Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS BERITA KEKERASAN TERHADAP

PEREMPUAN

Oleh :
SYAHRUL RAMADHAN
50500118022

JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
Equity Theory

Santosa (2001) menjelaskan bahwa dalam equity theory dinyatakan individu akan merasa

termotivasi jika memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain, akibatnya tindakan

perlakuan diskriminasi terhadap seseorang akan menurunkan kinerjanya. Diskriminasi yang

dimaksud adalah setiap pembedaan, pengecualian atau pengutamaan atas dasar gender yang

berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan dalam pekerjaan atau jabatan.

Equity theory (teori keadilan) memasukkan dimensi social comparisons dari rasio antara

input-outcomes. Orang, atau disebut sebagai focal person, cenderung membandingkan input-

inputnya dan outcomes yang diterimanya dengan input dari pekerja lainnya, yaitu orang yang

sering disebut sebagai referent persons (Gomes: 2003).Sistem reward yang ada dianggap adil

jika apa yang diterimanya dinilai sama dengan apa yang dimiliki dan diterima oleh referent

person dan dengan sendirinya mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika outcomes yang

diterimanya lebih kecil dibandingkan dengan referent person dan akan menimbulkan

ketidakpuasan.

Konsep Gender

Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara. Laki-laki dan perempuan.

Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk

dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya saling melengkapi. Namun dalam perjalanan

kehidupan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas keduanya, terutama dalam

masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan berdampak

pada terciptanya perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin.


Selanjutnya, muncul istilah gender yang mengacu pada perbedaan peran antara laki-laki

dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran dan status tadi secara sosial dan

budaya.

Diskriminasi Gender

Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda

dengan didasarkan pada gender, ras, agama,umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi juga

terjadi dalam peran gender. Sebenarnya inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda.Akibat

pelekatan sifatsifat gender tersebut, timbul masalah ketidakadilan (diskriminasi) gender.

Mosse (2007) menyatakan bahwa kerja perempuan di seluruh dunia dinilai rendah. Kerja

rumah tangga perempuan tidak dimasukkan dalam formulir sensus karena kerja perempuan tidak

diperhitungkan. Kerja perempuan dilukiskan sebagai hal yang tidak tampak karena kerja itu tidak

terekam secara statistik.

Robins (2008) menjelaskan salah satu bentuk diskriminasi dalam pemberian imbalan

kerja, wanita biasanya dibayar (upah) lebih sedikit daripada pria dalam pekerjaan-pekerjaan yang

sebanding dan mempunyai harapanharapan imbalan kerja yang lebih rendah daripada pria untuk

pekerjaan yang sama.

Fakih (2008) mengemukakan secara rinci manifestasi ketidakadilan gender, yaitu:

marjinalisasi (peminggiran), subordinasi (penomorduaan), stereotipe, kekerasan (violence), dan

beban kerja berlebihan. Marjinalisasi artinya suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis

kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk

memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi
gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah

tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan

anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses

pemiskinan dengan alasan gender.

Marjinalisasi ini terjadi dalam berbagai aspek, mulai dan kebijakan pemerintah, ekonomi,

keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, kebiasaan, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

Bidang ekonomi, misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu

bagus, baik dan segi gaji, jaminan kerja ataupun status dan pekerjaan yang didapatkan. Tidak

hanya itu, marjinalisasi perempuan juga terjadi dalam rumah tangga atas posisi anggota keluarga

laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian diperkuat oleh adat istiadat dan tafsir keagamaan

seperti proporsi hak waris antara laki-laki dan perempuan dimana bagian anak lakilaki lebih

besar daripada anak perempuan.

Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh

satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan.

Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau

reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. Sementara peran publik dan

peran domestik diberi penghargaan yang berbeda dalam masyarakat, sehingga melanggengkan

ketidakadilan gender.

Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain

sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki. Anggapan bahwa

perempuan memiliki tugas utama sebagai pelayan suami, mengakibatkan penomorduaan

pendidikan kaum perempuan sebagai sesuatu yang wajar. Semua bentuk ketidakadilan gender
diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotipe gender

laki-laki dan perempuan.

Stereotipe itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau

kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya

dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk

membenarkan suatu tindakan dan satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga

menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk

menaklukkan atau menguasai pihak lain.

Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali

pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut malam

adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya. Kekerasan (violence) artinya tindak

kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah

institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Perempuan, pihak

paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marjinalisasi, subordinasi

maupun stereotipe diatas.

Perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami

perempuan. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan

dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri

psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan

dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan

pembedaan itu. Namun temyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan.
Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk

diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Beban ganda (double burden) artinya

beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin

lainnya. Dimana tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terns menerus. Misalnya,

seorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus

menjaga rumah. Di samping itu, kadang is juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal

tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.

Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen.

Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun

tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya mereka adalah

mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada pembantu rumah tangga atau anggota keluarga

perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak

perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

Kesetaraan dan Keadilan Gender

Masalah Kesetaraan dan Keadilan Gender bukan saja menjadi perhatian kaum

perempuan, tetapi telah menarik perhatian pars ahli dan politisi Sasongko (2009) menegaskan

bahwa Edward Wilson dan Harvard University (1975) membagi perjuangan kaum perempuan

secara sosiologis atas dua kelompok besar, yaitu konsep nurture (konstruksi budaya) dan konsep

nature (alamiah). Selain kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal

dengan keseimbangan (equilibrium).


Paham ini menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara

perempuan dan laki-laki. Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada

hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang

berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan

konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orang-orang yang konsen memperjuangkan

kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar "kesamaan" atau

fifty-fifty yang kemudian dikenal dengan istilah kesamaan kuantitas (perfect equality).

Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dan nilai agama maupun

budaya. Karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan

kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri,

militer, DPR, partai politik, dan bidang.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus (affirmatifaction) guna

memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang kadangkala berakibat timbulnya

reaksi negatif dan kaum laki-laki karena apriori terhadap perjuangan tersebut. Menurut teori

nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga tidak dapat berubah

dan bersifat universal.

Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis

tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki,

memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial,

ada pembagian tugas (division of labour), begitu pula dalam kehidupan keluarga karena tidaklah

mungkin sebuah kapal dikomandani oleh dua nakhoda.


Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang

serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan

pengasuhan anak dalam keluarga. Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang

menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan

(komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga, atau antara perempuan dan laki-laki dalam

kehidupan masyarakat.

Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan

keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam

hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum

perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan

dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa.

Karena itu, penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah

kontekstual (yang ada pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai situasi/keadaan),

bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (jumlah/quota) dan tidak bersifat universal.

Faktor-Faktor Penyebab Diskriminasi Gender Dalam Berbagai Bidang

Secara umum diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan di¬latarbelakangi oleh adanya

keyakinan gender yang keliru di tengah-tengah masyarakat. Peran gender (gender role) sebagai

bentuk ketentuan sosial diyakini sebagai sebuah kodrat sehingga menyebabkan ketim¬pangan

sosial dan hal ini sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosial baik

dalam pendidikan, sosial budaya, politik dan juga ekonomi. Di sektor pekerjaan, ketidakadilan

dapat saja terjadi karena hal-hal sebagai berikut.


1. Marginalisasi dalam Pekerjaan

Marginalisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses penyingkiran perempuan

dalam pekerjaan. Sebagaimana dikutip oleh Saptari menurut Alison Scott, seorang ahli sosiologi

Inggris melihat berbagai bentuk marginalisasi dalam empat bentuk yaitu: (1). Proses pengucilan,

perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja tertentu, (2) Proses pergeseran

perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada

jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dinilai tidak atau kurang

terampil, (3) Proses feminisasi atau segregasi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan

tertentu (feminisasi pekerjaan), atau pemisahan yang semata-mata dilakukan oleh perempuan

saja atau laki-laki saja. (4) Proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk di

antaranya perbedaan upah

Marginalisasi ini merupakan proses pemiskinan perempuan terutama pada masyarakat

lapisan bawah yang kesejahteraan keluarga mereka sangat memprihatinkan. Marginalisasi

perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan akan tetapi juga dapat terjadi dalam rumah

tangga, masyarakat, kultur, dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi

dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan

perempuan.

2. Kedudukan Perempuan yang Subordinat dalam Sosial dan Budaya

Peran gender dalam masyarakat ternyata juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap

perempuan terutama dalam pekerjaan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional

menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, dan ini berakibat pada munculnya
sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Subordinat dapat terjadi

dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa

misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya

juga akan ke dapur. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat

terbata, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-lai

akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran

gender yang tidak adil.

Demikian juga berkaitan dengan pekerjaan. Tempat-tempat kerja tertutup untuk

perempuan dalam angkatan bersenjata atau kepolisian. Potensi perempuan sering dinilai secara

tidak fair. Hal ini mengakibatkan perempuan sulit untuk menembus posisi strategis dalam

komunitas yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Perempuan di sektor pertanian

pedesaan, mayoritas di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama

terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu, kebutuhan rumah tangga, dan

elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha

kecil seperti berdagang sayur mayur di pasar tradisional.

Di sektor publik, masalah umum yang dihadapi perempuan dalam pekerjaan adalah

kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang upahnya rendah,

kondisi kerja buruk, dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal ini berlaku khusus bagi perempuan

berpendidikan menengah ke bawah. Pekerjaan di kota adalah sebagai buruh pabrik, sedangkan di

pedesaan adalah sebagai buruh tani. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa

kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata

disebabkan faktor pendidikan. Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk
mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah

perempuan lebih rendah dari laki-laki.

3. Stereotipe terhadap Perempuan

Stereotipe secara umum diartikan sebagai pelabelan atau penandaan terhadap suatu

kelompok tertentu. Pada kenyataannya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan

diskriminasi. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender.

Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang

bersumber dari penandaan (stereotype) yang dilekatkan pada mereka.

Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam

rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan

seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh

perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki

anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat

wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Demikian pula perempuan adalah

jenis manusia yang lemah fisik maupun intektualnya sehingga tidak layak untuk menjadi

pemimpin. Perempuan sarat dengan keterbatasan, tidak sebagaimana laki-laki. Aktivitas laki-laki

lebih leluasa, bebas, lebih berkualitas, dan produktif. Misalnya laki-laki dianggap sebagai

pencari nafkah utama, perempuan hanya dinilai sebagai suplemen, karena itu perempuan dalam

sistem penggajian atau upah boleh dibayar lebih rendah dari laki-laki. Keterpurukan ini semakin

parah dengan mencari legitimasi agama yang disalahtafsirkan.


Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali memanipulasi

ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi gender merupakan aturan, nilai, stereotipe yang

mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan

identitas feminin dan maskulin. Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka

pada saat ia masuk ke sektor publik sah-sah saja untuk memberikan upah lebih rendah karena

pekerjaan di sektor publik hanya sebagai sampingan untuk membantu suami.

4. Tingkat Pendidikan Perempuan Rendah

Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan di Tingkat Nasional (BPS 2004)

menemukan adanya kesenjangan gender dalam pelaksanaan pendidikan terutama di tingkat

SMU/MA, SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan PT (Perguruan Tinggi) jumlah perempuan

lebih rendah dibandingkan dengan jumlah laki-laki, namun lebih seimbang pada tingkat SD dan

SMP.

Kecenderungannya adalah semakin tinggi jenjang pendidikan, maka makin meningkat

kesenjangan gendernya, proporsi laki-laki yang bersekolah semakin lebih besar dibandingkan

dengan proporsi perempuan yang bersekolah. Kesenjangan ini disebabkan oleh berbagai hal di

antaranya adalah pertimbangan prioritas berdasarkan nilai ekonomi anak, bahwa nilai ekonomi

anak laki-laki lebih mahal dibandingkan dengan nilai ekonomi anak perempuan.

Gejala pemisahan gender (gender segregation) masih banyak tampak dalam pemilahan

jurusan (SMK-Ekonomi untuk perempuan dan SMK-Teknik Industri untuk laki-laki) yang

berakibat pada diskriminasi gender pada institusi-institusi pekerjaan.


Di beberapa tempat di Indonesia, sebagai akibat dari rendahnya pendidikan mereka,

banyak mempekerjakan perempuan sebagai TKW. Banyak di antara mereka yang hanya

berbicara dalam bahasa daerah saja dan bukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional yang

sering diajarkan di sekolah. Sebuahmediaonlinememberitakanbahwa Umiyatun Hayati Triastuti,

seorang Staf Ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dalam

sebuah acara Talk Show di Bandung menyatakan bahwa penyebab terjadinya kesenjangan

gender adalah adanya nilai sosial serta budaya patriakal.

Selanjutnya ia juga menyatakan bahwasebagianmasyarakatdiIndonesiamasih menganut

pemahaman agama yang bersifat parsial sehingga menyebabkan ketidakadilan dalam

memperlakukan manusia menurut gendernya. Hal ini didukung oleh Meutia Hatta bahwa

kuatnya budaya patriarki menyebabkan pemikiran bahwa adalah kesiasiaan menyekolahkan anak

perempuan ke jenjang yang lebih tinggi. Beliau menuturkan bahwa“setinggi-

tinggiperempuanbersekolah, akhirnya masuk dapur juga. Pemikiran seperti ini tentu merupakan

pemikiran yang sangat picik di era yang sudah semakin berkembang di masa ini. Paham inilah

yang akan menjadikan bangsa kita jalan ditempat atau yang lebih buruk adalah semakin terpuruk

ke dalam ketertinggalan. Lebih jauh Mutia menyatakan beberapa faktor lainnya yang

mengakibatkan seorang anak perempuan memiliki pendidikan yang lebih rendah dibandingkan

anak laki-laki adalah sebagaiberikut:

1) Adanya tradisi bahwa seorang anak perempuan adalah pengurus rumah tangga

sehingga sebaiknya tidak dibebankan oleh pendidikan.

2) Walaupun ada kesempatan namun jika terbentur masalah biaya, maka anak laki-laki

harus didahulukan dalam mengecap pendidikan.


3) Jika telah menikah dan punya anak, maka si perempuan harus menghentikan proses

pendidikannya dengan alasan kepentingan keluarga.

Dari gambaran tersebut, dapat dijelaskan bahwa pendidikan yang rendah merupakan

faktor yang turut menyebabkan diskriminasi dalam pekerjaan. Rendahnya pendidikan dan

keterampilan mempersulit perempuan yang masih gadis untuk mencari pekerjaan lain agar dapat

menghidupi dirinya dan keluarganya.

Banyak dari pekerja-pekerja yang hanya membutuhkan sedikit keterampilan ini menuntut

migrasi ke kota besar atau ke luar negeri, di mana perempuan menjadi target para pelaku

trafficking dan pihak lain yang berniat mengeksploitasi mereka. Dengan rendahnya tingkat

pendidikan serta kurangnya keterampilan kerja yang memadai, para perempuan yang masih gadis

hanya mencari pekerjaan di sektor informal. Pekerjaan di sektor informal bagi perempuan yang

tidak berpendidikan biasanya seperti pramuwisma, atau penjual minuman di kaki lima, pembantu

rumah tangga, penjaja makanan di terminal dan stasiun, yang tidak memperoleh perlindungan

dari pemerintah dan tenaga kerja melalui serikat buruh atau majikan.

Pendidikan yang minim dan tingkat melek huruf yang rendah semakin menyulitkan

perempuan untuk mencari pekerjaan. Jika akhirnya mendapat pekerjaan, diposisikan pada bagian

yang tidak memerlukan keterampilan misalnya buruh, tenaga suruhan, yang memiliki

pengupahan yang sangat rendah, tidak mendapat perlindungan hukum dan juga kesehatan.

Mereka tidak tahu bagaimana mengakses sumber daya yang tersedia, karena tidak dapat

membaca dan menulis untuk mencari bantuan hukum ataupun rumah singgah jika majikan

mereka bertindak eksploitatif atau melakukan kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.
Diskriminasi Perempuan di Media Massa

Persoalan perempuan di media massa menyangkut tiga hal yaitu, gambaran atau

representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan perempuan dalam stuktur

organisasi media yang belum berimbang dibanding dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang

tidak sensitif dengan persoalan-persoalan perempuan. Gambaran perempuan di media massa

selama ini yang masih memperlihatkan penggambaran yang merugikan perempuan antara lain;

perempuan hanya memiliki peran domestik, perempuan makhluk yang lemah dan perempuan

hanya sebagai “bunga” atau “pemanis”.

Gambaran tersebut terlihat dari pemilihan makna yang diberikan pada setiap teks.

Berbicara soal perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara tentang tiga hal.

Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa, baik media cetak, media

elektronik, maupun perbagai bentuk multi media. Yang kedua ialah persoalan perempuan

justru terletak pada masih sedikitnya perempuan yang terlibat dalam kerja jurnalistik

karena memang selama ini kerja jurnalistik dianggap sebagai wilayah kaum pria. Dan hal

ketiga adalah persoalan sejauh mana para pengambil keputusan dalam media massa

memiliki sensitivitas gender dalam menentukan isu pemberitaan.

Sebuah wacana dapat menjadi sarana sekaligus media bagi satu kelompok yang

memiliki dominasi dibandingkan dengan kelompok lain. Dalam kondisi seperti ini,

representasi menjadi aspek yang penting. Istilah representasi merujuk pada bagaimana

kelompok, seseorang, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam sebuah wacana.

Wacana-wacana tersebut berada di bawah permukaan representasi untuk menghasilkan

makna, misalnya dikaitkan dengan ilmu pengetahuan yang menganggap bahwa secara
alami perempuan tidak mampu untuk memperbaiki mobil, atau dikaitkan dengan wacana

kesehatan yang mengatakan bahwa perempuan dianggap memiliki lebih banyak masalah

lesehatan dibanding laki-laki.

Sampai saat ini, representasi perempuan yang digambarkan oleh media massa

secara konsisten masih sama dan tidak berubah. Perempuan yang diyakini memiliki daya

tarik tersendiri masih sering ditampilkan dalam iklan produk kecantikan. Bahkan,

seringkali antara isi iklan dan juga model iklan tidak saling berkaitan. Contohnya saja iklan

pembersih kaca dengan ikon perempuan cantik nan seksi, menggunakan pakaian serba

mini dan terbuka, membawa alat pembersih kaca dan seekor anjing.

Penggambaran tersebut tentu saja melahirkan pendapat penonton yang beragam,

apalagi sifat media yang terus-menerus menerpa sehingga juga dapat menimbulkan stigma

bagi masyarakat. Secara tegas iklan telah membentuk sebuah ideologi tentang makna atau

image gaya hidup dan penampilan, terutama tentang konsep kecantikan bagi perempuan.

Hal ini memperjelas bahwa iklan yang disampaikan melalui media massa memiliki peran

yang sangat besar dalam memproduksi dan membangun arti gaya hidup dengan

kecantikan sebagai gagasannya.

Selain iklan, ranah pemberitaan juga menggambarkan hal yang sama. Perempuan

seringkali disudutkan bahkan cerita tentang kekerasan yang menimpanya terlalu

diekspose hingga kadang menimbulkan trauma baru bagi korban. Tidak bisa dipungkiri

bahwa, setiap wartawan mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas suatu

peristiwa. Hal ini dapat dilihat pada cara wartawan mengonstruksi peristiwa dalam

pemberitaannya. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang
riil. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja

menjadi berita, tetapi melalui proses. Di antaranya, proses internalisasi wartawan yang

dilanda oleh realitas yang diamati dan diserap dalam kesadarannya. Kemudian, proses

selanjutnya adalah eksternalisasi.

Dari pemberitaan di media massa terkait dengan kekerasan terhadap perempuan,

seringkali menunjukkan perempuan sebagai objek yang lemah oleh masyarakat, di dalam

media semakin dikukuhkan sebagai korban yang tertindas oleh kekuasaan laki-laki. Segala

hal yang digambarkan melalui media secara terusmenerus akan diterima oleh khalayak,

akhirnya terekam dan menjadi suatu hal yang dianggap wajar oleh masyarakat. Dari

banyak pembahasan tentang media dan gender, ditemukan bahwa memang perempuanlah

yang paling dominan dibanding laki-laki baik dalam masalah pemberitaan maupun dalam

tayangan-tayangan yang bias gender melalui media massa.

Beberapa asumsi yang dipercaya ikut mempengaruhi hal tersebut adalah karena

media massa cenderung dikuasai oleh laki-laki. Mulai dari fotografer, reporter, editor,

layouter dan dewan redaksi. Dengan kata lain keindahan produksi dihasilkan dari

pandangan dan selera laki-laki. Oleh sebab itu, diperlukan pekerja media yang paham akan

sensitivitas gender. Hal tersebut lebih dikenal dengan jurnalisme perspektif gender, yaitu

kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan dan menyebarkan ide-ide

mengenai kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan melalui media.

Praktik jurnalisme sendiri dipahami sebagai keseluruhan proses yang terjadi pada

industri media mulai dari rapat untuk menentukan tema informasi sampai dengan

penayangan agar bisa disaksikan oleh khalayak luas. Pengembangan praktik ini dapat
dilihat melalui tiga tingkatan yakni tataran kognitif meliputi kesadaran gender seorang

jurnalis dan permasalahan gender di sekitarnya, institusi media meliputi bagaimana

membentuk pola kerja yang berspektif gender dan teknik jurnalistik meliputi kesensitifan

akan persoalan gender, pilihan fakta sosial, teknik penulisan sampai teknik reportase yang

mana dapat mempengaruhi orientasi media.

Orientasi media dapat diketahui dari komposisi laki-laki dan perempuan dalam

media, media yang komposisi pengelolanya dominan laki-laki akan mempengaruhi

bagaimana tampilan perempuan dalam wacana kontennya, walaupun komposisi yang

didominasi perempuan juga tidak menjamin keberadaan wacana konten yang sensitif

gender. Kebutuhan media akan pekerjanya yang peka dengan gender sangatlah penting

dan relevan terhadap upaya pembentukan setiap karya, walaupun untuk mendorong

lahirnya paham ini masih sulit sebab jumlah pekerja media perempuan yang masih kurang.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia adalah salah satu lembaga yang

mencoba melakukan paham tersebut. Pada 2012 AJI sebagai aparat otoritatif dalam urusan

jurnalisme di Indonesia mengeluarkan buku berjudul “Indikator Sensitif Gender untuk

Media: Kerangka Indikator Mengukur Sensitivitas Gender pada Organisasi dan Konten

Media”. Argumen yang berusaha dibangun ialah bahwa persepsi umum masyarakat

Indonedia, tak terkecuali media massa, sering kali menempatkan posisi perempuan pada

urusan pekerjaan domestik, sebagai sosok yang lemah, pekerja sampingan hingga

dilekatkan pada berbagai atribut seks.

Sebagai bagian dari instrument beroperasinya media, gender merupakan persoalan

yang perlu mendapat perhatian dalam aktivitas jurnalisme. Untuk itulah, paham ini
menjadi penting diterapkan mengingat persoalan gender dalam media massa yang semakin

mengemuka membutuhkan suatu solusi. Jurnalisme dengan perspektif gender tidak saja

menjadi alat penyadaran bagi masyarakat, namun sesungguhnya juga mampu memberikan

rangsangan terhadap munculnya keadilan lain yang selama ini dirasa masih kurang

dirasakan kaum perempuan

Analisis Berita kekerasan Terhadap Perempuan (Diskriminasi gender)

Dari beberapa berita yang telah dikumpulkan sebelumnya, semua berita mengandung

pembahasan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari

salah satu gender (sexual violence) sendiri termasuk dalam bagian diskriminasi gender.

1. Pemerkosaan

Beberapa dari berita yang sudah diambil untuk dibahas, mengangkat topik

pemerkosaan. Perkosa adalah sebuah tindakan hubungan badan dimana salah satu pihak

tidak menginginkan hal tersebut dan terjadi pemaksaan kepada orang tersebut. didalam

berita yang di ambil, tindakan pemerkosaan bisa terjadi di mana saja, oleh siapa saja, dan

kapan saja.

Didalam berita, beberapa pelaku bahkan adalah orang terdekat korban, seperti

orang tua dan keluarga. Tindakan keji ini juga dapat terjadi dimanapun dan dilakukan

oleh orang yang terduga. Didalam berita yang ada, perkosaan dilakukan oleh petugas

medis didalam ambulance yang tengah mengantar pasien covid menuju rumah sakit.

2. Pelecehan seksual
Pelecehan seksual sangat banyak bentuknya, baik bersiifat verbal maupun non

verbal, secara langsung maupun tidak langsung. Sebenarnya sangat bannyak kasus

pelecehan seksual yang terjadi didalam kehidupan sehari-hari karena kurangnya

pemahaman masyarakat tentang apa dan bagaimana pelecehan seksual.

Malu dan takut jadi alasan utama mengapa para korban tidak berani speak up dan

melawan tindakan keji ini. Di lain sisi, kurangnya pemahaman masyarakat tentang apa

dan bagaimana bentuk dari pelecehan seksual membuat mereka enggan melapor kepada

pihak yang berwajib

3. Victim Blamming

Victim Blamming dapat diartikan sebagai sebuah tindakan menyalahkan korban

atas sebuah tindakan kejahatan yang terjadi. Victim Blamming banyak terjadi pada kasus-

kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan lain-lain. Biasanya Victim Blamming terjadi

pada masyarakat yang masih relatif konservatif pada aturan budaya dan agama yang

kental unsur ketimpangan gender. Didalm berita yang diambil yang bisa dijadikan contoh

kasus Victim Blamming adalah “masyarakat yang menyalahkan pakaian korban pelecehan

seksual” atau “kepala polisi di sebuah daerah di India yang menyalahkan korban yang

berkendara seorang diri di malam hari tanpa ada yang mendampingi”.


Daftar Pustaka

Khotimah, Khusnul. DISKRIMINASI GENDER TERHADAP PEREMPUAN DALAM SEKTOR

PEKERJAAN. JURNAL STUDI GENDER & ANAK: Vol.4 No.1 Jan-Jun. 2009 Hal.158-180

Nastiti, Rena Rahayu. KONSTRUKSI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM PEMBERITAAN

KRIMINAL DI KOMPAS.COM. Skripsi. Makassar: Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

2018

Natasha, Harum. KETIDAKSETARAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN: FAKTOR

PENYEBAB, DAMPAK, DAN SOLUSI. Marwah: Vol. XII No. 1 Juni. 2013

Tahar, Fahriah. PENGARUH DISKRIMINASI GENDER DAN PENGALAMAN TERHADAP

PROFESIONALITAS AUDITOR. Skripsi. Makassar: Fakultas Ekonomi, 2012

Anda mungkin juga menyukai