Anda di halaman 1dari 2

Kekerasan Seksual Masih Terus Menghantui?

Oleh : Sulistia Muarifa

Di masa pandemi Covid-19 seperti ini, kekerasan seksual masih menjadi polemik
yang semakin menjadi dan seakan-akan anggapan pemerintah terhadap kasus seperti ini
hanya di telan mentah-mentah. Perempuan dan anak-anak adalah korban yang masih saja
menjadi sasaran predator yang tidak pernah merasa bersalah.

Dalam sejarah umat manusia masih mencatat bahwa perempuan sering dianggap lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Perlakuan ini menjadikan begitu nampaknya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki. Dalam Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah yang
otomatis tidak mendikriminasi perempuan. Jika berbuat kebaikan, laki-laki maupun
perempuan akan mendapatkan ampunan dan pahala. Sehingga laki-laki dan perempuan setara
di hadapan Allah. Berlomba-lomba dalam kebaikan sebagai tolak ukurnya.

Bagaimanapun di zaman yang semakin canggih ini kekerasan seksual sudah tidak
hanya yang berbentuk verbal namun juga kekerasan seksual bisa dilakukan melalui internet
atau biasa disebut dengan kekerasan gender berbasis online (KGBO).

Diskriminasi terhadap perempuan masih sering menjadikan perempuan sebagai objek.


Hal ini mengakibatkan perempuan tidak merdeka atas dirinya sendiri. Standar kecantikan
yang semu telah menghipnotis banyak perempuan sehingga tidak menerima dirinya sendiri
dengan apa adanya. Bahkan, kapitalismepun sudah mendikte tubuh perempuan sebagai objek
komersial. Perempuan dengan apa yang dipunyainya telah dieksploitasi sedemikian rupa
sebagai pemikat dan penggoda. Sistem yang seperti ini menjadikan lebih maraknya kekerasan
seksual terhadap perempuan.

Dilansir dalam kompasiani, menjelaskan bahwa pada tahun 2018 Koalisi Ruang
Publik Aman (KRPA) meaporkan sebanyak 64% perempuan pernah mengalami pelecehan
seksual di ruang publik. Tidak memandang status sosial maupun tingkat pendidikan dan
agama. Bila ada yang beranggapan bahwa kekerasan seksual mustahil untuk terjadi di
lingkungan akademis dan tempat ibadah, bisa di pastikan anggapan itu keliru. Sebagaimana
kasus yang banyak terjadi antara pelajar SMP dengan gurunya atau skandal pelecehan seksual
yang terjadi di pondok pesantren. Artinya bahwa tingkat pendidikan dan kadar religius
seseorang tidak berkorelasi dengan perilaku pelecehan seksual.

Dari kasus-kasus seperti itu, menjadikan kita pelajaran bahwa jangan tertipu karena
penampilan seseorang yang alim, rajin beribadah, dan berpendidikan. Penampilan seperti itu
bisa dipakai sebagai topeng untuk menutupi perilaku menyimpang seperti pelecehan seksual.

Untuk mencegah terus menerus terjadi pelecehan seksual, perlu adanya edukasi
mengenai pendidikan seks. Namun, di Indonesia pendidikan seks masilah dianggap tabu dan
asing. Peran keluarga sangatlah penting sebagai bentuk edukasi awal mengenai pendidikan
seks ini. Undang-undang, peraturan ataupun sejenisnya juga mempunyai bagian penting
untuk mengurai angka kekerasan seksual. Pola pikir dan sikap manusia tidak bisa diubah
hanya dengan undang-undang dan peraturan. Dan memang yang paling efektif adalah dimulai
dari keluarga. Keluarga seharusnya menjadi tempat utama pendidikan seks diajarkan dengan
benar. Nilai-nilai sakral dari seks harus ditanam sejak dini kepada anak-anak.

Mengapa keluarga adalah kunci untuk memutus rantai kekerasan seksual terhadap
perempuan, setidaknya karena untuk membentuk dan mengubah anak-anak sedari dini,
sehingga tindakan kekerasan seksual bisa dihindari. Kemudian kualitas keluarga adalah
wajah untuk masa depan bangsa. Ini merupakan investasi jangka panjang agar Indonesia
menjadi rumah yang ramah terhadap perempuan. Memutus rantai kekerasan seksual terhadap
perempuan tidaklah mudah, apalagi budaya patriarki yang mengakar kuat dalam budaya
Indonesia. Disinilah peran negara sangat penting dan di butuhkan, yaitu membentuk tatanan
sosial dan kultur yang ramah terhadap perempuan.

Anda mungkin juga menyukai