Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

MATA KULIAH : Keperawatan Dewasa Kardiovaskular


,Respiratori & Hematologo
DOSEN PENGGAMPUH : Ns Rivelino Hamel, S.Kep., M.Kes

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 5 :
Josiska M Woriwon 2214201088
Injili Yanti Osak 2214201070
Hendi Wagey 2214201068
Vreselya Mananohas 2214201197
Jesika Sampou 2214201082
Kezya Manossoh 2212101098
Wilson Tenouye 2214201199

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami kelompok 5 dapat
menyelesaikan makalah ini dengan dengan baik dan benar.
Makalah ini berisi tentang ” Penyakit Jantung Rematik” yang ditugasi oleh Dosen penggampuh
mata kuliah yaitu Ns Rivelino Hamel, S.Kep., M.Kes.Untuk memenuhi tugas kelompok dengan
Mata Kuliah Keperawatan Dewasa Kardiovaskular ,Respiratori & Hematologo.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada Dosen
Penggampuh yang telah memberikan bantuan sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran
dari Dosen dan teman-teman yang sifatnya membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan demi perbaikan makalah kami di masa yang akan
datang.Terima Kasih

Penulis

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................................
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................
DAFTAR ISI .........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.2......................................................................................................................................LA
TAR BE;ALANG .......................................................................................................
1.3......................................................................................................................................R
UMUSAN MASALAH...............................................................................................
1.4......................................................................................................................................
TUJUAN
.....................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
3.1.....................................................................................................................................
Definisi demam rematik
....................................................................................................................................
3.2.....................................................................................................................................Epid
emilofo demam rematik ............................................................................................
3.3.....................................................................................................................................
Penyebab demam rematik
....................................................................................................................................
3.4.....................................................................................................................................
Patogenisis dari demam rematik
....................................................................................................................................
3.5.....................................................................................................................................
Diagnosis demam rematik
....................................................................................................................................
3.6.....................................................................................................................................
Saja penatalaksanaan demam rematik Diagnosis demam rematik
....................................................................................................................................

BAB III PENUTUP


1.1.....................................................................................................................................
Kesimpulan
....................................................................................................................................
1.2.....................................................................................................................................
Saran
....................................................................................................................................

iii
DAFTAR PUSTAKA
..........................................................................................................................................

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit


jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik
akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang
mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.
Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau
keduanya.

Penyakit jantung rematik merupakan penyakit kronis pada katup jantung


menetap yang dipicu oleh faringitis akibat Streptococcus Group A. Proses
inflamasi sistemik berulang menyebabkan jaringan parut pada katup jantung
sehingga mengakibatkan terjadinya gagal jantung kongestif, stroke dan
aritmia.1 Penyakit jantung rematik (PJR) dianggap sebagai manifestasi dari
kemiskinan dan rendahnya keadaan sosial ekonomi suatu negara. Prevalensi
dari silent PJR ialah sejumlah 21,1 per 1000 anak, hal ini tujuh kali lipat lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang telah diketahui menderita PJR
berdasarkan gejala klinis. 2 PJR diawali oleh demam rematik akut yang
disebabkan oleh respon autoimun dari Streptococcus Group A sehingga
mengakibatkan inflamasi pada katup jantung. Inflamasi sistemik biasanya
terjadi pada 2-4 minggu setelah terinfeksi Streptococcus Group A.

Beberapa variabel klinis dan biomarker inflamasi telah dipakai sebagai


penanda diagnostik dan prognostik pada pasien penyakit jantung rematik.
Penyakit ini berkaitan dengan proses inflamasi kronis dan berkurangnya
fungsi jantung. Penanda diagnostik yang dipakai ialah sitokin inflamasi, High
Sensitivity C Reactive Protein (hsCRP), stres oksidasi, laju endap darah
(LED), Neutrophil to Lymphocyte Ratio (NLR), Red Distribution Width
(RDW), neurohormon, dan peptida natriuretik, yang semuanya dapat
digunakan utuk diagnostik dan prognostik pada pasien penyakit jantung
rematik. Akan tetapi, sebagian besar dari biomarker ini membutuhkan biaya
yang tidak sedikit dalam pengerjaannya dan kita harus mempertimbangkan
efektivitasnya sebagai penanda prognostik pasien penyakit jantung rematik

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksdu dengan demam rematik
2. Apa epidemilofo demam rematik
3. Apa penyebab demam rematik
4. Apa patogenisis dari demam rematik
5. Apa Diagnosis demam rematik
6. Apa saja penatalaksanaan demam rematik
7. Apa diagnosis demam rematik

1.3 TUJUAAN
1. Mengetahui apa yang di maksdu dengan demam rematik
2. Mengetahui apa epidemilofo demam rematik
3. Mengetahui apa penyebab demam rematik
4. Mengetahui apa patogenisis dari demam rematik
5. Mengetahui apa Diagnosis demam rematik
6. Mengetahuib apa saja penatalaksanaan demam rematik
7. Apa diagnosis demam rematik

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang
mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit
jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.1

2.2. Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000
kematian bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat
penyakit jantung pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.2
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1
November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per
100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara
berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia
akibat penyakit tersebut.3
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak
sekolah.3

2.3. Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam
reumatik. Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem
yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai
faktor predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh
inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang

3
menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan
perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling
banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan
katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.1

2.4. Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit
supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas
dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut.
Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai
dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih
tetap terinfeksi selama bermingguminggu setelah gejala faringitis menghilang,
sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau
melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya
faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan
atau mengaktifkan kembali demam rematik.4,5

Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik


berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari
60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart
disease.5 Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni
kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang
sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup,
pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi
valvular stenosis. 5
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever
dalam patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor
yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor
organisme, faktor host dan faktor sistem imun.
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme
penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri
ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri

4
ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility
complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang
apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis
rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik
Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga
menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase,
dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.6
Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya
untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi
tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh
memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme
dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.7

Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta


hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1)
Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun
tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan
karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat
berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi
sel–sel antibodi reseptor permukaan.7
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan
Nasetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar
dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan
lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M
yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan
anti protein M.
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus
beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung
yang menyebabkan kerusakan valvular. 5,8

5
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga
memainkan peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6%
populasi memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik
marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas
II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart
disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam
kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen
pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan
humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan
rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.7
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan
verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung.
Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan
jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat
veruccae yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan
ikut mengalami kerusakan.9
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral
(6570% kasus).4 Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan
penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral.
Karena peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan
membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti
dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung
lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.9
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup
aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke
ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. 11 Di sisi lain,
dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang
terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot
papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan
dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang
selanjutnya dapat menimbulkan

6
kelainan jantung kanan. 9

2.5. Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.

a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit
tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-
anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak
spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan,
epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga
mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.4
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi
motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.4

b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama
kali diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali.
Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan
minor.4

Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever10


Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
Poliartritis migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
- demam tinggi (>390 C)

7
Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum - peningkatan penanda peradangan yaitu
Nodul subkutan erythrocyte sedimentation rate (ESR) atau C Reactive
Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.4,11

- Kriteria Mayor Karditis


Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis.
Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak
nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada
pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia
yang tidak sesuai dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat
ditemukan dari gangguan katup jantung dapat dilihat pada tabel 2.12

8
Tabel 2. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang
Timbul12
Gangguan Manifestasi

 Regurgitasi Mitral - Aktivitas ventrikel kiri meningkat


- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung

- Murmur mid-diastolik (carrey


coombs murmur) di apeks

- Aktivitas ventrikel kiri meningkat


- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar
ke apeks
 Regurgitasi aorta
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi,
sedangkan diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)

Stenosis mitral - Aktivitas ventrikel kiri negatif


 - Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1
mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang
parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi
vena jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.12
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang
redup, suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi
perikardium dan tamponade perikardium yang mengancam.12

Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi
pada sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat

9
yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi
yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut,
pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan
berpindah-pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh
spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain.
Pada sebagian besar pasien dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak
menetap lebih dari dua atau tiga minggu. 12
Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa
bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini
mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal,
dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga
minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya
emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang
tidak disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot
dapat terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok.
Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun
menghilang saat beristirahat.12
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang
12
terjadi kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan
yang kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah
berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung)
dan ekstremitas.4
Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus
terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan
persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di
atas kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak
nyeri, tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya

10
terjadi beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam
waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat. 13

- Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam
waktu 2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa
disertai tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering
dijumpai. Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan
akut pada pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP
umumnya meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk
menilai perkembangan penyakit. 12

c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah : a.
Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada
fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut
berupa Creactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan
laju endap darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif.
Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien
dengan congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan
indikator dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas
penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever
aktif. 8
- Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A
secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.4
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

11
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa
digunakan adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease
B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak
terjadi peningkatan akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer
ASTO biasanya mulai meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak
minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak,
dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat
minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-
DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia
sekolah. 4
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila
gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.4

b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi


Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval
PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk
usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20
detik. 4
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan
karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan
pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi
mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah

12
dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke
postero-
lateral. 4

d. Dasar Diagnosis
Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan
RHD11
Kategori diagnosis Kriteria

 Rheumatic Fever serangan - Dua mayor


pertama - Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
 Rheumatic Fever serangan - Dua mayor
ulang tanpa RHD - Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
 Rheumatic Fever serangan - Dua minor ditambah dengan bukti
ulang dengan RHD - infeksi SBHGA sebelumnya

 Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau


Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
 insidious

RHD - Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk


 mendiagnosis sebagai RHD

2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu,
ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

13
a. Terapi Antibiotik Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen
Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder
jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A faring yang berulang.6
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek
bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi
regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum
obat), harga, dan juga efek samping.14
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral
adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring
pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik
selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri
Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih
dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam
lambung. Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien
yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat
rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di
lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat
penduduk, status sosio-ekonomi rendah).14

Tabel 4. Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever14


Agen Dosis Evidence
rating

Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral 1B
satu kali sehari selama 10 hari

Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B


600,000 unit IM sekali

14
Pasien dengan BB > 27 kg:
1,200,000 unit IM sekali
Penicillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg 1B
diberikan 250 mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari

Pasien dengan BB > 27 kg: 500


mg oral 2-3x sehari selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin
Narrow-spectrum cephalosporin Bervariasi 1B
(cephalexin [Keflex], cefadroxil
[formerly Duricef])
Azithromycin (Zithromax) 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500 2aB
mg) oral 1x sehari selama 5 hari

Clarithromycin (Biaxin) 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2 2aB


dosis (maksimal, 250 mg 2x
sehari), selama 10 hari

Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal, 2aB


1.8 g/hari), dibagi menjadi 3 dosis,
untuk 10 hari

Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau
munculnya rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus
beta hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing
efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.14
Tabel 5. Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever14
Agen Dosis Evidence
rating

Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb) 1A


600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali

15
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali

Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari 1B


Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B
0.5 g oral 1x sehari
Pasien berat > 27 kg (60 lb)
kg: 1 g oral 1x sehari

Macrolide atau antibiotik azalide Bervariasi 1C


(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)

Tabel 6. Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever


Tipe Durasi setelah serangan Evidence
rating

Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C


dan penyakit jantung residu (pilih yang terlama) ; profilaksis
(penyakit katup persisten) seumur hidup mungkin diperlukan

Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 21 tahun 1C


tapi tanpa penyakit jantung residu (pilih yang terlama)
(tanpa penyakit katup persisten)

Rheumatic Fever tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C


(pilih yang terlama)

b. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon
cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama
adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal
jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid
juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan
terus mengalami perburukan.6,15

16
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai
diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125
mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat
diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi
terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari. 6,15

Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan


dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali
sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada
kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30
mg/kg/hari.
Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi. 4,6,15

c. Terapi Gagal Jantung


Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap
tirah baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa
pasien dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa
digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah
dengan diuretik.
Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau
digoxin.4,6,15

Tabel 7. Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever


Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5 mcg/kg/hari dosis
pemeliharaan

Diuretik:
 Furosemide 0,5 – 2 mg/kg/hari,

 Metolazone 0,2 – 0,4 mg/kg/hari


Vasodilator:
 Captopril Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan, dinaikkan 1,5 – 3 mg/kg/hari
dibagi dalam 3 dosis.

 Sodium 0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan bila gagal jantung sulit


dikontrol. Monitor kadar sianida.
nitroprusside

17
Inotropik:
 Dobutamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus

 Dopamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus

 Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus

d. Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid
atau diuretik.16, 17
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek
klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut
terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap. 17 Sesuai dengan
anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai
berikut : Tabel 8. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever
Tanpa karditis Tirah baring selama 2 minggu, mobilisasi
bertahap selama 2 minggu

Karditis, tanpa kardiomegali Tirah baring selama 4 minggu, mobilisasi


bertahap selama 4 minggu

Karditis dengan kardiomegali Tirah baring selama 6 minggu, mobilisasi


bertahap selama 6 minggu

Karditis dengan kardiomegali dan gagal Tirah baring selama gagal jantung,
jantung mobilisasi bertahap selama 3 bulan

e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien.16, 17
Pasien yang

18
simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang
berat, juga memerlukan tindakan intervensi.4

a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.4
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut
(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic
heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk
reparasi atau penggantian katup.4
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih
banyak dikerjakan.4
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau
kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.4

2.7. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak
episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh
semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan
awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar. 4
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu.
Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa
serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic
fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.

19
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Penyakit Jantung Rematik adalah penyakit yang diakibatkan oleh
komplikasi dari demam rematik yang ditandai dengan adanya cacat pada
katup jantung. Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease)
merupakan penyakit jantung didapat yang sering ditemukan pada anak.
jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup
pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau
insufisiensi atau keduanya.Kelainan suara jantung merupakan temuan klinis
yang penting untuk penyakit jantung rematik.Bunyi jantung murmur
merupakan gejala yang biasanya insufisiensi pada katup jantung.

3.2 SARAN
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan akhirnya itu kritik
yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001; p. 1657 – 65.
2. Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379: 953–
64
3. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease
WHO Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation
Geneva, 29 October–1 November 2001.
4. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
5. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem Kardiovaskuler
secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik Jantung, dan Jantung
sebagai Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan: Bagian Fisiologi Fakultas
Kedokteran USU. 2005; 7 -16.
6. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO
expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 1 Mei 2016].
7. Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune Pathogenesis
of Rheumatic Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31 –39.
8. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
9. Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi 18. Elsevier. 2007: 438.
10. Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: current
scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
12. Essop, M.R & Omar, T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever.
Philadelphia: Crawford. 2010;3:1215-1223
13. Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular
Medicine. United States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.
14. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and
Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam
Physician. 2010 1;81(3):346-359.
15. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease: The
last 50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
16. Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape. [Online]
Melalui: http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#a0199
[diakses pada 1 Mei 2016].
17. Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ. 2006;333(7579):
1153-1156

21

Anda mungkin juga menyukai