Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

FENOMENA DAN FAKTOR PENYEBAB KORUPSI


KEPALA DAERAH DI INDONESIA

Di susun oleh :

Nama : Josiska M. Woriwon


Nim : 2214201088

Dosen pengampuh :
Dr. Dra. Debby Ch, Rende, M.Si
Yones Maarisip,SIP,M.Si

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


FAKULTAS KEPERAWATAN
MANADO
2023
ABSTRAK
Tujuan dari penulis menyusun makalah ini adalah supaya kita mendapatkan cerminan
serta mengidentifikasi tentang deskripsi dari bentuk-bentuk korupsi serta contoh
permasalahan korupsi di Indonesia. Cerminan korupsi yang terjalin di dekat kita sunggulah
banyak, berbagai hal yang memicu terbentuknya aksi korupsi di bermacam daerah serta
apalagi diseluruh aspek kehidupan yang kita lakukan. Bagi pengertian Syed Hussein Alatas,
Korupsi merupakan sub-ordinasi kepentingan universal di dasar kepentingan individu yang
mencakup kesalahan norma, tugas, serta kesejahtraan universal, yang dilakukan dengan
kerahasiaan, penghianatan, penipuan, serta kemasabodohan dengan akibat yang dialami
rakyat. Ada juga menemukan dari korupsi yaitu, rasuah ataupun mencuri yakni aksi pejabat
publik, baik politis ataupun pegawai negeri sipil, dan pihak lain yang ikut serta dalam aksi itu
yang secara tidak normal serta tidak sah menyalahgunakan keyakinan publik serta warga
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Debutan korupsi
yang sudah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, merupakan “ kejahatan,
kebusukan, bisa disuap, tidak bermoral, kebejatan serta ketidak jujuran”(S. Wojowasito-WJS
Poerwadarminta : 1978). Penafsiran yang lain. “ perbuatan yang kurang baik semacam
penggelapan duit, penerimaan duit sogok, serta sebagainya”(WJS Poerwadarminta : 1976).

KATA KUNCI: Korupsi, Bentuk tindak korupsi, Pejabat, Warga.


KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan
tuntunanNya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini berisi tentang
fenomena dan faktor penyebab korupsi kepala daerah di indonesia yang ditugaskan oleh dosen
pengampuh mata kuliah pendidikan budaya anti korupsi dan tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada dosen pengampuh mata kuliah Dr. Dra. Debby Ch, Rende, M.Si dan Yones Maarisip,SIP,M.Si
ini yang telah membimbing saya dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat diterima
dengan baik dan mungkin dalam makalah ini terdapat kesalahan yang belum saya ketahui , maka itu
saya mohon maaf dan saya mohon petunjuk saran dan kritikan dari dosen agar saya dapat
memperbaiki makalah ini,demi tercapainya susunan makalah yang baik dan benar. Terima kasih
DAFTAR ISI

KATA

PENGANTAR…………………………………………………………………………

ABSTRAK......................................................................................................................

DAFTAR

ISI………………………………………………………………………………………

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………………………..

1.2 RUMUSAN MASALAH..........................................................................................

1.3 TUJUAN…………………………………………………………………………...

1.4 MANFAAT………………………………………………………………………...

1.5 METODE...................................................................................................................

BAB 2

2.1 Fenomena kasus korupsi diIndonesia..............................................


2.2 Fenomena calon tunggal pada pemilihan kepala Daerah...................
2.3 Faktor-faktor penyebab kepala daerah korupsi...................................

BAB 3

3.1 KESIMPULAN..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Kemajuan sesuatu negeri sangat ditetapkan oleh keahlian serta keberhasilannya dalam
melakukan pembangunan sebagai suatu proses pergantian yang direncanakan mencakup
seluruh aspek kehidupan warga. Efektifitas serta keberhasilan pembangunan paling utama
ditetapkan oleh 2 aspek, yaitu orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan sampai
pada penerapan serta pembiayaan. Diantara dua aspek tersebut tersebut yang sangat
dominan merupakan aspek manusianya. Indonesia ialah salah satu negeri kaya di asia
dilihat dari keanekaragaman hayati, kekayaan sumber energi alamnya. Namun ironisnya,
negara tercinta ini dibandingkan dengan tempat lain dikawasan asia bukanlah suatu negeri
yang kaya malahan tercantum negeri miskin. Mengapa demikian? Salah satu
penyebabnya merupakan rendahnya mutu sumber energi manusianya. Mutu tersebut
bukan Cuma dari segi pengetahuan atau intelektualnya pula namun menyangkut mutu
moral serta kepribadiannya. Rapuhnya akhlak serta rendanya tingkatan kejujuran dari
aparat penyelenggaraan negeri menimbulkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia
berakar ini adalah patologi sosial(penyakit sosial) yang sangat beresiko mengecam seluru
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah menyebabkan
kerugian material keuangan negeri yang sangat besar. Tetapi yang lebih memperhatikan
lagi merupakan terbentuknya perampasan dan pengurasan keuangan negeri yang dicoba
secara kolektif oleh golongan anggota legislatif dengan dalih riset banding, THR, duit
pesangon serta lain sebagainya di luar batas kewajaaran. Wujud perampasan serta
pengurasan keuangan negeri karena itu dilarang di seluruh daerah di tanah air. Perihal itu
merupakan gambaran rendahnya serta rasa malu, sehingga yang menonjol merupakan
perilaku kerasukan. Permasalahannya merupakan, dapatkah korupsi diberentas? Tidak
terdapat jawaban lain jika kita mau maju, kita harus memberantas korupsi sampai
akarnya. Bila kita tidak sukses memberantas korupsi, pada titik nadi yang sangat rendah
maka jangan harap negeri ini hendak sanggup mengejar ketertinggalannya dibandingkan
negeri lain buat jadi negeri yang maju. Seperti kita ketahui bersama, korupsi pada
dasarnya terjadi ketika tiga faktor utama bertemu, yaitu: niat, kesempatan dan kekuasaan.
Niat adalah unsur dari setiap kejahatan yang lebih relevan dengan individu manusia,
seperti perbuatan danNilai-nilai yang dipegang seseorang. Pada saat yang sama, peluang
lebih terikat pada sistem yang ada. Pada saat yang sama, otoritas yang dimiliki seseorang
secara langsung akan meningkatkan peluang yang tersedia. Meski disengaja, meski ada
peluang, jika Anda tidak bergantung pada kekuatan, Anda tidak akan serakah. Oleh
karena itu, jika ketiga faktor niat, peluang, dan kekuatan tidak ada dan terpenuhi, korupsi
tidak dapat terjadi. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi pada hakekatnya adalah
upaya menghilangkan atau setidak-tidaknya meminimalkan ketiga faktor tersebut.Istilah
korupsi umumnya digunakan oleh masyarakat untuk merujuk pada serangkaian praktik
terlarang atau ilegal yang menghasilkan keuntungan dengan mengorbankan orang lain.
Bagi masyarakat umum, perilaku korup paling baik diidentifikasi dengan menekankan
penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.Sejarah
mencatat bahwa korupsi dimulai pada awal kehidupan manusia, dan organisasi sosial
yang kompleks mulai bermunculan. Teks-teks lain menunjukkan korupsi yang terjadi dari
zaman Mesir kuno, Babilonia, dan Romawi hingga Abad Pertengahan dan hingga saat ini.
Di zaman Romawi, para jenderal mempraktekkan korupsi dengan memeras koloni
mereka untuk menjadi kaya. Pada Abad Pertengahan, para bangsawan istana juga
melakukan korupsi.Singkatnya, korupsi adalah parasit sosial dan masalah utama, terjadi
dan didokumentasikan sepanjang sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani,
dan Roma kuno. Korupsi di Indonesia sangat besar, seperti penyakit, sangat sulit
disembuhkan. Korupsi pada semua tingkatan terjadi pada hampir setiap aspek kehidupan
dan pada hampir semua kelompok masyarakat. Dengan kata lain, korupsi sudah menjadi
bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan dianggap biasa. Di Indonesia, Korupsi telah
lama dikenal sebagai bentuk terorisme global; demikian pula, itu tersebar di seluruh
dunia. Dalam banyak kasus korupsi yang diberitakan di media, baik pemerintahan
maupun birokrasi atau bahkan pemerintahan tidak dapat disalahkan atas korupsi tersebut.
Praktik korupsi sering dikaitkan dengan politik. Selain berkaitan dengan politik, korupsi
juga menyangkut ekonomi, opini publik, hubungan internasional, kerusuhan sosial, dan
pembangunan nasional. Berawal dari indikasi awal terjadinya korupsi, Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) meratifikasi perjanjian tersebut pada 11 Desember 2003. Sekitar
94 dari 125 negara anggota PBB yang hadir di Merida, Meksiko, telah meratifikasi
Konvensi PBB Menentang Korupsi ( UNCAC). Menurut penilaian awal, korupsi di
seluruh dunia sejak itu muncul sebagai masalah.Pembelaan terhadap pemahaman yang
tidak konsisten dari Pendidikan Korupsi Masyarakat kurang disadari jika pemerintah
mereka sendiri menjadi korup. Setiap kasus korupsi selalu membuat masyarakat rentan.
Masyarakat umum tidak sepenuhnya memahami hal ini. Dengan kata lain, mayoritas
penduduk sudah terbiasa terlibat korupsi setiap hari dengan tingkat keberhasilan yang
berbeda-beda; Namun fakta ini belum banyak diketahui, dan sebagian besar masyarakat
masih belum mengetahui bahwa korupsi kemungkinan besar akan bias dicegah dan
diumumkan jika masyarakat berperan aktif dalam agenda-agenda pencegahan dan
pemberantasan. Secara umum, masyarakat umum menganggap tanggung jawab
pemerintah semata-mata mengacu pada krisis korupsi.
Kudeta Indonesia telah berlangsung beberapa lama. Banyak inisiatif pemberantasan
korupsi telah dilakukan sejak beberapa tahun pertama setelah naik tahta. Berbagai
undang-undang tentang pemberantasan korupsi telah dibuat. Selain itu, berbagai lembaga
pencegahan korupsi didirikan, dimulai dari Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967
dan diakhiri dengan Pendirian KPK pada tahun 2003.Pencegahan adalah setiap tindakan
yang dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku korupsi. Pencegahan sering disebut
sebagai prakarsa antikorupsi yang pada hakikatnya bersifat preventif. Penindakan adalah
sebutan yang diberikan untuk setiap tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau
mewaspadai potensi korupsi. Penindakan sering digambarkan sebagai Prakarsa
Antikorupsi yang represif. Peran serta masyarakat adalah peronean, organisasi
kemasyarakatan, atau lembaga swadaya masyarakat yang aktif dalam memerangi korupsi.
Di permukaan, strategi antikorupsi bekerja sama dengan setiap anggota pemerintahan
untuk menekan potensi korupsi. Dengan kata lain, generator antikorupsi adalah generator
yang memperkuat kerentanan manusia dan sistemik terhadap korupsi. Dipercayai bahwa
perbaikan sistemik (seperti pada sistem hukum dan norma masyarakat) dan perbaikan
manusia (seperti pada standar moral dan perilaku etis) dapat berakhir atau setidaknya
dimoderasi.

Kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh kepala daerah masih tergolong tinggi. Hal ini didukung
oleh pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menyoroti banyaknya kepala daerah yang
tersangkut kasus hukum. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, ada 343 kepala daerah
yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. “Data terakhir
sampai bulan Desember 2015 tercatat cukup tinggi, gubernur, bupati, walikota adalah 343 orang
yang ada masalah hukum baik di kejaksaan, polisi, KPK. Data Kementerian Dalam Negeri
menyebutkan, hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun
selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun 2011), 41 kepala
daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013). (Kompas.com: 2015).
Setiap tahun KPK menerbitkan laporan tahunan yang terkait dengan kegiatan KPK dalam
pemberantasan korupsi. Berdasarkan data yang diolah dari laporan tahun 2012 sampai dengan
tahun 2015 menunjukkan terdapat 71 perkara TPK di instansi pemerintah provinsi, sementara itu
di Kabupaten/Kota terdapat 107 perkara TPK. Dari jumlah tersebut, yang menyangkut kasus
korupsi kepala daerah baik gubernur, walikota/bupati dan atau wakilnya sejak tahun 2004 sampai
dengan tahun 2015 adalah sebagai berikut: korupsi yang di lakukan oleh gubernur sejumlah 16
orang, sedangkan kasus korupsi yang menjerat Bupati/Walikota sebanyak 51 orang.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apakah fenomena kasus korupsi di Indonesia ?

2.Mengapa regulasi pilkada menghasilkan fenomena calon tunggal dan apa implikasinya
terhadap demokrasi ?

3.Kenapa banyak kepala daerah terkena kasus korupsi

1.3 TUJUAN

1. Tujuan umum

Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas uas mata kuliah
pendidikan budaya anti korupsi agar mahasiswa dapat memahami tentang fenomena dan
faktor penyebab korupsi kepala daerah di Indonesia

2. Tujuan khusus
a) Untuk mengetahui fenomena korupsi di Indonesia
b) Untuk mengetahui fenomena calon tunggal pada pilkada pertamakalinya
c) Untuk mengetahui penyebab kepala daerah melakukan korupsi

1.4 MANFAAT

1. Memberi pengetahuan kepada mahasiswa tentang latar belakang dari fenomena dan
penyebab kasus korupsi kepala daerah yang ada di Indonesia

1.5 METODE

Makalah ini disusun dan dibuat dengan menggunakan metode studi kepustakaan,yaitu dengan
mengumpulkan sumber dan refrensi penulis dari bahan-bahan pustaka yang telah didapatkan
dan dibuat.
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Fenomena kasus korupsi diIndonesia
Fenomena kasus korupsi yang dialami oleh masyarakat Indonesia seolah-olah bagaikan
benang kusut yang sangat sulit terurai.hampir setiap waktu media sosial selalu memberitakan
mengenai kasus korupsi yang tentunya sangat merugikan negara dan masyarakat
Indonesia.Derajat peningkatan kasus korupsi sangat berdampak pada degradasi kualitas
infrastruktur publik,merosotnya pendapatan dari sektor perpajakan,pendistorsian komposisi
pengeluaran publik,kinerja pemerintah yang tidak efektif dan efisien sehingga kesenjangan
yang semakin melebar di masyarakat Indonesia.Berdasarkan fakta dan bukti yang telah
didapatkan tentang fenomena korupsi yang terjadi di negara Indonesia mengacu pada
beberapa hasil penelitian yang didapatkan sebelumnya tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya korupsi,maka penelitian memberikan bukti terkait dengan
fenomena yang terjadi tersebut.Dengan menggunakan analisa regresi berganda,penelitian
mencoba untuk meneliti dengan mengambil objek pada kota dan kabupaten diIndonesia
untuk melihat hubungan antara transparansi pemerintah dan tingkat pendidikan masyarakat
dengan kasus korupsi yang terjadi di negara Indonesia.
2.2 Fenomena calon tunggal pada pemilihan kepala Daerah
Fenomena calon tunggal pada pilkada serentak sudah terjadi sejak penyelenggaraan pertama
kalinya pada tahun 2015.Pada saat itu belum diterapkannya landasan hukum pelaksanaan
pilkada karena dalam UUD pasal 51 dan 52 UU No. 8 Tahun 2015 yang digunakan saat itu
bahwa pilkada dapat berlangsung apabila minimal ada dua bakal calon.Tetapi yang terjadi
pada saat penyelenggaraan pilkada serentak yang pertama pada tahun 2015 tersebut
mempunyai tiga bakal calon tunggal di tiga daerah.Pilkada pertama sejak diberlakukanya UU
No. 10 Tahun 2016 dari 101 daerah.Daerah tersebut sembilan daerah diantaranya hanya boleh
diikuti oleh calon tunggal.Dari sembilan calon pilkada,delapan diantaranya adalah calon
kepala daerah.Jumlah bakal calon tunggal kembali meningkat pada penyelenggaraan pilkada
serentak pada tahun 2018,yang menjadi 16 bakal calon tunggal.Karakteristik tersebut secara
umum mirip seperti pada pilkada tahun 2017 yang dimana semua partai-partai politik daerah
beramai-ramai mendukung calon tunggal.
Permasalahannya adalah calon tunggal yang umumnya adalah pertahanan tersebut tidak
selalu bekerja dengan baik dan benar.Hal ini kemudian menimbulkan kecurigaan adanya
tidak beresan yang melibatkan partai politik dengan bakal calon tunggal pilkada.Calon
tunggal memang legal berdasarkan regulasi,akan tetapi hal ini juga merusak demokrasi di
Indonesia.Demokratisasi yang dilakukan didaerah-daerah melalui pemilihan kepala daerah
sangat bertujuan untuk melahirkan seseorang pemimpin daerah yang berkualitas dan
berintegrasi sehingga dapat mewujutkan suatu daerah yang lebih baik,fenomena korupsi di
daerah setelah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan suatu hal yang
penting.Bebrapa temuan menunjukkan bahwa ada beberapa penyebab kuatnya gejala korupsi
didaerah yang sering dilakukan oleh berbagai kepala daerah disebabkan karena biaya
pemilihan kepala daerah yang mahal,kurangnya kompetensi dalam pengolahan keuangan
daerah,kurangnya pemahaman akan aturan yang ditetapkan,dan pemahaman terhadap konsep
budaya politik yang salah.
2.3 Faktor-faktor penyebab kepala daerah korupsi

Kasus korupsi yang sering dilakukan oleh berbagai kepala daerah masi tergolong tinggi.Hal
ini diungkapkan oleh pernyataan Menteri Dalam Negeri,Tjahjo kumolo menyoroti sebagian
besar kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi di Indonesia.Berdasarkan data yang telah
didapatkan dari Kementerian Dalam Negeri,adanya 343 kepala daerah yang tersangkut
perkara hukum baik di kejaksaan,kepolisian,maupun KPK.Banyak kepala daerah yang
tersangkut paut dalam permasalahan pengelolah keuangan daerah.”data terakir yang
didapatkan bahwa sampai bulan desember 2015 tercatat cukup tinggi”,banyak kepala daerah
seperti gubernur,bupati,walikota yang mempunyai masalah dengan hukum baik di
jaksa,polisi,bahkan komisi pemberantasan korupsi.Data dari Kementerian Dalam Negeri
menyebutkan hingga pada tahun 2010 ,masi ada 206 kepala daerah yang masih tersangkut
kasus hukum.

Disetiap tahunya KPK menerbitkan laporan tahunan yang ada kaitannya dengan kegiatan
komisi pemberantas korupsi dalam memberantas kasus korupsi yang ada di
Indonesia.Berdasarkan data yang didapatkan dari laporan pada tahun 2012 sampa pada tahun
2015 menyatakan terdapat 107 perkara TPK. Dari jumlah tersebut menyatakan bahwa kasus
korupsi yang telah dilakukan oleh gubernur berjumlah 16 orang,sedangkan kasus korupsi
yang dilakukan oleh bupati/walikota sebanyak 51 orang.

TPK yang dilakukan oleh kepalah daerah berdasarkan diskusi dengan peneliti KPK ada 4
yaitu :

1.TPK dalam pengadaan barang/jasa yang di tangungi pleh APBN/APBD sebanyak 14 kasus

2.TPK dalam penyalagunaan anggaran,sebanyak 22 kasus

3.TPK dalam perijinan sumber daya alam yang tidak sesuai sebanyak 6 kasus

4.tpk menerima suap sebesar 24 kasus

Informasi diatas tentang banyaknya kepala daerah melakukan kasus korupsi dengan berbagai
cara dan modus maka KPK perlu melakukan penelitian mengenai analisa berbagai faktor
penyebab kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah di Indonesia.
BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan

upaya yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman korupsi yang dilakukan oleh
kepala daerah. Pertama, mendorong pemerintah untuk membangun sistem pencegahan
korupsi yang kuat di sektor yang rawan korupsi serta membuat inovasi kebijakan pencegahan
korupsi. Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu membuat kebijakan yang lebih
efektif untuk mengawasai dana kampanye calon kepala daerah sehingga menutup
kemungkinan adanya “politik balas budi” bagi kepala daerah yang
terpilih. Ketiga, mendorong partai politik untuk dapat berbenah diri melalui sistem partai
politik yang berintegritas sebagai upaya meningkatkan peran partai politik dalam mencegah
korupsi kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Tantri Bararoh,Budi Prayitno
Equilibrium: Jurnal Ekonomi-Manajemen-Akuntansi (2) 160-180,2011
Iswanto Iswanto
Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum 3(2),203-208,2020
Valina Singka Subekti,Sri Budi Eko Wardani,S IP,Oktavina Sattu Pasau,Sopian Ependi
Manalu
Ayu Yuriska
Fisip UIN Jakarta
https://www.bpkp.go.id/puslitbangwas/konten/2674/16.050-Faktor-Faktor-Penyebab-Kepala-
Daerah-Korupsi
https://pukatkorupsi.ugm.ac.id/?p=4758

Anda mungkin juga menyukai