Dosen Pembimbing :
Maharso, SKM. M.Kes
Oleh:
Noor Hidayah
P07133218029
Program Studi Sanitasi Lingkungan Program Sarjana Terapan
2021
A. KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
Perspektif adalah konteks sistem dan persepsi visual adalah cara bagaimana objek
terlihat pada mata manusia berdasarkan sifat spasial, atau dimensinya dan posisi mata
makhluk lain dan sesama manusia. Lingkungan yang rusak adalah salah satu contoh
praktek korupsi di bidang kehutanan yang merugikan manusia. Izin-izin HPH diberikan
parah. Pemberian izin pabrik pulp di Porsea tanpa melihat dampak lingkungan yang
Masyarakat sekitarnya tidak berdaya. Meskipun praktek ini telah ditentang sebelumnya,
namun pihak otoritas tetap mengeluarkan izin dan memberikan perlindungan yang
. Dampak perbuatan manusia yang negatif seperti ini telah banyak terjadi di
Indonesia yang berdampak cukup luas pada lingkungan. Contoh lain seperti pemberian
secara tidak tertulis oleh aparat terhadap illegal loging di Riau, Kalimantan dan Irian.
Perilaku manusia yang terkait dengan korupsi dapat berdampak negatif kepada
bisa menyamai jumlah hutang negara Indonesia saat ini. Banyak pihak yang menulis dan
menyatakan bahwa apabila semua harta koruptor tersebut disita buat Negara, maka
manusia untuk melakukan praktek korupsi yang membabi buta. Gaji bukanlah ukuran
seseorang untuk melakukan korupsi. Gaji yang tinggi tidak menjamin manusia untuk
tidak melakukan korupsi. Sifat keserakahan, kerakusan, dan tindakan yang tidak
berdasarkan pada hati yang terdalam (nurani) telah membuat manusia tidak akan pernah
puas.
Dalam perspektif agama korupsi dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat tercela.
Dalam konteks ajaran islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang
negara, dan
Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah mengatakan bahwa
korupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut dapat diartikan bahwa
korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat secara keseluruhan tidak
Masalah hukum dapat ditangani dengan hukum, sedangkan masalah budaya tentu
saja ditangani dengan tindakan-tindakan dibidang kebudayaan juga. Inilah hal yang tidak
mudah. Berbeda kalau masyarakat secara keseluruhan sudah menganut ukuran yang sama
dalam hal rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan pengendalian korupsi akan jauh
lebih mudah.
timbul gambaran orang-orang yang berkuasa dan kaya sebagai pemilik hukum,
pendapatan negara mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat pada
masyarakat.
Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini
jelas perilaku tindak pidana korupsi ini tidak mencerminkan perilaku tersebut karena
perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang tidak percaya dan taqwa kepada Tuhan.
Dia menafikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar.
Dalam sila ini perilaku tindak pidana korupsi sangat melanggar bahkan sama sekali
tidak mencerminkan perilaku ini, seperti mengakui persamaan derajat, saling mencintai,
sikap tenggang rasa, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan serta membela kebenaran dan
keadilan.
Tindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam sila ini, pelakunya itu hanya
mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela berkorban untuk bangsa dan Negara, bahkan bisa
dibilang tidak cinta tanah air karena perilakunya cenderung mementingkan nafsu,
Perwakilan
Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak, keputusan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjunjung tinggi harkat
martabat manusia dan keadilannya. Sangat jelaslah bahwa tindak pidana korupsi tidak pernah
yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana gotong royong, adil, menghormati hak-
hak orang lain, suka memberi pertolongan, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain,
tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, serta tidak ada rasa
bersama-sama untuk berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.
KORUPSI
Praktek korupsi di masyarakat telah merambah pada setiap sendi kehidupan. Kita
terkadang sulit membedakan apakah ini praktek korupsi atau tidak. Hal ini disebabkan
adanya suatu kondisi yang menganggap suatu praktek korupsi yang sudah biasa dan tidak
dianggap itu sebagai korupsi lagi. Masyarakat memandang seseorang yang dianggap sukses
apabila ia mampu mengumpulkan banyak harta berupa rumah yang bagus dan mobil mewah,
meskipun dari sisi kedudukan dan jabatannya sangat sulit kita menerima bagaimana caranya
secara utuh di tempat kelahirannya. Pelaku korupsi juga suka membantu masyarakat dhuafa.
Meskipun demikian tidak semua pelaku korupsi bersikap dermawan. Tidak sedikit dari
mereka memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan agama dan budaya setempat. Bagi
pelaku korupsi yang memiliki sikap dermawan sering status sosialnya ditempatkan oleh
masyarakat dalam strata yang tinggi. Ada kekaguman masyarakat disitu terhadap pelaku
korupsi.
Di lingkungan keluarga, pelaku korupsi juga dianggap orang hebat. Suami/istri yang
bertanggung jawab terhadap keluarga. Pelaku juga menjadi kekaguman dan teladan bagi anak
dan istrinya (bila pelakunya lelaki, namun kadangkalanya pelaku korupsi juga dari golongan
perempuan). Istri pelaku korupsi menjadi salah satu pendorong suami untuk melakukan
tindakan korupsi. Istri merasa bangga bila suaminya dapat mengumpulkan harta sebanyak
diantara para istri tersebut membandingkan suami lain dengan pangkat dan jabatan yang
lebih rendah namun memiliki harta dan fasilitas di rumah yang lebih melimpah. Sang istri ini
cenderung membuat suaminya melakukan tindakan segala cara untuk mendapatkan harta
Pertanyaan di atas ditujukan pada pelaku korupsi, kerabat dekat pelaku, pemerintah dan
masyarakat. Semua pihak harus memiliki komitmen yang tinggi untuk bersama-sama
mengurangi praktek korupsi. Bagaimana praktek korupsi dapat dikurangi? Pertanyaan ini
Dari sisi pelaku korupsi haruslah memahami bahwa kebahagiaan hidup ini tidak hanya
berasal dari harta yang dimiliki. Kebenaran yang hakiki tidak hanya didasarkan pada jumlah
harta yang dikumpulkan, jabatan tinggi yang telah diraih, kehormatan hidup yang telah
dicapai di tengah-tengah masyarakat, dan jumlah sumbangan yang telah didonasikan. Namun
kebahagiaan hidup itu dapat dicapai bila seseorang tersebut mampu mencapai taraf hidup
yang dapat membahagiakan semua umat, tidak menyakiti, dan berperan lebih banyak dalam
kehidupan ini. Pelaku korupsi harus membebaskan dirinya dari egoisme psikologis. Egoisme
psikologis yang hanya melihat kebahagiaan itu demi kepentingan dirinya sendiri sehingga
pelaku korupsi berusaha untuk bertindak yang hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri.
Moralitas yang harus diperjuangkan dalam setiap tindakan harus selalu ada dalam setiap
langkahnya.
Pelaku korupsi juga harus memahami bahwa kehidupan yang menjaga keseimbangan
moralitas dan agama adalah penting. Moralitas dunia juga harus diiringi dengan pemahaman
dalam menjalani kehidupan ini dengan baik. Selalu melakukan hal-hal yang terbaik dan
positif akan membuat manusia akan melunturkan titik hitam yang banyak dalam hatinya.
Sehingga bintik hitam dalam hatinya akan berkurang. Pada pencapaian ini seorang manusia
akan terkontrol untuk selalu bertindak baik, selalu berbuat terbaik untuk kepentingan umat
dan Negara dan juga lingkungan. Bertindak sesuai dengan hati nurani juga sangatlah penting
Dari sisi keluarga juga memberikan peran penting untuk mengurangi praktek korupsi.
Desakan keinginan untuk mencapai kebahagian dunia semata dari anak dan istri cenderung
memberikan dorongan pelaku korupsi untuk mendapatkan materi diluar haknya terkait tugas
dan jabatannya. Pandangan hidup pada materialitas telah membuat mereka lupa diri. Apabila
pandangan materialitas telah dianut dalam keluarga pelaku, maka tindakan untuk melakukan
korupsi akan tetap hidup. Keluarga harus menghindari penerapan pandangan materialitas
dalam keluarganya. Keluarga harus mampu dan kuat mengatakan tidak menerima sesuatu
dari anggota keluarganya (suami atau istri) yang tidak jelas sumbernya dan tidak sesuai
dengan penghasilan yang telah diterima selama ini. Mampukah keluarga menerapkan hal ini?
Jawabannya tentu saja bisa ya atau tidak. Jawaban iya apabila keluarga telah memahami dan
untuk tidak memberikan penilaian kesuksesannya dari sisi pencapaian materi. Jangan berikan
suatu kebanggaan kepada anggota keluarga dekat atas prestasi materi yang dicapainya. Tetapi
berikanlah penghargaan yang layak pada kerabat yang memiliki moralitas yang tinggi,
memberikan teladan yang baik dalam menjalani kehidupan yang lebih bersahaja dan
harmonis dan menjalani kehidupan yang taat pada tuntunan agama. Kerabat yang mempunyai
pandangan dan implementasi kehidupan materi yang seimbang dengan hak dan tanggung
jawabnya itulah yang harus di hargai. Bertindak sesuai yang seharusnya dalam menjalankan
tugas di pemerintahan, perusahaan swasta, BUMN, organisasi masyarakat dan entitas bisnis
lainnya. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, mendapatkan sesuatu sesuai
haknya adalah sangat penting. Kerabat yang berperilaku seperti inilah yang harus dihargai
Masyarakat pun mempunyai peranan dalam pemberantasan korupsi. Korupsi yang terjadi
di Indonesia karena kesalahan kolektif dari masyarakat yang memandang koruptor orang
yang hebat dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada pelaku. Dalam memberantas
korupsi tentu saja masyarakat harus memberikan stigma yang negatif kepada pelaku korupsi,
bukan sebaliknya. Standar penilaian masyarakat kepada manusia yang dianggap sukses
bukanlah berdasarkan unsur materi semata, tetapi acuan moralitas yang telah dijalani oleh
manusia tersebut juga harus menjadi dasar kesuksesan. Sejalan dengan pemikiran Kant dalam
bertindaklah sesuai kaedah dimana engkau dapat menjalaninya secara universal. Masyarakat
harus mengontrol perilaku individu yang tidak berbuat sesuai kaedah yang berlaku. Kaidah
yang berlaku adalah kaidah-kaidah yang mengarah kepada kebenaran yang hakiki.
Masyarakat juga harus menyadari bahwa dampak korupsi juga akan menyengsarakan mereka
Pemahaman korupsi bagi semua elemen bangsa adalah sangatlah penting. Komitmen
pemerintah dalam pemberantasan korupsi haruslah di awali dengan pemahaman korupsi yang
sama sehingga tidak terjadi multitafsir dari tindakan pelaku yang melakukan tindakan
perbuatan korupsi. Penafsiran yang berbeda, akan menyebabkan pelaku yang tidak
melakukan tindakan korupsi dapat dituduh dan dijerat hukum melakukan tindakan kejahatan
korupsi. Sebaliknya pelaku yang melakukan tindakan korupsi dapat dibebaskan dari jerat
hukum oleh pengadilan. Pemerintah sudah seharusnya tidak terlibat dalam praktek korupsi
terutama aparat hukum terkait. Banyak kasus-kasus korupsi sulit diungkapkan karena tiga
hal. Pertama penyidik memiliki hubungan dengan pelaku. Kedua, pelaku memiliki hubungan
khususdengan atasan penyidik baik dari atasan langsung ataupun bukan atasan langsung, dan
ketiga, pelaku berasal dari partai yang sama dengan pemerintah atau penyidik berasal dari
Korupsi telah menjadi patologi birokrasi, penyakit akut yang mewabah mulai dari
pemerintahan di level nasional sampai ke pemerintahan yang paling rendah di tingkat desa.
Manipulasi, kolusi, bahkan kemudian menjadi tindakan yang diterima sebagai sebuah
kewajaran. Oleh karena itu korupsi di Indonesia ditengarai telah menjadi bagian dari budaya
masyarakat. Sikap masyarakat pun menjadi permisif dan toleran terhadap tindakan korupsi.
Inilah yang menyebabkan tindakan korupsi begitu massif. Jika pada mulanya korupsi banyak
dilakukan dalam ranah negara (state), maka sekarang korupsi juga mewabah di kalangan
masyarakat (society). Dalam ranah negara birokrasi dan juga jabatan-jabatan politik menjadi
sumber dan sarang korupsi yang menyebabkan hilangnya uang negara beitu banyak. Namun
yang tidak kalah penting adalah korupsi juga meluas dalam ranah masyarakat baik
melibatkan pelaku ekonomi (economic society) maupun masyarakat sipil (civil society).
Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana negara harus kehilangan dana segar triliunan
rupiah dalam kasus BLBI, yang sampai saat ini pelakunya pun masih bebas menikmati uang
Jerat korupsi ini juga menjadi hambatan bagi pemerintah untuk mempraktekan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance). Tata kelola pemerintahan yang baik sampai saat
ini masih jadi sebuah harapan. Reformasi birokrasi sebagai pintu masuk untuk terwujudnya
tata kelola yang baik juga masih belum menemukan bentuknya. Presiden memang telah
Reformasi Birokrasi Nasional dan TimReformasi Birokrasi Nasional. Namun upaya untuk
melakukan reformasi birokrasi ini juga belum jelas bagaimana ”grand design” yang
semestinya akan menjadi cetak biru (blueprint) dan disosialisasikan secara luas sehingga
akan menjadi pada lini bagaimana membuat langkah-langkah strategis dalam reformasi
birokrasi.
Reformasi birokrasi saat ini justru lebih banyak dikaitkan dengan isu “remunerasi” yang
diharapkan dapat menekan korupsi di birokrasi. Perbaikan gaji dan kesejahteraan pegawai
negeri seolah menjadi satu-satunya fokus dalam persoalan ini. Padahal sesungguhnya
rapuhnya birokrasi yang digerogoti oleh korupsi juga ada persoalan mentalitas dan integritas
berjamaah dengan prinsip “tahu sama tahu” diantara pelakunya, sehingga sulit terdeteksi.
Sejalan dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya kebutuhan masyarakat karena nilai-
nilai meterialitik, ternyata membuat korupsi juga terus semakin meningkat karena ketamakan
perspektif “materi” menyebabkan hilangnya nilai-nilai kejujuran. Barangkali benar apa yang
dikatakan oleh Ronggowarsito bahwa pada saatnya akan datang “jaman edan” dimana setiap
orang berprinsip lebih baik ikut arus karena kalau tidak maka tidak akan ikut menikmati atau
akan celaka. Fenomena ini juga masih kental dipraktekkan oleh pelaku korupsi di birokrasi.
Semua orang tahu bahwa adanya SPPD yang dilebihkan, penggelembungan anggaran adalah
Di Indonesia sikap masa bodoh di kalangan birokrasi juga ada, terutama mereka yang
tidak mau terlibat dalam arus”penyelewengan”. Bagi mereka diam jauh lebih baik daripada
dilakukan oleh mereka yang punya posisi “kuat”, yang bukan tidak mungkin bisa
memindahkan dan memutasikan dirinya. Pada akhirnya baik yang melakukan penyimpangan
kehilangan kemampuan untuk memaknai arti pentingnya ”kejujuran”. Menurut Alex Lanur
(Kristiyanto, 2001:179- 185) kejujuran merupakan salah satu nilai keutamaan yang
mendasari kepribadian yang mantap, yang integral dan bertanggungjawab. Kejujuran dan
ketidakjujuran merupakan dua pengertian yang dalam keadaan nyata saling berlawanan.
Terkait ketidak jujuran menurut Lanur dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama adalah
peniadaan berbagai pertimbangan seperti kesetiaan, kejujuran dan kewajaran atau fairness.
kekuasaan, kedudukan, jabatan dan sebagainya. Yang kedua, adalah penggunaan serta
pertahanan kekuasaan dan hal yang serupa demi kepentingan serta pamrih penguasa atau
pejabat itu sendiri yangt biasanya disebut dengan korupsi. Tindakan ketidakjujuran kedua
inilah yang mewabah di Indonesia dengan berbagai ragam bentuknya, yang inti masalahnya
adalah sama yaitu ketamakan. Ketamakan menyebabkan korupsi sulit dibendung karena
semakin bertambahnya kebutuhan yang tidak atau belum dipuaskan menyebabkan korupsi
juga semakin bertambah. Korupsi yang dinamis inilah dapat dipastikan mampu
Tergerusnya sendi-sendi keutamaan bagi tegaknya moralitas bangsa pada akhirnya akan
membawa Indonesia memasuki pembusukan massal. Ini dibuktikan dengan makin banyaknya
jumlah pejabat publik yang terseret kasus korupsi. Publik pun bertanya-tanya mengapa begitu
banyak Kepala Daerah terjerat kasus korupsi , mereka adalah pejabat yang dipilih
secaralangsung oleh rakyat, yang artinya mendapat mandat dan legitimasi yang lebih
kuat.Menurut Eko Prasojo (Kompas, 24 Januari 2011) terkait Kepala Daerah yang menjadi
tersangka korupsi ini memang dapat dikategorika menjadi dua yaitu mereka yang sejak awal
memang diprediksi berpotensi menjadi koruptor, tapi ada juga yang sesugguhnya terjerat
sangkaan korupsi karena tidak mau terkungkung oleh aturan-aturan standar normatif yang
membatasi ruang gerak kemajuan daerah, dan mereka inilah yang biasanya dijerat dengan
korupsi disamping karena ongkos politik yang mahal juga karena penggunaan diskresi kepala
daerah yang tidak terkontrol, oligarki dan dinasti kekuasaan akibat pilkada langsung tanpa
kontrol masyarakat yang kuat yang memunculkan persekongkolan antara birokrasi, politisi
dan penegak hukum, inkompatibilitas sistem politik yang tidak berbasis ideologi politik dan
merit system yang melahirkan Kepala Daerah oportunitis, lemahnya pengawasan pusat
dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya dan lemahnya pengawasan masyarakat madani.
Namun bagi Thomson (2002:119-122) adanya Gubernur atau Kepala Daerah yang
melakukan korupsi dan penyelewengan adalah karena para pejabat lupa bahwa mereka
terikat oleh standar-standar perilaku yang berbeda dengan kebanyakan orang. Jabatan
perilaku yang lebih tinggi daripada perilaku warga negara biasa. Tindakan-tindaakn yang
mungkin masih bisa diperbolehkan atau secara sipil salah bila dijalankan oleh warga negara,
dapat menjadi kesalahan kriminal bila dilakukan oleh pejabat. Lemahnya kesadaran inilah
kebangkrutan moral bangsa dimulai. Pergeseran penghargaan atas nilai-nilai moralitas telah
menghambat munculnya semangat untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama atau
“common enemy”.