mampu memberikan
rangsangan terhadap munculnya keadilan lain yang selama ini dirasa masih kurang
Dari beberapa berita yang telah dikumpulkan sebelumnya, semua berita mengandung
pembahasan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari
salah satu gender (sexual violence) sendiri termasuk dalam bagian diskriminasi gender.
1. Pemerkosaan
Beberapa dari berita yang sudah diambil untuk dibahas, mengangkat topik
pemerkosaan. Perkosa adalah sebuah tindakan hubungan badan dimana salah satu pihak
tidak menginginkan hal tersebut dan terjadi pemaksaan kepada orang tersebut. didalam
berita yang di ambil, tindakan pemerkosaan bisa terjadi di mana saja, oleh siapa saja, dan
kapan saja.
Didalam berita, beberapa pelaku bahkan adalah orang terdekat korban, seperti
orang tua dan keluarga. Tindakan keji ini juga dapat terjadi dimanapun dan dilakukan
oleh orang yang terduga. Didalam berita yang ada, perkosaan dilakukan oleh petugas
medis didalam ambulance yang tengah mengantar pasien covid menuju rumah sakit.
2. Pelecehan seksual
Pelecehan seksual sangat banyak bentuknya, baik bersiifat verbal maupun non
verbal, secara langsung maupun tidak langsung. Sebenarnya sangat bannyak kasus
Malu dan takut jadi alasan utama mengapa para korban tidak berani speak up dan
melawan tindakan keji ini. Di lain sisi, kurangnya pemahaman masyarakat tentang apa
dan bagaimana bentuk dari pelecehan seksual membuat mereka enggan melapor kepada
3. Victim Blamming
atas sebuah tindakan kejahatan yang terjadi. Victim Blamming banyak terjadi pada kasus-
kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan lain-lain. Biasanya Victim Blamming terjadi
pada masyarakat yang masih relatif konservatif pada aturan budaya dan agama yang
kental unsur ketimpangan gender. Didalm berita yang diambil yang bisa dijadikan contoh
kasus Victim Blamming adalah “masyarakat yang menyalahkan pakaian korban pelecehan
seksual” atau “kepala polisi di sebuah daerah di India yang menyalahkan korban yang
PEKERJAAN. JURNAL STUDI GENDER & ANAK: Vol.4 No.1 Jan-Jun. 2009 Hal.158-180
2018
PENYEBAB, DAMPAK, DAN SOLUSI. Marwah: Vol. XII No. 1 Juni. 2013