JAWABAN :
Di seluruh dunia, korupsi mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam banyak cara. Dalamkasus-kasus
terburuk, korupsi mengakibatkan kematian. Dalam kasus lain yang tak terhitung,menyebabkan hilangnya
kebebasan, kesehatan, atau uang. Ini memiliki konsekuensi globalyang mengerikan, memerangkap jutaan
dalam kemiskinan dan kesengsaraan, selain dapatmemicu kerusuhan sosial, kerusuhan dan politik. Korupsi
adalah penyebab kemiskinan, dansekaligus hambatan untuk mengatasinya.
1.Keluarga
Umumnya, keluarga menjadi ruang dan tempat baik bagi pembangunan kehidupan yang
damai dan menyejukkan. Berapapun pendapatan suami atau kepala rumah tangga per
bulannya perlu disyukuri secara ikhlas dan terbuka. Kendatipun suami atau kepala rumah
tangga menjadi pejabat tinggi baik di tingkat daerah, provinsi maupun di Jakarta, hidup
sederhana adalah hal utama. Hidup sederhana dengan menjalankan kehidupan sederhana dan
tidak berlebihan dalam melakoni hidup sesungguhnya akan menjadikankehidupan rumah
tangga menjadi damai. Persoalannya adalah kerap kali pemicu dan pencetus korupsi bisa
datang dari keluarga. Karena tuntutan istri atau mungkin keinginan pribadi berlebihan,
melampaui batas hidup kewajaran, bisa saja tindakan korupsi akan menjadi sebuah kenyataan.
Menjadikan jabatan yang didudukinya untuk memuluskan kepentingan pribadi serta golongan
kemudian ditunaikan dengan sedemikian rupa. Tidak peduli lagi, apakah tindakannya itu
kemudian sudah melanggar hak hajat hidup orang banyak ataukah tidak. Tidak peduli apakah
harta yang didapatnya berasal dari penyelewengan wewenang sehingga ini selanjutnya
merampok uang rakyat. Sekali lagi karena keluarga bukan menjadi benteng dari tindakan
korupsi namun justru menjadi bagian dari pencetus korupsi, maka keluarga sesungguhnya
sudah ikut bertanggung jawab terhadap tindakan suami atau kepala rumah tangga. Oleh
karenanya, keluarga berada dalam dua sisi baik positif maupun negatif. Dari sisi negatifnya
adalah keluarga dapat membawa tindakan korupsi ketika hidup sederhana sudah tidak lagi
menjadi landasan gerak dalam kehidupan.
2. Pendidikan
Berbicara korupsi tidak akan lepas dari sesuatu hal yang bernama pendidikan. Umumnya
mengapa banyak di antara para pejabat sangat gandrung terhadap korupsi walaupun sudah
berpendidikan tinggi, ini kemudian berjalin-kelindan dengan masih rendahnya pemahaman
mereka terhadap tujuan pendidikan itu sendiri. Biasanya pendidikan dimaknai sebagai
pembangunan kesadaran profetis, ini tidak menjadi penggerak utama. Umumnya, pendidikan
harus dan seharusnya dipahamkan sebagai penggerak perubahan berpikir masyarakat dari
sempit menuju terbuka, ini juga tidak menjadi realitas sama sekali. Umumnya, pendidikan perlu
dikerangkakan sebagai langkah pergerakan pemahaman menjadi manusia seutuhnya dimana
manusia itu harus berbuat yang terbaik tidak hanya untuk dirinya an sich namun juga untuk
lingkungannya, itu pun juga tidak dikerjakan sama sekali. Seharusnya pendidikan dapat
merubah serta menggeser cara-cara berpikir lama yang selalu menyamakan pendidikan dengan
pekerjaan menuju pada pendidikan dengan kesadaran kritis transformatif, itu pun juga belum
disentuh sama sekali dalam konteks implimentasinya. Dalam konteks yang lebih luas, ternyata
banyak dan kebanyakan pejabat di republik ini selalu dan kerap mengidentikkan pendidikan
sebagai jalan meraih kekuasaan. Padahal dalam konteks yang lebih luas serta universal,
pendidikan bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Oleh sebab itu,
rendahnya pemahaman kritis terhadap pendidikan sebagai langkah memanusiakan manusia
selanjutnya melahirkan manusia-manusia kerdil yang berpikiran sempit. Saat mereka
selanjutnya dihadapkan dengan apakah harus bekerja untuk bangsa atau bukan, mereka justru
memilih mencari keuntungan sektoral.
4. Dunia usaha
Dunia usaha umumnya juga tidak lepas dari tindakan korupsi. Pejabat negara atau
pejabat di daerah yang masuk dalam lingkaran dunia usaha biasanya akan memanfaatkan
jabatannya dalam rangka memuluskan dunia usahanya. Sebut saja, ketika dalam hal tertentu
pemerintah memberikan bantuan untuk meningkatkan dunia usaha, maka usaha milik pejabat
bersangkutan akan lebih diprioritaskan. Memang terkesan tidak korupsi, namun kalau dicermati
secara lebih kritis dan mendalam, apa yang dilakukan pejabat tersebut adalah mengalihkan
dana tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri dan ini sudah disebut penyalahgunaan
wewenang untuk kepentingan dirinya saja.
5. Negara
Negara yang berada dalam kondisi serba permisif sebab pemimpinnya tidak memiliki
ketegasan dalam memimpin akan melahirkan kondisi negara yang kacau balau. Pemerintahan
yang tidak dijalankan atas dasar kedaulatan rakyat akan melahirkan para pejabat yang koruptif
dan manipulatif. Oleh karenanya, kondisi negara dengan pemimpin yang lemah akan membuat
tindakan korupsi tumbuh subur sebab sudah tidak ada lagi pengawasan dan penindakan yang
tegas bagi pelanggar hukum.
7. Sebutkan 6 faktor menurut Ilham Gunawan dan Theodore M. Smith, dan berikan ulasannya
?
1. Faktor politik
Ini terkait dengan kemauan dan etika politik rezim dan politik yang tidak berkehendak
sangat tinggi dalam pemberantasan korupsi. Komitmen rezim yang masih sangat rendah dalam
pemberantasan korupsi kemudian semakin menambah kenyataan tak terbantahkan bahwa
politik kotor akan mengancam negara. Politik kotor yang selalu sangat lekat dengan tindakan
menghalalkan segala cara (permisivisme) melahirkan praktik-praktik berpolitik yang tidak sehat
dan kondusif. Praktik berpolitik tidak sehat tersebut tentunya mengundang banyak persoalan
baru bagi ketidakberhasilan pemberantasan korupsi. Justru karena politik kotor, ini memicu dan
menjadi pencetus dalam tindakan korupsi baik yang bertaraf rendah, menengah, maupun
besar. Praktik berpolitik kotor, dengan demikian, merupakan kerja-kerja rezim yang sudah
menjauhkan perjalanan republik ini kepada keadaban publik. Tentu, bagaimana akan
melahirkan bangsa yang beradab, sementara praktik-praktik politik kotor sudah menggurita
dimana-mana. Setiap pelaku politik baik di lapis atas maupun bawah telah memberikan
sumbangan buruk bagi bangsa yang berada dalam titik kehancuran dan hancur.
2. Faktor yuridis
Masih lemahnya penegakan hukum dan sanksi hukum yang tegas kepada pelanggar
hukum, termasuk komitmen dan integritas aparat penegak hukum. Dalam konteks ini, masih
lemahnya supremasi hukum untuk menindak para pelanggar hukum sangat jelas melemahkan
pemberantasan korupsi. Hukum yang seharusnya dipahami sebagai penggerak pemberantasan
korupsi justru sudah mengalami masa melempem. Hukum yang sedemikian sudah bertekuk
lutut di depan para pelanggar hukum. Memang diakui maupun tidak, tidak adanya supremasi
hukum akan melahirkan absennya gerakan pemberantasan korupsi yang masif. Tidak adanya
kedaulatan hukum, maka kondisi ini akan membuat tindakan korupsi akan kian merajalela.
3. Faktor budaya
Masih berkembangnya budaya feodalistik dan sikap ingin dilayani serta hidup mewah.
Itulah realitas yang selama ini menjadi potret para pejabat di republik ini. Seharusnya menjadi
pejabat adalah bertugas melayani rakyat, mereka justru ingin dilayani dan disembah dengan
sedemikian rupa. Seharusnya, menjadi pamong raja adalah untuk rakyat, mereka justru
merubah dirinya menjadi pangreh raja. Seharusnya, mereka bisa berbuat yang terbaik untuk
rakyat, justru mereka kemudian sudah mengabaikan hajat hidup orang banyak sehingga yang
kerap mereka lakukan adalah menyakiti rakyatnya. Mereka lebih suka menindih rakyatnya.
Jabatan dan kekuasaan adalah untuk diri dan golongannya, bukan diamanah-laksanakan untuk
kepentingan bersama.
6. Faktor historis
Adanya warisan utama kolonialisme, yakni mental koruptif dan struktur pemerintahan
yang berorientasi menjadi pelayan atasan (pangreh raja) yang sudah terjadi saat Orde Baru
berlangsung hingga pasca reformasi. Sejarah perjalanan bangsa yang masih kuat warisan
sejarah kolonialisme serta mental koruptif umumnya akan terus melekat dengan sedemikian
erat. Ketika ini sudah menjadi imprint dalam benak manusia Indonesia saat ini yang sedang
menjabat, maka perilaku dan tindakan yang kurang lebih sama dengan para pendahulunya akan
kembali muncul walaupun dengan modus dan strategi yang berbeda. Secara prinsipil, itu
menjadi penimbul bagi tindakan-tindakan korupsi yang baru.