Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK

“PERANAN BIROKRASI DALAM UPAYA MENANGKAL KORUPSI


DIINSTANSI PEMERINTAHAN”

Nama : Denias

Nim : 201924132

Kelas :A

Prodi Administrasi Publik


Jurusan Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Pattimura
Ambon
BAB I PENDAHULUAN

A. KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat-Nya saya bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “Peranan Birokrasi Dalam Upaya Menangkal Korupsi
DiInstansi Pemerintahan” dengan tepat waktu.

Terimakasih kepada dosen mata kuliah Etika Administrasi Publik


Drs. H. E. Simatauw, M.Si dan juga dosen pendamping Ibu Julia Th. Patty, S.Sos, MM sudah
memeberikan saya kesempatan untuk membuat makalah ini, yang dimana makalah ini bertujuan
untuk memperbaiki nilai mata kuliah Etika Administras Publik saya yang jelek.

Adapun kekurangan dalam pembuatan makalah ini, karena setiap manusia tidak pernah
luput dari kesalahan, jadi dengan kerendahan hati bagi para dosen ataupun pembaca makalah ini
dimohon jika ada kritik dan saran bisa langsung menyampaikan ke saya selaku pembuat makalah
ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat dan berdampak baik bagi para pembaca
makalah ini.

Penulis

Denias
B. LATAR BELAKANG

K orups i di Indones ia sudah mucul s ejak lama, baik s ebelum maupun


sesudah kemerdekaan, era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era
Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantaskorupsi, namun hasilnya
masih jauh dari memuaskan. Korups i harus dipandang sebagai kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa
pulauntuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi – yang terdiri daridua
bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2) pencegahan –tidak akan pernah
berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran
serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika mahasiswa –sebagai
salah satu bagian penting dari masyarakat yangmerupakan pewaris masa depan–
diharapkan dapat terlibat aktif dalamupaya pemberantasan korupsi di
Indonesia. 1Perlakuan dan penagananhukumnya pun harus dengan tindakan
yang tegas dan berani dari paraaparatur penegak hukumnya.2Setiap tahun data
penanganan perkara tindakpidana korupsi di Indonesia terus meningkat, namun hal itu
terlihat belummampu menurunkan crime rate korupsi, dan lebih jauh lagi belum
mampumemunculkan daya tangkal dan daya jera bagi para pelaku korupsi.

Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat
pemerintah terus terjadi sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga
triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan
yang semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar
dipakai untuk kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan
meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud. Dana-
dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya kesejahteraan masyarakat
akan meningkat.

Di era reformasi sekarang ini, Indonesia mengalami banyak perubahan. Perubahan sistem
politik, reformasi ekonomi, sampai reformasi birokrasi menjadi agenda utama di negeri
ini. Yang paling sering dikumandangkan adalah masalah reformasi birokrasi yang
menyangkut masalah-masalah pegawai pemerintah yang dinilai korup dan sarat dengan
nepotisme. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan harapan dapat menghilangkan
budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling sering terjadi di dalam
instansi pemerintah. Reformasi birokrasi ini pada umumnya diterjemahkan oleh instansi-
instansi pemerintah sebagai perbaikan kembali sistem remunerasi pegawai. Anggapan
umum yang sering muncul adalah dengan perbaikan sistem penggajian atau remunerasi,
maka aparatur pemerintah tidak akan lagi melakukan korupsi karena dianggap
penghasilannya sudah mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan untuk masa depannya.
Namun pada kenyataannya, tindakan korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika
gaji para pegawai pemerintah dapat dinilai tinggi.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, pengkajian ulang remunerasi pegawai yang
meningkatkan jumlah gaji mereka terbukti tidak menurunkan tingkat korupsi seperti yang
diharapkan. Salah satu hal yang menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya moral dan
kesadaran masyarakat mengenai korupsi itu sendiri. Masyarakat menganggap korupsi
sebagai suatu hal yang biasa sebab tanpa disadari, kita sudah terbiasa melakukan korupsi.
Misalnya saja dalam penyediaan alat tulis kantor, pegawai terbiasa mengambil uang yang
tersisa dari dana yang disediakan. Padahal sesungguhnya dana tersebut harus
dikembalikan pada organisasi. Akibat adanya kebiasaan korupsi ini, pemberantasan
korupsi di Indonesia sangat sulit dilakukan. Pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan
dengan cara mengubah kebiasaan masyarakat sejak dini dan menanamkan paradigma
bahwa korupsi ini adalah suatu hal yang salah.
BAB II PEMBAHASAN

A. Teori Korupsi 

Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah
perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr.
Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan
guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan
merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa
persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.

Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan
masyarakat luas dengan berbagai macam modus.

Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi
yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan nepotisme
sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan
publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum
(Alatas 1999:6).

Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum
dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas,
dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan
sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.
Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan
kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun
asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang
resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua,
yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya
selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang
berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar
kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya
tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
B. Sebab-Sebab Korupsi

Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi,
secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri. Faktor-faktor
secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :

 Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu


memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
 Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
 Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan
yang diperlukan untuk membendung korupsi.
 Kurangnya pendidikan.
 Adanya banyak kemiskinan.
 Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
 Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
 Struktur pemerintahan.
 Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul
sebagai penyakit transisional.
 Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :

 Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial


ada di dalam diri setiap orang.
 Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.
 Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
 Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi
oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu
individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan
korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures
berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang
kepentingannya dirugikan.

Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu
faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor
rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di
Indonesia, yaitu :

1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.


2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.

4. Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi antara
lain sebagai berikut :

 Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.


 Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
 Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
 Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
 Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan
yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
 Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum.
 Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
 Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
 Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
masyarakat.

C. Macam-Macam Korupsi

Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :

1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara


2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi

Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan
tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu :

• Model korupsi lapis pertama

Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga
yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban
membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas
jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.

• Model korupsi lapis kedua

Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan
yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini
biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan
lingkupnya bisa mencapai level nasional.

• Model korupsi lapis ketiga

Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat
penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga
internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang
produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi
internasional korupsi tersebut.

D. Cara Pencegahan Dan Strategi Pemberantasan Korupsi

Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk
menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk
melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi
karena faktor mental itulah yang sangat menentukan. Dalam melakukan analisis atas perbuatan
korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :

• Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,


• Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
• Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.

Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas
korupsi yang tepat yaitu :

• Strategi Preventif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab
timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga
dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat
meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam
pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.

• Strategi Deduktif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu
perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat.
Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut
akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu
perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu
hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.

• Strategi Represif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi
hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi.
Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di
segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat.
Namun implementasinya harus dilakukan secara terintregasi.

Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak
dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak
memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif
maupun secara represif antara lain :

1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang
keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah pendapatan netto
pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan,
pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan
cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah
dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung,
karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman
mati.

2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu
adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi,
LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam
upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk
melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye
untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan.
Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.

3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan,


Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang
tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi
yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar
struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai
posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui
gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak,
menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan
menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga
pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda
sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.

5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam


pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang
sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan
korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan
bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan
siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.

E. Teori Partisipasi

Partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta tau keterlibatan yang berkaitan dengan keadaaan
lahiriahnya (Sastropoetro;1995). Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan
secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap
sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan
tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill (PTO PNPM PPK, 2007).

Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian sehari-hari,


partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga
masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini
bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu,
partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok
sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya
sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi
dapat didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses
pendidikan, partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsangan
yang diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang
dapat diharapkan (Berlo, 1961).

1. Syarat tumbuh partisipasi

Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat,
sangat ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:

1). Adanya kemauan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi


2). Adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi
3). Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi

2. Bentuk-bentuk partisipasi 
Hamijoyo membedakan bentuk partisipasi ke dalam 6 bentuk yaitu (Hamijoyo, 1979:6)

a. Partisipasi buah pikiran

Partisipasi ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna


mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Sumbangan pemikiran diarahkan kepada penataan
cra pelayanan dari lembaga atau badan yang ada, sehingga dapat berfungsi sosial secara aktif
dalam pemenuhuan kebutuhan anggota masyrakat

b. Partisipasi tenaga

Partisipasi jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat
menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan

c. Partisipasi keterampilan

Jenis keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya
kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Kegiatan ini biasanya diadakan dalam
bentuklatihan bagi anggota masyrakat. Partisipaso ini pada umumnya bersifat nmembina
masyarakat agar dapat memiliki kemampuan mememnuhi kebutuhannya.

d. Partisipasi uang

Partisiapasi ini adlaah untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat
yang memerlukan bantuan

e. Partisipasi harta benda

Diberikan dalam bentuk menyumbangkan harta benda, biasanya berupa perkakas, laat-alat-alat
kerja bagi yang dijangkau oleh badan pelayanan tersebut.

f. Partisipasi sosial

Partisipasi jenis ini diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguuyuban, misalnya arisan,
menghadiri kematian,berkecimpung dalam sutu kegiatan dan lain-lain.

Birokrasi merupakan organisasi pemerintah yang berfungsi untuk melaksanakan kebijakan-


kebijakan dan pada umumnya berkaitan dengan fungsi pelayanan publik. Birokrasi terdiri atas
para pejabat yang diangkat, dimana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan. Birokrasi merupakan faktor
penting dalam mensuksesjan program-program pemerintah sebab menjadi medium yang
berfungsi bagi pencapaian tujuan kebijakan negara. Begitu penting dan strategisnya keberadaan
birokrasi sehingga lane sebagaimana dikutip oleh atlay (1999) menyebutkan bahwa alokasi
berbagai sumber daya publik (public resources allocation) tidak mungkin ada tanpa keberadaan
birokrasi. Alokasi anggaran untuk barang dan jasa dalam pendistribusiannya membutuhkan
struktur birokrasi. Peran birokrasi adalah melaksanakan keputusan, dan menyediakan barang
dan jasa dalam jumlah tertentu untuk masyarakat dan konsumen . Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa sukses tidaknya sebuah negara salah satunya dapat dilihat dari performance
birokrasi yang menopangnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa birokrasi merupakan
kepanjangan tangan dari pemerintah yang memiliki peran penting untuk menjalankan keputusan
dan kebijakan yang telah ditetapkan. Studi tentang birokrasi telah banyak dilakukan oleh
para ilmuwan dan peneliti. Studi-studi tentang birokrasi umumnya merujuk pada kajian
tentang model birokrasi yang dicetuskan oleh Max Weber. Bagi Weber, birokrasi bukan
sebagai tipe pemerintahan, melainkan sebagai sistem administrasi yang dijalankan secara
terus menerus oleh para pegawai yang kompeten dengan berdasarkan peraturan-peraturan
yang ditentukan (Atlay 1999). Dalam karyanya, Weber memperkenalkan tipe ideal sebuah
birokrasi melalui model birokrasi legal-rational. Menurut Evers dan Schiel (1992), birokrasi
dalam pandangan Weber merupakan tipikal organisasi yang menekankan pada penggunaan
peraturan-peraturan dan ketentuan yang dibangun secara formal dan rasional, pemisahan
antara kehidupan umum dan pribadi, terjadinya bentuk legalitas baru yang beralasan
rasional, meluasnya cara bertindak yang rasional dan pelembagaan semua faktor tersebut ke
dalam sebuah administrasi modern (Departemen Riset dan Kajian Strategis ICW, 2000).
Birokrasi ala Weberian adalah sebuah organisasi modern yang ditandai dengan penerapan
aturan-aturan yang mengikat dan harus dijalankan oleh para pegawai atau staf yang
keberadaannya dikontrol oleh para atasan sebagai pihak yang memerintah. Model birokrasi
legal-rational menurut Weber adalah birokrasi dimana wewenang yang diberikan kepada
pegawai didasarkan pada kompetensi (skills) yang dimiliki oleh pegawai/staf, bukan karena
personality pegawai, ataupun karena faktor finansial, persaudaraan dan sebagainya. Weber
menggambarkan bahwa tipe birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang memiliki organisasi
rasional dan efisien daripada organisasi yang didominasi oleh otoritas yang bersumber dari
karisma dan model tradisional. Karakteristik birokrasi legal menurut Weber harus memuat
hirarki, aturan, pembagian wewenang/tugas, impersonal, dan kompetensi. Penjabaran birokrasi
ala Weberian menentukan adanya rantai komando, dimana unit-unit yang lebih rendah
dikendalikan oleh dan bertanggung jawab kepada unit yang lebih tinggi. Aturan mengandaikan
adanya penyelenggaran tugas didasarkan pada peraturan yang tegas. Prosedur tetap menjadi
dasar pelaksanaan tugas yang menekankan kedisiplinan dan pengendalian yang menyisakan
hanya sedikit ruang bagi pegawai untuk berinisiatif dan berinovasi. Bentuk penyerahan tugas
oleh atasan kepada bawahan berdasarkan pengetahuan dan keahliannya. Impersonal maknanya
adalah segala sesuatu ditentukan secara obyektif bukan karena like dan dislike. Misalnya,
promosi jabatan ditentukan bukan atas dasar faktor persolan tetapi lebih karena prestasi
bawahan. Segalanya ditetapkan dengan hukum dan aturan yang objektif sementara unsur
personal, irasional dan emosional dieleminasi. Birokrasi yang menekankan pada aspek
impersonal merupakan birokrasi yang mendorong tatanan birokrasi yang mendorong tatanan
birokrasi berkualitas dan bebas dari korupsi. Sebagaimana diuraikan oleh Dahlstrom
“impartiality”is in fact the basic norm defining high quality, non-corrupt, institutions”
(Dahlstorm)

Korupsi Dalam Pelayanan Publik


Birokrasi yang efektif salah satunya adalah harus bebas korupsi. Korupsi adalah tindakan
yang secara sengaja dilakukan dalam rangka untuk memberikan keuntungan baik untuk diri
sendiri, keluarga, maupun kolega yang dilakukan dengan cara ilegal. Menurut Quah
sebagaimana dikutip oleh Suwitri (2007), korupsi dimaknai sebagai perilaku menyimpang para
pegawai pamong praja untuk memperoleh beberapa hal yang secara sosial dan atau
menurut hukum dilarang (hal 24). Aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai tindakan
korupsi menurut Masyarakat Transparansi Indonesia sebagaimana dikutip Suwitri
(2007), yaitu :
a. Melibatkan lebih dari satu orang.
b. Tidak berlaku hanya di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, tapi juga
terjadi di organisasi usaha swasta.
c. Dapat berbentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar,
baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau wanita.
d. Umumnya serba rahasia kecuali sudah membudaya.
E. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang.
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya
pada badan publik atau masyarakat umum.
g. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
tatanan masyarakat.
h. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang, dan sebagainya,
untuk membuka rahasia perusahaan tempat orang bekerja, mengambil komisi yang
seharusnya hak perusahaan.

Sedangkan Syed Hussein Alatas


sebagaimana dikutip dalam ICW (2000) mengembangkan dan mengidentifikasi
korupsi dari definisi yang terbagi ke dalam
beberapa tipe, meliputi:
a. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara
pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama dimana kedua belah pihak
sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut.
b. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi tertentu dimana
pihak pemberi dipaksa untuk menyuap untuk mencegah kerugian yang mengancam diri,
kepentingan, orang-orangnya, atau hal-hal yang dihargainya.
c. Korupsi investif yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa tanpa
adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu yang diperoleh pemberi, selain
keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di masa datang.
d. Korupsi nepotistik yaitu korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada pertemanan
atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik
e. Korupsi autogenik yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan
untuk memperoleh keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya
diketahuinya seorang diri.
f. Korupsi suportif yaitu korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk
melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi.
g. Korupsi defensif yaitu suatu tindak korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.

Definisi di atas menggambarkan bahwa korupsi memiliki beragam karakteristik yang


didasarkan pada kepentingan yang menyertainya. Dari karakteristik tersebut, dapat
dikerucutkan bahwa tindakan korupsi selalu berkaitan dengan usaha untuk mengambil atau
mempertahankan kepentingan pribadi atau kelompok yang dilakukan secara ilegal. Dalam
banyak kasus, korupsi terjadi di dalam birokrasi karena ada pihak yang ingin mendapatkan
privilege dalam proses pelayanan, dan pada saat bersamaan oknum-oknum dalam birokrasi
dengan sengaja ingin mengeruk keuntungan secara ilegal. Dalam studi-
studi terdahulu diterangkan bahwa ada banyak usaha dilakukan dalam rangka mencegah
korupsi. Carl Dahlström dan Victor Lapuente (2012) dalam studinya menyatakan bahwa
usaha yang dilakukan dalam rangka mencegah korupsi adalah dengan menerapkan prinsip
birokrasi ala Weber, yaitu dengan memisahkan politik dari birokrasi. Pemisahan birokrasi
dari politik untuk menjaga netralitas birokrasi, sehingga birokrasi dapat berjalan dengan

   irarki

UPAYA UNTUK MENANGANI KORUPSI


Melihat fenomena korupsi di sektor pelayanan publik sampai hal-hal yang berskala kecil,
dibutuhkan strategi yang komprehensif untuk dapat meminimalisir celah atau potensi
terjadinya korupsi. Fakta di atas menunjukkan bahwa korupsi dilakukan karena rentang
birokrasi yang panjang. Oleh karena itu, di bawah ini diuraikan beberapa strategi untuk
mencegahkan perilaku korupsi. Pertama, memperkuat kapasitas kelembagaan birokrasi
pelayanan publik. Penguatan kapasitas kelembagaan birokrasi sangat penting dalam rangka
menerapkan birokrasi ala Weberian, yaitu Birokrasi legal-rational. Birokrasi legal-rational
ditandai dengan birokrasi yang memuat aturan-aturan yang ketat dan pelaksanaanya
dikontrol oleh atasan secara ketat, dan tenaga pelayanan birokrasi harus ditopang oleh orang-
orang yang memiliki kompetensi memadai. Harus diakui bahwa lahirnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia patut mendapatkan apresiasi. KPK memberikan
harapan bahwa dengan penguatan institusi anti korupsi, potensi atau jumlah orang yang
melakukan korupsi dapat ditindak dan diminimalisir dengan baik. Namun demikian,
institusi KPK belum mampu menjangkau problem-problem korupsi sampai pada masalah-
masalah kecil sebagaimana terjadi di institusi pelayanan publik. Kasus-kasus seperti korupsi
di kantor kelurahan, kantor Polisi, dan sejenisnya yang melibatkan masyarakat selama ini
luput dari perhatian.

Hal ini karena fokus KPK memang pada kasus-kasus besar. Oleh karena itu, penguatan
kelembagaan birokrasi dapat menjadi strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi dari
dalam. Menurut Hart (2001), penguatan kelembagaan birokrasi (organisasi) dapat mendorong
adanya disiplin internal sebagaimana diinginkan dalam model birokrasi legal rasional ala
Weberian. Penguatan kelembagaan ini dapat diwujudkan melalui reformasi internal birokrasi
dengan menerapkan mekanisme Pengawasan Internal, pemberian sanksi dan penghargaan,
penerapan kode etik, audit internal, dan lain-lain) (Hart, 2001).
Dalam konteks pemberian sanksi dan penghargaan misalnya, birokrasi perlu menerapkan
aturan reward and punishment bagi pegawai. Pegawai bukan hanya dituntut untuk bekerja
secara maksimal, akan tetapi prestasi hasil kinerja para pegawai juga harus mendapatkan
apresiasi dari pimpinan. Kedua, penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM). SDM
menjadi salah satu faktor determinan sukses tidaknya sebuah organisasi birokrasi. Oleh
karena itu, birokrasi yang profesional harus diisi oleh orang-orang yang profesional, yakni
orang-orang yang bekerja dengan kompetensi yang memadai. Disamping itu, penguatan
kapasitas sumber daya dibutuhkan untuk membekali para pegawai agar memiliki tanggung
jawab, disiplin dan patuh terhadap aturan yang berlaku. Mewujudkan birokrasi yang
profesional dapat dilakukan melalui program training peningkatan kompetensi dan training
tentang pendidikan karakter (character building). Peningkatan kompetensi diperlukan agar
para birokrat cakap dan efektif dalam bekerja. Para pegawai diharapkan memiliki
peningkatan pengetahuan dan skills yang dibutuhkan untuk menunjang kerja birokrasi.
Sedangkan training pendidikan karakter menjadi bagian integral mewujudkan birokrasi yang
clean governance. Integritas dapat menjadi jaminan roda birokrasi dapat berjalan sesuai arah
yang akan dituju. Pendidikan karakter ini dapat dilakukan melalui training yang berisi tentang
penanaman nilai tentang kerja sama, kejujuran, disiplin, dan membiasakan budaya malu.
Melalui profesional development program untuk peningkatan kompetensi pegawai dan
menggalakkan program character building diharapkan dapat menjadi solusi untuk
meminimalisir potensi korupsi dalam pelayanan publik

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena korupsi dalam layanan publik
acapkali terjadi karena dua faktor utama, yaitu faktor faktor eksternal dan internal
birokrasi. Faktor eksternal muncul karena adanya keinginan masyarkat untuk mendapatkan
pelayanan secara cepat dalam berbagai urusan seperti pengurusan perijinan dan sejenisnya.
Rentang kerja birokrasi yang panjang dan berbelit-belit (red-tape) menyebabkan sebagian
besar masyarakat tidak sabar dan menginginkan proses yang cepat dan efisien. Sedangkan
faktor internal lebih menitikberatkan pada adanya fenomena bahwa rentang birokrasi yang
panjang dengan sengaja dimanfaatkan oleh oknum-oknum di birokrasi untuk memperoleh
keuntungan secara ilegal. Strategi dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi adalah
dengan dua hal: Pertama penguatan kelembagaan internal birokrasi. Penguatan kelembagaan
internal birokrasi lebih menitikberatkan pada adanya penguatan kapasitas kelembagaan
birokrasi melalui merumuskan dan menegakan aturan-aturan yang ketat dan pelaksanaanya
dikontrol oleh atasan secara ketat, dan tenaga pelayanan birokrasi harus ditopang oleh
orang-orang yang memiliki kompetensi memadai. Birokrasi semacam ini adalah
tipe birokrasi ideal, yang bekerja dalam rangka melayani secara profesional. Birokrasi yang
dijalankan secara profesional dapat menerapkan pengawasan internal, monitoring dan evaluasi,
serta pemberian reward and punishment. Sedangkan strategi kedua, yaitu penguatan kapasitas
sumber daya manusia. Birokrasi yang profesional harus senantiasa diisi oleh orang-orang yang
profesional, yakni orang-orang yang bekerja dengan kompetensi yang memadai dan
memiliki integritas yang unggul.

DAFTAR PUSTAKA

(PDF) Korupsi dalam Birokrasi dan Strategi Pencegahannya (researchgate.net)

Makalah Korupsi dan Pencegahannya ~ Aneka Ragam Makalah (anekamakalah.com)

(DOC) Makalah Dampak Korupsi Terhadap Birokrasi Pemerintahan Politik dan Demokrasi | Nisa Nurfitria
- Academia.edu

Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo.go.id)

Anda mungkin juga menyukai