Anda di halaman 1dari 3

ANAK PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL, NEGARA DARURAT CACAT MORAL

Nisa Agustina
(Muslimah Pegiat Literasi)

Degradasi moral yang menimpa negeri ini sudah sampai pada tahap akut. Bagaimana tidak,
publik kembali dikejutkan dengan pemberitaan yang mengiris hati. Lagi dan lagi kekerasan
seksual terhadap anak terjadi. Yang membuat miris, pelaku pelecehan seksual tersebut sama-
sama masih anak di bawah umur.

Dilansir dari situs detik.com, seorang siswi TK di Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto
diduga diperkosa 3 bocah laki-laki SD yang baru berusia 7 tahun. Anak perempuan berusia 6
tahun itu mengalami trauma karena sudah beberapa kali mengalami kejadian serupa
(detik.com, 21/1/23)

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyesalkan


terjadinya kasus kekerasan seksual tersebut. Terkait penanganan hukumnya, Deputi Bidang
Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, mendorong aparat penegak hukum untuk
memperhatikan Undang-Undang No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengingat
pelaku masih berusia di bawah 12 tahun (liputan6.com, 20/01/23).

Pelecehan seksual yang dilakukan anak terhadap anak merupakan aib besar dan malapetaka
dahsyat yang menunjukan bahwa negara ini darurat cacat moral. Kasus ini merupakan
tamparan keras bagi semua pihak, baik keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, dan tentu
saja negara.

Banyak faktor yang menyebabkan kasus ini bisa terjadi. Semuanya sisemik dan saling terkait.
Perilaku rusak pada anak tentu ada kaitannya dengan pengasuhan orang tua. Pengasuhan yang
tepat tentu membutuhkan ilmu pengasuhan. Faktanya, saat ini negara belum memberikan
bekal yang cukup untuk calon orang tua, baik dalam kurikulum pendidikan maupun bimbingan
calon pengantin menjelang pernikahan. Bimbingan pernikahan seringnya hanya sekadar
formalitas, bahkan banyak yang hanya “membeli” sertifikat.

Kurikulum pendidikan hari ini pun tidak memberikan bekal yang cukup untuk persiapan menjadi
orang tua. Pendidikan saat ini justru berorientasi menjadikan peserta didik sebagai tenaga
kerja. Apalagi, dengan derasnya kampanye kesetaraan gender, calon ibu justru didorong untuk
menjadi pekerja daripada disiapkan menjadi ibu. Selain itu, kurikulum pendidikan saat ini jauh
dari pemahaman terhadap agama, terlebih dengan masifnya moderasi beragama.

Akibatnya, nilai-nilai global yang identik dengan nilai Barat yang didasarkan kepada hak asasi
manusia dan liberalisme makin tertanam dalam benak peserta didik. Jadilah kesenangan dunia
yang dicari makin menjauhkan gambaran pentingnya peran orang tua dalam keluarga. Nyaris
tidak terwujud kesiapan menjadi orang tua dengan segala peran dan tanggung jawabnya dalam
sebuah keluarga.
Pendidikan yang ada saat ini jauh dari fungsi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Salah satunya
yaitu mewujudkan individu yang bertaqwa, melahirkan generasi cerdas dan dapat menjadi
panutan bagi sekitarnya. Fungsi tersebut terkikis oleh sistem sekulerisme. Sekulerisme berhasil
menjadikan pendidikan hanya sebatas alat untuk mencari pekerjaan, atau hanya sebatas
mendapat gelar pendidikan.

Selain itu, penerapan ekonomi kapitalisme membuat kehidupan makin sulit dan sempit. ketika
tuntutan hidup memaksa ibu ikut bekerja, maka anak makin terabaikan. Sehingga peran ibu
sebagai pendidik pertama dan utama tidak dapat berjalan optimal, bahkan pada sebagian kasus
nyaris tidak berjalan.

Jadilah media terutama gadget dan internet menjadi guru yang dapat dijangkau setiap saat.
Tanpa pendampingan orang tua, anak-anak yang masih bau kencur menjadi korban serangan
pengaruh buruk dunia digital. Seperti yang kita tahu, pesatnya transformasi digital saat ini
nyatanya tidak diimbangi dengan peningkatan literasi digital termasuk pada anak. Apalagi
ketika digitalisasi lebih diarahkan untuk meraup keuntungan yang lebih besar dan demi
pertumbuhan ekonomi. Berbagai konten pun bebas berkeliaran mengabaikan tayangan ramah
anak. Konten-konten pornografi pun mudah diakses oleh siapa saja termasuk anak-anak.
Akibatnya, anak dapat mengakses tayangan yang tidak layak dikonsumsi anak-anak, dan
mendorong anak menirunya, bahkan ketika anak belum memahami apa yang dilihatnya.

Dari semua paparan di atas, tampak nyata bahwa penyebab utama dari semua masalah ini
adalah kesalahan negara dalam mengurus rakyatnya yang dilandaskan kepada sekuler
kapitalisme yang menjauhkan agama dari kehidupan.

Semua aspek kehidupan baik pendidikan, ekonomi, media, maupun yang lainnya memberikan
dampak buruk terhadap kehidupan rakyat, termasuk pemikiran dan perilaku. Tata kehidupan
menjadi rusak dan merendahkan martabat kemanusiaan. Siswa sekolah dasar melakukan
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur adalah bukti nyata rusaknya tata kehidupan saat
ini.

Betapa menyedihkan, negara ini memiliki masyarakat yang mayoritas muslim tapi aturan agama
dipinggirkan. Andaikan kita memahami, betapa Islam adalah sistem kehidupan yang paripurna.
Islam menetapkan bahwa terjaganya kehormatan perempuan dan anak bukan hanya tanggung
jawab keluarga tapi juga masyarakat terutama negara.

Maka untuk mewujudkannya harus ditopang oleh tiga pilar yaitu, pertama ketakwaan individu
sebagai bekal seseorang untuk selalu terikat aturan Islam. Aturan inilah yang akan
membentengi diri dari kemaksiatan. Pilar kedua adalah adanya kontrol dari masyarakat.
Fungsinya untuk memperkuat ketakwaan yang sudah diupayakan oleh individu. Selalu ber-
amar makruf nahi munkar agar aktivitas yang berkaitan dengan kejahatan ini bisa diminimalisir
bahkan dihilangkan.
Pilar ketiga termasuk yang paling penting adalah adanya peran negara. Negara akan
memberlakukan aturan berdasarkan Al Qur’an dan as-sunnah, bukan demokrasi liberal.
Mewajibkan menutup aurat, membatasi pergaulan pria wanita sesuai koridor Islam. Negara pun
tidak akan membiarkan bisnis haram pemicu kekerasan seksual. Media akan dibersihkan dari
konten yang merusak.

Ketika aturan Allah dijadikan sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
akidah Islam akan menjadi benteng setiap individu untuk selalu terikat pada aturan Allah.
Akidah Islam juga akan menjadi panduan bagi penguasa dalam membuat kebijakan dan aturan.

Kesadaran adanya pertanggungjawaban di akhirat menjadikan penguasa memenuhi kebutuhan


rakyat dengan baik agar terwujud kesejahteraan dan berjalannya peran setiap manusia sesuai
dengan kodratnya. Penguasa juga akan menjaga pemikiran umat agar bersih, mulia, dan
dipenuhi dengan semangat melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran dan
kemaksiatan.

Penjagaan itu dilakukan dalam semua aspek tanpa mengabaikan perkembangan teknologi.
Bahkan, teknologi justru akan dikembangkan agar hidup manusia menjadi lebih mudah dan
makin meningkatkan peran manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.

Kebaikan sebuah bangsa terletak pada aturan dan pemimpin yang bertanggungjawab.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Imam adalah pengurus, dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Untuk itu, sangat jelas bahwa Islamlah yang dapat menjamin keamanan anak dan perempuan.
Penerapan aturan Islam secara kaffah (menyeluruh), baik oleh individu, masyarakat maupun
negara, akan memberikan rasa aman bagi anak dan perempuan.

Wallahu a’lam bish showab

Anda mungkin juga menyukai