Anda di halaman 1dari 3

COPOT JABATAN KARENA PAMER HARTA, AKANKAH BEREFEK JERA ?

Nisa Agustina
(Muslimah Pegiat Literasi)

Satu per satu pejabat dan keluarganya yang gemar pamer harta kekayaan atau flexing terungkap di
media sosial melalui unggahan netizen. Para pejabat yang ketahuan bergaya hidup mewah ini
akhirnya mendapat sanksi berupa pencopotan jabatan hingga pemecatan dari instansi tempat
mereka bekerja.

Mantan pegawai pajak Rafael Alun misalnya. Harta kekayaan Rafael yang mencapai Rp56,1 miliar
terbongkar seusai kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya Mario Dandy Satrio mencuat. Angka
itu melebihi laporan harta kekayaan atasannya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo yaitu Rp14,4
miliar (2021) dan mendekati laporan harta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yaitu Rp58,04
miliar (2021). Setelah harta kekayaannya terus diperiksa, akhirnya Kemenkeu secara resmi
memecat Rafael Alun Trisambodo sebagai ASN institusi Direktorat Jenderal Pajak. (detik.com,
13/03/2023).

Selain itu masih ada pegawai bea cukai Andhi Pramono dan Eko Darmanto, pegawai BPN Sudarman
Harjasaputra dan juga Kepala Sub-bagian Administrasi Kendaraan Biro Umum Kementerian
Sekretariat Negara (Kemensetneg), Esha Rahmansah Abrar yang dinonaktifkan dari jabatannya.
Kebijakan tersebut dilakukan pasca istri dan anak merka viral karena memamerkan harta kekayaan
di media sosial (detik.com, 13/03/2023).

Fenomena pejabat pamer harta tentu sangat memprihatinkan dan menyakiti hati rakyat. Dalam
situasi ekonomi yang masih terpuruk dan di tengah 26 juta penduduk miskin, para pejabat yang
melakukan itu seperti nir-empati dan tidak sadar bahwa mereka adalah pejabat publik dan
mendapatkan penghasilan dari publik.

Padahal di balik suguhan kemewahan tersebut, ada harta rakyat yang dipungut paksa atas nama
pajak, berlindung di balik undang-undang dan berdalih demi membiayai keperluan negara dan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, entah rakyat yang mana. Pajak diambil dari rakyat, tidak
peduli yang kaya atau pun yang papa, tapi hasil pengumpulannya diduga justru dinikmati oleh para
pejabat. Miris. 

Diakui atau tidak. Inilah sebagian wajah bopeng pengelolaan negara berbasis demokrasi kapitalistik.
Jauh dari prinsip pelayan rakyat. Yang dikejar adalah maslahat sang pejabat. Jabatan bukan sarana
menyejahterakan masyarakat, namun alat memperkaya diri, keluarga, dan kawan satu lingkaran.
Tak peduli rakyat menjerit, berkubang dalam kesengsaraan.

Sebenarnya negara ini sudah punya kelengkapan aparat untuk mencegah abuse power
(penyalahgunaan kekuasaan) di sektor keuangan; ada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan), ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),
ditambah audit internal. Seharusnya peluang untuk terjadinya korupsi dan gratifikasi bisa dicegah.
Belum lagi ada mekanisme LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ) yang mestinya
dilakukan dengan ketat dan ada sanksi yang dijatuhkan bila ada pejabat yang tidak melaporkan
harta kekayaan mereka.
Namun, sebagus atau selengkap apapun mekanisme dan aturan yang ditegakkan akan percuma
kalau para pejabat yang berwenang masuk dalam kultur kolusi dan korupsi. Yang muncul adalah
saling melindungi, atau menumbalkan satu atau dua orang untuk menyelamatkan jejaring kolusi itu.
Begitulah bobroknya demokrasi kapitalis yang memberikan peluang praktek korupsi dan kolusi
dengan terbuka lebar.

Meski sanksi pemecatan telah dilakukan, masyarakat sangsi apakah hukuman tadi akan berefek jera
dan menutup celah munculnya kasus-kasus serupa. Skeptisnya masyarakat terhadap pejabat
negara tentu sangat beralasan. Mengapa? Sebab drama pencopotan dengan pemberhentian secara
tidak terhormat tetap saja tidak membuat jera. Susul menyusul bermunculan kasus rekening
gendut, aset fantastis pejabat, juga kasus dugaan pencucian uang yang digawangi para pejabat.

Satu dua kejadian mungkin layak disebut kasus. Namun, jika ini terus berulang, jelas ada masalah
yang tidak hanya berhenti pada aspek personal. Ini bersifat sistemis. Ada paradigma mendasar yang
wajib menjadi bahan diskusi. Dengan demikian, tidak salah jika hadir sejumlah kelompok kritis yang
membawa masalah ini dalam ruang diskusi berbasis ideologi.

Sistem kapitalisme telah melahirkan masyarakat yang mendewa-dewakan kekayaan. Sistem ini pula
yang mewadahi lahirnya pejabat yang menghalalkan segala cara demi memperoleh harta dan
kedudukan. Industri politik dalam sistem ini bahkan menjadi bisnis besar yang kian memperdalam
jurang antara si kaya dan si miskin.

Dalam sistem sekuler yang menafikan pengawasan Allah, tidak sulit bagi pejabat mengambil harta
yang bukan haknya. Sebab ia tidak menyertakan pemahaman mengenai adanya hubungan aktivitas
manusia dengan pengawasan Allah.

Berbeda jauh dengan sistem Islam. Sedari awal, sebelum seorang pejabat diangkat, selain
memenuhi syarat fit and proper test, ia harus memiliki akidah yang kuat, pemahaman syariat yang
mantap, dan politik Islam yang bagus. Ia juga harus kafaah (kompeten) dan memiliki keahlian, serta
amanah dengan tugas dan tanggung jawabnya. Orientasi pejabat adalah menjadi pelayan umat
yang menjadi wakil rakyat yang akan memakmurkan negeri ini dengan syariat-Nya.

Pejabat dalam sistem Islam juga akan mendapatkan fasilitas dan santunan yang cukup untuk
kebutuhan asasi dirinya dan keluarganya secara pantas, juga berbagai fasilitas yang menunjang
aktivitasnya. Namun, ia akan bersahaja dan jauh dari kemewahan ala pejabat demokrasi.

Walhasil, ini memungkinkan untuk menutup peluang mereka melakukan abuse of power seperti
korupsi atau pencucian uang sebagaimana dilakukan para pejabat dalam sistem demokrasi. Dengan
ketakwaannya, para pejabat juga akan merasa takut untuk korupsi karena sedari awal sudah
tertanam mindset fundamental keterikatan terhadap hukum syara’ dan sadar aktivitasnya diawasi
oleh Allah Ta’ala. Sistem sanksi juga akan diterapkan secara tegas sehingga bisa mencegah
terjadinya perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah.
Ketika mereka menjalankan tugasnya, para pejabat ini juga akan diaudit kekayaannya sebelum
menjabat dan diaudit lagi setelah menjabat. Apabila terdapat selisih yang tidak wajar ataupun
didapatkan bukan dari hasil usahanya melainkan karena jabatannya, kemungkinan besar pejabat itu
akan dinonaktifkan atau dimintai pertanggungjawaban dengan hartanya.

Dalam menjalankan amanah jabatan, para pejabat menyelami perannya sebagai pelayan dan
pengurus rakyat yang akan Allah minta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Alih-alih bergaya
hidup mewah, sosok pejabat seperti ini akan membuang jauh kemewahan dunia dalam
menjalankan amanah. Tentu dalam perjalanannya godaan akan senantiasa hadir, namun
pengawasan dari masyarakat dan pelaksanaan sanksi oleh negara akan menjadi pengontrol yang
ampuh untuk mecegah penyelewengan.

Begitulah Islam memiliki tata aturan yang komprehensif yang akan memberikan solusi bagi
permasalahan negeri ini.

Wallahu a’lam bish showab

Anda mungkin juga menyukai