Anda di halaman 1dari 15

PENDIDIKAN BUDIDAYA ANTI KORUPSI (PBAK)

Dosen Pembimbing :
Maharso, SKM. M.Kes

Oleh:
Noor Hidayah
P07133218029
Program Studi Sanitasi Lingkungan Program Sarjana Terapan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN SANITASI LINGKUNGAN

2021
A. KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

Perspektif adalah konteks sistem dan persepsi visual adalah cara bagaimana objek

terlihat pada mata manusia berdasarkan sifat spasial, atau dimensinya dan posisi mata

relatif terhadap objek

1. Manusia dan Korupsi

Praktek korupsi merupakan perilaku negatif manusia dengan mengorbankan

makhluk lain dan sesama manusia. Lingkungan yang rusak adalah salah satu contoh

praktek korupsi di bidang kehutanan yang merugikan manusia. Izin-izin HPH diberikan

bagi pengusaha-pengusaha tertentu dengan imbalan yang mengiurkan diberikan kepada

pemangku kepentingan dibidang kehutanan. Pemberian izin tambang di hutang lindung

tanpa mengindahkan kelestarian kehidupan ekosistem telah merusak lingkungan lebih

parah. Pemberian izin pabrik pulp di Porsea tanpa melihat dampak lingkungan yang

ditimbulkannya telah merusak ekosistem di daerah danau Toba dan sekitarnya.

Masyarakat sekitarnya tidak berdaya. Meskipun praktek ini telah ditentang sebelumnya,

namun pihak otoritas tetap mengeluarkan izin dan memberikan perlindungan yang

berlebihan terhadap perusahaan ini.

. Dampak perbuatan manusia yang negatif seperti ini telah banyak terjadi di

Indonesia yang berdampak cukup luas pada lingkungan. Contoh lain seperti pemberian

secara tidak tertulis oleh aparat terhadap illegal loging di Riau, Kalimantan dan Irian.

kasus suap Meikarta, Bupati Bekasi

Perilaku manusia yang terkait dengan korupsi dapat berdampak negatif kepada

manusia lainnya. Korupsi telah menyengsarakan semua sendi kehidupan

manusiaKerugian yang ditimbulkan akibat praktek korupsi bisa menimbulkan ratusan


triliun bahkan kalau di akumulasikan dapat mencapai ribuan triliun. Jumlah ini bahkan

bisa menyamai jumlah hutang negara Indonesia saat ini. Banyak pihak yang menulis dan

menyatakan bahwa apabila semua harta koruptor tersebut disita buat Negara, maka

seluruh hutang pemerintah RI akan lunas.

Keserakahan manusialah, sebagai sifatnya yang tidak pernah puas, mendorong

manusia untuk melakukan praktek korupsi yang membabi buta. Gaji bukanlah ukuran

seseorang untuk melakukan korupsi. Gaji yang tinggi tidak menjamin manusia untuk

tidak melakukan korupsi. Sifat keserakahan, kerakusan, dan tindakan yang tidak

berdasarkan pada hati yang terdalam (nurani) telah membuat manusia tidak akan pernah

puas.

A. KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

Dalam perspektif agama korupsi dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat tercela.

Dalam perspektif ajaran Islam,

 korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak kemaslahatan,

kemanfaatan hidup, dan tatanan kehidupan.

 Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar).

 Dalam konteks ajaran islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang

bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas/ tanggung gugat

(al-amanah), dan tanggung jawab.

Dalam perspektif sosial korupsi dipandang suatu :

 perbuatan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan,

 perusakan moral bangsa,


 hilangnya rasa percaya terhadap pemerintah,

 menimbulkan kesenjangan dalam pelayanan umum dan menurunnya kepercayaan

pemerintah dalam pandangan masyarakat. 

Dalam perspektif budaya korupsi dipandang :

 suatu perbuatan yang akan membentuk pandangan buruk terhadap reputasi

negara, dan

 secara perlahan akan memutus budaya luhur bangsa.

Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah mengatakan bahwa

korupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut dapat diartikan bahwa

korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat secara keseluruhan tidak

bertekad untuk memberantasnya.

Masalah hukum dapat ditangani dengan hukum, sedangkan masalah budaya tentu

saja ditangani dengan tindakan-tindakan dibidang kebudayaan juga. Inilah hal yang tidak

mudah. Berbeda kalau masyarakat secara keseluruhan sudah menganut ukuran yang sama

dalam hal rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan pengendalian korupsi akan jauh

lebih mudah.

Dalam perspektif teknologi korupsi dipandang :

 sebagai sesuatu yang dapat menghambat perkembangan teknologi yang ada,

 penyalahgunaan tindakan yang merugikan negara,

 dan terorisme yang terus merajalela.

Dalam perspektif hukum korupsi menimbulkan :

 pandangan ketidak konsistenan terhadap hukum yang berlaku,


 timbul pandangan bahwa hukum bisa diperjual belikan,

 kepercayaan masyarakat terhadap hukum menurun,

 timbul gambaran orang-orang yang berkuasa dan kaya sebagai pemilik hukum,

 timbul pemikiran bahwa hukum terlalu bobrok, dan

 timbul rasa ketidakadilan didalam diri masyarakat.

Dalam perspektif politik korupsi dapat :

 mempersulit demokrasi dan tata cara pemerintahan yang baik

 dengan cara menghancurkan proses formal,

 sistem politik akan terganggu

 cenderung tidak dipercaya oleh masyarakat, akan

 timbul aklamasi-aklamasi untuk menguatkan kekuatan politik (menjaga

keberlangsungan korupsi) dan

 akan timbul ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik.

Dalam perspektif ekonomi korupsi :

 berdampak pada pembangunan infrastruktur yang tidak merata,

 tidak sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya.

 Pemerataan pendapatan yang buruk,

 membuat pengusaha asing takut untuk berinvestasi di Indonesia,

 pendapatan negara mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat pada

masyarakat.

korupsi dalam perspektif pancasila sebagai berikut:


a.   Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini

jelas perilaku tindak pidana korupsi ini  tidak mencerminkan perilaku tersebut karena

perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang tidak percaya dan taqwa kepada Tuhan.

Dia menafikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar.

b.   Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab

Dalam sila ini perilaku tindak pidana korupsi sangat melanggar bahkan sama sekali

tidak mencerminkan perilaku ini, seperti mengakui persamaan derajat, saling mencintai,

sikap tenggang rasa, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan serta membela kebenaran dan

keadilan.

c.   Sila Persatuan Indonesia

Tindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam sila ini, pelakunya itu hanya 

mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela berkorban untuk bangsa dan Negara, bahkan bisa

dibilang tidak cinta tanah air karena perilakunya cenderung mementingkan nafsu,

kepentingan pribadi atau kasarnya kepentingan perutnya saja.

d.   Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyarawatan

Perwakilan

Dalam sila ini perilaku yang mencerminkannya seperti, mengutamakan kepentingan

Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak, keputusan yang diambil harus

dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjunjung tinggi harkat

martabat manusia dan keadilannya. Sangat jelaslah bahwa tindak pidana korupsi tidak pernah

ada  rasa dalam sila ini.

e.   Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia


Rata-rata bahkan sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi itu, tidak ada perbuatan

yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana gotong royong, adil, menghormati hak-

hak orang lain, suka memberi pertolongan, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain,

tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, serta tidak ada rasa

bersama-sama untuk berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.

B. PANDANGAN KELUARGA DAN MASYARAKAT TERHADAP PELAKU

KORUPSI

Praktek korupsi di masyarakat telah merambah pada setiap sendi kehidupan. Kita

terkadang sulit membedakan apakah ini praktek korupsi atau tidak. Hal ini disebabkan

adanya suatu kondisi yang menganggap suatu praktek korupsi yang sudah biasa dan tidak

dianggap itu sebagai korupsi lagi. Masyarakat memandang seseorang yang dianggap sukses

apabila ia mampu mengumpulkan banyak harta berupa rumah yang bagus dan mobil mewah,

meskipun dari sisi kedudukan dan jabatannya sangat sulit kita menerima bagaimana caranya

ia mampu mengumpulkan harta sebanyak itu

Pelaku korupsi cenderung melakukan perbuatan terpuji di tengah masyarakat melalui

sifat kedermawanannya. Pelaku sering memberikan sumbangan sosial ke masyarakat di

lingkungan tempat tinggalnya, membantu pembangunan Mesjid, bahkan membangun Mesjid

secara utuh di tempat kelahirannya. Pelaku korupsi juga suka membantu masyarakat dhuafa.

Meskipun demikian tidak semua pelaku korupsi bersikap dermawan. Tidak sedikit dari

mereka memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan agama dan budaya setempat. Bagi

pelaku korupsi yang memiliki sikap dermawan sering status sosialnya ditempatkan oleh
masyarakat dalam strata yang tinggi. Ada kekaguman masyarakat disitu terhadap pelaku

korupsi.

Di lingkungan keluarga, pelaku korupsi juga dianggap orang hebat. Suami/istri yang

bertanggung jawab terhadap keluarga. Pelaku juga menjadi kekaguman dan teladan bagi anak

dan istrinya (bila pelakunya lelaki, namun kadangkalanya pelaku korupsi juga dari golongan

perempuan). Istri pelaku korupsi menjadi salah satu pendorong suami untuk melakukan

tindakan korupsi. Istri merasa bangga bila suaminya dapat mengumpulkan harta sebanyak

mungkin meskipun ia mengetahui pendapatan resmi suaminya tidak mencukupi. Banyak

diantara para istri tersebut membandingkan suami lain dengan pangkat dan jabatan yang

lebih rendah namun memiliki harta dan fasilitas di rumah yang lebih melimpah. Sang istri ini

cenderung membuat suaminya melakukan tindakan segala cara untuk mendapatkan harta

yang banyak demi kesenangan istri tercinta.

Pertanyaan di atas ditujukan pada pelaku korupsi, kerabat dekat pelaku, pemerintah dan

masyarakat. Semua pihak harus memiliki komitmen yang tinggi untuk bersama-sama

mengurangi praktek korupsi. Bagaimana praktek korupsi dapat dikurangi? Pertanyaan ini

tentu saja sangat bervariasi jawabannya.

Dari sisi pelaku korupsi haruslah memahami bahwa kebahagiaan hidup ini tidak hanya

berasal dari harta yang dimiliki. Kebenaran yang hakiki tidak hanya didasarkan pada jumlah

harta yang dikumpulkan, jabatan tinggi yang telah diraih, kehormatan hidup yang telah

dicapai di tengah-tengah masyarakat, dan jumlah sumbangan yang telah didonasikan. Namun

kebahagiaan hidup itu dapat dicapai bila seseorang tersebut mampu mencapai taraf hidup

yang dapat membahagiakan semua umat, tidak menyakiti, dan berperan lebih banyak dalam

kehidupan ini. Pelaku korupsi harus membebaskan dirinya dari egoisme psikologis. Egoisme
psikologis yang hanya melihat kebahagiaan itu demi kepentingan dirinya sendiri sehingga

pelaku korupsi berusaha untuk bertindak yang hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri.

Moralitas yang harus diperjuangkan dalam setiap tindakan harus selalu ada dalam setiap

langkahnya.

Pelaku korupsi juga harus memahami bahwa kehidupan yang menjaga keseimbangan

moralitas dan agama adalah penting. Moralitas dunia juga harus diiringi dengan pemahaman

dalam menjalani kehidupan ini dengan baik. Selalu melakukan hal-hal yang terbaik dan

positif akan membuat manusia akan melunturkan titik hitam yang banyak dalam hatinya.

Sehingga bintik hitam dalam hatinya akan berkurang. Pada pencapaian ini seorang manusia

akan terkontrol untuk selalu bertindak baik, selalu berbuat terbaik untuk kepentingan umat

dan Negara dan juga lingkungan. Bertindak sesuai dengan hati nurani juga sangatlah penting

untuk menghindari dari hal-hal yang mengarah ke perilaku korupsi.

Dari sisi keluarga juga memberikan peran penting untuk mengurangi praktek korupsi.

Desakan keinginan untuk mencapai kebahagian dunia semata dari anak dan istri cenderung

memberikan dorongan pelaku korupsi untuk mendapatkan materi diluar haknya terkait tugas

dan jabatannya. Pandangan hidup pada materialitas telah membuat mereka lupa diri. Apabila

pandangan materialitas telah dianut dalam keluarga pelaku, maka tindakan untuk melakukan

korupsi akan tetap hidup. Keluarga harus menghindari penerapan pandangan materialitas

dalam keluarganya. Keluarga harus mampu dan kuat mengatakan tidak menerima sesuatu

dari anggota keluarganya (suami atau istri) yang tidak jelas sumbernya dan tidak sesuai

dengan penghasilan yang telah diterima selama ini. Mampukah keluarga menerapkan hal ini?

Jawabannya tentu saja bisa ya atau tidak. Jawaban iya apabila keluarga telah memahami dan

mengimplementasikan moralitas dan ajaran agama dengan baik.


Kerabat dekat harus berusaha mengurangi tekanan kepada pejabat atau pelaku korupsi

untuk tidak memberikan penilaian kesuksesannya dari sisi pencapaian materi. Jangan berikan

suatu kebanggaan kepada anggota keluarga dekat atas prestasi materi yang dicapainya. Tetapi

berikanlah penghargaan yang layak pada kerabat yang memiliki moralitas yang tinggi,

memberikan teladan yang baik dalam menjalani kehidupan yang lebih bersahaja dan

harmonis dan menjalani kehidupan yang taat pada tuntunan agama. Kerabat yang mempunyai

pandangan dan implementasi kehidupan materi yang seimbang dengan hak dan tanggung

jawabnya itulah yang harus di hargai. Bertindak sesuai yang seharusnya dalam menjalankan

tugas di pemerintahan, perusahaan swasta, BUMN, organisasi masyarakat dan entitas bisnis

lainnya. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, mendapatkan sesuatu sesuai

haknya adalah sangat penting. Kerabat yang berperilaku seperti inilah yang harus dihargai

dan ditempatkan pada tempat yang terhormat.

Masyarakat pun mempunyai peranan dalam pemberantasan korupsi. Korupsi yang terjadi

di Indonesia karena kesalahan kolektif dari masyarakat yang memandang koruptor orang

yang hebat dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada pelaku. Dalam memberantas

korupsi tentu saja masyarakat harus memberikan stigma yang negatif kepada pelaku korupsi,

bukan sebaliknya. Standar penilaian masyarakat kepada manusia yang dianggap sukses

bukanlah berdasarkan unsur materi semata, tetapi acuan moralitas yang telah dijalani oleh

manusia tersebut juga harus menjadi dasar kesuksesan. Sejalan dengan pemikiran Kant dalam

foundation of metaphysic of moral tahun 1785 (dalam Rachels, 2004) menyatakan

bertindaklah sesuai kaedah dimana engkau dapat menjalaninya secara universal. Masyarakat

harus mengontrol perilaku individu yang tidak berbuat sesuai kaedah yang berlaku. Kaidah

yang berlaku adalah kaidah-kaidah yang mengarah kepada kebenaran yang hakiki.
Masyarakat juga harus menyadari bahwa dampak korupsi juga akan menyengsarakan mereka

yang akan berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat.

C. ANCAMAN KEBANGKUTAN NASIONAL

Pemerintah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi.

Pemahaman korupsi bagi semua elemen bangsa adalah sangatlah penting. Komitmen

pemerintah dalam pemberantasan korupsi haruslah di awali dengan pemahaman korupsi yang

sama sehingga tidak terjadi multitafsir dari tindakan pelaku yang melakukan tindakan

korupsi. Pemerintah harus memperjelas epistemologi penentuan suatu perbuatan sebagai

perbuatan korupsi. Penafsiran yang berbeda, akan menyebabkan pelaku yang tidak

melakukan tindakan korupsi dapat dituduh dan dijerat hukum melakukan tindakan kejahatan

korupsi. Sebaliknya pelaku yang melakukan tindakan korupsi dapat dibebaskan dari jerat

hukum oleh pengadilan. Pemerintah sudah seharusnya tidak terlibat dalam praktek korupsi

terutama aparat hukum terkait. Banyak kasus-kasus korupsi sulit diungkapkan karena tiga

hal. Pertama penyidik memiliki hubungan dengan pelaku. Kedua, pelaku memiliki hubungan

khususdengan atasan penyidik baik dari atasan langsung ataupun bukan atasan langsung, dan

ketiga, pelaku berasal dari partai yang sama dengan pemerintah atau penyidik berasal dari

simpatisan partai yang sama dengan pelaku.

Korupsi telah menjadi patologi birokrasi, penyakit akut yang mewabah mulai dari

pemerintahan di level nasional sampai ke pemerintahan yang paling rendah di tingkat desa.

Manipulasi, kolusi, bahkan kemudian menjadi tindakan yang diterima sebagai sebuah

kewajaran. Oleh karena itu korupsi di Indonesia ditengarai telah menjadi bagian dari budaya

masyarakat. Sikap masyarakat pun menjadi permisif dan toleran terhadap tindakan korupsi.

Inilah yang menyebabkan tindakan korupsi begitu massif. Jika pada mulanya korupsi banyak
dilakukan dalam ranah negara (state), maka sekarang korupsi juga mewabah di kalangan

masyarakat (society). Dalam ranah negara birokrasi dan juga jabatan-jabatan politik menjadi

sumber dan sarang korupsi yang menyebabkan hilangnya uang negara beitu banyak. Namun

yang tidak kalah penting adalah korupsi juga meluas dalam ranah masyarakat baik

melibatkan pelaku ekonomi (economic society) maupun masyarakat sipil (civil society).

Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana negara harus kehilangan dana segar triliunan

rupiah dalam kasus BLBI, yang sampai saat ini pelakunya pun masih bebas menikmati uang

jarahan di berbagai negara.

Jerat korupsi ini juga menjadi hambatan bagi pemerintah untuk mempraktekan tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance). Tata kelola pemerintahan yang baik sampai saat

ini masih jadi sebuah harapan. Reformasi birokrasi sebagai pintu masuk untuk terwujudnya

tata kelola yang baik juga masih belum menemukan bentuknya. Presiden memang telah

mengeluarkan KEPPRES No. 14 tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah

Reformasi Birokrasi Nasional dan TimReformasi Birokrasi Nasional. Namun upaya untuk

melakukan reformasi birokrasi ini juga belum jelas bagaimana ”grand design” yang

semestinya akan menjadi cetak biru (blueprint) dan disosialisasikan secara luas sehingga

akan menjadi pada lini bagaimana membuat langkah-langkah strategis dalam reformasi

birokrasi.

Reformasi birokrasi saat ini justru lebih banyak dikaitkan dengan isu “remunerasi” yang

diharapkan dapat menekan korupsi di birokrasi. Perbaikan gaji dan kesejahteraan pegawai

negeri seolah menjadi satu-satunya fokus dalam persoalan ini. Padahal sesungguhnya

rapuhnya birokrasi yang digerogoti oleh korupsi juga ada persoalan mentalitas dan integritas

moral. Rendahnya integritas moral merupakan penyakit birokrasi yang membutuhkan


penanganan secara sungguh-sungguh. Sikap toleran terhadap tindakan korupsi yang meluas

di kalangan birokrat sesungguhnya merupakan ancaman nyata kebangkrutan moral.

Praktek korupsi birokrasi bahkan berlangsung secara sistemik, dilakukan secara

berjamaah dengan prinsip “tahu sama tahu” diantara pelakunya, sehingga sulit terdeteksi.

Sejalan dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya kebutuhan masyarakat karena nilai-

nilai meterialitik, ternyata membuat korupsi juga terus semakin meningkat karena ketamakan

pelakunya. Pemujaan terhadap segala keberhasilan dan kesuksesan semata-mata dari

perspektif “materi” menyebabkan hilangnya nilai-nilai kejujuran. Barangkali benar apa yang

dikatakan oleh Ronggowarsito bahwa pada saatnya akan datang “jaman edan” dimana setiap

orang berprinsip lebih baik ikut arus karena kalau tidak maka tidak akan ikut menikmati atau

akan celaka. Fenomena ini juga masih kental dipraktekkan oleh pelaku korupsi di birokrasi.

Semua orang tahu bahwa adanya SPPD yang dilebihkan, penggelembungan anggaran adalah

contoh nyata dari korupsi yang diabsahkan atau “pseudo corruption”.

Di Indonesia sikap masa bodoh di kalangan birokrasi juga ada, terutama mereka yang

tidak mau terlibat dalam arus”penyelewengan”. Bagi mereka diam jauh lebih baik daripada

membuat kehebohan yang bisa mengancam dirinya, terlebih apabila penyimpangan

dilakukan oleh mereka yang punya posisi “kuat”, yang bukan tidak mungkin bisa

memindahkan dan memutasikan dirinya. Pada akhirnya baik yang melakukan penyimpangan

maupun yang tidak melakukanpenyimpangan keduanya sesungguhnya sama-sama

kehilangan kemampuan untuk memaknai arti pentingnya ”kejujuran”. Menurut Alex Lanur

(Kristiyanto, 2001:179- 185) kejujuran merupakan salah satu nilai keutamaan yang

mendasari kepribadian yang mantap, yang integral dan bertanggungjawab. Kejujuran dan

ketidakjujuran merupakan dua pengertian yang dalam keadaan nyata saling berlawanan.
Terkait ketidak jujuran menurut Lanur dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama adalah

peniadaan berbagai pertimbangan seperti kesetiaan, kejujuran dan kewajaran atau fairness.

Peniadaan berbagai petimbangan itu dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan

kekuasaan, kedudukan, jabatan dan sebagainya. Yang kedua, adalah penggunaan serta

pertahanan kekuasaan dan hal yang serupa demi kepentingan serta pamrih penguasa atau

pejabat itu sendiri yangt biasanya disebut dengan korupsi. Tindakan ketidakjujuran kedua

inilah yang mewabah di Indonesia dengan berbagai ragam bentuknya, yang inti masalahnya

adalah sama yaitu ketamakan. Ketamakan menyebabkan korupsi sulit dibendung karena

semakin bertambahnya kebutuhan yang tidak atau belum dipuaskan menyebabkan korupsi

juga semakin bertambah. Korupsi yang dinamis inilah dapat dipastikan mampu

membinasakan seluruh sistem kemasyarakatan atau negara itu sendiri.

Tergerusnya sendi-sendi keutamaan bagi tegaknya moralitas bangsa pada akhirnya akan

membawa Indonesia memasuki pembusukan massal. Ini dibuktikan dengan makin banyaknya

jumlah pejabat publik yang terseret kasus korupsi. Publik pun bertanya-tanya mengapa begitu

banyak Kepala Daerah terjerat kasus korupsi , mereka adalah pejabat yang dipilih

secaralangsung oleh rakyat, yang artinya mendapat mandat dan legitimasi yang lebih

kuat.Menurut Eko Prasojo (Kompas, 24 Januari 2011) terkait Kepala Daerah yang menjadi

tersangka korupsi ini memang dapat dikategorika menjadi dua yaitu mereka yang sejak awal

memang diprediksi berpotensi menjadi koruptor, tapi ada juga yang sesugguhnya terjerat

sangkaan korupsi karena tidak mau terkungkung oleh aturan-aturan standar normatif yang

membatasi ruang gerak kemajuan daerah, dan mereka inilah yang biasanya dijerat dengan

pasal penyalahgunaan wewenang.


Lebih jauh Eko Prasojo menyatakan bahwa banyaknya Kepala Daerah yang terjerat kasus

korupsi disamping karena ongkos politik yang mahal juga karena penggunaan diskresi kepala

daerah yang tidak terkontrol, oligarki dan dinasti kekuasaan akibat pilkada langsung tanpa

kontrol masyarakat yang kuat yang memunculkan persekongkolan antara birokrasi, politisi

dan penegak hukum, inkompatibilitas sistem politik yang tidak berbasis ideologi politik dan

merit system yang melahirkan Kepala Daerah oportunitis, lemahnya pengawasan pusat

dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya dan lemahnya pengawasan masyarakat madani.

Namun bagi Thomson (2002:119-122) adanya Gubernur atau Kepala Daerah yang

melakukan korupsi dan penyelewengan adalah karena para pejabat lupa bahwa mereka

terikat oleh standar-standar perilaku yang berbeda dengan kebanyakan orang. Jabatan

pemerintahan dipahami sebagai kepercayaan (trust), dengan demikian mengenakan standar

perilaku yang lebih tinggi daripada perilaku warga negara biasa. Tindakan-tindaakn yang

mungkin masih bisa diperbolehkan atau secara sipil salah bila dijalankan oleh warga negara,

dapat menjadi kesalahan kriminal bila dilakukan oleh pejabat. Lemahnya kesadaran inilah

menyebabkan banyak pejabat melakukan pelanggaran moralitas, dan dari sinilah

kebangkrutan moral bangsa dimulai. Pergeseran penghargaan atas nilai-nilai moralitas telah

menghambat munculnya semangat untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama atau

“common enemy”.

Anda mungkin juga menyukai